Jumat, 27 Desember 2013

IT’S TIME TO MOVE UP



It’s almost new year. Biasanya memasuki bulan desember, nggak cuma disibukkan dengan segala macam urusan persiapan natal. Tapi kita pasti juga ribet nyiapain acara buat tahun baruan. Seperti yang sudah-sudah, biasanya tahun baru selalu identik bagi tiap orang buat bikin resolusi-resolusi baru yang pengin dicapai di tahun yang baru. Sayangnya ketika tahun yang baru sudah dilalui, banyak orang yang nggak bisa move on, apalagi move up. Semua resolusi yang diharapkan di awal tahun jadi mandeg dan nggak bisa terealisasi gara-gara kita sudah terlanjur berada di zona nyaman.
Contohnya, nih, di awal tahun baru kita punya resolusi pengen belajar lebih giat lagi biar dapat nilai yang lebih baik dari yang lalu. Tapi pas sudah mulai dijalanin, kita jadi malas untuk belajar lebih giat lagi seperti yang direncanakan, karena merasa nilai kita yang lalu sudah cukup baik. So, mau belajar lebih giat lagi pun, kita merasa hasilnya akan tetap sama baiknya juga.

Lazy Me
Moody dan males. Dua hal inilah yang seringkali jadi penyebab utama mandegnya proyek realisasi resolusi tahun baru kita. Kalau sudah nggak mood, malas pun jadi bakal menyertainya. Kalau kita nggak segera sadar dan wake up dari kemalasan itu, bisa-bisa bakalan jadi gagal total segala harapan dan rencana kita. Memang, sih, terkadang kita mungkin jadi bosan dan jenuh saat segala usaha kita untuk mewujudkan resolusi itu seperti belum membuahkan hasil. Inilah yang menjadi salah satu penyebab kita jadi nggak mood dan malas untuk berusaha melanjutkannya.
But guys, nggak semestinya yang namanya mood dan kemalasan itu jadi belenggu bagi kita untuk maju. Saat-saat seperti inilah yang justru dimanfaatkan oleh Mang Iib agar kita nggak bisa move on, apalagi move up untuk meraih segala impian yang sudah direncanakan. Di saat-saat seperti inilah yang justru paling genting, karena sekali kita nggak segera move on, kita akan terus terjebak dalam kemalasan, hingga akhirnya di akhir tahun, barulah menyesali diri saat apa yang diharapkan di awal tahun ternyata tidak tercapai. Inilah yang ditunggu-tunggu Mang Iib, yaitu kita menjadi orang-orang yang gagal serta putus asa.

Jangan cepat puas!
Salah satu kunci agar kita nggak lagi moody dan males-malesan adalah nggak cepat puas. Jika kita selalu cepat puas dan merasa cukup dengan apa yang sudah dicapai, sementara kita sendiri punya cita-cita yang lebih tinggi lagi, bagaimana mungkin kita bisa menggapainya? Apa yang sudah dicapai saat ini seharusnya menjadi evaluasi buat kita, serta menjadi pendorong agar kita mampu mencapai yang lebih tinggi lagi dari sekarang. Allah sudah memberikan talenta bagi kita untuk dikembangkan. Bukan hanya yang baik yang diharapkan olehNya, tetapi Ia menginginkan yang terbaik dari kita.
Masih ingat, kan, saat Kain dan Habel memberikan persembahan bagi Tuhan? Kain memberikan persembahan yang baik bagi Tuhan dari sebagian hasil tanahnya. Tetapi Habil memberikan yang terbaik dari hasil ternaknya, dan Allah menerima persembahan Habel (Kejadian 4:3-4). Demikian pula halnya dengan kita. Yang Allah inginkan adalah kita dapat melakukan bukan hanya yang baik, tetapi yang terbaik dalam segala hal. Termasuk saat kita menggantungkan segala harapan, asa dan cita-cita kita di masa mendatang. Semuanya itu harus diwujudkan bukan hanya  dengan baik, tetapi yang terbaik pula.
That’s why guys, jangan cepat puas hingga.membuat kita jadi malas dan mandeg. Justru ini adalah saatnya bagi kita untuk move up dan terus berjuang dengan sepenuh hati agar dapat meraih dan menjadi yang terbaik. Karena itulah yang Allah kehendaki dari kita, yaitu memberikan yang terbaik bagi kemuliaan nama Tuhan. Bukan hal yang mudah memang untuk berjuang menjadi yang terbaik. Akan ada banyak kerikil yang bakal kita hadapidemi menjadi yang terbaik. Tapi percayalah, bahwa Allah akan senantiasa menolong dan menopang kita di saat kita berjuang untuk semuanya itu. Tinggal bagaimana dengan kita sendiri, apakah kita mau dibentuk sedemikian rupa oleh Allah untuk menjadi yang terbaik di dalam hidup kata.(ika)

(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2013)
 

DARE TO BE MORE POLITE



 
Beberapa waktu lalu saya dikejutkan oleh keluhan seorang teman di dunia maya. Ia kesal karena hari itu tidak diizinkan sang bunda untuk hangout dengan teman-temannya, gara-gara nilai ulangannya jeblok semua. Yang bikin kaget, diujung keluh kesahnya, ia juga memaki bundanya dengan kalimat yang enggak pantas, dan semuanya itu ditulisnya di media sosial yang notabene pasti dilihat dan dibaca oleh semua orang. Jelas saja kejadian ini langsung menuai protes dari sejumlah orang dengan menuliskan komentar-komentar yang sedikit banyak cukup pedas juga dibawah keluhannya itu. Nggak nyangka bakal reaksi sepedas itu, tak berapa lama ia pun lantas menutup akun media sosialnya itu.
Sobat muda, seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai untuk menghormati orang lain, terlebih orang yang lebih tua pun makin lama kian pudar. Coba, deh, perhatiin. Kalau dulu, zaman ortu kita mereka sangat takut kalau ortu mereka sudah melotot. Nggak pake ba bi bu, mereka pasti sudah nurut dan nggak bakalan ngulangin lagi kesalahannya. Beda banget dengan kondisi sekarang. Baru ditegur empat mata secara baik-baik pun, sebagai anak, kita justru malah ngejawabin tiap omongan ortu dan ngelawan. Malah buat sebagian anak muda sekarang, banyak di antara  mereka yang menganggap ’biasa’ memaki ortu. Wahhh...

Ketika santun nggak lagi ada
Nggak usah jauh-jauh, nggak cuma di media sosial, di sekeliling kita pun banyak ditemukan anak muda yang kerap kali bersikap enggak sopan pada ortunya. Bahkan mungkin salah satunya juga kita. Kalau ditegur agar bersikap lebih sopan, jawabannya pasti, ”Itu, kan, urusan gue. Nggak usah ukut campur lah....” Atau bahkan mungkin ketika ortu minta tolong sesuatu pada kita, karena permintaan itu dirasa mengganggu kesenangan kita, alhasil kita pun jadi mengeluh, menggerutu, dan nggak jarang samapai memaki. Ckckckckck.....
Guys, yang namanya sopan santun dan taat sama ortu, sudah seharusnya sebagai anak kita lakukan. Biarpun mungkin ada beberapa ortu yang seringkali bertindak nggak semestinya ke anak-anaknya, tapi mereka tetaplah ortu yang harus kita hormati. Bagaimana pun juga, nggak ada ortu yang ingin anak-anaknya hidupnya jadi nggak benar. Itulah sebabnya mengapa mereka kerap kali memberi teguran dan peringatan buat kita jika melakukan kesalahan. Semuanya itu dilakukan karena mereka sangat mengasihi kita. Sayangnya tujuan baik mereka kerap kita salah artikan sebagai bentuk dari pengekangan dan kedikatatoran mereka sebagai ortu. Alhasil pemberontakan terhadap ortu lah yang muncul, sampai-sampai kita juga bersikap nggak sopan dengan  memaki mereka.

Inga...! Inga...!
Well guys, apapun alasannya, yang namanya bersikap nggak sopan dan nggak menghormati ortu, apalagi sampai memaki mereka ada something yang nggak banget untuk dilakukan. Apalagi itu dilakuin oleh kita-kita yang ngakunya pengikut Kristus. Kalo ngaku sebagai anak Tuhan, nggak semestinya, doang, kita bersikap nggak menghormati ortu. ’Coz jelas FirTu dengan tegas bilang, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” (Ulangan 5:16)
Biar gimana juga, awal dari kehidupan kita juga adalah dari orangtua. Baik atau buruknya ortu, mereka tetaplah orangtua yang sudah melahirkan dan menghadirkan kita hingga seperti sekarang ini. Nggak bakalan juga ada bekas anak ataupun bekas ortu. Selamanya hubungan ortu dengan anak nggak bisa dipisahkan. So, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menghormati ortu. Walaupun mungkin sulit buat kita untuk menerima, saat ortu memberi nasehat atau peringatan yang mungkin bertentangan dengan kita. Apalagi di usia muda dengan segala emosi kita yang meledak-ledak. Tapi setidaknya, tetaplah berusaha untuk tetap menghormati ortu dan nggak ngucapin kata-kata kasar terlebih sampai memaki-maki.
Dalam Efesus 6:1-3 pun juga Allah memberi janji akan memberikan kebahagiaan dan panjang umur bagi mereka yang senantiasa menghormati orangtuanya. Bersyukur jugalah bahwa kita masih diberikan ortu. Apalagi kalo ortu kita sangat baik dan memperhatikan kita. Di luar sana ada banyak anak-anak yang nggak punya ortu dan sangat merindukan kehadiran ortu dalam hidupnya. That’s why kalo kita mau jadi the happiest people, jangan lupa untuk senantiasa menghormati orangtua kita, ya.
Hari ini kalau masih ada di antara kita yang masih suka bentak-bentak, apalagi bersikap nggak sopan dan bahkan suka memaki ortu, ayo, mulai rubah sikap kita. Minta ampun pada Tuhan dan juga pada ortu kita. Mungkin awalnya berat buat kita. Tapi ketika kita mau melakukannya, semuanya itu akan menjadi kebahagiaan terbesar bagi ortu dan menjadi starting point buat kita untuk dapat memulai hidup yang lebih baik lagi, dengan menjadi anak-anak yang bukan hanya takut akan Tuhan tapi juga taat serta hormat pada orangtua. Praise The Lord.(ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2013)
 

Kamis, 31 Oktober 2013

JUST HELP ME... PLEASE



 

Hari itu, lagi-lagi Tina sampai di sekolah dengan wajah lebam. Berjalan memasuki gerbang sekolah dengan kaki terseok-seok, jelas mengundang perhatian guru piketnya. Selidik punya selidik, terungkap kalau pagi itu Tina habis dihajar ayahnya hanya gara-gara ia terlambat bangun. Semalaman memang Tina lembur mengerjakan tugas sekolah, hingga membuatnya telat bangun pagi. Akibatnya, tendangan dan tinju pun melayang ke kaki dan wajah Tina. Bukan hanya sekali dua kali saja Tina menerima kekerasaan seperti ini dari ayahnya. Kalau ayah dan ibunya sedang bertengkar hebat pun, ia tak segan menerima imbas dari pertengkaran itu.  Jika Tina berusaha melerai dan mendamaikan, malah makian, pukulan dan hajaran yang ia dapatkan dari kedua orangtuanya.
Tak ada seorang pun yang menyangka bahkan percaya kalau Tina adalah korban kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT. Pasalnya dari luar keluarga mereka terlihat harmonis dan adem ayem saja. Siapa sangka kalau dibalik semua itu, keluarga Tina penuh prahara. Akibat dari KDRT yang dilakukan orangtuanya, prestasi belajar Tina pun merosot. Kondisi psikologisnya pun terganggu. Tina kerap terlihat menyendiri. Bahkan ia cenderung enggan berteman, apalagi dengan teman cowok. Tina kuatir bila ayahnya akan marah-marah dan menghajarnya lagi, bila melihat ia berkumpul dengan teman-temannya, apalagi terlihat bersama dengan cowok.

Bad habit, gloomy past
Tina bukan satu-satunya remaja yang menjadi korban KDRT. Di luar sana masih banyak anak-anak muda yang sangat terluka karena KDRT. Mungkin juga kita adalah salah satu remaja yang pernah ataupun sedang menjadi korban KDRT. Menjadi anak-anak yang mendapat child abuse jelas bukanlah hal yang mudah. Ketakutan, jelas mereka sangat ketakutan. Semuanya ini adalah akibat dari tindakan ortu yang sama sekali nggak memperdulikan anaknya, bukan hanya kondisi fisik, tapi juga psikologis serta mental si anak. Mungkin kita bingung juga, ya, dengan tindakan ortu yang suka menyiksa anaknya sendiri. Apa, sih, yang bikin mereka jadi seperti itu?
Pertama, masa lalu yang buruk. Orangtua yang punya masa lalu buruk punya kecenderungan untuk berlaku buruk pada anaknya. Misalnya saja, di masa lalu si ortu ini juga seringkali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak diselesaikan dengan baik. Akibatnya hal ini kemudian menimbulkan akar pahit, dan ketika dewasa serta menjadi orangtua, mereka pun tanpa disadari ‘membalas’ perlakuan yang diterima di masa lalu itu pada anak-anaknya di masa sekarang.
Kedua, tekanan ekonomi dan lingkungan. Kondisi ekonomi yang sulit di tengah-tengah berbagai kebutuhan hidup yang kian menekan, belum lagi situasi lingkungan kerja dan keluarga yang mungkin saja tidak mendukung bisa bikin ortu jadi stress berat. Karena nggak mampu melepaskan diri dari situasi yang menekan itulah yang membuat mereka makin tertekan, hingga akhirnya anak dan istri/ suami pun kerap jadi sasaran KDRT.
Ketiga, kebiasaan buruk. Nggak sedikit ortu yang ternyata punya kebiasaan yang sangat buruk, yaitu berjudi, mabuk-mabukan, dan mengkonsumsi narkoba. Karena kebiasaan mereka yang buruk itulah membuat mereka jadi suka melakukan KDRT pada anggota keluarganya. Kalau mereka kebiasaan buruk itu nggak terpenuhi, walhasil mereka jadi marah besar dan KDRT lah yang dipilih untuk melampiaskan kemarahan itu.

I don’t wanna hurt anymore
Yang memprihatinkan kita semua, belakangan KDRT makin marak terjadi. Bahkan tanpa kita sadari, sinetron-sinetron yang ditayangkan di televisi kita juga malah makin banyak yang ‘mengajarkan’ KDRT. Bagaimana pun juga, KDRT jelas nggak banget buat ditiru. Apalagi bukan cuma bukan pemerintah saja yang menetapkan bahwa KDRT adalah sebuah pelanggaran hukum. Firman Tuhan pun dengan jelas dan tegas mengungkapkan bahwa KDRT juga melanggar hukum Allah. FirTu bilang, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39). Kalau ada ortu yang suka menyiksa anaknya,  it means dia nggak mengasihi sesamanya, yaitu anaknya sendiri. Bahkan Om Paulus juga sudah memperingatkan para ortu untuk tidak suka menyakiti anak-anaknya, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” (Kolose 3:21)
Nah, jika sobat muda ada yang saat ini pernah ataupun sedang menjadi korban KDRT, apa yang harus kita lakukan?
Satu, doakan terus dan tetap kasihilah mereka. Bukan perkara yang mudah memang ketika harus mendoakan orang-orang yang sudah menyiksa dan menganiaya kita. Tapi bagaimana juga mereka tetaplah orangtua kita yang sudah seharusnya kita tetap kasihi, meski mungkin sudah menyakiti kita. Tuhan Yesus sendiri sudah pernah bilang, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Mungkin sobat muda juga bisa meneladani Yusuf yang pernah menjadi korban KDRT, yang dilakukan oleh saudara-saudaranya. Nggak cuma melucuti pakaiannya, Yusuf dibuang ke sumur, dan dijual oleh kakak-kakaknya sebagai budak kepada orang Midian. Tapi manakala Yusuf telah menjadi tanan kanan Raja Firaun, ia tetap mengasihi saudara-saudaranya.
Kedua, ampunilah mereka. Ini mungkin akan menjadi part yang paling sulit. Mendoakan dan tetap mengasihi mungkin masih bisa. Tapi untuk mengampuni, mungkin banyak di antra kita yang bakal pikir-pikir beribu kali. Tapi ingat, lho, guys... yang namanya ortu dan saudara kandung, mereka tetaplah kulit dan daging kita juga. Artinya, nggak ada yang namanya bekas anak, bekas ortu, atapun bekas saudara kandung. Yusuf juga mengalami pergumulan yang berat ketika harus mengampuni saudara-saudaranya. Namun ia bisa melaluinya. Kalau Yusuf saja bisa mengampuni perbuatan saudara-saudaranya seayah, alangkah indahnya jika kita juga bisa mengampuni ortu yang sudah menyakiti kita.
Ketiga, get some help. Saat peristiwa KDRT itu sudah terus menerus terjadi, jangan diam saja. Segeralah mencari bantuan sebelum semuanya jadi terlambat. Dalam hal ini bukan hanya kita yang jadi korban saja yang butuh bantuan, ortu atau saudara yang mungkin jadi pelaku KDRT juga butuh bantuan untuk masalah yang mereka hadapi sehingga menjadi pelaku KDRT. Tapi harus diingat, jangan cari bantuan dengan cara yang salah, yaitu lari ke narkoba, miras, dan seks bebas. Kita bisa datangi hamba-hamba Tuhan di gereja, konseling group, atau juga psikolog dan pihak berwajib untuk membantu kita mengatasi masalah KDRT yang kita alami.
Di luar semuanya itu, tetaplah Tuhan harus jadi sandaran pertolongan kita yang paling utama. Percayalah bahwa semua kejadian KDRT yang dialami bukan kesalahan siapapun. Akan tetapi semua kejadian yang kita alami dalam hidup ini, adalah bagian dari rencana Allah untuk membentuk kita menjadi pribadi yang kuat di dalam Tuhan. Allah nggak pernah akan tinggal diam dengan apapun masalah yang kita hadapi. Yang penting, keep your faith in Christ! Biarkan Allah bekerja untuk menolong kita, indah pada waktunya. (ika)



(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Oktober 2013)
 

BERSAING ITU ...



Stella bingung. Kali ini, lagi-lagi ia harus bersaing dengan Sinta. Biasanya dua sahabat ini selalu bersaing dalam hal prestasi belajar di sekolah. Sejauh ini biasanya mereka bersaing secara sehat. Kadang-kadang Sinta yang meraih ranking pertama di kelas. Di waktu yang lain, giliran Stella yang menjadi juara kelas. Tapi sekali ini berbeda. Dua-duanya sama-sama sedang jatuh cinta dengan Anton, ketua OSIS di sekolah mereka.
Awalnya masih biasa-biasa saja. Mereka pun masih bersaing sehat untuk mendapatkan cinta Anton. Namun semuanya jadi berbeda ketika Anton menjatuhkan pilihan hatinya pada Stella. Karena cemburu dan nggak bisa terima, sikap Sinta pun mulai berubah. Persaingan di antara mereka pun mulai menjadi nggak sehat. Bahkan Sinta berani menghalalkan segala cara, meski itu cara yang jahat dan curang sekali pun, untuk mengalahkan Stella dan merebut cinta Anton.

Wajar, nggak, sih?
Macam cerita-cerita di sinetron, kali, ya, tapi itulah kenyataan yang terjadi dan seringkali kita alami. Bahwa mau nggak mau, suka nggak suka, kita akan berhadapan dengan situasi persaingan. Masalahnya, wajar, nggak, sih, kalau kita bersaing dengan orang lain. Yang namanya bersaing adalah sesuatu hal yang biasa terjadi dalam hidup. Adanya persaingan secara positif menimbulkan semangat kita untuk berjuang. Kita jadi punya kemauan yang besar untuk berusaha dan berjuang demi meraih sesuatu yang kita inginkan. So, nggak jadi soal selama persaingan itu dilakukan secara sehat. Artinya, bersaing untuk mendapatkan sesuatu dengan cara-cara yang benar dan sewajarnya.
Nah, yang jadi masalah kemudian adalah ketika kita mulai bersaing dengan cara yang nggak sehat dan terlebih lagi menghalalkan segala cara, meski itu jahat sekalipun, demi mencapai tujuan kita. Inilah yang membuat bersaing itu jadi nggak wajar. Persaingan yang nggak sehat dengan menghalalkan segala cara ini muncul karena iri hati. Iri hatilah yang akhirnya menjadikan Kain tega membunuh Habel, hanya karena persembahan Habel lebih diterima oleh Allah daripada persembahannya (Kejadian 4:5-8).

Perlukah bersaing?
 Dalam situasi tertentu, terkadang memang persaingan dibutuhkan untuk mendorong dan meningkatkan semangat juang kita, untuk mau berusaha mencapai sesuatu yang sudah menjadi tujuan ataupun yang dicita-citakan. Tentu saja disini persaingan sangat diperlukan. Apalagi kalau kita termasuk kategori anak muda yang malas berusaha alias maunya terima jadi doang. Nggak butuh yang namanya usaha atau persaingan dan ogah untuk susah. Kalau sobat muda termasuk jenis anak muda yang seperti ini, jelas persaingan dibutuhkan agar kita tertantang dan mau berusaha supaya nggak kalah dengan orang lain yang mungkin kemampuannya jauh di bawah kita.
Tapi hati-hati juga, lho, guys... Jangan sampai kita terjebak dang terbelenggu dalam persaingan, sehingga kita jadi keranjingan bersaing. Maksudnya? Begini, nih, karena terlanjur ‘suka’ bersaing sampai jadi keranjingan bersaing, akhirnya bikin kita jadi ‘takut kalah’ dan nggak bisa menerima kekalahan. And then, akhirnya bukan cuma iri hati yang bisa menimbulkan persaingan nggak sehat dan menghalalkan segala cara. Karena nggak bisa menerima kekalahan pun bisa bikin kita menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan. Padahal, ada saatnya kita perlu jadi humble, ketika ternyata harus kalah dalam sebuah persaingan.

How to handle the competition?
Well guys, pada intinya apapun persaingan yang harus kita hadapi, tetaplah berusaha untuk bersaing secara sehat. Memang bersaing itu perlu. Tapi ingat, jangan sampai kita terjebak dalam persaingan yang nggak sehat (Galatia 5:7). Yang terpenting adalah, ketika harus berhadapan dengan situasi persaingan, tetaplah tenang dan jangan terbawa emosi. Nggak perlu juga iri hati ketika harus bersaing. Karena ketika kita sudah mulai iri hati, disitulah awal mula dari perangkap menuju persaingan yang tak sehat.
Stay in the right track. Firman Tuhan dalam Filipi 2:16 mengingatkan, selama kita selalu berpegang pada kebenaran firman Allah, nggak akan sulit bagi kita untuk memenangkan persaingan. Karena inilah satu-satunya kunci agar kita dapat berhasil melewati sebuah persaingan dengan baik, dan menjadi dewasa dalam menghadapi setiap masalah yang harus dihadapi dalam sebuah persaingan.(ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Oktober 2013)
 

Jumat, 25 Oktober 2013

Belajar Menulis

Mami : Leica,ayo belajar nulis! Nanti kamu gak bisa nulis,lho...
Leica : Kan bisa ketik di komputer to Mami...
Mami : ???????

Sabtu, 31 Agustus 2013

THE POISON OF WORDS



“Dasar br$*!/?k! Nggak tahu diuntung! Sudah ditolongin kelakuannya malah begitu. Gue sumpahin, deh...” Hmm... pernah, nggak, sobat muda ngomong seperti ini? Saking kesalnya dengan seseorang, akhirnya sumpah serapah pun keluar dari mulut kita. Bahkan tanpa disadari, terkadang seluruh isi kebun binatang pun juga ikut-ikutan keluar dari mulut. Buat sebagian orang, omongan kotor bahkan sumpah serapah mungkin bisa jadi sesuatu hal yang biasa. Bukan tidak mungkin kita pun menganggapnya biasa saja, apalagi jika emosi sedang terbakar. Tapi, buat kita yang notabene sebagai orang kristen, mau pakai alasan apapun, sudah pasti omongan-omongan semacam ini jelas nggak banget, deh.

Kata-kata sia-sia
Kalau ada orang yang bilang mulut itu beracun, hmm... rasa-rasanya tidak sepenuhnya salah. Firman Tuhan sendiri dalam Yakobus 3 : 8 juga menyebutkan, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.” Inilah yang seringkali nggak kita sadari. Terkadang ketika hati terbakar emosi, kita selalu berusaha supaya nggak terlibat perkelahian, tapi lupa kalau akhirnya mulutlah yang kemudian lebih banyak bertindak. Marah-marah, mengumpat, ngata-ngatain, fitnah, sampai sumpah serapah. Pada akhirnya kita pun juga jadi lupa bahwa persoalan pun akhirnya jadi panjang gara-gara perang kata-kata. Pertengkaran jadi semakin melebar bukan karena perbuatan tetapi karena perkataan. Ada banyak orang yang kemudian jadi terluka dan tidak mau saling memaafkan hanya karena perkataan yang menusuk. Jangankan orang dewasa. Kita, anak muda ini pun paling rentan untuk mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Sobat muda, kalau kita ingat lagi apa sebenarnya fungsi lidah, tentu saja sebagai sarana kita berkomunikasi dengan orang lain. Perkataan merupakan cara kita mengungkapkan pikirann dan perasaan kita kepada orang lain. Kita bisa menjalin persahabatan, dan menjadi saluran berkat, salah satunya juga lewat perkataan. Namun semuanya itu juga akan menjadi sia-sia belaka, jika kita bicara tetapi yang keluar dari mulut adalah kata-kata sia-sia. Bergosip, fitnah, umpatan, dan lain sebagainya.
Eh, tapi bukan berarti ketika kita berkomunikasi hanya hal-hal yang manis didengar saja yang boleh dibicarakan. Ada kalanya memang kita perlu menyampaikan kalimat yang mungkin akan menyakiti, meski itu demi kebaikan teman bicara kita. Namun satu hal yang harus diperhatikan. Ketika hendak berbicara alangkah baiknya jika kita mau memikirkannya dulu, agar nantinya yang keluar dari mulut tidaklah menjadi bumerang buat kita sendiri.

Hati-hati gunakan mulutmu!
Masih ingat, kan, dengan lagu Sekolah Minggu yang satu ini? Hati-hati gunakan mulutmu. Hati-hati gunakan mulutmu. Karena Bapa di sorga melihat kita semua. Hati-hati gunakan mulutmu. Firman Tuhan juga mengingatkan, “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah,” Maksudnya jelas, bahwa dengan mulut kita bisa mengeluarkan kata-kata yang memberkati, atau mengeluarkan kata-kata yang menyakiti. That’s why guys, kita kudu hati-hati dengan setiap tutur kata yang diucapkan.
Kalau sobat muda berkomitmen untuk selalu berusaha berkata-kata dengan baik dalam berkomunikasi dengan siapapun, ada beberapa hal yang harus jadi perhatian kita. Pertama, pemilihan kata yang tepat. Mungkin maksud kita baik ketika hendak menyampaikan sesuatu hal. Tetapi ketika kita salah memilih kata-kata, hasilnya justru malah jadi berantakan dan kemudian menimbulkan pertengkaran. Itu sebabnya sebelum bicara, kita harus bijak dalam memilih kata yang tepat supaya nggak jadi bencana. Bukan hanya memilih kata yang tepat, tapi kita juga kudu bijak berkata-kata. Jangan sampai kata-kata yang kita gunakan hanya untuk membenarkan diri sendiri, tapi yang paling utama adalah untuk memperoleh kebenaran.
Kedua, straight to the point. Sebisa mungkin kita ngomong secara langsung. Nggak pakai perantara surat, sms, bbm, telepon, apalagi lewat orang lain. Bicara secara langsung otomatis menghindarkan kita dari kesalahpahaman. Seringkali kita berkomunikasi dengan perantara justru malah berpotensi meninmbulkan kesalahpahaman, ‘coz kita nggak bisa secara langsung melihat ekspresi wajah, juga mendengar nada suara orang yang kita ajak bicara. Bukankah sering kita salah paham dan berantem dengan lawan bicara hanya gara-gara salah paham dalam bahasa teks di surat, sms, bbm, maupun media sosial bukan?
Ketiga, jangan ngegosip. Ngegosip mungkin terasa asyik. Tapi jelas nambah-nambahin dosa. Apalagi kalo ngegosipin kejelekan orang lain dan kemudian berujung fitnah yang tersebar kemana-mana. Bayangkan saja kalau kita yang digosipin. Nggak enak banget bukan? Kalau lagi ngobrol dan sudah menjurus ke arena pergosipan, mendingan langsung di cut dan alihkan ke topik pembicaraan yang lain, biar nggak makin panjang urusannya. Keempat, nggak boleh emosional. Ketika kita sedang dalam kondisi emosional, entah itu sedih, bahagia, ataupun marah sekalipun, alangkah baiknya kita justru duduk diam dan nggak usah ngomong apa-apa. Tunggulah sampai emosi itu mereda, baru kita berbicara. Bukankan kita seringkali menyesali perkataan yang keluar dari mulut, di saat emosi itu tengah menyala-nyala? So, tahan emosimu, guys.
Yang terakhir, kelima, usahakanlah agar apa yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang membangun, dan bukan kata-kata yang menjatuhkan. Kata-kata yang postif serta menyemangati, dan bukan kata-kata negatif serta bikin down. Efesus 4:29 mengingatkan, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Well guys, sepanjang kita mau berhati-hati dalam bertutur kata, nggak akan sulit untuk menghindarkan diri dari lidah beracun. Asalkan kita mau mengendalikan diri, itulah kunci utama dari setiap tutur kata kita. Selamat berbincang-bincang, teman... (ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2013)
 

CAKEP ITU NGGAK CUKUP, SAY...



Diana nangis guling-guling ditinggalin Beni, pacarnya nan ganteng dan paling ngetop di sekolah. Bahkan Diana sempat berniat bunuh diri, seolah dunia sudah runtuh dan nggak bakal ada cowok cakep lagi yang mau dengannya. Buat Diana, punya pacar cakep itu wajib hukumnya. Kalo nggak cakep, gimana nanti dia bisa pamerin cowoknya ke teman-teman dan juga keluarganya? Mau ditaruh mana mukanya sebagai cewek top di sekolah, yang sudah didepak sama cowok paling ganteng seantero sekolah?
Hampir sebagian besar dari kita pasti mendambakan punya pacar yang secara fisik sempurna. Cantik atau tampan, kaya, dan juga pintar. Tapi jujur, deh, pernah nggak sobat muda punya kriteria bahwa nomor satu, calon pacar kita itu harus seiman dan cinta Tuhan? Nggak usah malu-malu. Rata-rata remaja seusia kita pasti lebih menomorsatukan penampilan fisik dibandingkan soal iman percaya dalam memilih pacar. Tapi tahu nggak, sih, kalau justru inilah awal dari kesalahan kita dalam memilih calon pasangan hidup kelak?

Pacar Fashion Show
Orangtua bilang, kalau pilih jodoh harus lihat-lihat dulu bibit, bebet dan bobotnya. Mungkin buat kita sekarang, petuah ortu ini sudah jadul dan nggak laku. Tapi kalau mau direnung-renungin, ada benarnya juga lho nasehat ortu ini. Memilih pacar apalagi calon pasangan hidup memang gampang-gampang susah. Hati pengennya dapetin pacar yang seiman.Tapi apa daya, ternyata nggak ada yang cakep yang bisa dipamerin ke teman-teman. Walhasil, akhirnya yang kita lebih pilih yang cakep meski nggak seiman, biar nggak tengsin kalo dipamerin ke teman-teman.
Guys, ini dia kesalahan pertama yang kerap kali dibuat. Banyak di antara kita yang lebih menomorsatukan penampilan lahiriahnya saja dalam memilih pacar. Nggak perduli kalau dia nggak seiman, suka memonopoli dan memanfaatkan kita, hobi kebut-kebutan, narkoba dan miras. Yang penting dia cakep, itu nomor satu. Giliran nanti ketika sudah jalanin beberapa lama, baru, deh, menyesal. Tahu-tahu nangis-nangis karena kitanya diduain. Atau menerima perlakuan tidak menyenangkan, dilecehkan, dan bahkan ternyata cuma dimanfaatkan buat diporotin uang pemberian dari ortu demi memenuhi keinginan sang kekasih. Nggak sedikit juga ternyata gara-gara sang pacar, akhirnya jadi kenal dan terlibat jauh dengan seks bebas, narkoba serta minuman keras.
Sobat muda, masih ingat, nggak, kisah cintanya Simson? (Hakim-Hakim 14-16). Sejak awal orangtua Simson sudah mengingatkan agar jangan mencari pasangan yang takut akan Tuhan (Hakim-Hakim 14:3). Tetapi Simson tidak mau mendengar. Ia sudah terlanjur terpikat kecantikan gadis Timna dan juga Delila, gadis dari lembah Sorek, sehingga Simson tak memperdulikan apapaun. Akibatnya, ia harus kehilangan kekuatannya, dan dikhianati oleh gadis-gadis cantik yang dicintainya itu. What a pity...

Jangan menyesal kemudian.
Inilah akibatnya kita punya pacar nggak pakai mikir dulu. Nggak perduli sang pacar orang baik atau tidak, yang penting cakep, suka, dan kita punya pacar. Selesai. Masalahnya nggak semudah itu, sobat. Memutuskan punya pacar sama halnya dengan memutuskan untuk menikah. Nggak bisa terburu-buru. Memilih pacar dan memutuskan berpacaran adalah sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Mungkin kita kerap kali berpikir, mumpung masih remaja, pacaran juga masih monyet-monyetan, nggak masalah kalau pacaran asal. Kalau nggak cocok tinggal putus aja. Hmmm... nggak segampang itu, guys. Kalau gara-gara pacar asal-asalan ini kita kemudian kehilangan keperawanan/ keperjakaan, gimana? Yang ada kemudian hanyalah penyesalan seumur hidup.
That’s why guys, gimanapun juga, memutuskan pacaran dan memilih pacar tetap perlu dipertimbangkan dengan matang. Hal-hal ini mungkin bisa jadi panduan buat kita sebelum berpacaran. Pertama, sudah siap belum kita buat pacaran? Kalau kita belum siap lahir batin buat pacaran, mendingan nggak usah pacaran dulu, deh. Buat apa pacaran cuma demi gengsi dan buat pamer saja, tapi kenyataannya kita nggak siap pacaran. Yang ada nanti malah berantem melulu dan kebanyakan sedih dan nangis-nangisnya. Nggak mau, kan, seperti itu. Lebih baik terlambat punya pacar, tapi saat itu kita sungguh-sungguh siap punya pacar.
Kedua, harus seiman. Firman Tuhan dalam 2 Korintus 6: 14 sudah tegas mengingatkan, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya...” Mungkin akan banyak yang ngeles, “Nggak masalah, baru pacaran saja. Yang penting belum nikah.” Justru ini kesalahannya. Banyak menyepelekan hal ini kita dalam tahap masa pacaran. Akibatnya jadi kelabakan pada waktunya menikah. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ada dua nahkoda dalam satu kapal bukan?
Ketiga, dewasa, menghormati dan mau menerima kita apa adanya. Ini penting. Punya pacar yang nggak dewasa tentu akan jadi sangat menyulitkan. Apalagi yang nggak mau nerima kita apa adanya, posesif, plus diam-diam ternyata punya bakat jadi tukang pukul alias hobi mukul atau namparin kita. Hadeh... nggak banget, deh, kalau yang model beginian. Punya pacar haruslah yang mendorong dan membawa kita ke arah kebaikan. Jangan sampai kita justru jadi jungkir balik dan nggak jadi diri sendiri gara-gara punya pacar yang model beginian.
Keempat, punya motivasi yang benar dalam pacaran. Kalau dari awal motivasi kita pacaran hanya karena kasihan, ataupun karena ingin menyelamatkan si dia dari lingkungan yang nggak baik, sebaiknya pikir-pikir lagi, deh. Bukannya nggak boleh, sih. Tapi akan jauh lebih baik kalau kita menghindari motif berpacaran yang seperti ini. Kalau pacaran nggak didasari cinta, nantinya kita sendiri yang kesulitan ketika di tengah jalan kita bertemu dengan the real love. Demikian juga dengan pacaran yang didasari karena ingin menyelamatkan si dia dari jerat narkoba misalnya. Kalau kita nggak siap dan nggak kuat, bisa-bisa kitalah yang jadi ikutan terjerumus ke dunianya.
Well, sobat muda, intinya, saat kita mulai menyukai seseorang dan berniat untuk pacaran, pikir dulu baik-baik. Jangan terlalu terburu nafsu pengen punya pacar. Doakanlah dulu, apa benar someone yang lagi kita suka ini adalah orang yang benar-benar Tuhan izinkan untuk kita jadiin pacar atau nggak. Seandainya memang jawabannya tidak, nggak usah kecewa. Percaya, deh, lebih baik terlambat punya pacar, tapi Tuhan akan memberikan yang terbaik buat kita dan sesuai dengan kehendakNya. (ika)


 (Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2013)
 

Sabtu, 27 Juli 2013

Leica's Bento

Nggak tahu kenapa, tiba-tiba kepengenan bikin Bento sederhana buat bekalnya Leica. Gara-gara bikin Bento, saya jadi mendadak mood hunting peralatan Bento. Bento bikinan saya ini cuma terdiri dari :
  • nasi putih digulung telur dadar
  • bihun goreng
  • abon
  • sosis rebus
Sayangnya Leica agak kurang suka dengan Bento bikinan saya kali ini (mungkin karena gak ada pedes-pedesnya). Hmmm.... next time harus lebih enak lagi bikinnya. Semangat...

Senin, 24 Juni 2013

BEREMPATI ATAU BERGOSIP?



 
 “Eh... kasihan, deh, Mia. Sekarang dia tinggal sendiri sebatang kara. Papanya, kan, sudah lama meninggal. Sekarang, malah ia ditinggal pergi Mamanya juga,” cerita Emmy. “Aduh, kasihan sekali Mia. Lha, Mamanya pergi kemana,” tanya Fika bingung. “Mamanya, kan, nikah lagi. Tapi Papa barunya nggak mau kalau Mia ikut Mamanya. Kasihan, deh. Masa ada ibu-ibu yang tega ninggalin anaknya gitu demi suami barunya? Bener-bener keterlaluan, deh. Eh, aku denger-denger juga, lho, Mamanya si Mia itu... bla... bla... bla...” ucap Emmy berapi-api. Siska yang tadinya hanya mendengarkan sembari membaca buku, akhirnya angkat bicara, “Kalian ini maunya berempati dengan Mia atau malah mau ngegosipin dia, sih?”
Maunya, sih, memang berempati. Tapi ujung-ujungnya malah ngegosip. Begitulah yang seringkali kita lakukan. Sadar ataupun enggak, berempati dan ngegosip ini memang terkadang cuma beda-beda tipis. Makanya nggak heran kalau kita awalnya bertujuan untuk berempati, akhirnya yang terjadi justru malah ngegosipin orang lain.

Kenapa jadi ngegosip, ya?
Ngegosip memang nggak cuma didominasi oleh kaum cewek. Cowok pun ternyata tanpa disadari juga demen bergosip, lho. Tujuan semula yang tadinya mau berempati terhadap masalah yang dialami orang lain, akhirnya bisa jadi gosip hanya karena kita nggak sanggup mengendalikan keinginan hati dan mulut. Ngegosip memang hal yang paling nggak susah buat dilakukan dan paling menyenangkan. Hanya dengan sekali sentil, jadilah gosip itu.
Nggak hanya itu, berlama-lama tinggal dalam sebuah percakapan yang nggak terkendali memang sangat rentan bikin empati itu jadi. Balik lagi, obrolan itu jadi nggak terkendali alias jadi ngegosip karena kita nggak mampu untuk menjaga mulut. Apalagi yang namanya gosip, makin digosok, makin sip. Ingat nggak yang firman Tuhan pernah bilang? Kalau sobat muda membaca Yakobus 3:5-9, kita bisa melihat dengan jelas, kalau lidah itu nggak cuma bisa buat kita memberkati orang lain, tapi juga bisa membuat kita mengutuk orang lain pula. Intinya, kalau kita nggak sanggup menahan diri, menjaga mulut kita, yang tadinya berempati bisa benar-benar jadi gosip. Jadi makin berdosalah kita.

Hati-hati gunakan mulutmu!
Masih ingat dengan lagu sekolah minggu, “Hati-hati gunakan mulutmu...” Seperti itulah yang mestinya kita lakukan supaya nggak terjebak dengan dunia pergosipan. Lidah memang tak bertulang. Sebentar berempati, nggak sampai lima menit sudah jadi bergosip. So, kalau sobat muda ingin sungguh-sungguh berempati dengan orang lain yang sedang kesusahan, mesti kudu waspada biar nggak kejebak jadi biang gosip. Jaga hati, jaga mulut, biar nggak kelepasan jadi ngomongin orang lain.
Ada beberapa tips buat sobat muda biar nggak kejebak jadi bergosip. First, harus tetap ingat bagaimana perasaan orang yang sedang dibicarakan. Remember, kalau kita sebenarnya tengah bersimpati dengan persoalan yang sedang dihadapinya. Bayangkan saja kalau hal itu terjadi pada diri kita. Rasanya pasti menyakitkan, bukan? Bukannya mendapat simpati, yang ada justru malah digosipin.
Second, kalau obrolannya sudah terlalu lama dan mulai menjurus ke arah bergosip, segera alihkan pembicaraan ke topik yang lain. Sebisa mungkin cobalah untuk menghindari agar jangan sampai upaya kita berempati malah jadi bergosip. Third, jangan lupa, ingatkan teman ngobrol kita saat pembicaraan mulai menjurus ke arah pergosipan. Fourth, kalau sampai semua upaya kita nggak ada hasil, mending cepat-capat kabur dan tinggalkan saja obrolan gosip yang nggak berguna. Dari pada sobat muda jadi nambah dosa, lebih baik kita menghindarinya, bukan?
 Well guys, kalau kita memang pengen berempati dengan persoalan yang dialami oleh orang lain, wujudkanlah itu dengan niat hati yang tulus. Sungguh-sungguh karena kita memang benar-benar mau bersimpati, ikut berbela rasa dengan apa yang tengah dialaminya. Selebihnya, jangan pernah gunakan itu sebagai materi bergosip, sebab dengan demikian sama halnya kita tengah menari di atas penderitaan orang lain. Okay?(ika)




(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Juni 2013)


ITU, KAN, MASALAHMU...!



 


“Von, gimana, dong? Entar nyokap gue ngamuk, nih...”
“Lho, itu, kan, masalah lo. Bukan masalah gue...!”
“Yah... gimana, sih? Lo, kan, temen gue. Masa lo gitu, sih?”

Nah, pernah, nggak, sobat muda terlibat dalam percakapan seperti ini? Seringkali, meski mungkin itu hanya bercanda, kita suka bilang, “Itu, kan, masalahmu.” Sadar atau nggak, keseringan melontarkan kalimat ini, bikin kita mulai terjangkit penyakit cuek. Maksudnya, kita mulai nggak perduli lagi dengan persoalan yang dihadapi oleh teman kita. “Ah, tapi itu memang bukan urusanku. Males, ah, ikut campur.” Begitu biasanya kita berusaha ngeles.

Emphaty=Helping
Bukan maksudnya mau ikut campur, sih, tapi nggak ada salahnya, kok, kita tetap care dengan persoalan yang dihadapi oleh teman kita. Setidaknya, ketika kita care dan menunjukkan empati, teman kita yang tengah punya persoalan ini jadi sedikit terhibur dan merasa dikuatkan, karena ada kita yang mau perduli dengan masalahnya. Mungkin saja kita nggak bisa menolong menyelesaikan masalahnya. Tetapi kehadiran dan kepedulian kita menjadi obat serta penopang tersendiri baginya.
Saat kita berusaha cuek dengan persoalan orang lain, pernah ngebayangin nggak, sih, kalau kita lagi punya masalah, terus hanya sekedar pengen cerita dan numpahin unek-unek, ada teman yang kemudian bilang,”Itu, kan, masalah lo!” Rasanya pasti nyesek banget. Serasa kalau kita ini dicuekin dan nggak dibutuhin ketika ada masalah. That’s why guys, biar gimanapun simpati kita buat teman yang sedang kesusahan tetap dibutuhkan. Mungkin kita nggak bisa ikut campur dan hanya sekedar jadi teman curhat. Sedikit empati dan perhatian yang kita berikan, sedikit banyak akan dapat membantu meringankan beban yang sedang dipikul oleh teman kita.

Being the true friends
Menjadi teman sejati bukanlah hal yang mudah pula. Terkadang kita enggan dan takut untuk ikut campur masalahnya, membuat kita jadi membatasi diri dan terkesan cuek dengan teman kita. Menjadi teman sejati pun membutuhkan keberanian dari kita untuk menegur jika teman kita itu punya kesalahan, dan menolongnya untuk kembali ke jalan yang benar.
Kadang-kadang kita mengasihi teman atau sahabat kita dengan cara yang salah. Kita membiarkannya jatuh dalam kesalahan, hanya karena kita nggak mau menegur untuk kesalahan yang dibuatnya, karena kita takut dia akan marah dan sakit hati dengan teguran kita. Padahal teguran itu justru dibutuhkannya agar ia tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Inilah yang kadang-kadang juga membuat kita enggan untuk care dengan persoalan teman kita.
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:17). Inilah yang seharusnya kita lakukan. Kalau Firman Tuhan saja sudah bilang seperti itu, sudah semestinya pula kita jadi teman sejati buat teman kita yang tengah bermasalah. Jangan hanya jadi teman ketika senang-senang. Tapi kita juga kudu tetap ada di sampingnya ketika teman kita ada dalam persoalan.
Sobat muda, seperti Yesus yang selalu menjadi sahabat sejati bagi kita, mulai sekarang, ayo kita belajar untuk menjadi sahabat sejati bagi teman kita. Belajar untuk lebih perduli lagi dengan orang-orang di sekeliling kita. Jangan kita menjadi pribadi yang cuek dan nggak mau tahu dengan persoalan orang lain. Tapi kita belajar untuk sedikit lebih perduli dan berempati dengan persoalan yang dihadapi oleh teman dan orang-orang di sekeliling kita, supaya kita juga mampu menjadi penolong dan menguatkan mereka yang tengah dilanda persoalan hidup.(ika)



(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Juni 2013)



Selasa, 11 Juni 2013

LOVE.... IS NOT BLIND...

"Bu... Kenapa semua orang bilang saya ini bodoh? Kok mau-maunya saya ini diperalat pacar saya sedemikian rupa sampai babak belur dan hancur, lalu ditinggalkan?" (someone asking me...)
"Lha, iya, kamu sendiri tahu dan sadar kalau kamu itu dibodohi dan diperalat pacarmu. Lha, kok kamu sekarang protes kalau ada orang bilang kamu itu bodoh?" (me... answer the question)
"Lha bukankah cinta itu buta, Bu? Bukankah cinta itu memang butuh pengorbanan?"(someone still trying to ngeyel...)

Dalam hati saya mikir... ni bocah (gak bisa dibilang bocah lagi sih...) sudah banyak pengalaman di kanan kirinya, tapi kok ya masih bodoh saja kalau soal cinta.

Gara-gara ini, saya jadi inget my past. Waktu itu pun saya juga pernah jadi orang bodoh. Bodoh karena pernah nyaris merelakan nyawa satu-satunya (berhubung saya juga bukan kucing yang katanya punya sembilan nyawa), hanya demi cowok yang waktu itu saya pernah cintai, yang ternyata menyelingkuhi saya.

Bertahun kemudian, baru saya sadar bahwa waktu itu saya memang benar-benar bodoh.(Apalagi sekarang saya sudah ketemu soulmate dan punya si cantik tercinta.) Jelas, saya jadi menyesal kenapa saya pernah bertindak sebodoh itu. Eh... tapi kemudian saya nggak jadi menyesal, ding. Soalnya karena punya pengalaman bodoh seperti itu, bikin saya jadi bisa menasehati (sok tua dan sok bijak ceritanya...) mereka yang sedang dirundung masalah yang sama. Biar mereka insyaf dari kebodohan mereka, dan jadi orang pintar (yang minum tolak angin :D).

Sejatinya menurut saya, cinta itu tidaklah buta... yang bikin orang selalu bilang cinta itu buta adalah keinginan alias nafsu ingin memiliki yang begitu besar yang bikin orang jadi bertingkah membabi buta... (bener gak sih???). Atas nama keinginan atawa nafsu ingin memiliki yang begitu besar inilah, orang menyebutnya cinta buta, sehingga mereka rela (dengan kesadaran penuh) melakukan apa saja (termasuk melakukan tindakan bodoh sekalipun), demi orang yang (katanya) dicintai (sekalipun orang yang katanya dicintai itu belum tentu membalas cintanya juga).

Pertanyaannya kemudian, benarkah ini yang dinamakan cinta? Benarkah cintanya yang buta atau orangnya yang sebenarnya buta? Buat saya, jelas manusianyalah yang buta. Dalam hal ini, manusia (yang pada dasarnya memang suka mengkambinghitamkan segala sesuatu) tengah mengkambinghitamkan cinta. Menurut saya cinta itu tak pernah buta. Bahkan cinta itu justru membukakan mata hati kita, bahwa ada orang-orang lain di sekitar kita yang sangat mencintai kita. Justru karena cinta merekalah yang seharusnya menjadi alasan kita untuk tetap bertahan hidup dan tidak menjadi bodoh.

Masalahnya kemudian, sadarkah kita akan keberadaan mereka? Sadarkah kita akan cinta yang mereka miliki untuk kita? Jawabannya cuma satu. Tergantung dengan tingkat kebebalan dan kebodohan kita. Kalau tingkat bebalnya sudah akut, jangan pernah berharap orang akan segera sadar dari kebutaannya akan cinta. Tapi kalo dia segera sadar akan kebodohan dan kebebalannya, rasanya tanpa harus berlama-lama, dia akan segera kembali ke jalan yang benar.

So, seberapa bodohnya anda hingga sampai menderita cinta buta?


(by. Mami Leica)

Selasa, 30 April 2013

I AM FREE…



10 Oktober 2012 mungkin menjadi hal yang tak terlupakan bagi Arditya Warda Stefanus. Hari itu, Ardi yang tinggal di sebuah rumah bersama dua temannya, Jonathan Ken Olin dan Fingky Kristian, dirampok dan dibunuh oleh Irwan Yasin, teman akrabnya sendiri. Peristiwa tersebut membuat Arditya hampir kehilangan nyawanya, sementara Jonathan dan Fingky pun meninggal dunia. Saat kejadian, Ardi ditemukan dalam kondisi kritis. Ia akhirnya bisa diselamatkan setelah menjalani perawatan intensif selama hamper dua minggu di rumah sakit.
Pasca kejadian tersebut, Ardi memang merasa takut dan trauma. Dukungan keluarga dan teman-temannya membuat Ardi sadar bahwa ia harus move on dan melanjutkan hidupnya. Ia memutuskan untuk membebaskan diri dari rasa takut dan trauma yang dialaminya. Ia membulatkan tekad dengan tetap tinggal sendiri di rumah tempat kejadian perkara. Bahkan ia memilih tidur di kamar tempat Fingky dibunuh. Dukungan semua orang yang mengasihinya membuat Ardi segera lepas dari trauma, dan bahkan mampu bertahan hidup dan kini tengah berusaha menyelesaikan studinya di Universitas Widya Mandala, Surabaya. (Jawa Pos, 13 April 2013).
Sobat muda, ada berapa banyak di antara kita yang mungkin mengalami trauma, meski mungkin tidak seekstrim yang dialami Ardi, tapi gara-gara trauma itu membuat kita enggan move on dan terus berkutat pada trauma itu. Takut dan trauma yang membuat kita terbelenggu sehingga semuanya itu membuat kita kesulitan sendiri untuk bisa melakukan banyak hal. Masalahnya, sering kita merasa ‘nyaman’ dengan kondisi tersebut, sehingga nggak mau lagi untuk berusaha melepaskan diri dari ketakutan dan traumatic yang dialami. Akibatnya sudah pasti, hidup kita pun akhirnya jadi jalan di tempat, karena kita sendiri nggak punya kemauan untuk membebaskan diri dari rasa takut dan trauma.

Menguasai atau dikuasai
Mengalami sesuatu yang menyakitkan memang sangat menakutkan dan membuat kita takut. Apapub itu kejadiannya. Kenyataannya, kita pun  juga nggak bisa melarang ketika sesuatu yang yang buruk itu akhirnya harus terjadi dan mebuat kita ketakutan hingga trauma. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita meresponinya setelah semuanya itu terjadi.
Pasca kejadian memang adalah masa-masa tersulit bagi kita. mungkin kita akan bertanya-tanya. Mengapa semuanya itu harus terjadi? Dimanakah Tuhan ketika peristiwa itu terjadi? Namun ketika sobat muda mau merenungkan, betapa sebenarnya lewat peristiwa-peristiwa yang menyakitkan itu, Allah punya rencana yang indah untuk kita. Nah, pada saat inilah biasanya kita mulai galau. Di tengah rasa galau, takut dan trauma yang dialami, hati dan pikiran kita mulai bicara. Mau terus dihantui rasa takut dan trauma, atau mau lepas dari semuanya itu, dan hidup bebas dari rasa takut dan trauma.
Nyatanya, kita memang ingin bebas dari takut dan trauma. Tapi kita enggan untuk bergerak dan berusaha untuk melepaskan diri dari semuanya itu. Akibatnya, ya, kita jadi terus dikuasai oleh trauma dan ketakutan. Mau keluar rumah takut. Mau ke pelayanan takut. Mau hidup normal pun jadi takut dan trauma. Kita lebih memilih dikuasai rasa takut dan trauma itu ketimbang meenguasainya dan hidup merdeka.

He gave the freedom
Guys, sebenarnya Tuhan Yesus nggak kepengin kita hidup terus menerus dalam lingkaran ketakutan dan traumatik. Ia memberikan kuasaNya agar kita bebas dari rasa takut dan trauma. Syaratnya cuma  kasih dan pengampunan. Kalau kita mau mengampuni dan melepaskan apa yang sudah terjadi, apa yang membuat kita takut dan trauma, pasti nggak akan sulit untuk lepas dari semuanya itu. Pastinya pengampunan itu dapat diberikan kalau kita mau mengasihi. Tanpa kasih, sulit bagi kita untuk dapat mengampuni dan menghilangkan rasa takut serta trauma yang dialami. Ingat lho, firman Tuhan pernah bilang, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan;” (1 Yohanes 4:18a).
Nah, mulai sekarang ayo kita bangkit dan melepaskan diri dari belenggu ketakutan serta trauma. Amsal 18:14 memberikan nasehat, “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah.?” Kalau kita nggak punya semangat, kita nggak bisa lepas dari penderitaan karena dibelenggu rasa takut dan trauma. Ingatlah bahwa Allah sangat mengasihi kita, demikian juga dengan orang-orang yang mendukung di sekelilng kita. Jangan mau dikalahkan oleh rasa takut. Tapi ayo, kalahkanlah ketakutan itu, dan bebaskan diri dari rasa trauma, karena kita punya Allah yang lebih besar, yang sanggup menopang dan menolong kita.(ika)



(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi April 2013)