Mommy Leica The Writer
Senin, 02 Oktober 2023
Kamis, 30 April 2020
Corona, Work From Home, and Home Learning
It's been a while... Lama banget malah saya tidak lagi menulis. Terlalu sibuk ina, ini, itu membuat saya kehilangan mood menulis. But now, gara-gara si Covid 19, mood menulis itu jadi muncul lagi. Yup... Pandemi Corona ini memang membuat semua jungkir balik semuanya.Yang tadinya kerja di kantor, harus kerja dari rumah. yang tadinya sekolah, ya harus sekolah dari rumah. Yang memang di rumah, alias mamak-mamak berlabel housewife, juga nggak kalah pusing karena mendadak jadi guru privat buat anaknya, plus anggaran makan di rumah jadi membengkak berkali lipat. Maklumlah, anak-anak dan suami stay at home sepanjang hari, jatah makan siang dan jajan yang biasa di kantor atau di sekolah pun jadi pindah ke rumah. Biasa orang rumah bisa sehari cuma makan 2-3 kali di rumah, jadi bengkak bisa sampai 5-6 kali. Terutama kalau anak-anak masih masa-masa pertumbuhan dan nafsu makannya pun lagi hot-hot-nya. Goreng tahu baru sebentar dan belum kelar, mendadak sudah lenyap tak berbekas diserbu anak-anak. Tak ayal anggaran belanja membengkak drastis, sementara penghasilan Pak Bojo malah harus berkurang gara-gara work from home. Belum lagi anggaran kuota internet jadi bengkak pula karena anak-anak yang harus belajar online. Pada akhirnya semua jadi bubrah nggak karu-karuan.
Dua bulan berjalan sejak kegiatan belajar di rumah berlangsung, protes dari orangtua murid pun mulai berdatangan, seiring dengan kegiatan pembelajaran yang mengharuskan orangtua murid mengakses program pembelajaran secara online untuk kegiatan belajar mengajar putra-putrinya. Orangtua yang bekerja mengeluhkan tambahan 'beban kerja' mengajar anak-anaknya di rumah. Orangtua yang di rumah mengeluhkan akses internet yang lamban, ditambah lagi anggaran kuota yang membengkak. Bahkan orangtua sampai melontarkan kalimat, "Gurunya enak... makan gaji buta..."
Kalau kata Pak Dhe 'Ambyaar' Didi Kempot, "Teles kebes, netes eluh... (nggak usah diterusin cendol dawet-nya, ya...)." Rasanya nggrantes ... Dikira guru-gurunya ini juga enak-enakan kali, ya? Padahal guru-guru ini juga sudah pusing mikir gimana tetap bisa mengajar murid-muridnya dengan baik, dan anak-anak tetap mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya, dengan tetap berusaha untuk tidak membebani orangtua di tengah kondisi seperti sekarang ini. Belum lagi masih harus piket di sekolah (mengingat pihak yang berwenang kadang-kadang suka sidak), dan sebagian terpaksa juga ada yang masih harus mencari tambahan penghasilan. Padahal guru-guru sendiri juga takut dan was-was kalau keluar rumah bisa kena Corona juga.
Mungkin bagi guru-guru yang di kota-kota besar, model pembelajaran berbasis teknologi informasi terkini adalah sesuatu hal yang biasa dan lumrah. Soal internet pun tak jadi masalah, karena baik orangtua maupun guru dan anak-anak sendiri sudah terbiasa dengan model pembelajaran seperti ini, karena itulah yang juga sehari-hari mereka lakukan. Akan tetapi di kota-kota kecil, apalagi yang di desa-desa, model pembelajaran berbasis IT tidak dilakukan di semua sekolah. Hanya beberapa sekolah saja yang melakukannya, terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah masing-masing. Itu baru masalah pertama.
Masalah kedua. Anggaplah sekolah sudah melek IT dan mencoba memberikan fasilitas tersebut. Yang menjadi masalah berikutnya justru datang dari orangtua sendiri yang ternyata gaptek. Punya Smartphone? Ya. Bahkan mungkin smartphone-nya lebih canggih dari punya gurunya. Tapi sayangnya punya smartphone canggih ternyata nggak dibarengi dengan kecakapan penggunaannya. Banyak orangtua yang nggak paham semua fungsi aplikasi yang ada di handphone (dan lagi-lagi sayangnya, hal ini pun 'menular' ke anak-anaknya). 'Malas' untuk mempelajari apa yang ada di smartphone miliknya, hingga yang dipahami hanyalah bahwa smartphone cukup bisa buat bermedsos (yang seringkali isinya jadi tempat curhat yang gak penting dan sebenarnya gak pantas diketahui orang sejagat maya), nonton youtube, main game, main tiktok dan karaokean di smule. That's it! Yang penting bisa eksis, itu sudah lebih dari cukup.
Kalau sudah begini, rasanya ya ngelus dada. Bapak, Ibu... gimana anaknya mau pinter kalau njenengan saja ngajari anaknya seperti itu? Ketika di sekolah mengajarkan anak-anak IT, bagaimana menggunakan google classroom, zoom, dan lain sebagainya sebagai metode pembelajaran berbasis IT. Anak-anak diajarkan bagaimana memanfaatkan media sosial bukan sebagai 'ladang curhat', tetapi sebagai media untuk membangun entrepreneurship. Memanfaatkan google sebagai sarana belajar untuk mencari informasi. Anak-anak belajar bagaimana membuat kreasi dengan komputer grafis, belajar bagaimana cara menjadi video blogger, dan sebagainya. Seharusnya orangtua pun sadar, era IT ini adalah eranya anak-anak mereka. Mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua pun harus mau belajar tentang IT, supaya bisa mengimbangi pola belajar anak-anak dan penggunaan IT pada anak. Bagaimanapun, orangtua tetap bertanggung jawab penuh untuk mengawasi penggunaan IT pada anak-anak, supaya mereka tidak terjebak pada negative effect dari teknologi informasi ini.
Kalaupun orangtua beralasan, "Ah... wis tuwo... utekke wes gak nyandak..." (Ah sudah tua, otaknya sudah nggak mampu). Tapi kenyataannya, kalau bikin video tik tok atau karaokean di smule lebih gape ketimbang anaknya sendiri. Wegah bin males. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keengganan kita sebagai orangtua, kalau 'disuruh' mempelajari sesuatu yang baru. Tapi tolonglah Bapak... Ibu... sayangilah anak-anakmu dengan kemauanmu untuk belajar juga. Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita kelak. Tapi, bayangkan saja jika kita juga nggak mau belajar demi mengimbangi anak-anak kita. Akan ada banyak miskomunikasi yang terjadi, akan ada banyak salah prasangka, dan akhirnya yang menyesal juga kita sendiri.
Sebagai seorang Mamak, saya mau berusaha untuk belajar terus demi anak saya. Saya mau berusaha untuk jadi contoh yang baik buat anak saya.Saya mau untuk belajar apa yang menjadi dunianya anak-anak saya. Sebab saya tidak mau anak saya salah dan tersesat. Saya mau membuka pikiran saya, agar dapat belajar lebih lagi. Jika saya tidak tahu dan tidak mau kepo tentang apa yang menjadi dunianya mereka, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi dan memahami mereka? Bagaimana mungkin saya bisa mendukung dan memberikan solusi untuk mereka, ketika saya sendiri tidak tahu apa-apa? Bagaimana mungkin saya bisa mengajarkan anak saya untuk memiliki empati yang lebih terhadap orang lain, sementara saya membiarkan diri saya sendiri menutup diri dan berfokus hanya pada diri sendiri saja?
Begitupun halnya saya sebagai seorang Guru. Saya mau murid-murid saya menjadi pintar. Saya tidak ingin mereka hanya tahu pengetahuan yang terbatas. Saya mau untuk terus menggali pengetahuan saya, dan terus menerus mau belajar, supaya saya dapat menjadi contoh bagi murid-murid saya. Supaya saya bisa terus mendampingi murid-murid saya dalam belajar, dan menolong mereka untuk menemukan pengetahuan yang lebih luas lagi.
Finally, the most happiness being Mom and Teacher... ketika hidup saya menjadi berkat dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya. Terutama bagi anak-anak saya sendiri, juga bagi murid-murid saya. That's how I Praise The Lord for the most beautiful and the worst part of life that I have.
Ah... Corona ini memang membuat saya belajar banyak hal. Meski sangat pusing dengan bagaimana harus bertahan hidup, tapi saya tidak mau kehilangan kebahagiaan saya. Semoga Pandemi Corona ini segera berlalu, dan kehidupan kita semua kembali berjalan normal seperti semula.And I hope so for everyone...
Nite all...
#curhatanmamak
#curhatanbukguru
Sebagai seorang Mamak, saya mau berusaha untuk belajar terus demi anak saya. Saya mau berusaha untuk jadi contoh yang baik buat anak saya.Saya mau untuk belajar apa yang menjadi dunianya anak-anak saya. Sebab saya tidak mau anak saya salah dan tersesat. Saya mau membuka pikiran saya, agar dapat belajar lebih lagi. Jika saya tidak tahu dan tidak mau kepo tentang apa yang menjadi dunianya mereka, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi dan memahami mereka? Bagaimana mungkin saya bisa mendukung dan memberikan solusi untuk mereka, ketika saya sendiri tidak tahu apa-apa? Bagaimana mungkin saya bisa mengajarkan anak saya untuk memiliki empati yang lebih terhadap orang lain, sementara saya membiarkan diri saya sendiri menutup diri dan berfokus hanya pada diri sendiri saja?
Begitupun halnya saya sebagai seorang Guru. Saya mau murid-murid saya menjadi pintar. Saya tidak ingin mereka hanya tahu pengetahuan yang terbatas. Saya mau untuk terus menggali pengetahuan saya, dan terus menerus mau belajar, supaya saya dapat menjadi contoh bagi murid-murid saya. Supaya saya bisa terus mendampingi murid-murid saya dalam belajar, dan menolong mereka untuk menemukan pengetahuan yang lebih luas lagi.
Finally, the most happiness being Mom and Teacher... ketika hidup saya menjadi berkat dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya. Terutama bagi anak-anak saya sendiri, juga bagi murid-murid saya. That's how I Praise The Lord for the most beautiful and the worst part of life that I have.
Ah... Corona ini memang membuat saya belajar banyak hal. Meski sangat pusing dengan bagaimana harus bertahan hidup, tapi saya tidak mau kehilangan kebahagiaan saya. Semoga Pandemi Corona ini segera berlalu, dan kehidupan kita semua kembali berjalan normal seperti semula.And I hope so for everyone...
Nite all...
#curhatanmamak
#curhatanbukguru
Senin, 27 Maret 2017
Bapak... Ibu... Dengarkanlah!
"Ayo, dong, Di... yang bener les balletnya! Jangan asal-asalan! Habis ini kamu juga jangan bolos les piano! Yang bener belajar pianonya!"
Dina memang baru berusia empat tahun. Tapi sang mama sudah 'rajin' mencekokinya dengan berbagai macam les. Alasan sang mama, buat bekal masa depannya. Tapi kenyataannya, Dina sering bertingkah dan berbuat ulah yang aneh-aneh saat les berlangsung. Sering ia terlihat lelah dan bahkan mogok les. Hmm... jadi, apa bener itu alasan sang mama memberi banyak les untuk bekal masa depan anaknya? Ataukah, ini hanya gengsi dan ambisi sang mama semata?
Carly menangis. Dalam hati ia ingin sekali ikut acara darmawisata sekolah bersama teman-temannya. Apa daya, kondisi perpisahan orangtuanya membuatnya ikut terbelah. Sang ayah "mendoktrin" Carly untuk tidak ikut darmawisata, hanya karena ibunya turut serta dalam acara itu dan ingin mendampingi putrinya. Di sisi lain, ibunya pun memaksanya ikut dan mengancamnya jika sampai tidak ikut darmawisata sekolah. Carly ingin ikut. Tapi ia takut ayahnya. Carly juga tidak ingin ikut. Karena ia takut ibunya.
Seringkali sebagai orangtua, kita merasa lebih 'berhak' atas hidup anak kita. Walhasil segala hal yang berkaitan dengan hajat hidup anak pun berusaha kita atur sedemikian rupa, sampai terkadang kita menjadi lupa bahwa anak-anak punya keinginan, dan mereka punya hak untuk didengar keinginannya. Inilah yang kerap kita lupakan. Bahwa setiap manusia punya hak atas hidupnya sendiri, demikian pula dengan anak-anak kita. Mereka juga butuh bukan hanya diperhatikan kebutuhan fisiknya semata, tapi juga butuh untuk didengarkan. Mereka juga punya keinginan yang ingin diungkapkan dan perlu untuk diakomodir.
Meski begitu, bukan berarti pula kita menjadi orangtua yang terlalu mendengarkan kemauan anak. Segala apapun yang ia mau selalu kita turuti. Mungkin kita merasa tujuan kita hanyalah ingin memberikan yang terbaik buat si anak. Namun kenyataannya apa yang kita lakukan justru berlebihan. Bukannya terbaik untuk anak, sebaliknya justru menjerumuskannya.Yup! Nyatanya apa yang kita pikir terbaik buat anak, terkadang tidaklah betul-betul terbaik untuknya
Mungkin karena sekarang mereka masih anak-anak, kita merasa punya hak menentukan apapun juga atas hidup mereka.
Menjadi orangtua adalah sebuah pelajaran berharga di sepanjang hidup kita. Lima tahun penantian saya dan suami akan kehadiran putri kecil kami, hingga saat ini tujuh tahun sudah kami belajar menjadi orangtua. Banyak pelajaran yang kami dapatkan, dan sampai hari ini pun kami terus belajar dan berusaha menjadi orangtua yang lebih baik bagi Leica. Ada sedih, ada bahagia, ada kesal, ada gemas, ada marah, ada bangga, ada sesal, ada tangis, ada kuatir, ada harapan, ada takut, ada keberanian. Semuanya serasa campur aduk. Mungkin kami tidaklah sempurna sebagai orangtua. Namun kami terus berusaha dan belajar untuk menjadi orangtua yang terbaik untuk Leica.
Belajar menjadi orangtua yang baik tidak pernah ada sekolahnya. Belajar menjadi orangtua yang baik butuh proses yang panjang, bahkan boleh dibilang seumur hidup kita akan terus belajar untuk menjadi orangtua. Namun sepanjang tujuh tahun terakhir kami belajar menjadi orangtua, satu hal yang kami pelajari adalah bagaimana menjadi orangtua yang mau mendengarkan anaknya, meski sesekali kami masih alpa mendengarkannya.
Dina memang baru berusia empat tahun. Tapi sang mama sudah 'rajin' mencekokinya dengan berbagai macam les. Alasan sang mama, buat bekal masa depannya. Tapi kenyataannya, Dina sering bertingkah dan berbuat ulah yang aneh-aneh saat les berlangsung. Sering ia terlihat lelah dan bahkan mogok les. Hmm... jadi, apa bener itu alasan sang mama memberi banyak les untuk bekal masa depan anaknya? Ataukah, ini hanya gengsi dan ambisi sang mama semata?
Carly menangis. Dalam hati ia ingin sekali ikut acara darmawisata sekolah bersama teman-temannya. Apa daya, kondisi perpisahan orangtuanya membuatnya ikut terbelah. Sang ayah "mendoktrin" Carly untuk tidak ikut darmawisata, hanya karena ibunya turut serta dalam acara itu dan ingin mendampingi putrinya. Di sisi lain, ibunya pun memaksanya ikut dan mengancamnya jika sampai tidak ikut darmawisata sekolah. Carly ingin ikut. Tapi ia takut ayahnya. Carly juga tidak ingin ikut. Karena ia takut ibunya.
Seringkali sebagai orangtua, kita merasa lebih 'berhak' atas hidup anak kita. Walhasil segala hal yang berkaitan dengan hajat hidup anak pun berusaha kita atur sedemikian rupa, sampai terkadang kita menjadi lupa bahwa anak-anak punya keinginan, dan mereka punya hak untuk didengar keinginannya. Inilah yang kerap kita lupakan. Bahwa setiap manusia punya hak atas hidupnya sendiri, demikian pula dengan anak-anak kita. Mereka juga butuh bukan hanya diperhatikan kebutuhan fisiknya semata, tapi juga butuh untuk didengarkan. Mereka juga punya keinginan yang ingin diungkapkan dan perlu untuk diakomodir.
Meski begitu, bukan berarti pula kita menjadi orangtua yang terlalu mendengarkan kemauan anak. Segala apapun yang ia mau selalu kita turuti. Mungkin kita merasa tujuan kita hanyalah ingin memberikan yang terbaik buat si anak. Namun kenyataannya apa yang kita lakukan justru berlebihan. Bukannya terbaik untuk anak, sebaliknya justru menjerumuskannya.Yup! Nyatanya apa yang kita pikir terbaik buat anak, terkadang tidaklah betul-betul terbaik untuknya
Mungkin karena sekarang mereka masih anak-anak, kita merasa punya hak menentukan apapun juga atas hidup mereka.
Menjadi orangtua adalah sebuah pelajaran berharga di sepanjang hidup kita. Lima tahun penantian saya dan suami akan kehadiran putri kecil kami, hingga saat ini tujuh tahun sudah kami belajar menjadi orangtua. Banyak pelajaran yang kami dapatkan, dan sampai hari ini pun kami terus belajar dan berusaha menjadi orangtua yang lebih baik bagi Leica. Ada sedih, ada bahagia, ada kesal, ada gemas, ada marah, ada bangga, ada sesal, ada tangis, ada kuatir, ada harapan, ada takut, ada keberanian. Semuanya serasa campur aduk. Mungkin kami tidaklah sempurna sebagai orangtua. Namun kami terus berusaha dan belajar untuk menjadi orangtua yang terbaik untuk Leica.
Belajar menjadi orangtua yang baik tidak pernah ada sekolahnya. Belajar menjadi orangtua yang baik butuh proses yang panjang, bahkan boleh dibilang seumur hidup kita akan terus belajar untuk menjadi orangtua. Namun sepanjang tujuh tahun terakhir kami belajar menjadi orangtua, satu hal yang kami pelajari adalah bagaimana menjadi orangtua yang mau mendengarkan anaknya, meski sesekali kami masih alpa mendengarkannya.
Senin, 29 Februari 2016
BULLY... OH... BULLY
Belum lama ini, mentalis Deddy Corbuzier
ramai diberitakan telah menangkap salah seorang haters yang kedapatan membullynya
di instagram. Bukan sekali ini saja, beberapa bulan sebelumnya Deddy pun juga
pernah menangkap salah seorang hatersnya
yang mirisnya adalah seorang pelajar SMK. Nyatanya bukan hanya seorang Deddy
Corbuzier saja yang harus berurusan dibully
haters. Bahkan boleh dibilang hampir nggak ada artis yang ngerasain nggak
punya haters dan nggak pernah dibully haters. Yang cukup memprihatinkan
lagi, bukan hanya artis saja yang jadi sasaran bully para haters. Orang
biasa yang bukan artis, bukan hanya teman, tapi bahkan juga orang yang nggak
dikenal pun bisa jadi sasaran bully
dan punya haters.
Media sosial kini bukanlah hal yang asing buat anak muda. Bahkan seolah
jadi ‘tuhan’ baru yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Nggak punya sosmed,
nggak gaul. Kira-kira gitu, deh, doktrinnya. Bukan cuma buat sekedar pamer aksi
selfi-selfian belaka, tapi belakangan trend kepoin
bahkan stalkingin sosmed orang lain,
apalagi seleb yang jadi idola juga kian marak. Sayangnya, aksi kepo hingga stalking ini belakangan kian menjadi-jadi hingga berujung pada bullying.
Dari kepo ke bully
Guys, ngaku, deh, berapa banyak di
antara kita yang nggak kepo sama
sosmed teman, sohib, apalagi gebetan, pacar atau malah mantan pacar yang
diam-diam masih dicintai? Sedikit banyak mungkin meski ngakunya dalam hati,
harus diakui kalau sometimes kita
suka kepoin sosmed orang lain.
Apalagi kalau yang dikepoin itu artis
idola yang lagi digandrungi banget. Rasanya kita jadi kepengen tahu apapun
kegiatan mereka, dan nggak mau ketinggalan update terkini segala sesuatu
tentang mereka.
Apapun motivasinya, sepanjang masih hanya sekedar kepo semata mungkin nggak terlalu jadi masalah. Yang jadi masalah
adalah ketika kita mulai berkelakuan lebay
bin alay, dalam artian emosi jadi
mulai terlibat ketika kita nggak suka sama orang yang lagi dikepoin. Entah tingkah laku atau
perbuatannya yang bikin kita jadi nggak tahan untuk berkomentar hingga berujung
twitwar dan bullying. Awalnya mungkin kita hanya tergelitik berkomentar karena
iseng belaka. Tapi lama-lama saat emosi mulai bermain, darah muda kita seolah
nggak mau kalah ketika komentar kita mendapat tanggapan. Inilah yang membuat
sobat muda seringkali kemudian terjebak dalam twitwar panas yang berujung bullying.
Nah, kalau nggak hati-hati, bisa-bisa kita dijerat UU ITE (Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik) yang bukan nggak mungkin bikin kita
dijebloskan ke dalam penjara.
It’s not our style
Sobat muda, mau kepoin atau stalkingin sosmed orang lain semata-mata
karena iseng atau sekedar buat update
info memang sah-sah saja. Tapi jadi bermasalah ketika kita jadi mulai ngatain,
ngegosipin, hingga akhirnya terlibat dalam perang kata-kata yang cenderung
berujung saling bully. Disinilah
celah titik lemah kita, yang tanpa sadar membuat kita jatuh ke dalam dosa.
Tanpa disadari, kita telah digiring oleh keinginan dan hawa nafsu untuk
‘meladeni’ komentar orang lain yang bernada miring, hingga akhirnya jatuh ke
dalam dosa.
Mungkin kita berpikir, ah, masak, sih, kita bisa berdosa hanya gara-gara kepo? Jelas bisa! Dari kepo, kita mulai ngomongin sampai
ngegosipin orang lain yang enggak-enggak, bikin kita jatuh dalam dosa pergunjingan.
Selain wasting time, ngebully nggak bikin kita jadi pintar, tapi
malah makin menjerumuskan dalam perkataan yang sia-sia.Padahal jelas firman
Tuhan mengingatkan kita, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.” (Keluaran
20:16). Apalagi jika kita menjadi “seorang saksi dusta yang
menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara.”
(Amsal 6:19). Itu baru soal ngegosipin.
Nah, kalau ternyata kita mulai terjebak emosi dan terlibat twitwar berujung bullying,
dengan tegas Amsal 14:21a mengungkapkan “Siapa menghina sesamanya berbuat dosa,
...”
That’s why guys, kita kudu lebih
hati-hati lagi saat bersosmed. Om Paulus pun sudah mengingatkan kita supaya
nggak menghakimi bahkan menghina orang lain. Bagaimanapun juga, kelak kita harus
mempertanggungjawabkan semuanya itu di hadapan Tuhan (Roma 14:10-13). Jangan
biarkan hawa nafsu menguasai kita saat bersosmed, sehingga bikin jatuh dalam
dosa. Kalau kita sudah mengaku sebagai pengikut Kristus, bullying bukanlah gaya hidup kita sebagai anak muda kristen.
So,
mulai sekarang ayo kita merubah cara kita bersosial media. Mulai tinggalkan
kebiasaan ngebully orang lain di
sosmed, agar kita tidak menjadi orang-orang yang mendatangkan kutuk bagi orang
lain. Belajar lebih bijaksana dalam menggunakan sosial media, supaya kita jadi
orang-orang yang mendatangkan berkat bagi orang lain.
(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Februari 2016)
AKU TIDAK TAKUT !!!
Hari ini adalah hari pertama Riska mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN).
Perasaan galau, takut, kuatir, semuanya campur aduk meliputi seluruh hatinya.
Jelas Riska takut. Takut kalau dia tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian. Takut
kalau tidak lulus. Takut kalau mengecewakan orangtua yang sudah susah payah
membiayai sekolahnya. Apalagi Riska bukanlah tergolong siswa yang pintar. Meski
sudah belajar mati-matian, nilainya selalu saja pas-pasan. Nggak heran kalau
dirinya begitu ketakutan menghadapi ujian yang menentukan kelulusannya kali
ini.
Sobat muda, setiap orang pasti pernah mengalami rasa takut. Nggak cuma
seperti Riska yang takut karena akan menghadapi ujian nasional, seringkali
ketika melakukan kesalahan, kita pun juga takut untuk mengakuinya. Takut kalau
dimarahi, takut kalau di caci maki, dan berbagai alasan lainnya yang membuat
kita enggan untuk menghadapinya.
Takut itu manusiawi
Ngomong-ngomong soal rasa
takut, ternyata bukan cuma kita saja yang pernah mengalami rasa takut. Tuhan
Yesus pun pernah merasa ketakutan yang amat sangat. Menjelang peristiwa
penangkapan dan penyalibanNya, Yesus sudah tahu bahwa saatNya sudah tiba. Bahwa
Ia harus menyerahkan nyawaNya sebagai untuk menebus dosa-dosa manusia. Meski Ia
tahu bahwa BapaNya akan memberikan kekuatan, namun sebagai manusia, Yesus juga
merasa takut menghadapi semuanya itu (Lukas 22 : 39-44). Bahkan karena rasa
takut yang teramaat sangat, “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang
bertetesan ke tanah.” (Lukas 22:44b).
Yup! Rasa takut itu
memang manusiawi. Wajar kalau kita terkadang merasa takut akan sesuatu hal.
Bahkan Yesus pun juga mengalaminya. Tetapi bukan berarti hidup kita lantas
dikuasai dan dihantui oleh perasaan takut terus menerus. Karena inilah yang
sangat disukai oleh Mang Iib. Ketika manusia merasa takut, biasanya kita
cenderung tidak mau bergerak dari rasa takut. Kecenderungan untuk ‘membiarkan’
diri sendiri ditawan oleh rasa takut inilah yang akhirnya bikin kita jadi
paranoid alias parno. Inilah yang tidak boleh dibiarkan. Ketakutan itu harus
dilawan, supaya kita dapat maju dan dapat melanjutkan hidup. Kalau nggak mau move on dari rasa takut, bagaimana
mungkin kita bisa meraih kesuksesan dan menjalani hidup yang lebih baik?
Bangun dan
hadapi!
Melawan rasa takut memang
gampang-gampang susah. Seringkali yang jadi masalah adalah bukan karena sobat
muda nggak berani atau nggak mau melawan rasa takut yang dihadapi, tetapi
kekuatiran yang berlebihan serta ketidakpedean kita yang bikin kita gagal move on dari rasa takut. Masih ingatkah
sobat muda, bagaimana Elia juga nyaris gagal move on ketika Izebel memburunya untuk dibunuh ( 1 Raja-Raja 19).
Namun setelah Allah memberikan penghiburan bagi Elia, bahwa Allah tetap akan
menyelamatkan tujuh ribu orang Israel yang tidak ikut-ikutan menyembah baal,
Elia mendapatkan kekuatan baru untuk melangkah dan kembali pada panggilannya.
Begitu juga dengan kita.
Gara-gara terlalu kuatir, kita pun jadi susah move on dari rasa takut. Guys, tiap kali kita ngerasa takut dan
ngerasa bakal susah move on, always remember kalau kita nggak pernah
sendiri. “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara
kamu.” (1 Petrus 5:7). Allah bakal selalu menjadi back up kita setiap kali rasa takut itu datang menghampiri. Rasa kuatir
yang terus menerus dan berlebihan nggak bakal bikin kita bisa move on dari rasa takut.
Sama seperti Yesus dan
Elia ketika merasa takut dan kuatir melanda, yang mereka lakukan datang kepada
Allah dan menyerahkan segala ketakutan dan kekuatiran mereka kepadaNya. Kita
pun yang ngaku sebagai orang kristen hendaknya meneladani mereka. Tiap kali
didera rasa takut dan kuatir, nggak perlu cari-cari perlindungan ke tempat lain
karena kita punya sandaran yang sangat kuat, yaitu Allah yang sanggup
memberikan perlindungan dan kekuatan bagi kita (Mazmur 62:8-9).
Ada
action yang dibutuhkan ketika kita
dibelenggu rasa takut. Datang kepada Tuhan dan menyerahkan semua ketakutan dan
kekuatiran kita kepadaNya. Percayalah bahwa Allah pasti akan memberi kekuatan
buat kita untuk melangkah. Next step,
kita harus bangun dan berani menghadapi segala ketakutan itu. Ingat dan percaya
bahwa Allah akan selalu menyertai dan tidak akan pernah meninggalkan kita Nah,
apalagi yang harus kita kuatirkan? Ayo, kita bangun dan hadapi segala ketakutan
itu bersama dengan Allah. (Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Februari 2016)
Kamis, 31 Desember 2015
SANG PEMIMPI
Namanya Yusuf. Sejak masih belia ia sering disebut si tukang mimpi. Kerap
diabaikan dan ditertawakan gara-gara terlalu sering menceritakan mimpinya.
Karena mimpinya juga iya harus dimasukkan ke sumur, dijual sebagai budak, dan
bahkan sampai harus masuk penjara. Tapi semua kepahitan hidup yang harus
dijalaninya terbayar ketika Yusuf diangkat sebagai seorang raja muda.
Mimpi-mimpi yang pernah diceritakannya, semuanya menjadi kenyataan. Tentu saja,
semuanya itu tidak akan terjadi jika bukan karena kehendak Allah.
Sobat muda, siapa, sih, di antara kita yang nggak pernah bermimpi? Semua
orang pasti punya mimpi. Entah itu bermimpi menjadi orang yang sukses,
terkenal, menjadi sang juara, dan lain sebagainya. Namun agar mimpi itu bisa
menjadi kenyataan, tentunya tak semudah membalikkan tangan, bukan? Butuh usaha,
perjuangan dan kerja keras agar semua mimpi kita bisa menjadi kenyataan.
Bukan mimpi semata
Punya mimpi itu sah-sah
saja. Karena mimpi adalah bagian dari harapan dan cita-cita kita. Dengan mimpi,
kita pun jadi termotivasi untuk berusaha yang terbaik demi mewujudkan mimpi
tersebut. Akan tetapi mimpi tidak akan pernah menjadi kenyataan ketika kita
hanya terus saja bermimpi tanpa mau berusaha. Mimpi hanya sekedar menjadi bunga
tidur semata ketika kita tidak berusaha mewujudkannya.
Tapi sobat muda juga jangan salah, ya. Mimpi pun akan
jadi sia-sia untuk diwujudkan ketika kita juga nggak connected dengan Allah. Maksudnya, boleh-boleh saja kita punya
mimpi, tapi jangan lupa doakan mimpi kita itu di hadapan Allah. Tanyakan pada
Allah apakah mimpi yang sangat kita harapkan itu sudah sesuai dengan kehendak
Allah atau tidak. Jangan sampai kita punya mimpi, namun karena Allah nggak
berkenan, jadinya kita pun memaksakan diri untuk dapat mewujudkannya.
Dreams come true
Mewujudkan mimpi menjadi kenyataan dibutuhkan sebuah
usaha dan kerja keras. Nggak cuma didoakan saja. Setelah kita doakan dan yakin
bahwa ternyata mimpi alias cita-cita kita itu ternyata memang seturut dengan
kehendak Allah, next step yang harus
kita lakukan adalah berusaha dan bekerja keras untuk dapat mewujudkan impian
itu. Berdoa saja jelas nggak akan mampu mewujudkan mimpi kita. Lihat bagaimana
perjuangan dan pergumulan Yusuf yang
harus menempuh jalan berliku hingga akhirnya sukses menjadi raja muda di Mesir,
mengelola seluruh negeri.
Tidak semua perjalanan meraih mimpi akan selamanya mulus. Akan ada
saat-saat dimana kita mungkin harus sampai berjuang keras dengan penuh air
mata. Di saat-saat seperti inilah diperlukan kekuatan hati dan pikiran kita
untuk tetap setia dan tanpa mengeluh dalam menjalani segala proses untuk
mencapai mimpi itu. Tetap bertahan adalah kunci untuk meraih mimpi kita. Sebab
ketika kita bertahan, akan ada reward
yang akan terima. (Lukas 21:19).
Langkah
selanjutnya adalah tetap tekun dalam menjalani setiap proses yang harus dilalui
dalam upaya mewujudkan mimpi kita. Satu hal lagi yang terutama, jangan pernah
meninggalkan Allah dan teruslah bergantung kepadaNya. Sebab hanya dekat Allah
saja, impian kuta bisa terwujud. Bagaimanapun juga Allah sangat menghargai
setiap usaha dan kerja keras yang kita lakukan. Karena Allah tidak pernah
tidur. Ia akan memberkati segala jerih lelah kita, asalkan kita mau meletakkan
hidup kita seturut dengan kehendakNya. Saat Allah sudah menunjukkan waktuNya,
kita akan menikmati buah dari ketekunan itu, dan mimpi itupun akan menjadi
kenyataan.
(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2015)
PEACE IN MY HEART
Hari ini Vincent merasa seperti hari terberatnya. Betapapun ia berusaha
keras, tetap saja ia selalu kalah dari Tobi. Padahal kalau dipikir-pikir, apa,
sih, hebatnya Tobi dibanding dirinya? Vincent merasa dirinya lebih pintar, lebih
kaya, lebih ganteng dan bahkan lebih terkenal ketimbang Tobi di sekolah. Tapi
selalu saja ia kalah dari Tobi. Di sekolah, Tobi selalu menjadi juara kelas,
sementara Vincent selalu berada di urutan kedua. Di kalangan teman-teman pun,
Tobi jauh lebih populer ketimbang dirinya. Apalagi di antara cewek-cewek,
selalu saja Tobi yang jadi perbincangan. Ini yang bikin Vincent jadi makin
panas. Seribu macam cara sudah dilakukannya demi mengalahkan Tobi. Hati Vincent
nggak bakalan bisa tenang kalau nggak bisa ngalahin Tobi. Sampai akhirnya,
Vincent melakukan hal yang buruk, dengan merencanakan pengeroyokan terhadap
Tobi, yang membuat Tobi harus masuk rumah sakit dan Vincent pun berurusan
dengan pihak berwajib.
Gara-gara iri hati
Bukan cuma orang pacaran
yang bisa cemburu, dalam pertemanan pun ternyata bisa bikin seseorang jadi
cemburu. Berawal dari iri hati yang terus disimpan dan dipupuk, akhirnya malah
jadi kejahatan yang yang terjadi. Sobat muda, pernahkah mengalami rasa iri?
Hampir semua orang pernah mengalami iri hati. Tapi sayangnya nggak semua orang
bisa mengendalikan rasa iri tersebut dan mengelolanya dengan baik.
Tahu nggak, sih, kalau
iri hati itu bisa berujung pada kejahatan? Om Yakobus pernah mengingatkan kita,
“Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan
dan segala macam perbuatan jahat.” (Yakobus 3:16). Sobat muda masih ingat, kan,
kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habel ? (Kejadian 4:1-16)
Berawal dari rasa iri karena persembahan Habel lebih menyenangkan hati Allah,
Kain akhirnya harus menerima predikat sebagai pembunuh. Iri hati Kain membuat
hidupnya tidak tenang hingga Habel pun terpaksa harus terbunuh.
Vincent dan Tobi juga
Kain dan Habel hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang menjadi korban
iri hati. Gara-gara dibakar rasa iri, kita bisa terjerumus pada perbuatan
jahat. Coba, deh, sobat muda perhatiin, banyak sekali kasus bullying di sekitar kita, yang terjadi
karena diawali dengan perasaan iri. Nah, apakah sobat muda mau menambah deretan
panjang sebagai peserta kasus iri hati? So
pasti nggak mau, kan?
Berdamai
dengan diri sendiri
Lalu bagaimana caranya
agar iri hati ini nggak berkembang merajalela hingga korban berjatuhan?
Satu-satunya jalan adalah kita harus berusaha untuk belajar mengelola rasa iri
tersebut. Guys, harus disadari bahwa
setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Itu adalah
karunia yang sudah Tuhan berikan bagi kita. Kadang-kadang ketika kita melihat
hidup orang lain yang mungkin terlihat jauh lebih baik dari kita, inilah yang
membuat kita jadi iri. Ujungnya adalah karena kita nggak mensyukuri apa yang
sudah Tuhan beri dalam hidup. Karena nggak bersyukur itulah rasa iri terus
tumbuh subur, yang membuat kita nggak lagi merasakan kedamaianan di hati. Yang
terus ada di pikiran dan hati kita adalah bagaimana caranya supaya nggak kalah
dari orang lain.
That’s why guys, biar gak kelamaan jadi penyandang iri dan
dengki, kita wajib berdamai dengan diri sendiri. Belajar menerima kondisi diri
sendiri apa adanya, dan mensyukuri apapun kondisi kita, karena semuanya itu
adalah berkat dari Tuhan. Masa, sih, kita mau terus menerus hidup dalam
kegelisahan, hanya gara-gara iri? Jangan sampai hidup kita jadi sia-sia karena
iri. Ingat lho, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati
membusukkan tulang.” (Amsal 14:30)
Nggak
hanya itu, kita juga mesti belajar menerima keberadaan orang lain dengan lapang
dada. Sekalipun orang lain mungkin lebih segala-galanya dari kita, belajar
untuk menerima semuanya itu. Mungkin kita nggak bisa melebihi mereka. Tapi
ingat bahwa kita pasti punya kelebihan lain yang nggak bakal dimiliki oleh
orang lain. ‘Coz we’re unique.
Cobalah untuk menggali potensi diri sendiri, agar kita mampu menonjolkan
kelebihan kita. Bangga dengan setiap kelebihan yang kita punya. Mungkin kita
tidak kaya, tidak pandai, ataupun tidak populer. Tapi banggalah kepada diri
sendiri, ketika kita mungkin lebih disukai oleh orang lain, atau dipilih Tuhan
untuk melayaniNya, karena kesetiaan, ketekunan, atau kemurahan hati yang
dianugerahkan Tuhan kepada kita. Dengan cara itulah kita dapat menjalani hidup
yang lebih tenang dan terbebas dari belenggu iri hati.
Kalau
sobat muda sampai terkena virus iri hati, nggak usah buru-buru jadi panas hati.
Stay cool. Ambil waktu untuk berdoa.
Minta pertolongan Tuhan agar Ia menolong kita supaya dapat menguasai diri dan
nggak melanjutkan rasa iri itu menjadi perbuatan jahat. Berdoa juga agar rasa
iri yang tengah melanda justru menjadi motivasi buat kita untuk dapat menggali
dan mengembangkan potensi diri yang kita punya. Dengan begitu, iri hati hilang,
kedamaian pun datang.
(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2015)
Langganan:
Postingan (Atom)