Jumat, 31 Oktober 2008

MENGHORMATI ORANGTUA, PERLU NGGAK, SIH?


“Mama ini gimana sih? Bego amat! Masa gitu aja nggak ngerti!” Nggak sekali dua kali Arnold memarahi ibunya dengan kata-kata kasar seperti itu. Bahkan mungkin sudah menjadi kebiasaannya  sehari-hari mengata-ngatai ibunya dengan kata-kata yang menyakitkan. Lain waktu ia juga kerap melawan ortunya yang dianggap kuno, kampungan, dan bikin malu di lingkungan pergaulannya.

It’s really hurt honey....
Sobat muda, bukan cuma Arnold yang sering bersikap seperti ini. Tanpa disadari kita pun sering juga nyakitin ortu, bukan? Mungkin nggak cuma lewat kata-kata, tapi juga lewat tingkah laku kita. Maybe kita nggak pernah menyadarinya karena melihat reaksi mereka yang kayaknya adem ayem saja, diam en sabar  saja. Padahal, tahu nggak sih kalau sebenarnya di dalam hati mereka, tertoreh luka yang perih akibat kata-kata atauapun perbuatan kita yang sudah menyinggung perasaan mereka.
Sometimes ada juga ortu yang meski hatinya sakit,  ‘terpaksa’ mendiamkan perilaku anaknya yang seperti itu, karena merasa kalah omongan, kalah wibawa, kalah pintar dibanding anaknya, karena si anak berpendidikan jauh lebih tinggi. Malah terkadang ada orangtua yang hanya bisa mengelus dada, dan menangis di dalam setiap doanya demi melihat perilaku sang anak.

Whatever the reason...
Terkadang kita pinya segudang alasan yang membuat kita merasa ‘sah-sah aja’ untuk nggak menghormati orangtua kita. Karena kita merasa apa yang dilakukan ortu itu nggak patas dan nggak layak buat dihormati. Entah karena pekerjaannya yang kita anggap hina, entah karena perbuatan ortu kita yang sangat menyakitkan hingga membuat kita merasa enggan untuk menaruh rasa hormat kepadanya, dan segudang alasan lainnya.
Guys, apapun alasannya, meski pendidikan ataupun penghasilan ortu kita rendah sekalipun, tetap nggak ada alasan buat kita bisa berbuat sekehendak hati, apalagi sampai mengata-ngatai mereka dengan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan. Bagaimanapun juga, mereka adalah orangtua yang sudah susah payah melahirkan, merawat, membesarkan, serta membiayai hidup kita dengan segala kerja kerasnya. Semuanya mereka lakukan karena cinta kasihnya kepada kita.
Sampai kapanpun juga, kita tetap berhutang hormat kepada orangtua kita. Meskipun lewat sikap dan tingkah-laku mereka  sama sekali tidak memperlihatkan bahwa mereka layak dihormati. Namun, selama mereka adalah orang-tua kita, selama mereka adalah ayah dan ibu kita, kita punya kewajiban untuk tetap dan terus menghormati mereka, dalam keadaan apa pun dan sampai kapanpun juga. Tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti menghormati orangtua kita.

The bible says...
Masih ingat nggak yang dikatakan firman Tuhan? Di Keluaran 20:12 firtTu jelas-jelas bilang, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” Nah, kalau Allah saja berfirman demikian, coba pikirkan lagi baik-baik, apakah pantas kita berkata-kata dan bertingkah laku yang menyakitkan hati ortu? Seberapapun buruknya ortu kita, mereka tetaplah orangtuamu yang harus kita hormati. Apalagi Allah juga pernah berfirman, “... dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.” (Matius 15:4). Hi... ngeri kan kalau seandainya itu benar-benar terjadi?
Nggak usah jauh-jauh ngebayangin dihukum mati gara-gara mengutuki ortu. Nggak menghormati ortu saja, itu berarti kita sudah berbuat dosa karena melanggar hukum Allah yang ke tujuh. Nah, dosa ini jika tidak dibereskan akan terus berlanjut sampai ke anak cucu kita. Suatu saat nanti kelak, ketika kita sudah punya anak dan mendapati anak-anak ketika yang sangat nakal, suka memberontak dan kurang ajar, ingatlah bagaimana kelakuan kita semasa muda yang seringkali tidak menghormati ortu.
So guys, kalau hari ini ada di antara kita yang masih suka melontarkan kata-kata kasar ataupun melakukan perbuatan yang menyakiti hati ortu kita, segera bertobat. Jangan jadi bebal, karena Allah nggak suka kita menyerahkan hidup kita hanya untuk diperalat Iblis menjadi anak-anak yang tidak taat pada Allah dan tidak menghormati orangtua.q (ika)                     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2008)