Minggu, 16 Februari 2014

THE POWER OF WORDS



Alkisah di sebuah kerajaan katak, diadakan perlombaan lompat katak ke puncak gunung. Seluruh peserta lompat katak telah berkumpul di garis start. Suara riuh rendah teriakan terdengar dari katak-katak yang menjadi penonton menyemangati para pelompat. Namun kata-kata yang paling santer terdengar justru sangat mengagetkan. ”Katak seperti kita ini, mana bisa melompat sampai ke puncak gunung? Manusia saja harus bersusah payah untuk sampai ke puncak gunung itu, apalagi kita.” Begitulah teriakan sinis oleh para penonton, hingga akhirnya teriakan yang menyemangati pun tertutupi oleh suara-suara pesimis para katak.
“Satu... dua... tiga...”, pekik sang juri di garis start yang menandakan semua peserta harus mulai melompat. Ada yang melompat sangat tinggi, ada juga yang melompat sangat jauh. Seekor katak yang masih memiliki rasa optimis tinggi berbisik kepada temannya, “Katak-katak pelompat ini kuat banget. Masa, sih, nggak ada yang bisa sampai puncak?” Balas temannya “Nggak mungkin bisa, lah... Lihat, tuh, puncaknya jauh banget dari sini. Dari pertama kali lomba ini diadakan sampai sekarang, belum pernah ada, tuh, satu katak pun yang bisa sampai ke puncak.”
Barisan penonton terlihat berjajar di sepanjang lintasan lompat dari garis start hingga finish. Sayangnya, semua penonton meneriakkan pesimisne mereka. “Udah, deh. Kalian semua pasti nggak ada yang bisa sampai puncak. Sebelum lomba mulai juga sudah ketahuan. Pasti nggak bakalan ada yang bisa sampai finish.” Suara penonton lainnya pun menimpali, “Iya, daripada kalian semua cedera dan kenapa-kenapa gara-gara terlalu maksain lompat terus.”
Baru seperempat lintasan, sudah lebih dari setengah peserta pelompat yang menyerah dan kehabisan tenaga. Ada yang kakinya kram, ada juga yang kehabisan napas. Para penonton pun mulai merasa prediksi mereka menjadi kenyataan. Ketika sudah sampai setengah lintasan, akhirnya hanya tersisa tujuh peserta. Satu persatu katak pelompat berjatuhan hingga akhirnya tersisa satu katak yang masih terus melompat. Lompat... lompat… dan terus melompat. Katak itu terus fokus menuju garis finish. Para penonton pun mulai berdecak kagum. “Hebat banget katak satu ini. Apa rahasianya, yah, dia bisa sampai sejauh ini?”
Hingga akhirnya satu-satunya katak yang masih melompat itu pun menggapai dan memutuskan tali garis finish yang berada di puncak gunung. Semua katak yang ada di sekitar garis finish semakin kagum. Katak-katak wartawan pun segera mengerumuni katak pelompat yang merupakan pemenang satu-satunya itu. “Apa rahasia anda hingga sampai ke garis finish? Padahal selama ini belum pernah ada seekor katak pun yang bisa menyelesaikan perlombaan ini.” Sang katak pemenang hanya diam saja sambil terus menikmati kemenangan dan kelelahannya. Para wartawan pun mengulangi pertanyaan yang sama ke pemenang untuk yang kedua kalinya. Katak pemenang tersebut kelihatan kebingungan dan tidak mengerti dengan apa yang diucapkan wartawan. Akhirnya diketahui bahwa katak pelompat yang menjadi pemenang tersebut ternyata adalah seekor katak yang tuli.
Keesokan harinya, headline sebuah berita harian lokal kerajaan katak memua tsebuah tulisan. “Dalam kebisuan, sang katak menulis di atas kertas. Sebuah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan kemarin. Saya tidak memiliki trik atau rahasia apapun. Saya hanyalah katak biasa dengan porsi latihan sama seperti katak pelompat lainnya. Di sepanjang pertandingan, saya hanya melompat dan melompat terus dengan tetap fokus, sambil berkata dalam hati berulang-ulang, saya pasti bisa, saya harus bisa.”

Poison Words
Sobat muda, sering kali dalam kehidupan ini, kita terlalu disibukkan dengan berbagai ketakutan dan kekuatiran akan banyak hal, padahal belum tentu apa yang ditakutkan itu terjadi. Karena ketakutan dan kekuatiran inilah yang akhirnya membuat kita mengucapkan kalimat, ”Wah, ini pasti gagal. Pasti tidak berhasil. Semuanya tidak benar. Ini pasti salah.” Yang lebih fatal lagi adalah, ketika kalimat-kalimat negatif yang terlontar itu akhirnya menjadi sebuah keyakinan, dan kemudian benar-benar menjadikannya sebagai sebuah kenyataan. Contohnya, nih, kita merasa sudah belajar tekun menghadapi ulangan umum. Tapi gara-gara kita takut dapat nilai jelek, yang tergambar di benak kita adalah kita nggak bakalan bisa dapetin nilai bagus. Terus terngiang-ngiang seperti itu, akhirnya bikin buyar konsentrasi, kita nggak fokus sama apa yang sudah dipelajari, dan hasilnya nilai kita pun beneran jelek.
Lihatlah, bagaimana kalimat-kalimat negatif yang terlontar sungguh-sungguh menjadi racun bagi kita sendiri. Nggak salah kalau Amsal 21:23 mengingatkan kita, ”Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.” Raja Salomo rupanya sangat menyadari betapa kata-kata yang keluar dari mulut kita ini sangat berkuasa. Jika kalimat-kalimat buruk yang keluar dari mulut kita, sudah pasti kesukaranlah yang bakal kita tempuh. Sebaliknya jika kata-kata yang baik, positif, bijaksana, dan membangun serta memotivasi, tentunya akan mendatangkan kebaikan dalam kehidupan kita.

Keep on your focus
Guys, belajar dari si katak pelompat yang tuli di atas, terkadang kita perlu sedikit cuek dan ‘menulikan’ diri dari kalimat-kalimat yang melemahkan dan bikin kita jadi down. Demi mencapai tujuan yang kita harapkan, tentu saja kita harus bisa memfokuskan diri untuk meraih apa yang menjadi tujuan kita.
Kalau kita mendengarkan omongan orang yang cenderung melemahkan, mau nggak mau kita pun pasti akan terpengaruh dan jadi nggak fokus lagi pada tujuan kita. Kita bisa jadi pesimis, semangat pun melemah, dan pada akhirnya sulit bagi kita untuk berhasil meraih tujuan.
So, kalau kita mau sukses mencapai apa yang menjadi tujuan dan harapan kita, mulai sekarang belajar untuk senantiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata yang positif. Setiap perkataan positif, hasilnya juga positif buat diri kita. Sebaliknya, kalimat-kalimat negatif justru membuat kita patah semangat dan hasilnya pun tidak baik untuk kita.
That’s why guys, seperti yang diungkapkan dalam lagu sekolah minggu, “Hati-hati gunakan mulutmu!” Kalau kita nggak jaga mulut, dan membiarkannya senantiasa mengucapkan kata-kata yang negatif dan nggak membangun, jangan menyalahkan orang lain kalau kemudian merasa hidup kita ini selalu nggak beruntung. Itu karena kita senantiasa memelihara perkataan-perkataan yang negatif. Padahal sebenarnya ada banyak hal baik yang terjadi dalam hidup kita. Sebab itu, mulai sekarang ayo belajar untuk senantiasa positive thingking dan tidak lagi mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Sebab Allah juga mau hidup kita menjadi baik, jika kita juga mau membangun diri kita lebih baik lagi.(ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Februari 2014)

TERTIPU LAGI... LAGI-LAGI TERTIPU...



Pertemanan lewat Facebook kembali menelan korban remaja. Setelah Marietta Nova Triano (14), siswi SMP Surabaya yang menghilang dari rumah tantenya di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, kali ini hal tersebut menimpa AS (14), warga Ciledug, Kota Tangerang. Korban menghilang bersama AMJ (21), warga Ngawi, Jawa Timur, dari rumah selama empat hari dari tanggal 1 hingga 4 Februari 2010.(sumber : www.kompas.com, 11 Februari 2010).
Penipuan lewat jejaring sosial memang sudah nggak asing lagi. Bahkan makin marak terjadi. Meski rata-rata anak muda nggak ada yang nggak familiar dengan jejaring sosial, dan sudah paham tentang banyaknya penipuan lewat media sosial, toh, masih tetap banyak juga anak muda yang terjebak dalam berbagai kasus penipuan lewat jejaring sosial.

Gara-gara terlalu percaya
Kadang-kadang mungkin kita nggak habis pikir, bagaimana bisa seseorang dengan begitu mudahnya mempercayai orang lain yang baru dikenalnya, yang bahkan belum pernah sekalipun mereka bertemu. Yang lebih parah lagi, begitu mudahnya pula mereka mau menyerahkan apapun yang dimilikinya, bahkan keperawanan sekalipun, demi si teman dunia maya ini.
Apa, sih, yang bikin sobat muda sampai mudah tertipu dengan teman dunia mayanya? Nggak lain adalah karena terlalu percaya pada si teman dunia maya. Terkadang pertemanan dan percakapan yang sangat baik, yang selama ini terjalin dengan teman-teman dunia maya yang baru dikenal dan belum bertemu, membuat kita jadi lengah dan mengabaikan kemungkinan bahwa si teman baru ini bukan nggak mungkin bukanlah orang yang punya tujuan baik.
Nggak cuma itu saja, kurangnya perhatian, nggak pede dan nggak bisa menghargai diri sendiri, ternyata juga bisa menjadi penyebab sobat muda ini gampang percaya dengan orang lain yang baru dikenalnya. Sebagai contoh, nih, ketika kita kurang mendapat perhatian dari keluarga, sobat muda cenderung lebih berat pada orang lain yang memberikan dukungan dan perhatian lebih, meskipun itu hanya lewat percakapan via media sosial. Terus, karena mungkin secara fisik kita merasa kurang cantik, kurang cakep, nggak pintar, dan bahkan mungkin terabaikan oleh teman-teman di sekolah, akhirnya ketika ada teman baru di media sosial yang memberikan perhatian lebih, langsung bikin kita melayang dan lupa bahwa inilah trik-trik yang biasa dilakukan oleh para penipu di media sosial untuk menjerat korbannya.

Always beware
Makanya guys, gimana pun juga yang namanya waspada dan hati-hati itu tetaplah perlu. Memang nggak semua teman yang kita kenal di dunia maya itu punya maksud tertentu atau berusaha untuk menipu. Tapi nggak ada salahnya buat kita untuk tetap selalu waspada dan nggak lengah. Di samping itu, kurang perhatian dari orang-orang di sekeliling kita pun bukan berarti jadi alasan bagi kita untuk ‘mencari perhatian’ lain dari orang-orang yang baru kita kenal di dunia maya.
Secara psikologis, memang nggak bisa dipungkiri kita tetap butuh perhatian dari orang-orang yang kita kasihi. Tapi ketika kita merasa perhatian tersebut kurang, lebih baik kita nggak perlu mencari-cari perhatian dari orang-orang yang masih belum jelas keberadaannya. Bersekutu dengan Allah dan berbagi kasih dalam persekutuan denganNya akan menolong kita menghadapi segalanya dengan baik. Karena hanya di dalam Kristus, selalu ada kasih bagi kita semua (Filipi 2:1).
Sobat muda, belajar dari berbagai pengalaman dan berbagai kasus yang pernah terjadi, mulai sekarang  ayo kita belajar berhati-hati dalam menjalin pertemanan, terutama di dunia maya. Bukan berarti kita nggak boleh berteman, tetapi alangkah baiknya jika kita lebih hati-hati dan nggak mudah percaya dengan orang yang baru kita kenal. Bagaimanapun, kita nggak pernah tahu motif mereka yang sesungguhnya dalam berteman. Kalau kita nggak hati-hati, kita bisa terjerumus dan menjadi korban-korban selanjutnya. Om Paulus sendiri juga pernah mengingatkan, kalau kita salah bergaul dan berteman, kita bisa terseret dalam pergaulan yang nggak baik (1 Korintus 15:33). Berteman oke, tetapi tetap jangan lupakan rules dalam pertemanan, agar kita nggak salah jalan dan terjebak dalam pertemanan yang nggak sehat. Okay?(ika)
(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Februari 2014)
 

Sabtu, 08 Februari 2014

Beli Donggg...

#‎edisimainkerumahtante‬ Anita Pusparani
(ceritanya mau nyuguhi...)
Tante Rani : Waduh... Tante nggak punya kue, nih...
Leica : Ya... beli dong...
Tante Rani : ????? (wkwwkkwk)
Mami : (hadeh... ‪#‎tambahpuyenglagingadepinnibocah‬)

Kan, sudah...

When the night comes...
Mami : Leica, ayo belajar
Leica : Kan, tadi sudah Mami
Mami : Kapan?
Leica : Tadi pagi... di sekolah....
Mami : ?????? *tepok jidat*