Senin, 31 Desember 2001

Aku Nemu Celana



Hore … aku nemu celana.
Pas banget buat Brindil, anakku.
Sejak kemarin dia nangis, minta dibeliin celana.
Celana satu-satunya sudah bolong dan kekecilan.
Masih mending kalau bolongnya kecil dan cuma satu.
Lha ini bolongnya gedhe banget.

Di bokong lagi!
Makanya dia nangis, minta celana baru,
karena celananya sudah nggak bisa dipakai lagi.


Tapi aku nggak bisa beliin Brindil celana baru.
Nggak punya dhuwit.
Boro-boro punya dhuwit buat beli celana,
buat makan saja untung-untungan.
Dan pagi ini, ketika aku mengais rejeki di antara gunungan sampah,
aku nemu celana.
Celana ini masih lumayan bagus.
Biar kumel, dekil, dan tipis banget,
yang penting nggak bolong.
Masih bisa dipakai.
Ah … Brindil, anakku pasti seneng.
Ndil … Bapak pulang …

Dikancani Asuku



Buang, asuku paling setia di dunia.
Biar dia makhluk buangan
(karena tubuhnya yang bopeng-bopeng, berkudis, membuatnya ditendang dan dibuang),
tapi dia makhluk paling setia.
Di antara segara donya yang kini tak kenal lagi apa arti setia,
asuku tetaplah setia padaku.
Bahkan dibanding Srinthil,
lonthe ayu bekas istriku yang minta cerai gara-gara ndak kuat hidup kere,
Buang jauh lebih setia.
Asuku sangat sayang padaku,
seperti halnya aku sayang dia.
Kami, dua makhluk terbuang yang tak terpisahkan.
Kemanapun aku melangkah, mengais rejeki di antara pegunungan benda-benda buangan,
asuku tak pernah beranjak sedikitpun dari sisiku.
Ia selalu setia mendampingiku, memagut rejeki dikeliling wewangian sengak.
Hari ini hari terakhir kami mendiami segara mambu ini.
Kata teman-teman, mulai besok tempat kami menjumput rejeki ini akan ditamatkan riwayatnya.
“Pemda sudah ndak mau lagi kotanya dinodai limbah orang-orang Jakarta,” begitu kata Panjul,
salah satu rekan mulungku, mengulang pengumuman petugas Kamtib.
Semua pemulung mbambung di tempat ini resah, gelisah, gundah, gulana.
Pun denganku.
Semalam-malaman tak kupicingkan mataku, demi memacu otak,
kemana lagi kami harus memburu rejeki.
Pagi itu aku dibangunkan suara gemuruh.
Milyaran air mata tumpah ruah, caci maki, sumpah serapah dan lontaran teriakan,
bergaung di seluruh kupingku.
Aku beranjak bangun dari gubuk kardus.
Ku lihat asuku masih angler, tak jauh dari tilamku.
Ku lihat teman-temanku sibuk bersitegang dengan para petugas agar mereka tak diusir.
Ku saksikan Menul, istri Panjul yang hamil tua, di dorong-dorong  petugas,
sementara Panjul diseret petugas lainnya entah kemana.
Segera ku hampiri Menul, membawanya ke tempat aman,
meski ia meronta mencari belahan jiwanya.
Dan berbareng itu, raksasa-raksasa penggilas itu mulai merayapi gubuk kardusku.
“Buang … bangun Buang … cepat lari …” teriakku memanggil asuku.
Sia-sia …
Tak ku dengar gonggongannya.
Aku berlari, hampiri gubuk kardusku.
Terlambat …
Gubuk kardusku sudah rata dengan tanah,
bersimbah darah.
Buang sudah ke alam baka.

KERJASAMA, APA SUSAHNYA ?



“Kerjasama? Ah, itu sih gampang. Tinggal bagi tugas, lalu semua menjalankan tugasnya masing-masing, selesai sudah.” Seringkali kita juga berpikir demikian, bukan? Banyak diantara kita yang sering menganggap bahwa kerjasama atau team work ini adalah sesuatu yang gampang dilakukan. Tetapi benarkah demikian? Apakah memang kerjasama itu semudah yang dikatakan? Lalu bagaimana dengan kerjasama dalam kehidupan bergereja?

Frisca, koordinator Seksi Persekutuan di Komisi Pemuda sebuah gereja, belakangan ini mengeluhkan sikap Toni, salah seorang anggotanya, yang dianggapnya tidak bisa diajak bekerja sama. Tiap kali seksi persekutuan sudah memutuskan suatu hal yang telah disepakati bersama, tiba-tiba saja Toni ‘komplain’ dan mengajukan usul lain, sehingga keputusan yang ada mentah lagi. Padahal keputusan yang dibuat, juga disetujui oleh Toni.Tak jarang Toni juga memaksakan pendapatnya, dan jika tidak dituruti, ia mengancam akan mundur dari pelayanan. Kejadian ini tak hanya sekali dua kali, bahkan berulangkali terjadi. Ini membuat Frisca dan anggota-anggota lainnya kesal. Tak heran jika kemudian rekan-rekannya mulai menjauh dan enggan berbagi tugas dengannya. Di sisi lain, Toni merasa bahwa dirinya dianggap tak pernah ada oleh rekan-rekannya. Ia selalu merasa ide-idenya tak pernah diterima dan dianggap angin lalu oleh teman-temannya. Toni juga merasa diletakkan di seksi persekutuan hanya karena ia punya motor, sehingga dapat dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk mengantar mereka ke mana-mana.
    Kasus ini menunjukkan, sesungguhnya kerjasama bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Memang jika dibayangkan, nampaknya mudah untuk dilakukan. Apa yang dibayangkan ternyata tak semudah kenyataannya. Dalam suatu kelompok, kita bertemu dengan berbagai macam manusia dengan karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dan tidak semua orang yang ada di dalam kelompok tersebut bisa cocok satu dengan yang lainnya. Kalau ada yang tidak cocok, bukan tidak mungkin jika kemudian terjadi perselisihan, permusuhan, bahkan bisa jadi sampai mengarah ke perpecahan
Kehidupan bergereja tak hanya terdiri dari satu orang saja. Gereja terdiri dari banyak orang dengan bermacam karakter. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta talenta yang berbeda-beda. Jika semuanya itu diintegrasikan, apa yang akan terjadi? Kerjasama! Itulah yang akan muncul. Jika bermacam-macam orang dengan beragam talenta dapat bekerjasama satu dengan yang lainnya, gereja akan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, karena masing-masing saling bahu-membahu untuk mewujudkan visi dan misi gereja.
  Mengapa kerjasama dalam hidup bergereja ini dibutuhkan? Agar setiap individu yang ada dalam persekutuan bersama di gereja, boleh sehati sepikir, satu jiwa dan satu tujuan dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 1:10 menasihatkan kepada kita, “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.”

Munculnya Konflik             
Tidak ada satu organisasi pun yang tidak pernah mengalami konflik. Demikian juga dengan organisasi di gereja juga tidak lepas dari konflik.Dalam kerjasama dengan rekan-rekan sekerja di pelayanan pun seringkali timbul konflik didalamnya. Ada banyak hal yang memicu timbulnya konflik dalam kerjasama. Yang pertama, adalah pemimpin yang otoriter! Rupanya ada hal-hal yang sering dilupakan dalam kehidupan bergereja. Kita lupa kalau organisasi gereja berbeda dengan organisasi sekuler. Merasa jabatan kita diatas, disadari atau tidak, kita kemudian menganggap rekan-rekan yang lain dibawah kita. Kita lupa bahwa sebenarnya kedudukan kita dan rekan-rekan sepelayanan, semuanya sama di hadapan Allah. Tak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Semua punya tujuan sama yaitu melayani Allah. Semuanya harus saling topang satu sama lain.
Menyimak kisah bangsa Israel melawan orang Amalek, saat itu, jika Musa mengangkat tangannya maka bangsa Israel akan mengalami kemenangan, dan jika Musa menurunkan tangannya maka Israel akan kalah. Ketika Musa lelah, Harun dan Hur menolong Musa dengan menopang kedua tangan Musa (Keluaran 17:8-15). Inilah yang dinamakan kerjasama! Antara Musa, Harun, Hur, juga Yosua dan seluruh bangsa Israel, semuanya saling menopang sesuai dengan porsi mereka masing-masing, untuk mengalahkan orang Amalek. Musa mengangkat tongkat Allah, Harun dan Hur  menopang kedua tangan Musa, sedangkan Yosua beserta bangsa Israel lainnya berperang melawan orang Amalek.
Yang kedua, karena sumber daya manusia yang pasif. Ada banyak hal yang menyebabkan rekan-rekan kita ini pasif. Motivasi pelayanan yang salah adalah salah satu sebabnya. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa diantara kita dalam pelayanan mungkin saja ada yang memiliki motivasi yang berbeda, bukan untuk sungguh-sungguh melayani. Ini dapat mengakibatkan ketidaksolidan kerjasama dalam pelayanan. Seharusnya ini dihindari sejak awal, ketika memilih orang-orang yang akan dipercaya memegang suatu jabatan di dalam organisasi gerejawi, supaya tidak terdapat pelayan yang bermotivasi tidak benar. Jika kita sungguh-sungguh meminta hikmat dari Allah dan mempergumulkan masalah ini, pasti Allah akan mengirimkan orang-orang terbaiknya. Roma 12:16 mengingatkan, ”Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama,…” Jika semua orang bertekun dan bersehati bersama-sama mendoakannya, maka tak sulit untuk mendapat pengurus yang berkualitas. Ini juga yang dinamakan kerjasama!
   Koordinasi yang tidak baik antara pimpinan dengan anggota juga dapat mengakibatkan kepasifan para anggota pengurus komisi. Miscommunication, pimpinan yang kurang mempercayai kemampuan rekan-rekannya, ide-ide yang terlewatkan oleh pimpinan, semuanya itu dapat juga mengakibatkan rekan-rekan sepelayanan kita menjadi pasif. Sebenarnya jika semuanya dikomunikasikan bersama dan tiap orang berusaha untuk percaya pada kemampuan masing-masing individu yang terlibat didalamnya, mau saling menegur, saling belajar satu dengan lainnya, saling menghargai, dan mau saling memberi kesempatan kepada setiap orang, dengan sendirinya kerjasama itu akan muncul. Inti yang terpenting dalam hal ini adalah kerendahan hati. Rasul Paulus pun sudah menegaskan tentang hal ini, ketika berbicara mengenai kesatuan jemaat dan karunia yang berbeda-beda, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut , dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Efesus 4:2)
Yang ketiga, masalah perbedaan karakter. Bukan sekali dua kali saja bentrokan dalam team work gara-gara perbedaan karakter masing-masing individu didalamnya, yang mengakibatkan urusan pelayanan yang seharusnya diselesaikan bersama jadi terbengkalai. Kita harus menyadari, bahwa kita semua terdiri dari berbagai karakter yang berbeda. Kita harus belajar menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing karakter yang dimiliki oleh rekan-rekan sekerja kita. Ingatlah bahwa kita semua adalah saudara seiman yang dipersatukan oleh Allah dalam kasihNya. Memahami karakter orang lain tidaklah mudah, semuanya perlu proses. Tetapi kalau ada kemauan dari diri kita, kerendahan hati dan kesabaran, serta tidak lupa menyertakan Allah, masalah perbedaan karakter  ini justru akan menjadi sesuatu yang unik bagi kita.
Satu hal yang terpenting bagaimanapun juga adalah tetap sehati dan sepikir di dalam Tuhan. Kalau pun  ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan, itu adalah hal yang wajar. Biarlah kekurangan kita ditutupi oleh kelebihan rekan kita, dan kelebihan kita menutupi kekurangan rekan kita. Itulah yang disebut dengan kerjasama yang indah berdasarkan kasih. Firman Allah dalam 1 Korintus 13:7 mengingatkan kita bahwa kasih itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Inilah resep terpenting dalam memahami perbedaan karakter rekan-rekan kita.

Kerjasama Bersama Allah
Kunci utama yang tidak boleh kita lupakan dalam suatu kerjasama adalah keterlibatan Allah di dalamnya. Suatu kerjasama, terlebih dalam organisasi gereja, tidak akan dapat berjalan dengan baik jika kita tidak melibatkan Allah untuk turut bekerjasama di dalamnya. Setiap kali kita mulai menemukan konflik dalam kerjasama kita, perlu dikoreksi apakah kita sudah melibatkan campur tangan Allah di dalamnya. Paulus, rasul Kristus Yesus dalam I Korintus 3:10-11, mengingatkan kita bahwa masing-masing dari kita dianugerahi talenta yang berbeda supaya saling bekerja sama di atas dasar yang diletakkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dari ayat ini, sudah terlihat dengan jelas bahwa setiap kerjasama terjadi karena kehendak Allah. Oleh karena itu, dalam setiap proses kerjasama yang kita lakukan, jangan lupakan Allah.
Akhirnya yang harus selalu kita ingat dan kita lakukan dalam setiap proses bekerja sama, kita harus sehati sepikir di dalam Tuhan, rendah hati, lemah lembut, sabar, saling membantu, dan mau saling terbuka satu dengan yang lainnya, serta tidak lupa untuk selalu melibatkan Allah. Itulah kunci sukses terjalinnya kerjasama yang baik.(gyt)

(Telah dimuat di Majalah Warning!)

PRAKTEK MONEY POLITICS DALAM GEREJA

Dalam bayangan Tasha, yang namanya “pelayanan” itu di mana-mana sama saja. Semasa ia masih kuliah di Kota Gudeg dan aktif melayani di sebuah gereja, boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam pelayanan, melayani dengan sepenuh hati untuk Tuhan, dan tak pernah berpikir bahwa pelayanan yang mereka lakukan tersebut akan mendapat imbalan, apalagi dalam bentuk uang. Bagi Tasha, itulah pelayanan yang sesungguhnya.

Akan tetapi semuanya itu musnah, ketika Tasha menginjakkan kakinya di kota metropolitan untuk memulai dunia kerja. Maksud hati ingin tetap terus melayani, menyebabkan Tasha mulai mencari tempat ibadah yang tetap, supaya ia juga dapat melayani di sana. Namun betapa terkejutnya Tasha, ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di sebuah gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu sebagai majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara pun, setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan untuk ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai ‘budget’ khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut aktif dalam pelayanan di gerejanya sendiri.


Gereja ‘Swalayan’
Kekagetan Tasha, bisa kita maklumi. Kehidupan bergereja di daerah, dengan kehidupan bergereja di kota-kota besar, terlebih di kota metropolitan, memang sangat jauh berbeda. Situasi daerah dimana karakter jemaatnya yang cenderung tidak ‘macam-macam’, berbeda dengan situasi gereja metropolitan. Kecenderungan yang muncul di gereja-gereja metropolitan, dimana gereja seperti ‘swalayan’ yang menyajikan beragam ‘entertainment’ alias hiburan. Memang, tidak semua gereja-gereja di kota metropolitan, yang ‘model’nya seperti ‘swalayan’ ini. Namun, gejala-gejala gereja ‘entertainment’ inilah yang saat ini sedang bermunculan dan berkembang di gereja-gereja kota besar. Inilah yang membuat model juga motivasi pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah dan gereja-gereja metropolitan berbeda.

Jemaat di gereja-gereja daerah, cenderung memiliki motivasi pelayanan yang murni, tanpa mengharapkan yang disebut dengan ‘imbalan’. Justru bagi mereka, kalau gereja tidak punya dana, sedapat mungkin mereka akan ‘membiayai’ gereja dengan sukarela, dengan kesadaran penuh, bahwa Allah yang sudah menyelamatkan hidup mereka dan memberi berkat yang berlimpah dalam hidup mereka. Jadi sudah selayaknya mereka memberikan yang terbaik untuk Tuhan, dan melayani dengan tulus. Boleh dikatakan, kehidupan pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah, hampir mirip dengan kondisi jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul (Lihat Kisah Para Rasul 2:41-47 dan Kisah Para Rasul 4:32-37).

Karakter masyarakat metropolitan yang cenderung menggemari hiburan, rupa-rupanya terbawa  juga dalam kehidupan bergerejanya. Seperti halnya di dunia sekuler, unntuk dapat menikmati hiburan-hiburan yang diinginkan, orang harus mengeluarkan uang dari koceknya, baru ia dapat menikmati apa yang dia mau.  Pola-pola yang seperti ini terbawa juga dalam gereja. Untuk mendapatkan orang-orang yang mau ikut aktif di pelayanan dengan kualitas yang bagus, entah itu untuk posisi singer, songleader, pemain musik, paduan suara, dan posisi yang lain-lain, diperlukan suatu ‘budget’ khusus. Entah itu yang mengeluarkan koceknya adalah pihak gerejanya, atau jemaat yang sengaja memberi persembahan kasih secara langsung kepada pelayan-pelayan yang menjadi ‘favorit’nya. Seringkali, alasan ingin memberikan penghargaan, yang kerap digunakan untuk memberikan ‘honor’ kepada para pelayan-pelayan gereja ini.


Motivasi Yang Diselewengkan
Awalnya, sebuah gereja yang cukup terkenal di ibukota, memberikan ‘persembahan kasih’ kepada pelayan-pelayan di gereja tersebut, seperti singer, pemain musik, songleader, dan lain-lain, untuk memberikan penghargaan kepada mereka atas pelayanan yang sudah mereka lakukan. Namun belakangan, hal ini kemudian disalahgunakan dan juga disalahartikan, sehingga setiap para pelayan-pelayan tersebut mempunyai ‘tarif-tarif’ tertentu, yang mengakibatkan orientasi pelayan bukan lagi pada pelayanan itu melainkan berubah orientasinya yaitu pada uang.


Pada akhirnya, latar belakang kondisi gereja metropolitan seperti inilah, yang kemudian mendorong jemaat untuk memiliki motivasi pelayanan yang tidak murni lagi. Motivasinya untuk ikut pelayanan pun tidak lagi disadari oleh keinginan untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan, tetapi orientasinya lebih kepada masalah ‘imbalan’ atau penghargaan atas pelayanan yang telah dilakukan. Ini sudah tidak benar!


Tonny, di samping bekerja di sebuah perusahaan periklanan, ia adalah seorang pemain musik di gerejanya. Karena pelayanannya sebagai pemain musik yang cukup menyita waktunya, gereja tempat ia melayani juga memberikan ‘persembahan kasih’ untuknya, yang  jumlahnya lebih besar dari gajinya di perusahaan iklan. Belakangan ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanannya di perusahaan iklan tersebut, dan memilih menjadi fulltimer sebagai pemain musik di gerejanya.


Seringkali, ketika kita diperhadapkan pada situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas. Tak jarang kitapun menjadi kebingungan, dan pada khirnya justru kita kehilangan motivasi pelayanan yang sesungguhnya. Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang sesungguhnya. Ingatlah! Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Kalau sebagai pelayan-pelayan di gereja, kita tidak berhati-hati dengan motivasi pelayanan yang kita miliki, hal ini dapat membuka peluang bagi kita untuk menjadi ‘hamba-hamba upahan’, karena hanya mau melayani, demi melihat besarnya jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.

Hamba Tuhan yang sejati, mestinya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang dipercayakan kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari panggilan yang kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni untuk melayani Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini tidak layak mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena pelayanan yang kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah Tuhan berikan bagi kita.

Paulus, rasul Kristus Yesus, juga menuliskan dalam II Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan dihadapanNya.” Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, milikilah hati yang murni disertai ketulusan dalam melayani Dia, dan jangan pernah sekalipun mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.(yth)

(Telah dimuat di Majalah Warning!) 

PEREMPUAN ITU BERNAMA RAHAB

Apa yang terlintas di benak kita, ketika kita mendengar kata “pelacur”? Yang jelas tergambar tentunya adalah sosok wanita penggoda yang hobby gonta-ganti pasangan, dan tak lepas dari dunia prostitusi alias mencari duit dengan memberikan jasa layanan seksual kepada laki-laki hidung belang. Pastinya, segala hal yang tidak benar, buruk dan nista akan tertempel erat padanya. Berbagai cibiran, hinaan dan cercaan, mungkin itulah yang terlontar dari mulut kita. Pokoknya, tak akan ada ampun bagi dosa-dosa perempuan-perempuan pezinah ini. Tetapi apa reaksi kita jika si pelacur ini justru menjadi pahlawan? Mungkin kita akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang merasa malu hati karena selama ini selalu mencibir dan mengomentarinya dengan nada miring.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa dalam sejarah Alkitab, Allah justru pernah memakai orang-orang seperti ini untuk menjadi bagian dari rencana besar-Nya. Ingat Maria. Perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu, dipakai Allah untuk mengingatkan akan peristiwa sengsara Yesus yang kian dekat. Menengok ke jaman perjanjian lama, Allah pun pernah memakai seorang perempuan sundal dalam rangka membawa bangsa Israel ke tanah perjanjian. Perempuan itu bernama Rahab. 

Rahab, seorang perempuan Yerikho yang berprofesi rangkap. Sebagai penjaga rumah penginapan, juga seorang pelacur (Yosua 2:1). Tatkala bangsa Israel bersiap untuk menggenapi janji Allah, memperoleh tanah perjanjian, Kanaan, Allah berkenan memakai Rahab sebagai pembuka jalan bagi bangsa Israel untuk dapat memasuki negeri Kanaan. Meski ia seorang perempuan asing yang sama sekali tidak mengenal Allah, tatkala ia mendengar semua keajaiban yang dibuat oleh Allah atas bangsa Israel, semuanya itu sudah cukup baginya untuk mempercayai bahwa Allah Israel adalah sungguh-sungguh Tuhan yang sangat berkuasa atas langit dan bumi (Yosua 2:9-11). 

Pengakuannya ini yang kemudian disertai dengan pertobatannya, membuat Rahab dan seluruh keluarganya diselamatkan oleh Allah dari penaklukan dan pemusnahan Kanaan oleh bangsa Israel. Boleh dibilang, hanya Rahab dan keluarganya saja yang merupakan penduduk Kanaan tersisa. Karena imannya itulah Rahab diselamatkan oleh Allah (Ibrani 11:31). Dan hanya dia dan sanak keluarganya, satu-satunya kaum asing yang boleh tinggal dan berdiam diantara umat Israel.

Berhenti sampai disitusajakah peranan Rahab? Ternyata tidak. Selanjutnya Rahab memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah kelahiran Yesus. Dikemudian hari, Rahab menikah dengan Salmon dari kaum Elimelekh,  dan dari pernikahan ini lahirlah Boas yang kemudian menikah dengan Rut yang melahirkan Obed, ayah Isai, ayah Daud (Matius 1:5-6). Dari silsilah keturunan inilah lahir Yesus Kristus, Sang Juru Selamat (Matius 1:1-17).

Jika Allah saja berkenan memakai orang seperti Rahab yang notabene bukan perempuan baik-baik,  untuk terlibat dalam rencana besar Allah, bukan tidak mungkin Ia dapat memakai saudara dan saya untuk terlibat dalam rencana besar Allah bagi keselamatan negeri ini. Mungkin kita merasa bahwa kita tidak layak karena dosa-dosa dan kekelaman hidup kita. Tetapi jika kita sungguh-sungguh mau bertobat, berbalik kepada Allah, dan membiarkan Ia berkuasa atas diri dan hidup kita, maka Ia akan memberi pengampunan dan memberi kesempatan bagi kita untuk melayani Dia.(gyt)


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

Rabu, 17 Oktober 2001

RINI TOMPEL

Oleh. Y. Theopilus

            “Bruak.......” Rini melemparkan tasnya ke atas meja belajar lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tak lama kemudian butiran-butiran air mata mulai membasahi pipinya. Rini teringat kejadian siang tadi. Seperti biasa Vina dan teman-temannya selalu mengejeknya dengan sebutan “Rini Tompel” sejak pertama kali ia pindah ke SD Pelita. Awalnya hanya ejekan biasa saja. Tapi hari ini gara-gara nilai ulangan matematika Rini lebih tinggi dari pada Vina si Juara Kelas, maka Vina tidak hanya mengejeknya dengan sebutan Rini Tompel saja. Vina mulai memusuhinya bahkan terang-terangan Vina menuduhnya mencari muka di depan Bu Ina, wali kelas mereka. Bukan main sakitnya hati Rini.
            “Ah....seandainya ayah tidak dipindah tugaskan di kota ini.....” gumam Rini.
       “Rin, ada apa denganmu ?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah berada disebelahnya. Rini cepat-cepat menghapus air matanya dengan tangannya.
            “Tidak ada apa-apa kok, Bu.” sahut Rini.
            “Kalau tidak ada apa-apa, kok kamu menangis ?”
Rini tidak menjawab. Susah sekali rasanya memberitahu Ibu bahwa sebenarnya ia malu memiliki tompel sebesar ibu jari di pipinya. Gara-gara tompel itu juga ia jadi bulan-bulanan ejekan Vina dan teman-temannya di sekolah. Kalau saja tompel itu bisa dihilangkan, mungkin akan lain ceritanya. Teman-temannya, terlebih Vina, tidak akan lagi mengejeknya terus.
            Seandainya saja waktu itu ia tidak ikut ayah dan ibunya pindah ke kota dan memilih tetap tinggal di desa dengan nenek, tentu ia tidak perlu menerima ejekan-ejekan dari Vina. Di sana semua teman-temannya menyayangi dia dan tidak ada yang pernah mengejeknya sekalipun ia mempunyai tompel besar dipipinya. Rini jadi teringat kembali pada teman-temannya di desa. Ia semakin merindukan suasana desa yang begitu akrab dan nyaman, juga teman-temannya yang bersahabat.
            “Ditanya ibu kok malah melamun....memangnya ada apa sih, Rin ?” teguran Ibu membuyarkan lamunan Rini.
            “Emm.....tidak apa-apa kok, Bu....cuma....emm.....Rini mau tanya....tapi Ibu jangan tertawa ya ?” ucap Rini malu-malu.
            “Begini Bu....emm....bisa tidak....e....ini...tompel di wajah Rini dihilangkan ?”
Sejenak Ibu tertegun, tapi tak berapa lama kemudian tersenyum sambil mengacak-acak rambut Rini.
      “Rini....Rini....mengapa kamu ingin menghilangkannya ? Kamu malu ya ? Apa ada yang mengejekmu ?” Rini menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah. Ia malu sekali pada Ibunya.
         “Rin, dengarkan Ibu. Tompel itu memang tanda lahir, jadi tidak bisa dihilangkan dan selamanya juga tidak akan pernah hilang. Kamu tidak perlu malu memiliki tompel itu. Justru seharusnya kamu merasa bangga, karena kamu memiliki sesuatu yang unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Itu jadi kelebihanmu. Kamu pernah melihat penyanyi Ita Purnamasari, kan ? Dia juga punya tahi lalat yang besar di wajahnya. Awalnya dia juga ingin membuangnya, tapi akhirnya dia menyadari bahwa justru karena tahi lalat itulah dia jadi semakin menarik. Rin, setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi yang paling penting khan bukan cuma penampilan saja. Apa gunanya seseorang memiliki wajah yang begitu cantik, tetapi ia bodoh dan hatinya juga jahat. Nah, sekarang kamu mengerti khan, Rin ?”
Vina hanya terdiam dan mengangguk pelan, sambil berusaha meresapi apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
            Liburan Cawu I tiba. Rini senang sekali karena liburan kali ini ia akan mengunjungi teman-temannya di desa tempat ia tinggal dulu. Ia sudah membayangkan akan bertemu lagi dengan Ira, Rani, Tono, Ujang, Bambang, Tiwi, Santi dan teman-teman yang lainnya. Mereka akan bermain bersama di pematang sawah, main layang-layang di lapangan bola, mencari ikan di sungai. Sudah terbayang di benak Rini bahwa ia akan melakukan semua kegiatan yang tidak pernah bisa ia lakukan lagi di kota.
Namun sebenarnya ada hal lain yang lebih menggembirakan hati Rini. Dari hasil penerimaan raport kemarin, Rini berhasil menduduki ranking pertama di kelasnya. Berarti ia berhasil mengungguli prestasi Vina. Tentu saja hal ini membuat Vina makin sebal dan semakin membencinya. Tidak hanya itu saja, teman-teman sekelasnyapun kini mulai akrab dengannya dan mengajaknya belajar dan bermain bersama. Rini jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh ibunya, bahwa yang terpenting bukanlah penampilan fisik seseorang tetapi kemampuan yang dimilikinya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah bersama ibunya usai penerimaan raport, Rini melihat banyak orang berkerumun di tepi jalan. Bersama ibunya, Rini mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika ia mendekati kerumunan itu, dilihatnya Vina yang sedang mengerang kesakitan. Rupanya mobil yang ditumpangi Vina mengalami kecelakaan. Segera saja Rini mendekati Vina dan berusaha menenangkannya sementara ibunya memanggil taksi dan meminta beberapa orang yang ada di tempat itu untuk memapah Vina dan supirnya ke dalam taksi dan membawanya ke Rumah Sakit.
Hari itu rupanya Vina sedang kesal. Selain mamanya tidak bisa datang ke sekolah untuk mengambil raportnya. Vina juga kesal karena ia hanya menduduki ranking kedua di kelas dan dikalahkan oleh Rini. Itulah sebabnya usai pengambilan raport, Vina memaksa supirnya untuk pulang cepat-cepat. Ketika sedang melarikan mobilnya, seorang anak kecil  menyeberang secara tiba-tiba, dan agar anak itu tidak tertabrak, Pak Man, sopir Vina, berusaha menghindar dengan membanting stirnya. Tetapi malangnya ia sendiri malah menabrak sebatang pohon besar di tepi jalan, hingga akhirnya terjadilah kecelakaan itu.
         “Bu, apa kita harus menengok Vina ?” tanya Rini ketika ibunya mengajak Rini untuk menjenguk Vina.
“Ya iya dong, Rin. Memangnya kenapa ?” tanya ibunya keheranan.
“Bu, kita khan sudah menolongnya dengan mengantar dia ke Rumah Sakit. Itu khan sudah cukup. Lagi pula, selama ini Vina selalu berbuat jahat pada Rini. Ya sudah biarkan saja. Toh kita khan sudah menolongnya. Untuk apa dijenguk lagi.” terang Rini.
Ibu Rini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Rini. Ia tahu hati putrinya masih terluka dengan perbuatan Vina selama ini.
            “Dengar ya Rin. Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Itu tidak baik. Kalau kita sudah menolong orang, kita juga tidak boleh menolongnya dengan setengah hati, sekalipun orang yang kita tolong itu mungkin pernah menyakiti kita. Kalau kita terus berbuat baik, tentu orang itu akan menyadari kesalahannya juga, dan nantinya sikapnya terhadap kita pun akan berubah.” Rini hanya termangu mendengarkan nasehat ibunya.
            “Rin, kalau kamu membalas kejahatan dengan kejahatan, berarti kamu sama jahatnya dengan orang yang berbuat jahat padamu. Itu akan merugikan dirimu sendiri dan orang lain juga tidak akan menyukai perbuatanmu itu. Kamu mengerti apa yang ibu maksud khan, Rin ?” Rini mengangguk pelan. Sejenak kemudian ia menghampiri ibunya, memeluknya dan berkata, “Kita pergi menjenguk Vina ya, Bu.”
            Sore itu cuaca tampak begitu cerah. Rini berjalan pelan-pelan disamping ibunya sambil membawa bungkusan kue dan bunga yang akan diberikan pada Vina. Lorong-lorong Rumah Sakit itu terasa sedikit menakutkan bagi Rini. Hatinya berdebar-debar. Ia takut kalau-kalau Vina akan menolak kedatangannya kemudian mengusir dan mengejeknya seperti biasanya. Ketika mereka semakin dekat dengan kamar Vina yang pintunya terbuka, Rini beringsut ke belakang ibunya.
            “Halo tante, apa kabar ? Mana Rini tante ?” sapa Vina ketika ia melihat wajah ibu Rini. Pelan-pelan Rini muncul dari balik tubuh ibunya.
            “Halo Vin, bagaimana keadaanmu ?” tanya Rini sedikit ragu
            “Sudah mulai baikan kok Rin. Malah kata dokter, besok aku sudah diperbolehkan pulang. Cuma aku masih harus istirahat total di rumah. Yah.....terpaksa deh liburan kali ini kuhabiskan di rumah saja.”
            “Jangan khawatir Vin, aku akan main ke rumahmu setiap hari selama liburan ini, supaya kamu tidak kesepian.”
            “Wah, nggak usah repot-repot Rin. Bukankah kamu ingin pergi berlibur ke luar kota ?”
            “Ah, nggak apa-apa kok Vin. Lagi pula kita juga bisa belajar bersama untuk persiapan catur wulan yang baru.” Vina terharu mendengar tawaran Rini. Ia menyadari bahwa selama ini dirinya telah salah menilai Rini. Vina merasa malu sekali karena selama ini selalu bersikap jahat terhadap Rini.
            “Terima kasih Rin. Kamu baik sekali. Maafkan aku ya Rin, selama ini aku selalu berbuat jahat padamu dan selalu menyakitimu. Seharusnya aku tidak pantas menerima semua kebaikanmu ini.” ujar Vina dengan mata yang berkaca-kaca.
            “Sudahlah Vin, jangan dipikirkan lagi. Aku sudah memaafkanmu kok. Kita bisa berteman baik khan ?” tanya Rini sambil tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Sejenak Vina terdiam, kemudian ia pun tersenyum dan mengulurkan tangannya juga. Mereka berdua saling berjabat tangan dan berpelukan erat.
            “Eh...sebenarnya, kamu manis juga lho Rin dengan tompel itu. Malahan kalo nggak ada tompel itu, rasanya muka kamu jadi aneh.” kata Vina setengah berbisik.Rini tertawa kecil mendengar perkataan Vina. Satu persahabatan baru telah dimulai. Mama Vina dan Ibu Rini pun tersenyum bahagia menyaksikan mereka berdua.

SI CANTIK



Oleh. Y. Theopilus

        “Aku sangat mencintainya....” Laki-laki itu terus-menerus bergumam. Dipandanginya seraut wajah yang begitu sangat dicintainya. Wajah yang begitu cantik dan menawan. Seraut wajah yang telah mampu membekukan dan melunakkan hatinya yang terkenal dengan segala kekakuan, keangkuhan dan kekasarannya.  
            Selama bertahun-tahun hidupnya selalu diwarnai dengan kehadiran Si Cantik yang telah memikat hatinya itu. Senyumannya yang begitu menawan telah membuat hatinya terpikat sejak pertama kali mereka berjumpa.
            Pertama kali ia melihat Si Cantik di sebuah cafe di ujung jalan. Ia sedang menikmati hari liburnya dengan duduk-duduk menikmati cappucino khas cafe itu, ketika Si Cantik tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa dan secara tak sengaja menabrak mejanya hingga menumpahkan seluruh isi cappucino kesayangannya. Segera saja Si Cantik itu meminta maaf dan cepat-cepat membersihkan tumpahan cappucino yang sempat bertengger di bajunya. Tak lama kemudian Si Cantik bergegas meninggalkannya setelah sebelumnya ia meminta maaf sekali lagi.
            Itulah saat pertama kali laki-laki itu bertemu dengan Si Cantik, yang ternyata adalah salah satu pegawai di cafe ujung jalan itu, tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu-waktu senggangnya. Si Cantik adalah pegawai baru. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja disana, dan celakanya dia datang terlambat.
            Ia melihat Si Cantik dengan mukanya yang penuh dengan rasa ketakutan dan keringat yang menetes dari sela-sela wajahnya yang cantik, sedang mendapat ceramah pagi dari si pemilik cafe. Sebegitu marahnya si empunya cafe, hingga ia tak memperdulikan situasi kota yang tengah dirundung gelombang demonstrasi dimana-mana yang menimbulkan kemacetan dan kesulitan di berbagai sudut kota, yang mengakibatkan Si Cantik terpaksa harus datang terlambat, sekalipun ia sudah berusaha bangun pagi-pagi sekali.
            Ia melihat Si Cantik dengan wajah yang begitu pasrah menerima gajinya terpaksa harus dipotong sebagai sanksi keterlambatannya. Si pemilik cafe seolah tak mau tahu dengan berbagai penjelasan yang diberikan Si Cantik. Dalam hatinya laki-laki itu berpikir, cuma soal keterlambatan yang jelas bukan kesalahannya, Si Cantik harus mengalami pemotongan gaji. Sungguh, betapa ironisnya negeri ini. Sementara di satu sisi, reformasi terus bergulir, ketidakadilanpun masih tetap berjalan terus.
            Sejak pertemuan pertama itulah hatinya selalu bergetar bila melihat Si Cantik, dan sejak saat itu pula ia semakin rajin mengunjungi cafe di ujung jalan itu, karena ia menjadi pelanggan tetap Si Cantik. Si Cantik pun akhirnya tak pernah absen untuk melayaninya.
            Suatu hari laki-laki itu pulang dari kantornya dan ia menyempatkan diri untuk mampir di cafe ujung jalan itu. Tak seperti biasanya, kali ini Si Cantik yang biasa datang melayani pesanannya saat itu tidak muncul. Seorang pria seumuran Si Cantik datang menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Tapi laki-laki itu malah menanyakan kemana perginya Si Cantik, si pelayan pria itu menjawab bahwa Si Cantik baru saja dipecat karena untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke tempat kerjanya. Laki-laki itu kemudian menanyakan alamat Si Cantik kepada si pemilik cafe, dan setelah mendapatkan alamat itu, ia segera pergi mencari Si Cantik.
            Laki-laki itu sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa  Si Cantik yang begitu menawan hatinya dengan dandanannya yang begitu rapi, sopan dan bersih itu, ternyata tinggal di kawasan pelacuran yang begitu kotor dan kumuh di sudut pinggiran kota. Setelah sekian lama ia bersusah payah mencari-cari Si Cantik kesayangannya itu, akhirnya ia menemukan Si Cantik tengah putus asa merenungi nasibnya di tepi kali yang airnya tak pernah absen dari baunya yang luar biasa di dekat perumahan kumuh itu. Hari itu juga laki-laki itu tahu bahwa Si Cantik terpaksa harus membanting tulang demi ibunya, seorang pelacur tua yang tengah sekarat karena kanker paru-paru. Si Cantik sendiri tengah berjuang keras agar ia mendapat pekerjaan yang layak dengan ijazah SMK-nya, agar dirinya tidak terjerumus ke dunia yang sama dengan ibunya. Laki-laki itu begitu trenyuh melihat keadaan Si Cantik dan ibunya. Tak lama kemudian, ia bertanya pada Si Cantik, “Maukah kamu menikah dengan aku ?”
            Laki-laki itu akhirnya berhasil menikahi Si Cantik. Ia mengangkat kehidupan keluarga Si Cantik. Kehidupan mereka begitu bahagia. Sekalipun hari-hari kehidupan perkawinan mereka selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar serta berbagai kekakuan laki-laki itu terhadap istrinya. Namun tak sekalipun Si Cantik mengeluh, membalas, ataupun memberontak terhadap laki-laki itu. Baginya kehidupan yang dimilikinya sekarang sudah cukup membuat dia sangat bahagia. Bagaimanapun juga laki-laki itu adalah pria yang sangat dicintainya sejak pertama kali mereka bertemu. Ia sangat bahagia ketika  laki-laki itu akhirnya mengajaknya menikah dan mengangkatnya dari kehidupannya yang kelam, sekalipun laki-laki itu tak pernah mengucapkan satu kali pun kata cinta untuknya.
            Tak terasa usia perkawinan laki-laki itu dengan Si Cantik telah berjalan selama hampir lima puluh tahun. Si Cantik telah mempersembahkan dua putri dan dua putra yang begitu membanggakan laki-laki itu. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang sukses. Mereka semua juga telah menikah dan  memberikan cucu-cucu yang manis yang begitu membahagiakan laki-laki itu. Meski selama tahun-tahun perkawinan mereka hingga saat ini selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar laki-laki itu pada istrinya, tetapi Si Cantik yang wajahnya telah diwarnai berbagai keriput itu tetap saja seperti dahulu. Ia tak pernah berubah. Si Cantik tetaplah seorang istri yang manis, penurut dan setia.
            Sekarang wajah cantik itu hanya tinggal kenangan. Dua bulan setelah Si Cantik merayakan pesta kawin emasnya, Yang Maha Kuasa memanggilnya pulang ke haribaan. Kanker usus yang menggerogotinya sejak dua tahun terakhir ini memaksanya meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tak ada kata-kata manis lagi  yang terucap dari bibir Si Cantik. Tak ada lagi senyum manis yang selalu terukir di wajahnya.
            “Aku sangat mencintainya...” Laki-laki itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama di hari pemakaman Si Cantik. Orang-orang yang datang melayat begitu iba melihat kesedihan yang begitu dalam yang menimpa laki-laki itu. Sementara anak-anak dan cucu-cucunya begitu heran dengan sikap laki-laki itu. Selama ini di mata mereka Si Cantik tak pernah mendapat perlakuan manis dari suaminya. Tapi mengapa sekarang laki-laki itu begitu sangat terpukul dan sangat sedih.
            “Sudahlah Pak....relakan kepergian Ibu...” begitu anak-anak dan cucu-cucunya menghibur laki-laki itu. Saat ini tak ada lagi gurat-gurat kekakuan, keangkuhan juga kekasaran yang selalu menghiasi wajah garangnya. Yang ada tinggallah wajah tua yang penuh dengan kerut-merut kesedihan dan penyesalan. Berjam-jam lamanya laki-laki itu terus menerus terkurung dalam untaian kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Matahari mulai tenggelam dan hujanpun mulai mereda. Kompleks pemakaman itu telah ditinggalkan oleh para sanak saudara, kerabat dan handai taulan yang melepas kepergian Si Cantik. Tetapi laki-laki itu masih tetap terpekur disamping gundukan tanah basah dimana belahan jiwanya berbaring untuk selama-lamanya. Tubuhnya seolah tak bergerak, dan bibirnya pun masih komat-kamit mengucapkan kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Sang Pendeta yang memimpin upacara pemakaman tadi, akhirnya tak tahan dengan situasi itu. Dihampirinya laki-laki itu. Pelan-pelan ia mengusap-usap punggung laki-laki itu dan berkata, “Pak, saya tahu, Bapak sangat mencintai istri Bapak. Tetapi sadarilah Pak, istri Bapak sudah meninggal dunia  dan Bapak mesti merelakan kenyataan ini.”
            Laki-laki itu terdiam dan menghentikan kalimat-kalimat yang sama yang terus diucapkannya sejak tadi. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki itu terpekur dalam kebisuan, kemudian ia memalingkan wajahnya pada Sang Pendeta.
            “Pak Pendeta, selama bertahun-tahun lamanya saya selalu membuatnya menderita dan tidak pernah memperlakukannya dengan baik, padahal saya sangat mencintainya. Saya tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa saya sangat mencintainya. Bahkan saya sangat-sangat mencintainya sejak pertama kali kami bertemu. Saat pertama kami berjumpa hingga ajal menjemputnya, tidak pernah sekalipun saya katakan padanya, bahwa saya begitu sangat mencintainya. Saya sangat menyesal karena tak pernah mengatakannya sebelumnya. Terlebih lagi saya sangat menyesal karena tidak pernah membuatnya bahagia. Hari ini saya ingin dia tahu bahwa saya sangat menyesal, dan saya ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya...”