Kamis, 30 April 2020

Corona, Work From Home, and Home Learning

It's been a while... Lama banget malah saya tidak lagi menulis. Terlalu sibuk ina, ini, itu membuat saya kehilangan mood menulis. But now, gara-gara si Covid 19, mood menulis itu jadi muncul lagi. Yup... Pandemi Corona ini memang membuat semua jungkir balik semuanya.Yang tadinya kerja di kantor, harus kerja dari rumah. yang tadinya sekolah, ya harus sekolah dari rumah. Yang memang di rumah, alias mamak-mamak berlabel housewife, juga nggak kalah pusing karena mendadak jadi guru privat buat anaknya, plus anggaran makan di rumah jadi membengkak berkali lipat. Maklumlah, anak-anak dan suami stay at home sepanjang hari, jatah makan siang dan jajan yang biasa di kantor atau di sekolah pun jadi pindah ke rumah. Biasa orang rumah bisa sehari cuma makan 2-3 kali di rumah, jadi bengkak bisa sampai 5-6 kali. Terutama kalau anak-anak masih masa-masa pertumbuhan dan nafsu makannya pun lagi hot-hot-nya. Goreng tahu baru sebentar dan belum kelar, mendadak sudah lenyap tak berbekas diserbu anak-anak. Tak ayal anggaran belanja membengkak drastis, sementara penghasilan Pak Bojo malah harus berkurang gara-gara work from home. Belum lagi anggaran kuota internet jadi bengkak pula karena anak-anak yang harus belajar online. Pada akhirnya semua jadi bubrah nggak karu-karuan.

Dua bulan berjalan sejak kegiatan belajar di rumah berlangsung, protes dari orangtua murid pun mulai berdatangan, seiring dengan kegiatan pembelajaran yang mengharuskan orangtua murid mengakses program pembelajaran secara online untuk kegiatan belajar mengajar putra-putrinya. Orangtua yang bekerja mengeluhkan tambahan 'beban kerja' mengajar anak-anaknya di rumah. Orangtua yang di rumah mengeluhkan akses internet yang lamban, ditambah lagi anggaran kuota yang membengkak. Bahkan orangtua sampai melontarkan kalimat, "Gurunya enak... makan gaji buta..."

Kalau kata Pak Dhe 'Ambyaar' Didi Kempot, "Teles kebes, netes eluh... (nggak usah diterusin cendol dawet-nya, ya...)." Rasanya nggrantes ... Dikira guru-gurunya ini juga enak-enakan kali, ya? Padahal guru-guru ini juga sudah pusing mikir gimana tetap bisa mengajar murid-muridnya dengan baik, dan anak-anak tetap mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya, dengan tetap berusaha untuk tidak membebani orangtua di tengah kondisi seperti sekarang ini. Belum lagi masih harus piket di sekolah (mengingat pihak yang berwenang kadang-kadang suka sidak), dan sebagian terpaksa juga ada yang masih harus mencari tambahan penghasilan. Padahal guru-guru sendiri juga takut dan was-was kalau keluar rumah bisa kena Corona juga.

Mungkin bagi guru-guru yang di kota-kota besar, model pembelajaran berbasis teknologi informasi terkini adalah sesuatu hal yang biasa dan lumrah. Soal internet pun tak jadi masalah, karena baik orangtua maupun guru dan anak-anak sendiri sudah terbiasa dengan model pembelajaran seperti ini, karena itulah yang juga sehari-hari mereka lakukan. Akan tetapi di kota-kota kecil, apalagi yang di desa-desa, model pembelajaran berbasis IT tidak dilakukan di semua sekolah. Hanya beberapa sekolah saja yang melakukannya, terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah masing-masing. Itu baru masalah pertama.

Masalah kedua. Anggaplah sekolah sudah melek IT dan mencoba memberikan fasilitas tersebut. Yang menjadi masalah berikutnya justru datang dari orangtua sendiri yang ternyata gaptek. Punya Smartphone? Ya. Bahkan mungkin smartphone-nya lebih canggih dari punya gurunya. Tapi sayangnya punya smartphone canggih ternyata nggak dibarengi dengan kecakapan penggunaannya. Banyak orangtua yang nggak paham semua fungsi aplikasi yang ada di handphone (dan lagi-lagi sayangnya, hal ini pun 'menular' ke anak-anaknya). 'Malas' untuk mempelajari apa yang ada di smartphone miliknya, hingga yang dipahami hanyalah bahwa smartphone cukup bisa buat bermedsos (yang seringkali isinya jadi tempat curhat yang gak penting dan sebenarnya gak pantas diketahui orang sejagat maya), nonton youtube, main game, main tiktok dan karaokean di smule. That's it! Yang penting bisa eksis, itu sudah lebih dari cukup.

Kalau sudah begini, rasanya ya ngelus dada. Bapak, Ibu... gimana anaknya mau pinter kalau njenengan saja  ngajari anaknya seperti itu? Ketika di sekolah mengajarkan anak-anak IT, bagaimana menggunakan google classroom, zoom, dan lain sebagainya sebagai metode pembelajaran berbasis IT. Anak-anak diajarkan bagaimana memanfaatkan media sosial bukan sebagai 'ladang curhat', tetapi sebagai media untuk membangun entrepreneurship. Memanfaatkan google sebagai sarana belajar untuk mencari informasi. Anak-anak belajar bagaimana membuat kreasi dengan komputer grafis, belajar bagaimana cara menjadi video blogger, dan sebagainya. Seharusnya orangtua pun sadar, era IT ini adalah eranya anak-anak mereka. Mau tidak mau, suka tidak suka, orangtua pun harus mau belajar tentang IT, supaya bisa mengimbangi pola belajar anak-anak dan penggunaan IT pada anak. Bagaimanapun, orangtua tetap bertanggung jawab penuh untuk mengawasi penggunaan IT pada anak-anak, supaya mereka tidak terjebak pada negative effect dari teknologi informasi ini.

Kalaupun orangtua beralasan, "Ah... wis tuwo... utekke wes gak nyandak..." (Ah sudah tua, otaknya sudah nggak mampu). Tapi kenyataannya, kalau bikin video tik tok atau karaokean di smule lebih gape ketimbang anaknya sendiri. Wegah bin males. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keengganan kita sebagai orangtua, kalau 'disuruh' mempelajari sesuatu yang baru. Tapi tolonglah Bapak... Ibu... sayangilah anak-anakmu dengan kemauanmu untuk belajar juga. Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita kelak. Tapi, bayangkan saja jika kita juga nggak mau belajar demi mengimbangi anak-anak kita. Akan ada banyak miskomunikasi yang terjadi, akan ada banyak salah prasangka, dan akhirnya yang menyesal juga kita sendiri.

Sebagai seorang Mamak, saya mau berusaha untuk belajar terus demi anak saya. Saya mau berusaha untuk jadi contoh yang baik buat anak saya.Saya mau untuk belajar apa yang menjadi dunianya anak-anak saya. Sebab saya tidak mau anak saya salah dan tersesat. Saya mau membuka pikiran saya, agar dapat belajar lebih lagi. Jika saya tidak tahu dan tidak mau kepo tentang apa yang menjadi dunianya mereka, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi dan memahami mereka? Bagaimana mungkin saya bisa mendukung dan memberikan solusi untuk mereka, ketika saya sendiri tidak tahu apa-apa? Bagaimana mungkin saya bisa mengajarkan anak saya untuk memiliki empati yang lebih terhadap orang lain, sementara saya membiarkan diri saya sendiri menutup diri dan berfokus hanya pada diri sendiri saja?

Begitupun halnya saya sebagai seorang Guru. Saya mau murid-murid saya menjadi pintar. Saya tidak ingin mereka hanya tahu pengetahuan yang terbatas. Saya mau untuk terus menggali pengetahuan saya, dan terus menerus mau belajar, supaya saya dapat menjadi contoh bagi murid-murid saya. Supaya saya bisa terus mendampingi murid-murid saya dalam belajar, dan menolong mereka untuk menemukan pengetahuan yang lebih luas lagi.

Finally, the most happiness being Mom and Teacher... ketika hidup saya menjadi berkat dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya. Terutama bagi anak-anak saya sendiri, juga bagi murid-murid saya. That's how I Praise The Lord for the most beautiful and the worst part of life that I have.

Ah... Corona ini memang membuat saya belajar banyak hal. Meski sangat pusing dengan bagaimana harus bertahan hidup, tapi saya tidak mau kehilangan kebahagiaan saya. Semoga Pandemi Corona ini segera berlalu, dan kehidupan kita semua kembali berjalan normal seperti semula.And I hope so for everyone...
Nite all...

#curhatanmamak
#curhatanbukguru