Senin, 30 Juni 2008

BOHONG LAGI… LAGI-LAGI BOHONG…


Lagi-lagi Amelia membohongi Mama. Ngakunya belajar bareng di rumah teman. Nggak tahunya asyik hang out di mal bareng teman-temannya. Minggu depannya lagi Amelia bilang mau menginap di rumah sahabatnya buat belajar persiapan ujian. Ternyata itu cuma alasan doang supaya bisa ikutan clubbing sampai pagi. Gara-gara keseringan bohong, lama kelamaan bohong jadi sesuatu hal yang biasa buat Amelia, malah jadi kebiasaan buatnya.
Bohong? Ah…. Itu, mah, biasa… semua orang juga melakukannya. Jadi orang kalo nggak bohong itu rasanya nggak afdol. Nggak usah sok suci, lah… Yap! Omongan-omongan yang, seperti ini, nih, yang menyesatkan. Kadang-kadang kita suka berpikir kalau bohong sedikit adalah hal yang wajar. Bohong sedikit itu nggak akan bikin dosa. Nggak cuma  itu aja. Kadang-kadang kita juga suka menganggap enteng yang namanya kebohongan.

Bohong kecil, bohong putih
Jangan salah, guys! Hal ini justru yang paling berbahaya. Kebohongan-kebohongan kecil yang sederhana yang seringkali kita anggap nggak ada apa-apanya, ternyata semuanya itu justru yang menjerumuskan kita ke dalam dosa yang berujung maut. Sayangnya, hal ini justru seringkali nggak kita sadari karena kita terlalu menganggap enteng dosa dusta yang kita buat.
Nah, ada lagi yang ternyata juga berbahaya. Seringkali juga kita ‘menghalalkan’ yang namanya kebohongan demi sebuah kebaikan. Ini yang kerap kita sebut bohong putih. Contohnya, nih, kita sengaja bohongin sobat kita yang pacarnya ternyata kita pergokin telah berselingkuh. Nah, kita sengaja bilang ke sohib kalau pacarnya itu adalah pacar yang sangat setia (meski sebenarnya hobi gonta-ganti pacar), hanya gara-gara kita takut sohib kita jadi patah hati dan terluka.
Well guys, firman Allah sama sekali nggak mengenal yang namanya bohong kecil, bohong besar, apalagi bohong putih, bohong abu-abu, apalagi bohong hitam. Yang namanya bohong tetap saja bohong. Nggak ada ukuran tertentu yang dapat mengukur besar kecilnya kebohongan. Sekecil apapun kebohongan yang dibuat, sebaik apapun tujuan kita berbohong, yang namanya bohong tetaplah bohong dan itu adalah dosa.

Belajar dari Ananias dan Safira
Firman Tuhan dalam Amsal 19:5 cukup jelas menyatakan, “Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan tidak akan terhindar.” Nah, dari ayat ini kita bisa melihat bahwa sekalipun kebohongan yang kita lakukan sangat kecil atau bahkan itu digunakan untuk tujuan yang menurut kita baik, tetap saja kalo berbohong kita nggak bakalan luput dari yang namanya hukuman.
Kok bisa, ya? Contoh nyatanya bisa kita lihat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11. Cuma gara-gara uang yang mungkin saja nggak seberapa besar dibanding dengan kekayaan yang mereka miliki, Ananias dan Safira harus mati. Apa yang dilakukan oleh Ananias dan Safira adalah pelajaran berharga buat kita semua. Bahwa apa yang kita pikir itu kebohongan kecil yang orang lain nggak mungkin tahu, ternyata Tuhan tahu dan memperhitungkannya. Ananias dan Safira harus meregang nyawa karena kebohongan yang mereka buat.
Nah, beruntunglah kita semua, karena Tuhan masih mau mengingatkan kita senantiasa. Kalau hari ini masih ada di antara kita yang suka bohong, meski itu untuk hal yang kecil, Allah masih memberi kesempatan buat kita untuk bertobat. Apalagi kalau kita sudah mengaku percaya dan dibabtiskan. Itu artinya kita sudah menjadi manusia baru yang seharusnya hidup seperti yang Allah inginkan, menjadi seperti Kristus. Sebagai manusia baru, kita selayaknya meninggalkan dosa-dosa kita di masa lalu, termasuk dusta alias kebohongan (baca Efesus 4:21-25). So, tunggu apa lagi? Jangan buang-buang waktu lagi! Jangan tunggu sampai Allah mengambil nyawa kita, sebelum kita sempat bertobat. Okay?q(ika)      (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2008)

STOP MENUNDA-NUNDA


Hari itu Amelia berangkat sekolah dengan penuh ketergesaan. Sembari sarapan, ia berusaha keras agar PR matematika-nya juga bisa diselesaikannya. Sebetulnya Amelia nggak lupa kalau hri ini ia harus mengumpulkan PR matematika. Tapi kebiasaannya yang suka menunda-nunda pekerjaan itulah yang membuat Amelia selalu disibukkan dengan segala sesuatu yang serba mendadak dan tergesa-gesa.
Sobat muda, mungkin nggak cuma Amelia saja punya hobi suka menunda-nunda pekerjaan. Nggak sedikit di antara kita juga yang suka menunda-nunda segala sesuatu. Makanya, nggak usah heran kalau hidup kita seringkali seperti selalu diburu-buru dan nggak pernah bisa tenang, karena kita seringkali suka menunda untuk menyelesaikan segala sesuatu.

Kenapa suka menunda, ya?
Kalau ditanya alasannya kenapa suka menunda, ada satu jawaban yang paling sering kita dengar. Malas. Penyakit yang satu ini memang nggak bisa nggak, sering jadi sumber utama yang bikin kita punya kebiasaan suka menunda-nunda. Ah, malas… nanti juga pasti selesai, kok. Gara-gara malas inilah, seluruh pekerjaan kita bisa jadi berantakan. Kita jadi nggak punya manajemen waktu yang jelas, sehingga banyak waktu yang terbuang gara-gara kemalasan kita ini. Padahal kalau saja nggak malas, kita bisa menyelesaikan segala sesuatunya tepat waktu, dan bahkan ada banyak hal lainnya yang juga bisa kita selesaikan dengan segera.
Alasan lainnya adalah karena kita nggak punya prioritas. Kalau kita punya prioritas, tahu hal-hal apa saja yang urgent untuk dilakukan dengan segera dan mana hal-hal yang masih bisa menunggu untuk diselesaikan kemudian, kita pastinya nggak bakal kerepotan untuk menyelesaikan seluruh tugas dan tanggung jawab kita. Punya prioritas juga berarti kita punya manajemen waktu yang jelas untuk menyelesaikan seluruh kegiatan kita.

Don’t be lazy!
Nah, kalau sudah tahu bahwa sumber utama kebiasaan suka menunda-nunda adalah gara-gara malas, mulai sekarang kita harus menghilangkan rasa malas yang selalu hinggap dalam diri kita. Semakin kita memupuk kemalasan itu, semakin banyak hal yang akan tertunda, dan semakin banyak waktu yang akan terbuang dengan percuma. Padahal dengan waktu-waktu yang terbuang percuma itu, sebenarnya kita bisa lebih banyak melakukan hal-hal lainnya.
Remember guys, hidup kita sangatlah singkat. Waktu-waktu ini adalah jahat, dan waktu akan terus berlari dengan cepat. Kalau kita nggak bisa memanfaatkan waktu yang kita miliki dengan baik, jangan slahkan kalau nantikan kita ketinggalan dalam banyak hal. Kalau kita suka menunda-nunda, berarti berkat yang akan kita terima pun jadi ikutan tertunda. So, kalau kita nggak mau ditunda, jangan suka menunda-nunda pekerjaan lagi, ya.q(ika)  (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2008)