Minggu, 30 November 2003

TEKANAN KERJA

Bacaan : Yeremia 20:7-18
 “... tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah.”   
(II Korintus 3:5)

Rapat di kantor hari itu begitu melelahkan. Dari pagi hingga malam selama beberapa minggu, saya harus berkutat dengan persoalan pelik di kantor dan berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan tugas. Semua teka­nan yang ada membuat saya  stress. Terlebih de­ng­an po­si­si yang menuntut tanggung jawab saya yang lebih besar. Saya harus menerima kebaikan bahkan juga keburukan rekan-rekan saya dengan lapang dada. Ka­­dang saya bertanya, mengapa mereka bersikap buruk  sementara saya berusaha melakukan yang terbaik untuk mereka. Tak jarang saya me­ngeluh, menga­pa saya yang harus menerima tang­gung jawab yang berat ini.
 
Namun ketika membaca kisah Yeremia dalam bacaan kita hari ini, mendadak saya dikuatkan. Seolah saya men­­­de­ngar Allah berbicara pada saya, bahwa Dia yang me­ngutus saya, Dia juga yang akan memberikan keku­atan ekstra kepada saya untuk menghadapi semua te­­kanan kerja yang saya alami. Bahwa Allah saja yang mem­be­rikan kesanggupan kepada saya, juga pada Anda, untuk menyelesaikan segala tugas dan tanggung jawab yang Allah percayakan pada kita. 

Warning!
Ingatlah! Allah tidak akan pernah mem­biarkan kita melewati lembah kekelaman seo­­rang diri. Jika Ia sudah mempercaya­kan sebuah tanggung jawab yang besar untuk kita, Ia pun akan me­nyer­tai dan memberi kesang­gup­an kepada kita untuk melewati segala badai yang muncul. Jadi, jangan pernah mengeluh ataupun bersandar pada kekuatan sendiri. Andalkan Allah karena Ia yang memberi kesanggupan itu bagi kita.(ika)  
 
(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

 

Selasa, 30 September 2003

Tiang Awan

Bacaan : Bilangan 9:15-23
“Dan kamu, bapa-bapa, ... tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”
(Efesus 6:4)

Sepanjang perjalanan bangsa Israel dari tanah Mesir menuju ke tanah perjanjian. Tak putus-putusnya Allah me­nyer­tai dan melindungi mereka. Mendatangkan manna agar mereka tak kelaparan, memberikan pemimpin yang baik se­perti Musa, menyalakan tiang api di malam hari agar tidak kedinginan dan kegelapan. Allah pun juga menyedia­kan tiang awan yang menudungi mereka dari panasnya terik matahari dan padang gurun. Di saat-saat perjalanan panjang menentang ganasnya gurun pasir, Allah senantiasa memberikan penyertaan dan perlindungan kepada mereka.
 
Demikian pula yang dilakukan Allah kepada kita. Ia tak putus-putusnya memberikan penyertaan dan perlindungan kepada kita. Ia pun menyediakan ‘tiang awan’ dalam hi­dup­ kita, agar kita mampu menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup kita. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadari segala penyertaan dan perlindungan Allah dalam kehidupan kita. Malah sebaliknya, kita kerap bersungut-sungut hanya karena kita menganggap apa yang diberikan Allah belumlah cukup. Jangan berlaku seperti bangsa Israel yang suka bersungut-sungut. Tetapi mengucapsyukurlah untuk setiap ‘tiang api’ yang Allah berikan untuk kita.

Warning!
Ingatlah senantiasa, bahwa ‘tiang awan’ yang da­ri Allah akan selalu ada, menyertai dalam se­ga­la keberadaan kita. Jangan pernah bersung­ut-sungut untuk keadan sulit yang sedang kita ha­dapi. Melainkan rasakan senantiasa segala ber­kat dan pertolongan serta perlindungan-Nya di dalam hidup kita setiap hari. Ucaplah syu­kur untuk segala perkara, karena semua­nya itulah yang membuat kita bertumbuh dalam Kristus.(theo)  


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

Sabar Menanti

Bacaan : Kejadian 29:31-30:24
“..., karena kesabaran men­cegah kesalahan-kesa­lahan besar.”
(Pengkhotbah 10:4)


Seandainya saja Rahel mau bersabar menantikan ja­waban doanya, tentu ia tidak akan berselisih dan bersa­ing untuk mendapatkan anak, dengan Lea, kakak kan­dung­nya sendiri. Seandainya saja Rahel sungguh-sung­guh mempercayai Allah, tentunya ia tidak akan mengalami rasa sakit hati gara-gara dirinya tak kunjung memiliki anak. Se­andainya saja Rahel belajar dari Hana (1 Samuel 1:­1-28) yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah, dan mau bersabar menantikan jawaban doanya. Sa­yang­nya Rahel tak bisa belajar dari Hana, karena ia me­mang hidup di jaman yang jauh lebih awal dari Hana.
 
Terkadang kita pun kerap meneladani Rahel. Tak sa­­­bar menanti kenaikan jabatan, kita pun mulai melakukan hal-hal bodoh. Mulai memfitnah bahkan men­ja­tuh­kan re­kan kerja agar kitalah yang naik pangkat. Tak sabar pu­nya anak, akhirnya rela dimadu. Atau tak sabar dalam a­papun juga. Akhirnya karena ketidaksa­baran itu, kita sen­diri jatuh ke dalam kesulitan besar. Sela­ma kita tidak mau bersandar dan mempercayai Allah dengan sungguh, pikiran-pikiran bodoh akan terus mengelilingi benak kita , yang bisa saja mendorong kita untuk berbuat dosa.

Warning!
Jangan sampai ada sedikitpun pikiran-pikiran ko­nyol yang dapat membawa kita untuk meragu­kan janji Allah. Buang jauh-jauh semuanya itu. Belajar untuk bersabar dalam menantikan janji Allah, serta  mempercayai Allah dengan sung­guh-sungguh, bahwa Ia akan membuat segala sesuatunya indah pada waktunya. Jika hari ini kita mulai meragukan Allah, segera bertobat dan mulai mempercayai-Nya sepenuh hati.(gs) 



(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

Bangsa Yang Ditolak

Bacaan : Amos 9:7-10
“...tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hi­dup, melainkan murka Al­lah tetap ada di atas­nya.“(Yohanes19:18)

Membaca perikop ini, kita diperhadapkan pada sebuah kenyataan yang sangat mengerikan. Betapa Allah teramat murka terhadap bangsa Israel yang sudah berani melawan-Nya. Bangsa Israel sudah lupa dengan apa yang sudah Allah karuniakan kepada mereka selama ini, yakni sebagai bangsa pilihan Allah.
 
Demikian pula halnya dengan kita yang adalah umat pilihan Allah. Kita sudah ditebus-Nya dengan harga yang sangat mahal, lewat pencurahan darah Anak-Nya yang tunggal di atas kayu salib. Namun yang sering kita lakukan, kita melupakan segala karunia Allah pada kita. Kita berbalik melawan Allah, melakukan perbatan-perbuatan yang tak seturut dengan kehendak-Nya, menyakiti hati-Nya, bahkan  melakukan pemberontakan yang tiada habisnya. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian Allah menjadi murka dan mendatangkan malapetaka dalam hidup kita, sebagaimana yang dialami oleh bangsa Israel. Namun sekali-kali Allah tidak akan membiarkan kita dalam kemurkaan-Nya. Ia akan menyurutkan murka-Nya, tentu saja bila kita mau bertobat, mohon ampunan, dan kembali mengikuti rencana-Nya dalam hidup kita.

Warning!
Selama kita terus-menerus hidup tanpa menuruti perintah Allah, dan menjadi orang bebal yang tak mau bebal, hati-hati! Murka Allah atas kita akan turun. Namun jika saat ini juga kita segera mengambil keputusan untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan bertobat, mengakui segala salah dan dosa kita, serta kembali hidup seturut Firman-Nya, niscaya Ia akan mengampuni kita dan segera menyurutkan murka-Nya.(yth) 


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

TITIPAN ALLAH

Bacaan : Efesus 6:4
“...Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah diri­mu! ...”
(Maleakhi 2:15)

“Pokoknya kamu harus menuruti apa kata Papa. Kamu khan sudah Papa sekolahkan mahal-mahal. Kamu harus kerja dengan gaji yang besar, supaya biaya seko–lah yang sudah Papa keluarkan untuk kamu bisa kembali modal,” tegas Andreas pada anaknya. Begitu banyak orangtua kristen, termasuk mungkin di antaranya kita, yang sering merasa bahwa anak-anak yang kita punya adalah milik kita dan dia harus mengikuti segala keinginan kita. Berbakti kepada orangtua sering kita identikkan dengan patuh pada segala perintah orangtua tanpa mem–bantah sedikitpun, karena merekalah yang sudah merawat dan mengasuh anak-anak sejak kecil sampai besar.
 
Ada hal yang penting yang kerap kita sebagai orangtua melupakannya, yakni bahwa anak-anak adalah milik Allah dan bukan milik kita. Kita hanya ‘dititipi’ oleh Allah untuk merawat, membesarkan mereka, seturut de–ngan Firman dan kehendak Allah. Jadi, kita sama sekali tidak berhak memaksakan keinginan kita pada anak, a–taupun menentukan nasib dan masa depannya. Jika kita bersikap demikian, sama halnya kita tengah menentang rencana Allah untuk kehidupan anak-anak kita.

Warning!
Apabila ada diantara kita, para orangtua yang masih suka memaksakan kehendak kita pada anak, segera bertobat. Ingatlah bahwa kita sudah dianugerahi dan dipercaya Allah untuk melaku­kan kehendak-Nya, mendidik anak me­nurut ren­cana Allah, dan bukan menurut rencana kita. Ji­ka kita tidak mendidiknya sesuai rencana Allah, yang terjadi hanya akan membuat kegagal­an rencana Allah dalam hidup anak-anak kita.(ica)


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

Senin, 14 April 2003

FILSAFAT SHAKER




Sebenarnya aku nggak terlalu ngerti soal shaker. Apalagi soal  nyampur-nyampurin beragam jenis minuman, dimix sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah minuman yang enak dan bercita rasa. Tetapi hari itu, entah mengapa aku ingin mengamatinya. Aku duduk sendirian. Sembari menikmati makanan, aku memikirkannya. Baru ku sadar, ternyata shaker punya filsafatnya sendiri.
Dengan shaker, kita bisa memasukkan, mencampurkan, mengkombinasikan beragam bahan minuman, yang tentunya masing-masing berbeda, punya keunikan tersendiri, berdiri sendiri-sendiri. Lantas dimix, diaduk, dikocok. Jadilah sebuah minuman yang enak, asyik, dan punya cita rasa tersendiri yang lain daripada yang lain.
Seperti halnya aku dan kamu. Kita berdua masing-masing punya keunikan tersendiri. Jelas kita berdua beda, karena aku perempuan dan kamu laki-laki. Masing-masing dari kita punya sifat yang berbeda-beda, dan kita juga punya cita rasa sendiri-sendiri. Tapi seperrti shaker, demikian pula dengan cinta. Ibarat shaker, cinta sudah mengaduk, mengocok, dan memixkan segala yang ada dari diri kita masing-masing. Semuanya dicampur, berbaur menjadi satu, menghadirkan sebuah rasa yang berbeda, lain daripada yang lain. Dan rasa itu ada dihatimu dan dihatiku. Kita berdua punya rasa yang sama. Semuanya karena cinta.
Aku tidak tahu apakah cinta bisa disamakan dengan shaker. Tapi kurasa cinta lebih dari sebuah shaker. Cinta lebih dari segalanya. Cintalah yang menyatukan kita berdua, menyatukan segala perbedaan diantara kita. Membuat kita menjadi kombinasi yang unik, saling mengisi satu sama lain.
Itu sebabnya aku memberikan shaker ini kepadamu. Sebagai pengingat bahwa seperti itulah kita berdua, juga cinta yang sudah kita jalani selama satu tahun ini. Aku menyadari, kita berdua masih dalam tahap proses pengocokan yang masih cukup panjang waktunya. Kita masih harus dimix, sampai akhirnya nanti rasa yang kita punya benar-benar teruji dan terbukti punya cita rasa yang kuat. Cinta yang kokoh dan kuat. Sebuah rasa kombinasi dari diri kita berdua, yang diikat oleh kasih Allah, dan menjadi berkat bagi sekeliling kita.




Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.
Kolose 3:14

Kamis, 30 Januari 2003

FROM TROUBLE TO TROUBLE



             Nonton film “8 mile”-nya rapper kondang Eminem? Disitu diceritain perjalanan hidup Rabbit sebelum ia jadi penyanyi rap beneran. Rabbit hidup dilingkungan sangat kumuh dengan ibu yang doyan berjudi en gak kerja, gak perduliin anak-anaknya, hidup semau-maunya sendiri. Udah gitu, ia juga nggak dianggep ama lingkungannya yang rata-rata semuanya berkulit hitam. Gak heran kalo si Rabbit ini jadi anak yang brutal, doyan berantem, doyan ngomongin kata-kata yang nggak senonoh, pokoknya hidupnya kacau banget. Tapi biar begitu, Rabbit tetep sayang pada keluarganya. Ia selalu berusaha melindungi dan menasehati ibunya meski seringkali diabaikan, dan Rabbit berusaha keras melindungi adiknya, Lily, yang masih balita, supaya nggak terkontaminasi dengan kekerasan yang ada disekelilingnya. Rabbit nggak pengen adiknya jadi seperti dia dan ibunya.
Nggak sedikit diantara kita, anak-anak muda usia, remaja yang sehari-harinya hidup seperti Rabbit. Mesti kerja keras untuk menghidupi keluarga, hidup dikelilingi dengan kekerasan, kemiskinan dan kesempatan hidup yang hampir nggak ada. Gimana sih reaksi kita waktu dihadapin ama kenyataan hidup yang kayak gitu? Udah ortu nggak mau perduli dengan hidup en masa depan kita, lingkungan kita pun begitu buruknya sampai-sampai sebenarnya nggak layak buat seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Udah gitu nggak ada seorang pun yang mau menolong dan mendukung kita untuk keluar dari semuanya itu. Kebayang nggak betapa betenya kita. Nggak cuman bete, tapi juga perasaan hampa juga menyerang kita. Ngerasa nggak ada gunanya lagi kita hidup ditengah-tengah segala kesumpekan yang makin merajalela. Perasaan itulah yang mungkin kita rasakan. Pengennya lari meninggalkan semuanya itu dan kalo bisa … mati aja deh. Lha? Apa bener semua orang yang merasakan keparahan dan kepahitan hidup seperti itu harus berakhir dengan mematikan diri?

Too Much Trouble Will Kill You

Bukanlah hal yang mudah emang buat kita kalo di usia yang masih belia banget, kita mesti berhadapan dengan real life yang menyakitkan kayak begitu. Perasaan diabaikan, nggak diterima, tertolak, kebencian, kesedihan, kemarahan, balas dendam, semuanya campur aduk menjadi satu. Rasanya pengen banget numpahin semuanya itu ke orang yang deket sama kita, yang mau dengerin en  ngertiin kita. Tapi kenyataannya nggak ada seorang pun yang care ama kita en nggak ada juga yang mau ngerti or dengerin kita. Duh … makin bete-lah diri. Akhirnya, kebanyakan yang sering kita lakuin buat ngebebasin diri dari semua masalah-masalah itu adalah mulai dari nyoba cari perhatian orang lain dengan bereksperimen lewat gaya dan dandanan yang aneh-aneh, ngegeber musik-musik beraliran keras sekenceng-kencengnya di mana aja, en macem-macem lainnya. Yang paling parah nich, kalo kita mulai nyoba-nyobain nge-drugs yang berbagai macem jenisnya, mulai hobby mabok-mabokan, mulai ngikut gaya hidup bebas, mulai punya hobby berantem en tawuran, mulai jadi trouble maker dimana-mana. Nggak di sekolah, nggak di rumah, nggak di mall, nggak di kampus, nggak  di rumah temen, nggak di jalan, pokoknya dimana aja kita nongkrong pasti aja bikin masalah.
Pernah nggak sich kebayang or kepikir dikit aja di benak kita, kalo kita ngelakuin semuanya itu kita justru menjerumuskan diri sendiri semakin dalam dengan masalah yang kita hadepin? Bukan enggak mungkin kita sengaja bikin makin banyak trouble supaya kita cepet mati. Nge-drugs en mabok-mabokan super berat supaya cepet mati or sengaja kebut-kebutan biar tabrakan en akhirnya mati juga, supaya kita bisa segera lepas dari semua persoalan kita. Nah, iya kalo dengan berbuat gila-gilaan begitu kita bisa langsung mati. Lha kalo nggak, kita masih dikasih hidup ama Tuhan, tapi gara-gara gila-gilaannya itu kita jadi cacat seumur hidup. Hi … lebih susah lagi khan. Kalo juga kita bisa langsung mati, jangan  dikira kita terus akan bebas begitu aja. Tetep aja setelah meninggal nanti, kita harus mempertanggungjawabkan semuanya itu di hadapan Tuhan. Inget deh Firman Tuhan di Wahyu 22:12 "Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. Allah nggak akan tinggal diam dengan perilaku kita yang udah menyia-nyiakan hidup. Ia pasti akan melakukan pembalasan setimpal dengan perbuatan kita pada hari penghakiman nanti.

I Can Forgive

Terus mesti gimana lagi ya kita? Kalo mau dirasa-rasain en dipikir-pikir pake pikirannya manusia, rasanya sich emang udah nggak mungkin lagi kita bisa bertahan hidup. Rasanya percuma aja kita ini hidup. But … wait … Kita ini anak Tuhan lho! Kita kenal Kristus yang sanggup menolong kita. Yah … mungkin rasanya buat kita imposible banget. Tapi Dia sanggup melakukan apa aja, bahkan hal yang mustahil sekalipun bagi kita.
Bukan hal mudah memang ketika kita harus berjuang untuk tetep terus berjalan di jalannya Tuhan sementara keterpurukan dan kekerasan hidup senantiasa menghiasi hari-hari dalam hidup kita. Tapi kita bisa belajar dari seseorang yang punya pengalaman hidup mirip dengan yang kita alami sekarang. Namanya Yefta. Kalo kita baca kisahnya mas Yefta di Hakim-hakim 11:1 – 11, disitu kita bisa ngeliat  betapa mengenaskannya hidup Yefta. Sudah anak seorang pelacur, diusir dari rumah ayahnya oleh saudara – saudaranya yang notabene adalah anak-anak dari istri sah ayahnya, akhirnya Yefta lari dan hidup dengan perampok-perampok. Bisa kebayang deh betapa sulitnya hidup Yefta. Yefta juga sempet protes en kesel banget waktu keluarganya diserang musuh, t’rus mereka malah minta bantuan Yefta. Kalo kita yang ada di posisinya Yefta, mungkin kita udah ogah banget nolongin mereka. Boro-boro nolongin, maafin aja udah ogah banget. Mungkin kita berpikir, buat apa perduliin mereka kalo dulu aja udah nolak en ngusir-ngusir kita. Tapi, mas Yefta ternyata nggak kayak gitu lho … Dia lebih memilih untuk ngikut maunya Tuhan ketimbang berbuat nurutin kata hatinya sendiri. Kalo dia mau, bisa aja mas Yefta ngusir sodara-sodaranya en nggak mau bantuin mereka. Tapi Yefta nggak mau berbuat berbuat begitu. Ia nggak mau balas dendam en nggak mau melampiaskan kesuntukannya dengan kebrutalan dan jadi trouble maker. Yefta justru menyerahkan semua persoalan dan pergumulan hidupnya pada Tuhan (Hakim-hakim 11:11b). Dia bahkan mau mengampuni keluarganya dan mau menolong mereka.
Mungkin kita ngerasa susah en berat banget buat bisa ngambil keputusan kayak mas Yefta. Tapi ia bisa ngasih teladan yang baik untuk kita agar bisa mengampuni orang-orang yang terdekat dengan kita yang telah melukai hati kita. Jangan sampai kita justru mengikuti kebiasaan orang dunia yang nggak kenal Tuhan Yesus, yang lebih memilih untuk melarikan diri dan melampiaskannya pada drugs, mabok-mabokan, berantem, dandan aneh-aneh, or selalu bikin masalah dimana-mana. Jangan juga kita ngikutin saran dunia yang lebih suka kita nggak mau mengampuni orang-orang yang udah nyakitin en ngelukain kita. Cari masalah, bikin masalah, jadi trouble maker, bukannya membawa kita lepas dari kesulitan, tapi sebaliknya justru akan menjebloskan kita pada kesulitan yang makin besar.
Kalo kita udah ngaku sebagai anak Tuhan dan udah terima Yesus dalam hidup kita, mestinya kita bisa menyerahkan semua pergumulan kita pada Tuhan. Jangan pernah memikirkannya dengan pikiran manusia kita, tetapi belajar untuk mempergumulkan dan memikirkannya menurut pikiran Tuhan. Jangan pernah mengandalkan kekuatan kita sendiri untuk bisa mengatasinya. Tapi serahkan dan percayakan saja pada Allah. Biarkan Allah bekerja untuk menolong kita. Jangan lupa juga. Bukalah hati untuk mau mengampuni, mau memaafkan, dan mampu menerima kembali orang-orang yang sudah melukai kita, supaya Allah bisa all in dalam memulihkan hidup kita. OK?(gyt)

(Telah dimuat di Majalah Warning!)