Selasa, 28 April 2015

IT’S GOOD TO BE TRUTH



Batin Naomi dilanda bimbang. Sekujur  tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Sesaat tangannya bergerak ingin mengeluarkan catatan kecil yang sudah disiapkannya dari rumah. Namun, mendadak Naomi mengurungkan niatnya itu. Hati kecilnya berkata, “Jangan lakukan itu!” Tapi, pelan-pelan tangannya mulai bergerak lagi, berusaha meraih catatan kecilnya. Namun akhirnya Naomi menghentikan segala usahanya mengambil catatan kecil itu. Ia putuskan untuk berusaha mengerjakan sendiri soal-soal ulangan itu tanpa menyontek. Tak perduli meski hasilnya nanti jelek karena Naomi tidak belajar dengan maksimal, tapi hatinya merasa lega karena nilai ulangannya adalah murni hasil usahanya sendiri, dan bukan hasil dari menyontek.

Antara ‘benar’ dan ‘salah’
Sobat muda, di zaman yang suka terbalik-balik seperti sekarang ini, kita sering dihadapkan dengan berbagai macam persoalan hidup yang bikin kita bingung dalam menentukan sikap. Nggak sekali dua kali, kita harus berhadapan dengan situasi ketika ngelakuin hal yang benar ‘dianggap’ salah, ngelakuin hal yang salah ‘dianggap benar’ tetapi bertentangan dengan hati nurani. Dalam situasi seperti itu, nggak jarang yang terpampang di mata kita adalah pilihan untuk melakukan hal yang salah, namun hal itu ‘dianggap benar’ olah lingkungan sekitar kita, meski harus melanggar hati nurani.
Di tengah pergumulan untuk memilih antara melakukan yang benar tapi ‘salah’ dengan melakukan yang salah tapi ‘benar’, pada akhirnya kita lebih banyak mengalah dan menyerah pada pilihan untuk melakukan hal yang salah namun dianggap ‘benar’. Di mata teman-teman ataupun lingkungan sekitar saat itu, kita mungkin akan ‘aman’ karena sudah melakukan hal yang ‘sewajarnya. Akan tetapi di mata Tuhan, jelas apa yang kita lakukan adalah salah.
Seperti halnya kisah Naomi di atas. Di mata teman-temannya, menyontek adalah sesuatu hal yang ‘biasa’ dilakukan demi mendapatkan nilai bagus. Tapi jelas di mata Tuhan, menyontek adalah hal yang salah. Namun dengan pergumulan batin yang cukup berat, Naomi akhirnya mampu mengambil keputusan yang benar, meski mungkin dengan resiko nilai yang didapatkannya nggak sebagus yang diharapkan.

Benar itu luar biasa
Mengambil keputusan yang benar dan tepat dalam situasi seperti di atas kelihatannya mudah. Tapi justru menjadi sulit ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa orang-orang di sekitar kita nggak selalu bisa menerima keputusan yang seharusnya benar. Lalu, apa yang harus kita lakukan di saat-saat seperti ini? Haruskah kita mengikuti arus dan menjadi sama dengan orang lain pada umumnya? Pilihan untuk hidup benar adalah sebuah pilihan yang luar biasa, saat kita sungguh-sungguh mau menjalaninya di tengah-tengah hidup yang penuh dengan ketidakbenaran. Sebagai murid Kristus, Allah tentu saja ingin kita semua hidup dalam kebenaran.  Ingatlah bagaimana firman Allah mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik kita dalam kebenaran (II Timotius 3:16).
Om Paulus jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).  Memilih hidup benar di antara berbagai perilaku salah yang dianggap benar memang membutuhkan perjuangan berat. Mungkin sobat muda akan mengalami banyak tantangan. Diejek karena dianggap sok-sokan hidup benar, atau mungkin dianggap sok suci. Namun ketika kita memilih hidup benar seturut dengan kehendakNya, percayalah bahwa Allah akan memberikan kekuatan ekstra kepada kita untuk tetap hidup benar seturut dengan firmanNya. Tentu saja itu akan terjadi jika kita mau terus bersandar kepada Allah.(ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi April 2015)
 

THE TEMPTED



I’m falling in love. I really in love with her. She’s my true love. Apapun yang terjadi, gue harus ngedapetin dia untuk jadi pasangan gue. Gue yakin dia orang yang tepat untuk mendampingi hidup gue.” Begitulah tekad Daniel untuk mendapatkan Soraya, gadis pujaan hatinya. Meski Daniel tahu, Soraya bukanlah gadis yang baik. Daniel tahu, selama ini Soraya hanya sekedar memanfaatkan dirinya untuk kepentingan Soraya semata. Hingga suatu saat Soraya meninggalkan Daniel demi cowok lain yang lebih tajir. Daniel pun merasa dunianya runtuh, dan menganggap apa yang dialaminya adalah sebuah cobaan dari Tuhan. Hmm... wait a minute... benarkah Daniel dicobai Tuhan?

Dicobai atau mencobai diri sendiri?
Hampir semua orang mungkin pernah terpuruk gara-gara cinta, seperti yang dialami Daniel. Nah, berapa banyak di antara sobat muda yang kemudian bersikap seperti Daniel, menganggap bahwa apa yang sudah terjadi adalah cobaan dari Allah? Guys, coba, deh, diingat-ingat. Seberapa seringkah kita mengatakan bahwa semua  persoalan hidup yang dialami adalah cobaan dari Allah? Sekali, dua kali, atau... selalu?
Sobat muda, satu hal yang harus diingat bahwa, “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” (Yakobus 1 : 13). Jelas, bukan, bahwa Allah nggak pernah mencobai kita? Kenyataannya yang sering terjadi adalah pencobaan itu datang karena kesalahan kita sendiri. Contohnya, ya, kisah Daniel di atas. Sejak awal, Daniel tahu bahwa Soraya bukanlah pasangan hidup yang Tuhan berikan untuknya. Namun karena Daniel terus memaksakan diri, akhirnya ketika Soraya benar-benar meninggalkannya, ia pun ‘mengkambinghitamkan’ Tuhan dengan mengatakan bahwa semuanya itu adalah cobaan dari Tuhan.
Akibat nggak mau dengar-dengaran dengan Allah dan ogah menuruti kehendakNya, setiap kali jatuh dalam pencobaan karena kesalahan sendiri, kita pun jadi suka menyalahkan Tuhan. Inilah sumber pencobaan yang kita alami, yaitu keinginan manusiawi kita sendiri. Sudah tahu kalau yang dilakukan salah, namun tetap dilanjutkan. Nah, ketika terus dipertahankan, lama-lama akhirnya kita pun jatuh ke dalam dosa.

Ketika pencobaan itu datang...
Lalu apa yang harus kita lakukan agar terhindar dan terlepas dari cobaan hidup yang bersumber dari tingkah laku kita sendiri? Pertama, sudah pasti kita harus bertobat dan mengakui segala kesalahan kita di hadapan Tuhan. Berdoa dan mohon pengampunan dari Allah atas segala kesalahan yang sudah kita perbuat. Kedua, belajar sungguh-sungguh taat kepada Allah.  Ketika kita mengasihi dan menempatkan Allah di atas segalanya, kita juga belajar untuk taat dan mau dengar-dengaran dengan Allah. Memang, pada kenyataannya belajar untuk taat kepada Allah tidak semudah seperti kita berbicara. Ada perjuangan dan usaha keras di dalamnya, ketika di satu sisi ingin taat pada Allah, sementara di sisi lain kita pun juga ingin bebas melakukan apa yang menjadi keinginan hati kita.
Nggak gampang memang agar kita bisa menang atas pencobaan. Namun kalau kita mau sungguh-sungguh berharap kepada Allah, tetap taat dan setiap pada firmanNya, tentunya kita akan diberi kekuatan untuk menghadapi segala pencobaan yang ada. Kalau kita merasa lelah dan hampir menyerah menghadapi setiap pencobaan hidup yang terjadi, remember, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13). Keep your spirit in Christ!(ika)

(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi April 2015)