Rabu, 31 Maret 2004

SHANDY AULIA : Tuhan Yesus Itu Segalanya Buatku

Gara-gara ngetop lewat iklan ‘burket’, cewek cantik bernama lengkap Nyimas Shandy Aulia ini pun merambah dunia film. Film pertamanya, Eiffel I’m Love yang membludak makin melambungkan namanya. Biar udah ngetop, kelahiran Jakarta, 23 Juni 1987 ini nggak berubah. Doski tetap jadi cewek biasa layaknya remaja lainnya. “Uang jajanku juga sama kayak remaja lainnya, suka dimasukin kantong. Aku juga nggak bawa uang yang terlalu banyak juga,” celotehnya riang seusai fitness di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Nggak sengaja

Dunia entertainment sebelumnya nggak pernah terlintas dalam bayangan Shandy. Putri pasangan Kemas Yusuf Jummy Effendy dan Elsye Dopong Tumbelaka ini ngaku kalau masuk dunia entertainment secara nggak sengaja. “Awalnya itu pas aku lagi jalan-jalan di mal, tiba-tiba aja ditawarin orang untuk jadi model iklan. Nah dari situ iklan keluar, aku dicari sama orang film. Pas mereka telepon ke rumah, dicuekin sama mama, dikirain kan orang iseng. Jadinya  dipikir ya bohong-bohong gitu. Karena mereka telepon terus, ya udah akhirnya kita coba datang. Mereka kasih novel, aku coba akting, eh… mereka suka. Akhirnya aku tanda tangan kontrak. Tapi itupun nggak langsung, dipikir dulu dua minggu. Soalnya kan film nggak main-main. Gitu lho…” cerita si bungsu dari empat bersaudara, yang untuk sementara ini sengaja mengurangi aktivitasnya di dunia entertainment, demi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan dihadapinya.

Nggak pedean

Mau tahu nggak satu rahasia? Ternyata, siswi kelas 3 SMP Don Bosco, Pondok Indah – Jakarta Selatan ini, biar udah jadi artis terkenal ternyata masih suka nggak pedean. “Aku tuh kendalanya percaya diri. Aku orangnya nggak pedean. Kalau aku udah ngerasa nggak pede terus nervous, biasanya itu aku suka mikir, and tiba-tiba aja jadi ingat Tuhan Yesus. Kalau udah gitu, ya udah… hilang begitu aja nervousnya. Pas ingat Tuhan Yesus itu, rasanya kayak aku tuh ada yang nemenin. Itu yang bikin aku jadi pede lagi,” bilangnya.

Nggak percaya takdir
Pengalaman manisnya bersama Yesus, ternyata juga bikin penggemar bakso en milshake ini nggak pernah mau percaya sama yang namanya takdir. “Nggak. Aku nggak percaya sama takdir. Waktu dulu aku pacaran sama cowok yang nggak seiman, pernah juga kepikir ‘wah jangan-jangan gue disuruh pindah agama nih’. Waktu itu aku juga sempat mikir, ‘nasib kali ya gue’. Kalau aku mau buat itu jadi takdir, ya bisa-bisa aja. Tapi ternyata kan nggak gitu. Kadang-kadang pas lagi ada masalah dan kita ngerasa kayaknya memang itu udah nasib atau takdir kita, itu hanya pikiran kita aja karena kita lagi stress, lagi desperate gitu. Tapi kalau teman-teman remaja ada yang kayak gitu, jangan terfokus sama takdir lah. Masih banyak jalan keluarnya,” tuturnya.

Nggak mau pindah ke lain hati

Meski lahir dari keluarga yang beda iman, jemaat GPIB Effata Melawai, Jakarta Selatan ini ternyata lebih memilih untuk tetap mengikut Yesus. “Buat aku pribadi, kepala rumah tanggaku adalah Tuhan Yesus. Yang nanemin itu ya Mama, karena yang seiman dengan aku hanya Mama. Tapi aku ikut Tuhan Yesus bukan karena Mama lho. Bukan karena ngerasa kasihan Mama sendirian, terus aku ikut-ikut. Nggak. Aku tuh merasa lebih tenang aja ikut Tuhan Yesus. Aku juga belum bisa bilang lebih mendalam ya, karena aku sendiri masih harus lebih mengenal dan mengenal lagi tentang Yesus. Tapi untuk berpindah, nggak deh. Aku juga pernah  kena godaan-godaan gitu. Pasti pernah. Tapi tetap aja semuanya itu kalah kalau aku sudah mikir… gila aja… masa gue gini sih… Dulu aku sempat kepikiran, apa gue pindah aja ya. Tapi terus aku pikir nggak. Buktinya aku ngambil keputusan bahwa aku lebih baik putus dari pacar yang nggak seiman. Walaupun terus terang itu berat banget, tapi aku pikir Yesus itu lebih dari segala-galanya,” bebernya panjang lebar. Well guys, memang nggak lagi yang lebih berarti di dunia ini, selain mengikut Yesus yang udah jadi Juru Selamat buat kita semua.(ica) 


(Telah dimuat di Majalah Rajawali)

MARCELINO V. J. LEFRANDT : Nggak Bandel Nggak Berarti ‘Banci’

Siapa sih yang nggak kenal sama cowok ganteng yang satu ini? Well, si pemeran Om Bagus, papanya Lala di sinetron Bidadari ini memang oks banget. Nggak cuma dikaruniai wajah yang ganteng, tapi juga prestasi segudang yang diraihnya bikin kita angkat delapan jempol (dua jempol tangan plus dua jempol kaki kita, yang empat jempol lagi minjem jempolnya tetangga). Want to know him much more…? Check this out…
Dari model ke sinetron
Pertama kali nyebur di dunia showbiz, Marcelino Victor John Lefrandt iseng-iseng daftar pemilahan top model sebuah majalah remaja ibukota. Nggak nyangka ternyata Marcel bisa meraih juara I, dan sejak saat itulah ia mulai tampil sebagai model. “Waktu itu honor buat foto kan kecil banget, cuma Rp 50 ribu, kadang-kadang Rp 75 ribu, bahkan Rp 25 ribu. Karena aku masih kuliah dan tinggal di Manado dan aku ke Jakarta kalau pas lagi ada kerjaan aja, totally semua uang yang saya dapat hanya saya pakai untuk beli tiket pulang lagi,” ceritanya disela-sela syuting sinetron Tersanjung di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Tahun 1994 tawaran main sinetron pun datang. Terjunlah Marcel ke dunia sinetron. Berawal dari sinetron action bertajuk Deru Debu, mengalirlah sinetron-sinetron action berikutnya seperti Jacky, Jacklyn, dan Raja Jalanan. Image bintang sinetron laga pun melekat padanya, hingga ia menerima kontrak eksklusif dari sebuah rumah produksi, yang lantas membawanya mendalami peran-peran di sinetron drama. Dari sinetron Bella Vista, Pertalian, sampai sinetron Hanya Kamu. Belakangan, Marcel makin ngetop dengan peran protagonis berkat sinetron Bidadari dan sinetron Tersanjung.

Ditegur lewat sinetron
“Suatu ketika saya ditawari main di salah satu sinetron untuk natal. Di sini saya memerankan seorang pendeta yang sangat menguasai firman Tuhan itu sendiri, dan juga dia cenderung untuk menggunakan moment-moment sebagai seorang hamba Tuhan untuk memperkaya diri. Itu benar-benar suatu tantangan buat saya. Ya sudah saya bermain di situ, dan seperti biasa saya menerima peran itu seperti menerima peran yang lain. Jadi semuanya saya lakonkan hanya seperti saya bermain sinetron biasa saja. Tapi saya lupa jadinya, bahwa sebetulnya peran saya disini cukup fatal juga. Tingkat kesulitan di sinetron ini sangat tinggi, karena dialog-dialog yang diucapkan disitu ialah benar-benar mengambil dari Bible,” tutur kelahiran Manado, 19 Juli 1974 ini.
Gara-gara nyepelein inilah, Marcel sempat ngerasain nggak bisa lancar pas harus ngucapin dialog. Pas adegan berkhotbah, satu shoot gagal dijalaninya dengan baik dan penggemar komik Superman ini harus berulangkali take. “Akhirnya pada saat itu, ditengah-tengah kebingungan saya, sempat ada umat dari gereja situ yang ngomong sama saya, ‘Kenapa Mas Marcel?’, ‘Iya nih saya nggak bisa ngomong nih susah banget. Seumur-umur saya jadi pemain, baru sekarang tuh ngomong dialog itu susah banget.’ Saya bilang kan kesulitannya tadi karena harus ngucapin nats-nats dari Alkitab, dan itu nggak semudah saya ucapkan biasa aja. Terus akhirnya dia bilang, ‘Mas Marcel sudah berdoa belum?’ Itu yang benar-benar membuat saya jadi tersadar. Aduh…itu yang saya lupa.” Alhasil setelah berdoa, Marcel pun dengan lancar menyelesaikan dialognya dengan sukses. “Sebenarnya apa yang saya kerjakan itu, walaupun bukan cuma berhubungan dengan sinetron rohani, tapi apa saja begitu, namanya segala sesuatu saya harus berdoa,” ujar penggemar olahraga beladiri, yang kini tak pernah melewatkan sedetikpun dalam hidupnya dengan berdoa.

Mengutamakan prestasi
Pas seumuran kita-kita, Marcel sering diledekin cowok kuper gara-gara nggak pernah mau ikut gaul sama teman-teman lainnya. “Waktu masih abege, saya itu tidak kenal yang namanya jalan-jalan lah, hura-hura, pokoknya senang-senangnya masa-masa remaja itu nggak saya rasakan. Saya justru cuma tahunya di rumah saja. Aduh saya benar-benar gimana ya... karena saya memang hanya tahu sekolah dan olahraga. Kedua dunia itu yang saya tahu dari pertama kali saya lahir. Itu yang menyebabkan saya nggak pernah berkenalan dengan mereka-mereka yang gaul. Saya memang sempat dikatain, ‘Ah lu payah…’ Tapi akhirnya dengan saya menunjukkan prestasi-prestasi olahraga, saya jadi juara nasional, akhirnya orang otomatis segan dengan saya, dan itu semuanya jadi bumerang balik. Akhirnya saya selalu diidentikkan dengan unsur-unsur kepemimpinan selama saya sekolah. Pas SMA itu saya jadi ketua OSIS, ikut paskibraka, terus saya juga aktif di pramuka, juga di berbagai kegiatan lomba saya selalu jadi komandan. Saya sama sekali tidak menyesali, bahkan saya bangga dengan kondisi saya, malah saya bersyukur pada Tuhan saya punya orangtua seperti mereka yang bisa mendukung saya dari awal. Jadi istilahnya saya benar-benar tidak ada selah sedikitpun yang akhirnya berkenalan dengan orang-orang atau lingkungan yang suka drugs, minum, merokok, malah saya sama sekali tidak merokok. Saya bersyukur dari awal memang saya mendapatkan orangtua yang membentuk saya seperti sekarang ini,” papar putera bungsu pasangan dr. Reggy Lefrandt dan Ingrid Wenas ini. Masa remaja memang nggak musti jadi bandel supaya nggak dibilang ‘banci’. “Hidup ini adalah satu kesempatan untuk kita bisa melakukan yang terbaik untuk Dia, Sang Pencipta. Prinsip saya, lakukanlah segala sesuatu sepositif mungkin selagi masih muda.”(ika)


(Telah dimuat di Majalah Rajawali) 

JAIM…OKE NGGAK SIH?


“Tapi buka dulu topengmu…buka dulu topengmu…” Lirik lagu yang dibawakan oleh group musik Peter Pan ini nyeritain tentang seorang cewek  yang jaim abis, sampai-sampai cowok yang pengen kenal deket sama dia memintanya untuk membuka ‘topengnya’ dan menjadi diri sendiri.
Mungkin sebagian dari kita juga ada yang suka jaim alias jaga image untuk berbagai macam tujuan. Ada yang jaim demi menjaga reputasi, demi menjaga harga diri, supaya diterima di sebuah lingkungan, biar nggak kelihatan bodoh, supaya rahasia pribadinya nggak terbongkar en many more alasan lainnya. Just like yang dibilang di Amsal 13:7, “Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak.”
Sometimes kita sendiri juga bingung antara mo jaim or tetap menjadi pribadi yang apa adanya. Mungkin kita berusaha jaga wibawa untuk maksud dan tujuannya yang baik. But, kenyataannya banyak di antara kita yang berusaha untuk jaim, eh…malah kita jadi sosok ‘bertopeng’ (bukan pahlawan bertopeng-nya Sinchan lho ya…), yang hidupnya penuh dengan kebohongan en nggak jadi diri sendiri. 

Jaim=menipu diri sendiri?
For example kisahnya Dodi. Sebagai ketua youth, Dodi punya niatan baik ngadain bakti sosial ke pemukiman kumuh bareng anak-anak youth lainnya.  Pas kunjungan usai, berhubung cacing-cacing di perut sudah nggak bisa diajak kompromi, semua anak yang ikutan baksos pada ngajakin makan. Karena satu-satunya tempat makan terdekat di situ cuma warteg sederhana, mereka semua sepakat untuk mengisi perut di sana. Dodi yang gengsi dengan posisi yang dia punya, berusaha jaim en bilang ke teman-temannya kalau dia nggak lapar dan nggak ikut makan, meski sebenarnya Dodi sudah lapar sekali.
Guys…mungkin selama ini kita berusaha jaim untuk maksud yang baik, namun pada akhirnya kita malah terjebak jadi muna alias jadi orang yang munafik. Tapi bukan berarti jaim itu lantas dibilang negatif en nggak boleh dilakuin lho. Jaga image sih boleh-boleh saja…tapi… kita harus lihat-lihat suasananya. Memang nggak gampang untuk membaca suasana en nggak mudah juga buat kita untuk melihat, apakah kita sudah kelewatan menjaga image atau belum. Salah-salah kita mau kelihatan baik, malah jadi berkesan sombong.
Jaga wibawa nggak musti kita lantas jadi sosok yang munafik, hobi berpura-pura, en nggak mau tampil apa adanya, tapi bagaimana kita berusaha untuk membawa diri dengan baik tanpa harus kehilangan jati diri. Jangan sampai deh kita mau jaim, tapi jadi muna kayak orang-orang Farisi. Ingat khan gimana orang-orang Farisi yang jaim banget?  Mereka hobi banget berdoa di tempat-tempat umum biar dibilang suci. Bukannya pujian or pahala yang mereka dapat, tapi malah menerima celaan bahkan kutukan dari Tuhan Yesus (lihat Matius 23:1-36). Nah…nggak mau khan jadi kayak orang Farisi?

Jaim yang benar?
So, gimana dong sekarang? Mau jaim, tapi nggak pake acara berpura-pura en munafik. Kita  perlu bersihin pikiran dari doktrin yang bilang kalau jaim tuh musti muna. Berbicara terbuka pada diri sendiri ternyata  bisa membantu lho. Tanyakan pada diri kita sendiri, apa sih yang kita takuti sampai kita harus sedemikian rupa menjaga image? Kalau alasan kita tentang hal yang prinsip dan masih masuk akal or masih dalam kadar normal, maybe it doesn’t matter. Tapi kalau sudah mulai berlebih, kita perlu merenung lagi perlu nggak ya kita begitu?
Roma 12:9 bilang, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” FirTu ini sebenarnya nggak cuma mau bilang supaya kita jangan pura-pura dalam mengasihi orang lain. Tapi lebih jauh lagi ayat ini mengingatkan kepada kita untuk nggak hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan, termasuk jaim yang kebangetan.
Well, nggak masalah kalau kita mau jaim. Tapi sekali lagi yang kudu diingat, kita musti jaga wibawa dengan baik en nggak neko-neko. Yang wajar-wajar saja, dan nggak usah pakai acara pura-pura en jadi munafik. Be yourself! Itu yang paling utama.Ok?q(ika)     (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Pemuda Remaja RAJAWALI, 2004)