Rabu, 17 Oktober 2001

RINI TOMPEL

Oleh. Y. Theopilus

            “Bruak.......” Rini melemparkan tasnya ke atas meja belajar lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tak lama kemudian butiran-butiran air mata mulai membasahi pipinya. Rini teringat kejadian siang tadi. Seperti biasa Vina dan teman-temannya selalu mengejeknya dengan sebutan “Rini Tompel” sejak pertama kali ia pindah ke SD Pelita. Awalnya hanya ejekan biasa saja. Tapi hari ini gara-gara nilai ulangan matematika Rini lebih tinggi dari pada Vina si Juara Kelas, maka Vina tidak hanya mengejeknya dengan sebutan Rini Tompel saja. Vina mulai memusuhinya bahkan terang-terangan Vina menuduhnya mencari muka di depan Bu Ina, wali kelas mereka. Bukan main sakitnya hati Rini.
            “Ah....seandainya ayah tidak dipindah tugaskan di kota ini.....” gumam Rini.
       “Rin, ada apa denganmu ?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah berada disebelahnya. Rini cepat-cepat menghapus air matanya dengan tangannya.
            “Tidak ada apa-apa kok, Bu.” sahut Rini.
            “Kalau tidak ada apa-apa, kok kamu menangis ?”
Rini tidak menjawab. Susah sekali rasanya memberitahu Ibu bahwa sebenarnya ia malu memiliki tompel sebesar ibu jari di pipinya. Gara-gara tompel itu juga ia jadi bulan-bulanan ejekan Vina dan teman-temannya di sekolah. Kalau saja tompel itu bisa dihilangkan, mungkin akan lain ceritanya. Teman-temannya, terlebih Vina, tidak akan lagi mengejeknya terus.
            Seandainya saja waktu itu ia tidak ikut ayah dan ibunya pindah ke kota dan memilih tetap tinggal di desa dengan nenek, tentu ia tidak perlu menerima ejekan-ejekan dari Vina. Di sana semua teman-temannya menyayangi dia dan tidak ada yang pernah mengejeknya sekalipun ia mempunyai tompel besar dipipinya. Rini jadi teringat kembali pada teman-temannya di desa. Ia semakin merindukan suasana desa yang begitu akrab dan nyaman, juga teman-temannya yang bersahabat.
            “Ditanya ibu kok malah melamun....memangnya ada apa sih, Rin ?” teguran Ibu membuyarkan lamunan Rini.
            “Emm.....tidak apa-apa kok, Bu....cuma....emm.....Rini mau tanya....tapi Ibu jangan tertawa ya ?” ucap Rini malu-malu.
            “Begini Bu....emm....bisa tidak....e....ini...tompel di wajah Rini dihilangkan ?”
Sejenak Ibu tertegun, tapi tak berapa lama kemudian tersenyum sambil mengacak-acak rambut Rini.
      “Rini....Rini....mengapa kamu ingin menghilangkannya ? Kamu malu ya ? Apa ada yang mengejekmu ?” Rini menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah. Ia malu sekali pada Ibunya.
         “Rin, dengarkan Ibu. Tompel itu memang tanda lahir, jadi tidak bisa dihilangkan dan selamanya juga tidak akan pernah hilang. Kamu tidak perlu malu memiliki tompel itu. Justru seharusnya kamu merasa bangga, karena kamu memiliki sesuatu yang unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Itu jadi kelebihanmu. Kamu pernah melihat penyanyi Ita Purnamasari, kan ? Dia juga punya tahi lalat yang besar di wajahnya. Awalnya dia juga ingin membuangnya, tapi akhirnya dia menyadari bahwa justru karena tahi lalat itulah dia jadi semakin menarik. Rin, setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi yang paling penting khan bukan cuma penampilan saja. Apa gunanya seseorang memiliki wajah yang begitu cantik, tetapi ia bodoh dan hatinya juga jahat. Nah, sekarang kamu mengerti khan, Rin ?”
Vina hanya terdiam dan mengangguk pelan, sambil berusaha meresapi apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
            Liburan Cawu I tiba. Rini senang sekali karena liburan kali ini ia akan mengunjungi teman-temannya di desa tempat ia tinggal dulu. Ia sudah membayangkan akan bertemu lagi dengan Ira, Rani, Tono, Ujang, Bambang, Tiwi, Santi dan teman-teman yang lainnya. Mereka akan bermain bersama di pematang sawah, main layang-layang di lapangan bola, mencari ikan di sungai. Sudah terbayang di benak Rini bahwa ia akan melakukan semua kegiatan yang tidak pernah bisa ia lakukan lagi di kota.
Namun sebenarnya ada hal lain yang lebih menggembirakan hati Rini. Dari hasil penerimaan raport kemarin, Rini berhasil menduduki ranking pertama di kelasnya. Berarti ia berhasil mengungguli prestasi Vina. Tentu saja hal ini membuat Vina makin sebal dan semakin membencinya. Tidak hanya itu saja, teman-teman sekelasnyapun kini mulai akrab dengannya dan mengajaknya belajar dan bermain bersama. Rini jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh ibunya, bahwa yang terpenting bukanlah penampilan fisik seseorang tetapi kemampuan yang dimilikinya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah bersama ibunya usai penerimaan raport, Rini melihat banyak orang berkerumun di tepi jalan. Bersama ibunya, Rini mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika ia mendekati kerumunan itu, dilihatnya Vina yang sedang mengerang kesakitan. Rupanya mobil yang ditumpangi Vina mengalami kecelakaan. Segera saja Rini mendekati Vina dan berusaha menenangkannya sementara ibunya memanggil taksi dan meminta beberapa orang yang ada di tempat itu untuk memapah Vina dan supirnya ke dalam taksi dan membawanya ke Rumah Sakit.
Hari itu rupanya Vina sedang kesal. Selain mamanya tidak bisa datang ke sekolah untuk mengambil raportnya. Vina juga kesal karena ia hanya menduduki ranking kedua di kelas dan dikalahkan oleh Rini. Itulah sebabnya usai pengambilan raport, Vina memaksa supirnya untuk pulang cepat-cepat. Ketika sedang melarikan mobilnya, seorang anak kecil  menyeberang secara tiba-tiba, dan agar anak itu tidak tertabrak, Pak Man, sopir Vina, berusaha menghindar dengan membanting stirnya. Tetapi malangnya ia sendiri malah menabrak sebatang pohon besar di tepi jalan, hingga akhirnya terjadilah kecelakaan itu.
         “Bu, apa kita harus menengok Vina ?” tanya Rini ketika ibunya mengajak Rini untuk menjenguk Vina.
“Ya iya dong, Rin. Memangnya kenapa ?” tanya ibunya keheranan.
“Bu, kita khan sudah menolongnya dengan mengantar dia ke Rumah Sakit. Itu khan sudah cukup. Lagi pula, selama ini Vina selalu berbuat jahat pada Rini. Ya sudah biarkan saja. Toh kita khan sudah menolongnya. Untuk apa dijenguk lagi.” terang Rini.
Ibu Rini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Rini. Ia tahu hati putrinya masih terluka dengan perbuatan Vina selama ini.
            “Dengar ya Rin. Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Itu tidak baik. Kalau kita sudah menolong orang, kita juga tidak boleh menolongnya dengan setengah hati, sekalipun orang yang kita tolong itu mungkin pernah menyakiti kita. Kalau kita terus berbuat baik, tentu orang itu akan menyadari kesalahannya juga, dan nantinya sikapnya terhadap kita pun akan berubah.” Rini hanya termangu mendengarkan nasehat ibunya.
            “Rin, kalau kamu membalas kejahatan dengan kejahatan, berarti kamu sama jahatnya dengan orang yang berbuat jahat padamu. Itu akan merugikan dirimu sendiri dan orang lain juga tidak akan menyukai perbuatanmu itu. Kamu mengerti apa yang ibu maksud khan, Rin ?” Rini mengangguk pelan. Sejenak kemudian ia menghampiri ibunya, memeluknya dan berkata, “Kita pergi menjenguk Vina ya, Bu.”
            Sore itu cuaca tampak begitu cerah. Rini berjalan pelan-pelan disamping ibunya sambil membawa bungkusan kue dan bunga yang akan diberikan pada Vina. Lorong-lorong Rumah Sakit itu terasa sedikit menakutkan bagi Rini. Hatinya berdebar-debar. Ia takut kalau-kalau Vina akan menolak kedatangannya kemudian mengusir dan mengejeknya seperti biasanya. Ketika mereka semakin dekat dengan kamar Vina yang pintunya terbuka, Rini beringsut ke belakang ibunya.
            “Halo tante, apa kabar ? Mana Rini tante ?” sapa Vina ketika ia melihat wajah ibu Rini. Pelan-pelan Rini muncul dari balik tubuh ibunya.
            “Halo Vin, bagaimana keadaanmu ?” tanya Rini sedikit ragu
            “Sudah mulai baikan kok Rin. Malah kata dokter, besok aku sudah diperbolehkan pulang. Cuma aku masih harus istirahat total di rumah. Yah.....terpaksa deh liburan kali ini kuhabiskan di rumah saja.”
            “Jangan khawatir Vin, aku akan main ke rumahmu setiap hari selama liburan ini, supaya kamu tidak kesepian.”
            “Wah, nggak usah repot-repot Rin. Bukankah kamu ingin pergi berlibur ke luar kota ?”
            “Ah, nggak apa-apa kok Vin. Lagi pula kita juga bisa belajar bersama untuk persiapan catur wulan yang baru.” Vina terharu mendengar tawaran Rini. Ia menyadari bahwa selama ini dirinya telah salah menilai Rini. Vina merasa malu sekali karena selama ini selalu bersikap jahat terhadap Rini.
            “Terima kasih Rin. Kamu baik sekali. Maafkan aku ya Rin, selama ini aku selalu berbuat jahat padamu dan selalu menyakitimu. Seharusnya aku tidak pantas menerima semua kebaikanmu ini.” ujar Vina dengan mata yang berkaca-kaca.
            “Sudahlah Vin, jangan dipikirkan lagi. Aku sudah memaafkanmu kok. Kita bisa berteman baik khan ?” tanya Rini sambil tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Sejenak Vina terdiam, kemudian ia pun tersenyum dan mengulurkan tangannya juga. Mereka berdua saling berjabat tangan dan berpelukan erat.
            “Eh...sebenarnya, kamu manis juga lho Rin dengan tompel itu. Malahan kalo nggak ada tompel itu, rasanya muka kamu jadi aneh.” kata Vina setengah berbisik.Rini tertawa kecil mendengar perkataan Vina. Satu persahabatan baru telah dimulai. Mama Vina dan Ibu Rini pun tersenyum bahagia menyaksikan mereka berdua.

SI CANTIK



Oleh. Y. Theopilus

        “Aku sangat mencintainya....” Laki-laki itu terus-menerus bergumam. Dipandanginya seraut wajah yang begitu sangat dicintainya. Wajah yang begitu cantik dan menawan. Seraut wajah yang telah mampu membekukan dan melunakkan hatinya yang terkenal dengan segala kekakuan, keangkuhan dan kekasarannya.  
            Selama bertahun-tahun hidupnya selalu diwarnai dengan kehadiran Si Cantik yang telah memikat hatinya itu. Senyumannya yang begitu menawan telah membuat hatinya terpikat sejak pertama kali mereka berjumpa.
            Pertama kali ia melihat Si Cantik di sebuah cafe di ujung jalan. Ia sedang menikmati hari liburnya dengan duduk-duduk menikmati cappucino khas cafe itu, ketika Si Cantik tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa dan secara tak sengaja menabrak mejanya hingga menumpahkan seluruh isi cappucino kesayangannya. Segera saja Si Cantik itu meminta maaf dan cepat-cepat membersihkan tumpahan cappucino yang sempat bertengger di bajunya. Tak lama kemudian Si Cantik bergegas meninggalkannya setelah sebelumnya ia meminta maaf sekali lagi.
            Itulah saat pertama kali laki-laki itu bertemu dengan Si Cantik, yang ternyata adalah salah satu pegawai di cafe ujung jalan itu, tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu-waktu senggangnya. Si Cantik adalah pegawai baru. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja disana, dan celakanya dia datang terlambat.
            Ia melihat Si Cantik dengan mukanya yang penuh dengan rasa ketakutan dan keringat yang menetes dari sela-sela wajahnya yang cantik, sedang mendapat ceramah pagi dari si pemilik cafe. Sebegitu marahnya si empunya cafe, hingga ia tak memperdulikan situasi kota yang tengah dirundung gelombang demonstrasi dimana-mana yang menimbulkan kemacetan dan kesulitan di berbagai sudut kota, yang mengakibatkan Si Cantik terpaksa harus datang terlambat, sekalipun ia sudah berusaha bangun pagi-pagi sekali.
            Ia melihat Si Cantik dengan wajah yang begitu pasrah menerima gajinya terpaksa harus dipotong sebagai sanksi keterlambatannya. Si pemilik cafe seolah tak mau tahu dengan berbagai penjelasan yang diberikan Si Cantik. Dalam hatinya laki-laki itu berpikir, cuma soal keterlambatan yang jelas bukan kesalahannya, Si Cantik harus mengalami pemotongan gaji. Sungguh, betapa ironisnya negeri ini. Sementara di satu sisi, reformasi terus bergulir, ketidakadilanpun masih tetap berjalan terus.
            Sejak pertemuan pertama itulah hatinya selalu bergetar bila melihat Si Cantik, dan sejak saat itu pula ia semakin rajin mengunjungi cafe di ujung jalan itu, karena ia menjadi pelanggan tetap Si Cantik. Si Cantik pun akhirnya tak pernah absen untuk melayaninya.
            Suatu hari laki-laki itu pulang dari kantornya dan ia menyempatkan diri untuk mampir di cafe ujung jalan itu. Tak seperti biasanya, kali ini Si Cantik yang biasa datang melayani pesanannya saat itu tidak muncul. Seorang pria seumuran Si Cantik datang menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Tapi laki-laki itu malah menanyakan kemana perginya Si Cantik, si pelayan pria itu menjawab bahwa Si Cantik baru saja dipecat karena untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke tempat kerjanya. Laki-laki itu kemudian menanyakan alamat Si Cantik kepada si pemilik cafe, dan setelah mendapatkan alamat itu, ia segera pergi mencari Si Cantik.
            Laki-laki itu sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa  Si Cantik yang begitu menawan hatinya dengan dandanannya yang begitu rapi, sopan dan bersih itu, ternyata tinggal di kawasan pelacuran yang begitu kotor dan kumuh di sudut pinggiran kota. Setelah sekian lama ia bersusah payah mencari-cari Si Cantik kesayangannya itu, akhirnya ia menemukan Si Cantik tengah putus asa merenungi nasibnya di tepi kali yang airnya tak pernah absen dari baunya yang luar biasa di dekat perumahan kumuh itu. Hari itu juga laki-laki itu tahu bahwa Si Cantik terpaksa harus membanting tulang demi ibunya, seorang pelacur tua yang tengah sekarat karena kanker paru-paru. Si Cantik sendiri tengah berjuang keras agar ia mendapat pekerjaan yang layak dengan ijazah SMK-nya, agar dirinya tidak terjerumus ke dunia yang sama dengan ibunya. Laki-laki itu begitu trenyuh melihat keadaan Si Cantik dan ibunya. Tak lama kemudian, ia bertanya pada Si Cantik, “Maukah kamu menikah dengan aku ?”
            Laki-laki itu akhirnya berhasil menikahi Si Cantik. Ia mengangkat kehidupan keluarga Si Cantik. Kehidupan mereka begitu bahagia. Sekalipun hari-hari kehidupan perkawinan mereka selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar serta berbagai kekakuan laki-laki itu terhadap istrinya. Namun tak sekalipun Si Cantik mengeluh, membalas, ataupun memberontak terhadap laki-laki itu. Baginya kehidupan yang dimilikinya sekarang sudah cukup membuat dia sangat bahagia. Bagaimanapun juga laki-laki itu adalah pria yang sangat dicintainya sejak pertama kali mereka bertemu. Ia sangat bahagia ketika  laki-laki itu akhirnya mengajaknya menikah dan mengangkatnya dari kehidupannya yang kelam, sekalipun laki-laki itu tak pernah mengucapkan satu kali pun kata cinta untuknya.
            Tak terasa usia perkawinan laki-laki itu dengan Si Cantik telah berjalan selama hampir lima puluh tahun. Si Cantik telah mempersembahkan dua putri dan dua putra yang begitu membanggakan laki-laki itu. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang sukses. Mereka semua juga telah menikah dan  memberikan cucu-cucu yang manis yang begitu membahagiakan laki-laki itu. Meski selama tahun-tahun perkawinan mereka hingga saat ini selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar laki-laki itu pada istrinya, tetapi Si Cantik yang wajahnya telah diwarnai berbagai keriput itu tetap saja seperti dahulu. Ia tak pernah berubah. Si Cantik tetaplah seorang istri yang manis, penurut dan setia.
            Sekarang wajah cantik itu hanya tinggal kenangan. Dua bulan setelah Si Cantik merayakan pesta kawin emasnya, Yang Maha Kuasa memanggilnya pulang ke haribaan. Kanker usus yang menggerogotinya sejak dua tahun terakhir ini memaksanya meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tak ada kata-kata manis lagi  yang terucap dari bibir Si Cantik. Tak ada lagi senyum manis yang selalu terukir di wajahnya.
            “Aku sangat mencintainya...” Laki-laki itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama di hari pemakaman Si Cantik. Orang-orang yang datang melayat begitu iba melihat kesedihan yang begitu dalam yang menimpa laki-laki itu. Sementara anak-anak dan cucu-cucunya begitu heran dengan sikap laki-laki itu. Selama ini di mata mereka Si Cantik tak pernah mendapat perlakuan manis dari suaminya. Tapi mengapa sekarang laki-laki itu begitu sangat terpukul dan sangat sedih.
            “Sudahlah Pak....relakan kepergian Ibu...” begitu anak-anak dan cucu-cucunya menghibur laki-laki itu. Saat ini tak ada lagi gurat-gurat kekakuan, keangkuhan juga kekasaran yang selalu menghiasi wajah garangnya. Yang ada tinggallah wajah tua yang penuh dengan kerut-merut kesedihan dan penyesalan. Berjam-jam lamanya laki-laki itu terus menerus terkurung dalam untaian kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Matahari mulai tenggelam dan hujanpun mulai mereda. Kompleks pemakaman itu telah ditinggalkan oleh para sanak saudara, kerabat dan handai taulan yang melepas kepergian Si Cantik. Tetapi laki-laki itu masih tetap terpekur disamping gundukan tanah basah dimana belahan jiwanya berbaring untuk selama-lamanya. Tubuhnya seolah tak bergerak, dan bibirnya pun masih komat-kamit mengucapkan kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Sang Pendeta yang memimpin upacara pemakaman tadi, akhirnya tak tahan dengan situasi itu. Dihampirinya laki-laki itu. Pelan-pelan ia mengusap-usap punggung laki-laki itu dan berkata, “Pak, saya tahu, Bapak sangat mencintai istri Bapak. Tetapi sadarilah Pak, istri Bapak sudah meninggal dunia  dan Bapak mesti merelakan kenyataan ini.”
            Laki-laki itu terdiam dan menghentikan kalimat-kalimat yang sama yang terus diucapkannya sejak tadi. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki itu terpekur dalam kebisuan, kemudian ia memalingkan wajahnya pada Sang Pendeta.
            “Pak Pendeta, selama bertahun-tahun lamanya saya selalu membuatnya menderita dan tidak pernah memperlakukannya dengan baik, padahal saya sangat mencintainya. Saya tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa saya sangat mencintainya. Bahkan saya sangat-sangat mencintainya sejak pertama kali kami bertemu. Saat pertama kami berjumpa hingga ajal menjemputnya, tidak pernah sekalipun saya katakan padanya, bahwa saya begitu sangat mencintainya. Saya sangat menyesal karena tak pernah mengatakannya sebelumnya. Terlebih lagi saya sangat menyesal karena tidak pernah membuatnya bahagia. Hari ini saya ingin dia tahu bahwa saya sangat menyesal, dan saya ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya...”