Sabtu, 31 Agustus 2013

THE POISON OF WORDS



“Dasar br$*!/?k! Nggak tahu diuntung! Sudah ditolongin kelakuannya malah begitu. Gue sumpahin, deh...” Hmm... pernah, nggak, sobat muda ngomong seperti ini? Saking kesalnya dengan seseorang, akhirnya sumpah serapah pun keluar dari mulut kita. Bahkan tanpa disadari, terkadang seluruh isi kebun binatang pun juga ikut-ikutan keluar dari mulut. Buat sebagian orang, omongan kotor bahkan sumpah serapah mungkin bisa jadi sesuatu hal yang biasa. Bukan tidak mungkin kita pun menganggapnya biasa saja, apalagi jika emosi sedang terbakar. Tapi, buat kita yang notabene sebagai orang kristen, mau pakai alasan apapun, sudah pasti omongan-omongan semacam ini jelas nggak banget, deh.

Kata-kata sia-sia
Kalau ada orang yang bilang mulut itu beracun, hmm... rasa-rasanya tidak sepenuhnya salah. Firman Tuhan sendiri dalam Yakobus 3 : 8 juga menyebutkan, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.” Inilah yang seringkali nggak kita sadari. Terkadang ketika hati terbakar emosi, kita selalu berusaha supaya nggak terlibat perkelahian, tapi lupa kalau akhirnya mulutlah yang kemudian lebih banyak bertindak. Marah-marah, mengumpat, ngata-ngatain, fitnah, sampai sumpah serapah. Pada akhirnya kita pun juga jadi lupa bahwa persoalan pun akhirnya jadi panjang gara-gara perang kata-kata. Pertengkaran jadi semakin melebar bukan karena perbuatan tetapi karena perkataan. Ada banyak orang yang kemudian jadi terluka dan tidak mau saling memaafkan hanya karena perkataan yang menusuk. Jangankan orang dewasa. Kita, anak muda ini pun paling rentan untuk mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Sobat muda, kalau kita ingat lagi apa sebenarnya fungsi lidah, tentu saja sebagai sarana kita berkomunikasi dengan orang lain. Perkataan merupakan cara kita mengungkapkan pikirann dan perasaan kita kepada orang lain. Kita bisa menjalin persahabatan, dan menjadi saluran berkat, salah satunya juga lewat perkataan. Namun semuanya itu juga akan menjadi sia-sia belaka, jika kita bicara tetapi yang keluar dari mulut adalah kata-kata sia-sia. Bergosip, fitnah, umpatan, dan lain sebagainya.
Eh, tapi bukan berarti ketika kita berkomunikasi hanya hal-hal yang manis didengar saja yang boleh dibicarakan. Ada kalanya memang kita perlu menyampaikan kalimat yang mungkin akan menyakiti, meski itu demi kebaikan teman bicara kita. Namun satu hal yang harus diperhatikan. Ketika hendak berbicara alangkah baiknya jika kita mau memikirkannya dulu, agar nantinya yang keluar dari mulut tidaklah menjadi bumerang buat kita sendiri.

Hati-hati gunakan mulutmu!
Masih ingat, kan, dengan lagu Sekolah Minggu yang satu ini? Hati-hati gunakan mulutmu. Hati-hati gunakan mulutmu. Karena Bapa di sorga melihat kita semua. Hati-hati gunakan mulutmu. Firman Tuhan juga mengingatkan, “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah,” Maksudnya jelas, bahwa dengan mulut kita bisa mengeluarkan kata-kata yang memberkati, atau mengeluarkan kata-kata yang menyakiti. That’s why guys, kita kudu hati-hati dengan setiap tutur kata yang diucapkan.
Kalau sobat muda berkomitmen untuk selalu berusaha berkata-kata dengan baik dalam berkomunikasi dengan siapapun, ada beberapa hal yang harus jadi perhatian kita. Pertama, pemilihan kata yang tepat. Mungkin maksud kita baik ketika hendak menyampaikan sesuatu hal. Tetapi ketika kita salah memilih kata-kata, hasilnya justru malah jadi berantakan dan kemudian menimbulkan pertengkaran. Itu sebabnya sebelum bicara, kita harus bijak dalam memilih kata yang tepat supaya nggak jadi bencana. Bukan hanya memilih kata yang tepat, tapi kita juga kudu bijak berkata-kata. Jangan sampai kata-kata yang kita gunakan hanya untuk membenarkan diri sendiri, tapi yang paling utama adalah untuk memperoleh kebenaran.
Kedua, straight to the point. Sebisa mungkin kita ngomong secara langsung. Nggak pakai perantara surat, sms, bbm, telepon, apalagi lewat orang lain. Bicara secara langsung otomatis menghindarkan kita dari kesalahpahaman. Seringkali kita berkomunikasi dengan perantara justru malah berpotensi meninmbulkan kesalahpahaman, ‘coz kita nggak bisa secara langsung melihat ekspresi wajah, juga mendengar nada suara orang yang kita ajak bicara. Bukankah sering kita salah paham dan berantem dengan lawan bicara hanya gara-gara salah paham dalam bahasa teks di surat, sms, bbm, maupun media sosial bukan?
Ketiga, jangan ngegosip. Ngegosip mungkin terasa asyik. Tapi jelas nambah-nambahin dosa. Apalagi kalo ngegosipin kejelekan orang lain dan kemudian berujung fitnah yang tersebar kemana-mana. Bayangkan saja kalau kita yang digosipin. Nggak enak banget bukan? Kalau lagi ngobrol dan sudah menjurus ke arena pergosipan, mendingan langsung di cut dan alihkan ke topik pembicaraan yang lain, biar nggak makin panjang urusannya. Keempat, nggak boleh emosional. Ketika kita sedang dalam kondisi emosional, entah itu sedih, bahagia, ataupun marah sekalipun, alangkah baiknya kita justru duduk diam dan nggak usah ngomong apa-apa. Tunggulah sampai emosi itu mereda, baru kita berbicara. Bukankan kita seringkali menyesali perkataan yang keluar dari mulut, di saat emosi itu tengah menyala-nyala? So, tahan emosimu, guys.
Yang terakhir, kelima, usahakanlah agar apa yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang membangun, dan bukan kata-kata yang menjatuhkan. Kata-kata yang postif serta menyemangati, dan bukan kata-kata negatif serta bikin down. Efesus 4:29 mengingatkan, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Well guys, sepanjang kita mau berhati-hati dalam bertutur kata, nggak akan sulit untuk menghindarkan diri dari lidah beracun. Asalkan kita mau mengendalikan diri, itulah kunci utama dari setiap tutur kata kita. Selamat berbincang-bincang, teman... (ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2013)
 

CAKEP ITU NGGAK CUKUP, SAY...



Diana nangis guling-guling ditinggalin Beni, pacarnya nan ganteng dan paling ngetop di sekolah. Bahkan Diana sempat berniat bunuh diri, seolah dunia sudah runtuh dan nggak bakal ada cowok cakep lagi yang mau dengannya. Buat Diana, punya pacar cakep itu wajib hukumnya. Kalo nggak cakep, gimana nanti dia bisa pamerin cowoknya ke teman-teman dan juga keluarganya? Mau ditaruh mana mukanya sebagai cewek top di sekolah, yang sudah didepak sama cowok paling ganteng seantero sekolah?
Hampir sebagian besar dari kita pasti mendambakan punya pacar yang secara fisik sempurna. Cantik atau tampan, kaya, dan juga pintar. Tapi jujur, deh, pernah nggak sobat muda punya kriteria bahwa nomor satu, calon pacar kita itu harus seiman dan cinta Tuhan? Nggak usah malu-malu. Rata-rata remaja seusia kita pasti lebih menomorsatukan penampilan fisik dibandingkan soal iman percaya dalam memilih pacar. Tapi tahu nggak, sih, kalau justru inilah awal dari kesalahan kita dalam memilih calon pasangan hidup kelak?

Pacar Fashion Show
Orangtua bilang, kalau pilih jodoh harus lihat-lihat dulu bibit, bebet dan bobotnya. Mungkin buat kita sekarang, petuah ortu ini sudah jadul dan nggak laku. Tapi kalau mau direnung-renungin, ada benarnya juga lho nasehat ortu ini. Memilih pacar apalagi calon pasangan hidup memang gampang-gampang susah. Hati pengennya dapetin pacar yang seiman.Tapi apa daya, ternyata nggak ada yang cakep yang bisa dipamerin ke teman-teman. Walhasil, akhirnya yang kita lebih pilih yang cakep meski nggak seiman, biar nggak tengsin kalo dipamerin ke teman-teman.
Guys, ini dia kesalahan pertama yang kerap kali dibuat. Banyak di antara kita yang lebih menomorsatukan penampilan lahiriahnya saja dalam memilih pacar. Nggak perduli kalau dia nggak seiman, suka memonopoli dan memanfaatkan kita, hobi kebut-kebutan, narkoba dan miras. Yang penting dia cakep, itu nomor satu. Giliran nanti ketika sudah jalanin beberapa lama, baru, deh, menyesal. Tahu-tahu nangis-nangis karena kitanya diduain. Atau menerima perlakuan tidak menyenangkan, dilecehkan, dan bahkan ternyata cuma dimanfaatkan buat diporotin uang pemberian dari ortu demi memenuhi keinginan sang kekasih. Nggak sedikit juga ternyata gara-gara sang pacar, akhirnya jadi kenal dan terlibat jauh dengan seks bebas, narkoba serta minuman keras.
Sobat muda, masih ingat, nggak, kisah cintanya Simson? (Hakim-Hakim 14-16). Sejak awal orangtua Simson sudah mengingatkan agar jangan mencari pasangan yang takut akan Tuhan (Hakim-Hakim 14:3). Tetapi Simson tidak mau mendengar. Ia sudah terlanjur terpikat kecantikan gadis Timna dan juga Delila, gadis dari lembah Sorek, sehingga Simson tak memperdulikan apapaun. Akibatnya, ia harus kehilangan kekuatannya, dan dikhianati oleh gadis-gadis cantik yang dicintainya itu. What a pity...

Jangan menyesal kemudian.
Inilah akibatnya kita punya pacar nggak pakai mikir dulu. Nggak perduli sang pacar orang baik atau tidak, yang penting cakep, suka, dan kita punya pacar. Selesai. Masalahnya nggak semudah itu, sobat. Memutuskan punya pacar sama halnya dengan memutuskan untuk menikah. Nggak bisa terburu-buru. Memilih pacar dan memutuskan berpacaran adalah sesuatu hal yang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Mungkin kita kerap kali berpikir, mumpung masih remaja, pacaran juga masih monyet-monyetan, nggak masalah kalau pacaran asal. Kalau nggak cocok tinggal putus aja. Hmmm... nggak segampang itu, guys. Kalau gara-gara pacar asal-asalan ini kita kemudian kehilangan keperawanan/ keperjakaan, gimana? Yang ada kemudian hanyalah penyesalan seumur hidup.
That’s why guys, gimanapun juga, memutuskan pacaran dan memilih pacar tetap perlu dipertimbangkan dengan matang. Hal-hal ini mungkin bisa jadi panduan buat kita sebelum berpacaran. Pertama, sudah siap belum kita buat pacaran? Kalau kita belum siap lahir batin buat pacaran, mendingan nggak usah pacaran dulu, deh. Buat apa pacaran cuma demi gengsi dan buat pamer saja, tapi kenyataannya kita nggak siap pacaran. Yang ada nanti malah berantem melulu dan kebanyakan sedih dan nangis-nangisnya. Nggak mau, kan, seperti itu. Lebih baik terlambat punya pacar, tapi saat itu kita sungguh-sungguh siap punya pacar.
Kedua, harus seiman. Firman Tuhan dalam 2 Korintus 6: 14 sudah tegas mengingatkan, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya...” Mungkin akan banyak yang ngeles, “Nggak masalah, baru pacaran saja. Yang penting belum nikah.” Justru ini kesalahannya. Banyak menyepelekan hal ini kita dalam tahap masa pacaran. Akibatnya jadi kelabakan pada waktunya menikah. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ada dua nahkoda dalam satu kapal bukan?
Ketiga, dewasa, menghormati dan mau menerima kita apa adanya. Ini penting. Punya pacar yang nggak dewasa tentu akan jadi sangat menyulitkan. Apalagi yang nggak mau nerima kita apa adanya, posesif, plus diam-diam ternyata punya bakat jadi tukang pukul alias hobi mukul atau namparin kita. Hadeh... nggak banget, deh, kalau yang model beginian. Punya pacar haruslah yang mendorong dan membawa kita ke arah kebaikan. Jangan sampai kita justru jadi jungkir balik dan nggak jadi diri sendiri gara-gara punya pacar yang model beginian.
Keempat, punya motivasi yang benar dalam pacaran. Kalau dari awal motivasi kita pacaran hanya karena kasihan, ataupun karena ingin menyelamatkan si dia dari lingkungan yang nggak baik, sebaiknya pikir-pikir lagi, deh. Bukannya nggak boleh, sih. Tapi akan jauh lebih baik kalau kita menghindari motif berpacaran yang seperti ini. Kalau pacaran nggak didasari cinta, nantinya kita sendiri yang kesulitan ketika di tengah jalan kita bertemu dengan the real love. Demikian juga dengan pacaran yang didasari karena ingin menyelamatkan si dia dari jerat narkoba misalnya. Kalau kita nggak siap dan nggak kuat, bisa-bisa kitalah yang jadi ikutan terjerumus ke dunianya.
Well, sobat muda, intinya, saat kita mulai menyukai seseorang dan berniat untuk pacaran, pikir dulu baik-baik. Jangan terlalu terburu nafsu pengen punya pacar. Doakanlah dulu, apa benar someone yang lagi kita suka ini adalah orang yang benar-benar Tuhan izinkan untuk kita jadiin pacar atau nggak. Seandainya memang jawabannya tidak, nggak usah kecewa. Percaya, deh, lebih baik terlambat punya pacar, tapi Tuhan akan memberikan yang terbaik buat kita dan sesuai dengan kehendakNya. (ika)


 (Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2013)