Minggu, 31 Agustus 2008

YOU'RE ALREADY FREE


              Beberapa waktu belakangan ini kita dikejutkan dengan berita tentang seorang artis muda cantik yang tengah naik daun, tertangkap polisi gara-gara kasus penyalahgunaan narkoba. Gara-gara tersandung kasus narkoba, karir serta masa depannya pun jadi terbengkalai. Nggak cuma artis saja yang berurusan dengan narkoba, di luar sana bahkan juga di sekeliling kita banyak anak-anak muda yang terjerat drugs hingga masa depannya berantakan. Sekolah nggak selesai, badan sakit-sakitan gara-gara kecanduan, bahkan ada yang harus mendekam di penjara karenanya.
               Gara-gara narkoba juga, kebebasan mereka jadi terenggut. Kemerdekaan mereka untuk meraih cita-cita dengan mulus jadi terhalang. Jeruji-jeruji rumah tahanan, dinding-dinding rumah sakit dan balai rehabilitasi narkoba, menjadi saksi bisu betapa jerat narkoba itu telah merenggut segala yang mereka miliki. Padahal semestinya mereka nggak perlu menjadi orang-orang yang terpenjara, kalau mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merdeka.


Free Will
               Sejak manusia pertama diciptakan, Allah sesungguhnya sudah memberikan karunia yang nggak terhingga buat kita. Apa itu, ya? Yup! Benar sekali! Kehendak bebas alias kemerdekaan atawa kebebasan. Ingat ketika Allah baru menciptakan alam semesta beserta isinya, kemudian Ia menjadikan manusia. Saat itu Tuhan berkata bahwa manusia bebas untuk makan apa saja yang ada di bumi. Ia juga membebaskan manusia untuk memberi nama apa saja terhadap binatang-binatang ciptaan-Nya. Manusia juga diberi kebebasan untuk melakukan apa saja untuk mengolah bumi. (Baca Kejadian 1).
                Ini membuktikan bahwa sejak semula, Allah telah memberikan kebebasan dan kemerdekaan itu dengan cuma-cuma. Kita punya kebebasan untuk melakukan apa saja, sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi bukan berarti kebebasan itu lantas membuat kita jadi liar dan nggak terkendali. Kebebasan yang Allah berikan ini juga menuntut sebuah tanggung jawab, supaya kita nggak jadi sok dan bertindak sembarangan.
              
Kenapa harus terpenjara?
Nah… ini dia masalahnya… Banyak anak muda, nggak terkecuali kita tentunya, yang akhirnya jadi manusia yang nggak lagi bebas, karena kita bertindak sembarangan. Kita nggak bisa mengendalikan keinginan kita dan menjadi liar, sehingga jatuh ke dalam dosa. Ketika kita sudah jatuh dalam dosa inilah, lagi-lagi kita menjadi manusia yang tidak bebas dan terpenjara. Hmm… kok bisa, ya?
Misalnya aja nih, gara-gara nggak mau nilai ulangan jeblok, kita akhirnya memutuskan untuk mencontek pada saat ulangan. Ketika pertama kali  mencontek, kita selalu dihantui rasa takut dan bersalah. Takut kalau ketahuan dan nanti dihukum guru. Kita jadi nggak bisa bebas mengerjakan soal ulangan, karena selalu merasa was-was. Padahal sebenarnya kita nggak perlu merasa seperti itu kalau sebelumnya kita belajar giat, sehingga nggak perlu mencontek.
Itu baru pertama kali. Kalau ternyata pengalaman pertama ini ternyata berjalan mulus alias nggak ketahuan, yang kedua, ketiga dan seterusnya menjadi sesuatu hal yang biasa dan membuat kita ketagihan. Kita justru menjadi semakin malas belajar, karena sudah merasakan ‘kenyamanan’ mencontek. Nggak perlu capek-capek mikir dan belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tanpa disadari, kita pun sudah diperbudak oleh kemalasan. Nggak ada lagi perasaan bersalah, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Lagi-lagi kita menjadi manusia yang nggak bebas, hanya gara-gara kita nggak bisa mengendalikan kemalasan. Sampai pada akhirnya kita kena batunya. Ketahuan mencontek, nilai jeblok, sampai nggak naik kelas. Sekali lagi kita dipenjarakan oleh rasa malu dan juga penyesalan.

Bebas bertanggung jawab
               Semestinya kita nggak perlu jadi orang-orang yang terbelenggu dosa, kalau kita benar-benar bertanggung jawab dengan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita.  Sama halnya ketika orangtua kita memberi kebebasan supaya kita bisa hang out dan have fun dengan teman-teman kita. Tentu saja ada syarat yang mereka berikan. Jangan sampai semuanya itu mengganggu prestasi belajar kita. Artinya, kita diberikan kebebasan untuk mengatur waktu sendiri, kapan kita mau main, kapan pula waktunya kita harus belajar. Kalau kita bisa melakukannya dengan baik, tentu saja nggak akan menjadi masalah dan malah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan bukan?
               So, apa yang harus kita lakukan supaya tetap bisa menikmati kebebasan itu? Jawabannya cuma satu. Belajar untuk mengendalikan diri sendiri. Ketika kita mampu mengendalikan diri, kita juga jadi nggak gampang untuk jatuh ke dalam belenggu dosa. Belajar mengendalikan diri itu bisa mencakup banyak hal. Belajar mengendalikan diri untuk nggak nyontek ketika ulangan, belajar untuk nggak kebablasan main game sampai lupa belajar, belajar untuk nggak boros dengan uang jajan yang diberikan ortu, dan masih banyak lagi.
               Pendek kata, kalau kita sanggup mengendalikan diri, kebebasan itu akan selamanya bisa dinikmati.  Sebaliknya, kalau kita nggak sanggup mengendalikan diri, siap-siap saja untuk menerima kenyataan bahwa hidup kita bakal dibelenggu oleh keinginan yang nggak akan pernah ada puasnya juga nggak pernah akan ada habisnya. Firman Tuhan dalam Amsal 25:28 mengingatkan, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.” Artinya, kalau kita nggak bisa mengendalikan diri, hidup kita akan lebih mudah untuk dihancurkan dan diombang-ambingkan oleh berbagai keinginan. Nah, sekarang pilihan itu ada di tangan kita sendiri. Mau jadi orang yang merdeka, atau jadi orang  yang terbelenggu? It’s up to youq(ika)      (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2008)

TERIMA KASIH TUHAN…

“Aduh… coba kalau aku nggak gendut, pendek, hitam legam, dan penuh penuh jerawat… si Tedy yang ganteng itu pasti sudah naksir aku,” keluh Santi pada dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia mengeluhkan kondisi fisiknya yang menurutnya ‘unpretty’, ketimbang mensyukuri betapa brilian otaknya yang sanggup membawanya menjadi bintang pelajar selama dua tahun berturut-turut.


Nggak seperti yang terlihat
            Sobat muda, nggak sedikit di antara kita yang bersikap sama seperti Santi. Nggak puas dengan bentuk badan, mulai deh diet mati-matian sampai kurang gizi. Nggak puas sama bentuk wajah mulai mempermaknya di sana sini. Syukur-syukur dikaruniai kekayaan, bukannya dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat, malahan dipakai untuk operasi plastik. Kalau nggak punya duit, ya terpaksa mulai pakai make up tebal di sana-sini.
            Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam diri kita sendiri masih banyak potensi diri yang seharusnya bisa kita kembangkan dan patut untuk lebih kita perhatikan, daripada memusingkan persoalan penampilan fisik yang mungkin saja lebih banyak ‘menipu’. Jutaan orang di luar sana bahkan hanya menampilkan wajah-wajah yang terlihat ganteng, cantik dan menawan, tetapi sesungguhnya semuanya itu hanya palsu belaka. Banyak orang yang penampilan luarnya begitu cantik dan sempurna, ternyata hatinya penuh dengan keculasan dan kecurangan.
            Bahkan nggak jarang sampai ada yang rela menukar Tuhan dengan kuasa gelap, hanya demi untuk mempertahankan kesempurnaan fisik. Pasang susuk, mantera, dan lain sebagainya, supaya orang lain yang melihatnya akan tertarik dengan kecantikan atau ketampanannya. Padahal, dibalik semuanya itu, mereka hanyalah orang yang biasa-biasa saja.

Everyone so unique
            Suatu hari di sebuah ruang gereja, seorang gadis menangis tersedu-sedu di pangkuan ibu gembala-nya. “Mengapa Tuhan begitu tidak adil? Mengapa aku dilahirkan bertubuh gendut, pendek, hitam legam, penuh jerawat? Mengapa aku tidak dilahirkan seperti Irma yang tinggi dan langsing, atau seperti Susan yang cantik dan berkulit putih? Mengapa tidak ada seorang cowok pun yang mau mendekatiku? Mengapa?” Sang ibu gembala membiarkan gadis itu melampiaskan seluruh tangisnya. Setelah ia mulai tenang, ibu gembala itu pun membawanya ke belakang gereja.
            “Perkenalkan. Ini Amanda. Dia puteri ibu satu-satunya. Yang itu suaminya, Max. Mereka baru saja menikah. Mereka baru datang dari pelayanan pekabaran Injil di Afrika,” cerita ibu gembala seraya memperkenalkan puteri dan menantunya pada gadis itu. Lamat-lamat gadis itu memperhatikan Amanda. Amanda bukanlah perempuan yang terlahir sempurna. Ia menderita kebutaan sejak lahir. Saat berusia tujuh tahun ia menjadi korban tabrak lari yang membuat kedua kakinya harus diamputasi. Menjelang remaja, tiba-tiba saja Amanda terserang penyakit tulang yang membuat tulang punggungnya bengkok. Namun jelas terlihat di mata gadis itu, Amanda bukanlah sosok yang rendah diri. Ia selalu tersenyum dan tak pernah menyesali kondisi fisik yang dimilikinya. Dari wajahnya memancarkan kecantikan hati tiada tara. Tak heran jika Max yang yang secara fisik sempurna dan terhitung tampan, begitu mencintai, mengagumi, dan menghargai isterinya. Gadis itu pun menjadi malu hati. Kini dia mengerti dan sadar, betapa selama ini dirinya tak pernah mensyukuri kesempurnaan fisik yang dimilikinya.
             Guys, Allah menciptakan kita sedemikian uniknya. So, that’s why kita tuh beda satu sama lain. Meskipun mungkin kondisi fisik kita nggak sebaik or sesempurna orang lain, semuanya itu mustinya nggak jadi alasan buat kita jadi minder, karena kita sangat berharga di mata Allah (Yesaya 43:4). Sebaliknya, kita kudu mengucap syukur atas apa yang Tuhan beri (1 Tesalonika 5:18).
             Maybe kita nggak punya fisik oke, but kita punya inner beauty yang top banget or punya kelebihan lain yang bisa dibanggakan. Mungkin kita memang nggak dikaruniai wajah yang rupawan, tapi kita punya otak yang cemerlang, jago di bidang seni, punya hati yang lemah lembut dan suka menolong orang lain. So, jangan lagi ngerasa minder hanya karena ngerasa nggak cakep, tapi ingatlah segala kebaikan dan kemurahan Allah di dalam hidup kita, dan itulah yang seharusnya kita syukuri.q (ika)     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2008)