Senin, 31 Januari 2011

GENGSI DONG


Sudah hampir seminggu Nia dan Verra bertengkar dan nggak saling bertegur sapa. Padahal biasanya dua sahabat ini selalu lengket. Kemana-mana selalu berdua. Tapi tidak seminggu ini. Keduanya seperti musuh bebuyutan yang siap saling terkam. Hanya gara-gara hasutan Sonia, teman sekelas mereka yang memang nggak pernah suka dengan persahabatan Nia dan Verra, akhirnya mereka pun bermusuhan. Sebenarnya Nia dan Verra sadar kalau perseteruan di antara mereka seharusnya tidak perlu terjadi. Namun gara-gara merasa gengsi, nggak ada yang mau saling mengalah untuk menegur dan meminta maaf terlebih dahulu, akhirnya pertengkaran itu terus berlanjut.
Sobat muda, terkadang hanya karena masalah gengsi, kita jadi menggagalkan niat untuk berbaikan dengan orang lain yang sedang bermusuhan dengan kita. Hanya karena gengsi, seseorang juga rela menukar apa saja. Yang penting gengsi kita nggak jatuh di mata orang lain. But… haruskah demi gengsi kita rela mengorbankan apa saja?

Gara-gara takut
Berawal karena takut dianggap remeh, takut diketawain, takut kalah bersaing, takut kehilangan muka, dan lain sebagainya, akhirnya membuat kita jadi merasa gengsi. Yup! Gengsi untuk minta maaf duluan, gengsi untuk beli handphone yang murah, gengsi kalau cuma naik angkot, dan gengsi-gengsi-gengsi lainnya yang terus kita pertahankan. Padahal kalau dipikir-pikir, apalah arti semuanya itu?
Gengsi muncul karena kita sendiri yang menciptakannya. Kita ingin terlihat ‘lebih’ dibandingkan orang lain. Lebih kaya, lebih baik, lebih keren, lebih pintar, lebih benar, lebih suci, dan lebih-lebih lainnya. Padahal dibalik segala kelebihan yang berusaha selalu kita tonjolkan itu, terkadang sebenarnya semuanya itu hanyalah sebuah topeng belaka untuk menutupi kekurangan ataupun kesalahan yang kita miliki. Kita merasa malu kalau ternyata kita salah. Kita merasa malu kalau ternyata kita miskin dan bodoh. Kita berusaha terlihat ‘wah’ di depan semua orang, tapi kenyataannya tak seindah yang terlihat.

Nggak perlu gengsi
Masih ingat dengan orang-orang Farisi? Bagaimana mereka seringkali dengan sengaja terlihat rajin bersembahyang supaya mereka kelihatan saleh di depan semua orang (Matius 23:1-8). Bagaimana mereka seringkali merasa dirinya lebih benar dibandingkan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yohanes 8:1-10). Nah, kalau sudah demikian, apa bedanya kita dengan orang-orang Farisi?
Gengsi memang seringkali membuat kita lupa bahwa di mata Allah, semua manusia itu sama. Allah tidak pernah membeda-bedakan manusia satu dengan yang lainnya. Gengsi akan terus ada
selama kita tidak menyadari bahwa Allah menciptakan kita semua itu sepadan. Tidak ada yang lebih timggi ataupun yang lebih rendah.
So, nggak ada alasan buat kita untuk merasa gengsi melakukan hal yang baik, sekalipun mungkin ada banyak orang ataupun teman-teman kita yang mungkin akan menertawakannya. Kalaupun kita terlibat perselisihan, nggak usah gengsi untuk minta maaf lebih dahulu, sekalipun mungkin bukan kita yang salah. Nggak perlu pula merasa gengsi apalagi sampai  merasa malu menggunakan barang-barang yang nggak mewah. Yang penting sepanjang yang kita pergunakan itu usefull, ngapain juga harus gengsi-gengsian dengan menggunakan yang mahal?
Mulai sekarang, belajar untuk menjadi diri sendiri. Nikmati apa yang kita punyai, dan bukan menikmati apa yang nggak kita punya. Bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki. Dengan demikian, kita dapat memahami kalau gengsi itu sama sekali nggak penting, selagi kita bisa mensyukuri segala pemberian Tuhan kepada kita dan mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.q(ika)          (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Januari 2011)

MUDA FOYA-FOYA, TUA KAYA RAYA, MATI MASUK SORGA


Wawan memang sangat beruntung. Terlahir dari keluarga jenderal yang kaya raya, membuatnya merasa tak perlu hidup susah-susah. Sejak duduk di bangku SMP  ia terbiasa menghabiskan waktunya dari satu mal ke mal lain. Beranjak SMU Wawan makin sibuk menghabiskan waktunya untuk dugem dan pesta narkoba. Sampai satu saat ketika ia baru lulus SMU, orangtuanya mendadak meninggal, dan tak meninggalkan harta sepeser pun untuknya. Kontan saja kondisi ini membuat Wawan panik. Tak ada yang mampu ia lakukan untuk dapat menghasilkan uang dan hidup layak seperti dulu. Akhirnya satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya adalah menjadi tukang parkir di sebuah toko swalayan.
Fiuh… enak nian kalau kita bisa hidup seperti itu. Mungkin itulah yang terlintas di kepala, ketika membaca judul di atas. Menyenangkan sekali rasanya kalau di usia kita yang masih belia, kerjanya hanya berfoya-foya dan bersenang-senang belaka. Apalagi kalau nanti sudah tua kita jadi orang yang sangat kaya raya, dan akhirnya mati pun nanti masih mauk sorga… Hmm… what a beautiful life
Yah… banyak di antara kita, anak-anak muda yang seringkali merasa bahwa mumpung kita masih muda, ya, gunakanlah masa muda itu dengan bersenang-senang. Sebab nanti kalau sudah tua kita sudah nggak bisa senang-senang lagi dan waktunya mulai memikirkan hidup. Gara-gara filosofi kosong seperti inilah, banyak anak-anak muda yang menghabiskan masa mudanya dengan bersenang-senang, dugem, narkoba, dan banyak kegiatan hura-hura lainnya yang sama sekali nggak bermanfaat.

Masa Muda = Masa Belajar
Ya, mumpung lagi muda memang nggak dilarang bersenang-senang. Tapi kalau bersenang-senang itu kemudian jadi tujuan hidup, wah… yang ini jelas nggak banget, deh. Nyatanya justru inilah yang terjadi pada anak muda sekarang ini, menjadi penganut hedonisme. Penganut falsafah ini rata-rata menghabiskan hidupnya dengan bebas berhura-hura. Hari-harinya diisi dengan party, dugem, shopping, dan masih banyak kegiatan lain yang intinya hanya untuk menghambur-hamburkan uang. Bebas pacaran just for fun, tanpa tujuan. Pokoknya hidup hanya untuk mencari happy-happy semata.
Padahal sebenarnya masa muda adalah masa belajar. Saat yang paling tepat buat kita untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar nantinya dapat menjadi bekal ketika kita sudah harus memasuki dunia kerja yang nyata. Bukan hanya itu saja, masa muda juga merupakan masa-masa emas bagi kita untuk dapat melayani Tuhan. Karena di saat usia kita masih muda, kita dapat lebih maksimal dalam melayani Tuhan.

Boleh Happy-Happy, Tapi…
Sobat muda, firman Tuhan mengajarkan adalah baik untuk memberikan masa muda kita untuk Tuhan. Sebagai contoh kita bisa melihat Daniel, Yusuf, atau Musa, yang memberikan masa mudanya untuk dipakai Tuhan. Bahkan dalam Ratapan 3:27 dikatakan adalah baik jika sejak masa muda kita memikul kuk.  Memang ada tertulis, ”Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu… dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu…” Tapi harus diingat juga, bahwa karena semua itu Tuhan akan membawa kita ke pengadilan (Pengkotbah 11:9).
Itu sebabnya kita harus lebih bijaksana dalam mengisi dan memanfaatkan hidup masa muda kita. Ketika kita mengisinya dengan hal-hal yang bodoh dan tak berguna, sesal kemudian di masa tua tentu tak akan ada gunanya lagi. Jangan lupa bahwa hidup kita di dunia ini teramat singkat. Kapan saja Allah mau, ia bisa saja memanggil kita. Itu sebabnya kita harus sedini mungkin mengisi hidup kita dengan sebaik-baiknya, supaya pada saat kita harus mempertanggungjawabkan hidup kita di dunia ini, kita dapat mempersembahkan yang terbaik dari kehidupan kita.q(ika)           (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Januari 2011)