Minggu, 31 Oktober 2010

NGGAK LAGI-LAGI…



10 April 2006 silam, bintang sinetron ’Ada Apa Dengan Cinta’, Revaldo Vivaldi ditangkap polisi dalam sebuah pesta narkoba. Akibatnya, Revaldo harus mendekam di penjara selama dua tahun dan diharuskan membayar denda sebesar satu juta rupiah. Tak lama setelah menghirup udara segar kebebasannya, 20 Juli 2010 lalu lagi-lagi Revaldo harus menikmati dinginnya jeruji besi gara-gara kasus yang sama, narkoba. Nggak cuma Revaldo, bintang film Ibra Azhari pun juga mengalami hal seruap. Setelah beberapa tahun lamanya harus mendekam di penjara gara-gara tersangkut kasus narkoba, untuk keempat kalinya Ibra ditangkap polisi pada  23 Agustus 2010 karena kasus yang sama.
Sobat muda, masih ingat, nggak, dengan pepatah yang bilang, ”Keledai pun tak akan jatuh ke lubang yang sama.” Namanya manusia, pasti pernah, dong, melakukan kesalahan. Nggak terkecuali juga dengan kita. Kita pun pasti pernah melakukan kesalahan. Entah itu kesalahan kecil, maupun kesalahan yang besar dan bahkan sampai fatal. Nah, yang jadi masalah, nih, dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat itu, pernahkah kita belajar dari kesalahan tersebut dan mencoba untuk tidak mengulanginya?

Ogah introspeksi
Namanya anak muda, kadang-kadang kita suka cuek dengan yang namanya introspeksi diri. Ketika kita berbuat salah dan kesalahan itu sudah bisa dibereskan, kita malas introspeksi dan belajar dari kesalahan itu sendiri. Kok bisa gitu, ya? Yup! Karena kita sering menganggap enteng kesalahan tersebut. Kita menganggap yang penting kesalahan itu sudah dibereskan. Titik. Stop sampai di situ  saja. Kalau suatu saat kesalahan itu terjadi lagi, yah... itu urusan belakangan. Padahal semestinya kita nggak boleh seperti itu. Kalau kita nggak mau belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat, selamanya kita akan terjebak dan terus menerus mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.
Lalu apa yang harus kita lakukan supaya nggak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Yang pertama jelas kita harus bisa introspeksi diri. Lewat introspeksi diri ini, kita mengingat-ingat kembali apa saja yang sudah dilakukan sehingga kita melakukan kesalahan tersebut. Nah, dari sinilah kita bisa tahu dan mengambil langkah-langkah selanjutnya, supaya lain kali nggak melakukan kesalahan lagi yang serupa.

Nggak takut berbuat benar
Salah satu kendala mengapa kita jadi mengulangi kesalahan yang sama adalah karena kita takut melakukan hal yang benar. Contohnya, nih, biasanya kita malas pergi ke gereja dan lebih suka nongkrong dan gangguin orang di mal  bareng teman-teman se-gank. Nah, pas kita udah tahu kalau perbuatan itu salah dan pengin bertobat, kita malah nggak jadi bertobat dan kembali melakukan kesalahan yang sama karena takut dibilang sok alim sama teman-teman se-gank kita.
Om Paulus pernah melakukan kesalahan fatal dengan selalu memburu serta mengancam akan membunuh murid-murid Tuhan Yesus. Sampai pada akhirnya ia bertobat dan menjadi murid Kristus. Om Paulus nggak takut berbuat benar, meskipun untuk itu resikonya adalah dia harus berhadapan dengan Imam Besar dan orang-orang Yahudi  yang dulu pernah menjadi sekutunya (Kisah Rasul 9:1-31). Om Paulus percaya, bahwa ketika kita mau sungguh-sungguh belajar dari kesalahan, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi kita.
Nah, belajar dari pengalaman Om Paulus, sudah semestinya kita pun belajar untuk nggak lagi melakukan kesalahan yang sama. Kita juga bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh di dalam Alkitab, dan bagaimana mereka belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Om Paulus dalam 1 Korintus 10:11 juga mengingatkan kita, ”Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba.”
Pepatah pernah bilang, ”Keledai nggak akan jatuh dua kali ke lubang yang sama.” Nggak mau, dong, jatuh lagi dalam kesalahan yang sama. Memang selalu ada harga yang harus dibayar akibat kesalahan yang pernah kita lakukan. Akan tetapi selama kita mau bertobat serta belajar dari kesalahan tersebut serta nggak mengulanginya lagi, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan kekuatan bagi kita untuk hidup benar seturut kehendakNya. So, nggak lagi-lagi jatuh di kesalahan yang sama ya...(ika) (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2010)

PILIH AKU ATAU MEREKA…?

Bulan Maret 2010 lalu, artis belia Juwita Bahar kabur dari rumah ayahnya, Memo Sanjaya, gara-gara dilarang sang ayah pacaran. Kabur dari rumah sang ayah, Juwita kemudian memutuskan untuk tinggal dengan ibunya, Annisa Bahar, yang sudah bercerai dengan ayahnya. September 2010, lagi-lagi Juwita kabur dari rumah ibunya dengan alasan yang sama, karena tidak mengizinkan Juwita berpacaran.
Hmm… jatuh cinta memang berjuta rasanya. Apalagi buat sobat muda yang baru-baru kenal namanya cinta... Duh...  yang terbayang di depan mata pasti cuma dia... dia... dia... dan dia lagi. Apapun yang dilakukan, pokoknya demi si dia pasti akan terlaksana. Biarpun seribu badai menghadang, si dia tetaplah pujaan hati yang bakal di nomor satukan. Masalahnya ketika sang pujaan hati sudah dikenalin ke ortu, terus ternyata mereka nggak memberikan respon yang positif atas hubungan kita alias nggak setuju. Wedew... mau nggak mau, suka nggak suka kita lantas dihadapkan pada dua pilihan. Milih si dia atau ngikutin maunya ortu.

Nggak ada maksud buruk, kok...
Namanya orangtua, pastilah selalu menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Kalaupun sampai mereka melarang anaknya berpacaran, pastinya ada alasan dari mereka yang tentu saja nggak ada maksud yang buruk  buat kita. Namun lantaran kita sudah terlanjur cinta sama si dia, segala macam larangan dari ortu jadi terdengar seperti sebuah pertentangan buat kita. Kita merasa ortu sama sekali nggak ngerti perasaan kita. Kita merasa ortu itu egois dan hanya mementingkan kemauan mereka saja.
Well... well... well... padahal nggak sejelek itu kok... Mereka cuma nggak mau kita jatuh ke dalam pergaulan yang nggak sehat. Namanya orangtua, pastilah mereka sangat khawatir dengan pergaulan anak muda zaman sekarang yang seringkali kelewat batas. Nggak cuma itu aja, kalau mereka tahu bahwa ternyata pacar kita ternyata bukan anak baik-baik, so pasti mereka bakal nggak ngizinin kita pacaran sama orang yang nggak jelas dan yang nggak baik kelakuannya. Apa yang dilakukan oleh ortu pada kita nggak lain adalah bentuk rasa cinta mereka kepada kita, karena mereka sayang pada kita dan nggak pengin hal buruk terjadi pada kita.

Nggak perlu bingung
Nah, kalau kondisi kita cinta banget sama si dia tapi ternyata ortu nggak ngizinin, rasanya memang kita seperti dihadapkan pada dua pilihan berat. Mana yang harus dipilih… Si dia yang sangat kita cinta, atau  ortu yang sangat kita sayang? Hmmm… bingung, kan? Jelas kita nggak mau kehilangan orang-orang yang kita sayang, apalagi sampai melawan ortu. Actually kita mestinya nggak perlu bingung-bingung, kok. Kalau kita mau belajar memahami apa yang diinginkan ortu, dan nggak dibutakan cinta semata, kita pasti bisa paham kalau ortu cuma mau yang terbaik buat kita.
That’s why guys, mulai saat ini kita harus belajar berpikir jernih dan nggak dibutakan oleh cinta semata. Ingat, lho, cinta itu kuat seperti maut (Kidung Agung 8:6). Kalau kita nggak menjaga hati kita hingga dibutakan oleh cinta, kita nggak bakalan bisa berpikir jernih untuk bisa memahami nasehat serta keinginan ortu. So, mulai sekarang, kalau ternyata ortu melarang kita pacaran dengan si dia yang saat ini jadi pacar kita, mulai introspeksi diri. Adakah yang salah dengan gaya pacaran kita? Adakah kita terlalu cinta dengan si dia sehingga kita melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran? Terus cek juga si dia… Benarkah dia pasangan yang tepat yang Tuhan berikan buat kita? Kalau hati dan pikiran kita nggak dibutakan cinta, kita pasti bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jernih. Dengan begitu kita nggak bingung-bingung lagi, dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang benar. Jangan lupa untuk senantiasa melibatkan Tuhan dalam hal ini, supaya kita nggak salah langkah. Okay?q(ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2010)