Rabu, 31 Mei 2006

MONEY POLITICS DALAM GEREJA


       Semasa Viona masih kuliah di kota pelajar dan aktif melayani di sebuah gereja, boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam pelayanan, melayani dengan sepenuh hati untuk Tuhan. Tak pernah terbersit di benak mereka bahwa pelayanan yang dilakukan tersebut akan mendapat imbalan, apalagi dalam bentuk uang. Bagi Viona, itulah pelayanan yang sesungguhnya. Namun semuanya itu musnah saat Viona menginjakkan kakinya di ibukota untuk masuk dunia kerja. Maksud hati ingin tetap terus melayani, membuat Viona mulai mencari tempat ibadah yang tetap agar ia juga dapat melayani di sana. Namun betapa terkejutnya Viona ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di sebuah gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu sebagai majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara pun, setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak pernah ia bayangkan bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan untuk ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai ‘budget’ khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut aktif dalam pelayanan di gerejanya sendiri.
 Ironis sekali! Di tengah-tengah situasi di mana kerinduan untuk melayani Tuhan didengungkan di mana-mana, ternyata justru ada gereja-gereja yang telah ‘kehilangan iman’ untuk mendapatkan jemaat-jemaat yang memiliki hati untuk melayani Tuhan dengan sepenuh hati di gerejanya sendiri. Suatu hal yang tragis dan mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Ooo, ternyata ada juga gereja-gereja yang seperti itu.” Tapi… jangan salah! Mungkin banyak juga di antara kita yang sudah tak heran lagi dengan ‘perilaku’ gereja yang semacam ini. Ada pula yang berpendapat, bahwa ‘membayar’ jemaat supaya aktif dan rajin terlibat di pelayanan gereja, adalah sesuatu hal yang sangat perlu dan gereja harus menyediakan anggaran untuk itu, untuk menarik minat jemaat terlibat lebih aktif dan semakin giat di dalam melayani Tuhan. Di samping itu, gereja dapat ‘menolong’ jemaatnya untuk mendapatkan ‘penghasilan tambahan’. Wow… suatu hal yang baik dan mulia bukan? 

HAMBA TUHAN ATAU HAMBA UPAHAN

          Albert, eksekutif muda sebuah perusahaan periklanan yang juga seorang pemain musik di gerejanya. Karena pelayanannya sebagai pemain musik cukup menyita waktunya, gereja tempat ia melayani juga memberikan ‘persembahan kasih’ untuknya yang  jumlahnya lebih besar dari gajinya di perusahaan iklan. Belakangan ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanannya di perusahaan iklan tersebut, dan memilih menjadi fulltimer sebagai pemain musik di gerejanya.
 Seringkali ketika kita diperhadapkan pada situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas, tak jarang kita pun menjadi bingung hingga akhirnya malah kehilangan motivasi pelayanan yang sesungguhnya. Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang sesungguhnya dalam melayani Tuhan. Keputusan untuk melayani sebagai fulltimer ini diambil jika memang pelayanan yang kita lakukan tersebut menyita seluruh waktu kita. Tetapi lebih dari pada itu, hal terutama yang harus disadari adalah bahwa keputusan tersebut dibuat karena Allah sungguh-sungguh memanggil kita untuk melayani Dia sepenuh waktu.
      Sebagai contoh, Boy. Seorang song leader di sebuah lembaga pelayanan yang setiap harinya mengadakan pelayanan dalam ibadah-ibadah/ persekutuan-persekutuan di berbagai tempat. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk pelayanan ini, sehingga ia tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membagi waktu dan konsentrasi dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan. Melalui pergumulan yang cukup panjang serta panggilan untuk melayani yang begitu kuat, ia memutuskan untuk fulltime sebagai songleader di lembaga pelayanan tersebut, dan meninggalkan pekerjaannya di dunia sekuler.
         Dalam hal ini, Boy memang sungguh-sungguh telah ‘kehabisan’ waktu untuk pelayanannya. Namun apabila pelayanan yang kita lakukan tidak menyita seluruh waktu kita, dalam arti pelayanan yang kita lakukan tersebut hanya di hari-hari tertentu saja, tidak perlu memutuskan untuk menjadi fulltimer, karena waktu-waktu luang di luar pelayanan kita cukup banyak, dan pelayanan  tersebut dapat dilakukan sambil tetap menekuni pekerjaan utama kita. Kalau keputusan sebagai fulltimer dilakukan hanya karena ‘penghasilan’ sebagai fulltimer jauh lebih besar dari pekerjaan utama kita, berhati-hatilah! Semuanya itu dapat menjadi bumerang bagi kita, karena orientasi kita bukan lagi kerinduan untuk melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh, melainkan untuk mendapat uang yang lebih besar. Inilah yang perlu diwaspadai. Sebelum Anda memutuskan untuk menjadi fulltimer, periksalah kembali motivasi Anda yang sesungguhnya. Jangan sampai kemudian kita terjebak dan pada akhirnya mencurangi Allah dengan menjadi ‘hamba-hamba upahan’, Seperti yang diingatkan oleh Firman Tuhan dalam Titus 2:10, “jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah Juruselamat kita.” 

GEREJA MENJERUMUSKAN JEMAAT

       Pada awalnya, sebuah gereja yang cukup terkenal di salah satu kota besar, memberikan ‘per-sembahan kasih’ kepada pelayan-pelayan di gereja tersebut, seperti singer, pemain musik, songleader, worship leader, dan lain-lain, untuk memberikan penghargaan kepada mereka atas pelayanan yang sudah mereka lakukan. Namun belakangan hal ini justru disalahgunakan dan juga disalahartikan. Akibatnya setiap diminta melayani para pelayan-pelayan tersebut mempunyai ‘tarif-tarif’ tertentu yang mengakibatkan orientasi para pelayan ini bukan lagi pada pelayanan itu sendiri melainkan karena uangnya.
        Ada beberapa gereja yang memberikan persembahan kasih kepada pelayan-pelayan di gereja deng-an alasan untuk memberikan penghargaan. Namun justru inilah yang kurang diwaspadai oleh gereja-gereja tersebut, sehingga masalah ini kemudian menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Mengapa? Sebab orientasi pelayanan jemaat kemudian bukan lagi sungguh-sungguh untuk melayani, melainkan karena ingin mendapatkan ‘persembahan kasih’.
        Pemberian penghargaan terhadap para pelayan ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang salah. Namun ada satu hal yang perlu diingat. Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Baik pihak gereja maupun jemaat-jemat sendiri yang ingin memberikan penghargaan kepada para pelayan di gereja, harus lebih bijaksana dalam memutuskan masalah ini. Jika gereja tidak hati-hati dan kurang bijaksana, akibatnya seperti pada kasus di atas. Gereja justru membuka peluang menjadikan pelayan-pelayan ini sebagai ‘hamba-hamba upahan’, karena para pelayan tersebut mau melayani, demi melihat besarnya jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.
       Kasus yang ditemui oleh Viona di atas jelas sudah tidak benar lagi. Hati-hati! Jika sebuah gereja su-dah mulai melakukan hal tersebut, sama artinya gereja itu sendiri telah ‘membuka’ peluang bagi Iblis untuk memanfaatkan ‘moment’ ini, dan mendorong ‘menjerumuskan’ jemaatnya  untuk menjadi ‘hamba-hamba upahan’. Inilah yang kemudian menjadikan pelayanan tersebut menjadi tidak murni lagi, karena segala sesuatunya dinilai dan dihitung dengan materi. Orang mau aktif melayani kalau ada imbalannya. Hal ini pulalah yang kemudian dikatakan oleh Paulus di dalam II Korintus 11:12-15, dimana jemaat-jemaat yang melayani karena ‘iming-iming’ uang ini kemudian menjadi rasul-rasul palsu dan pekerja-pekerja curang yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus, sama seperti Iblis yang menyamar sebagai malaikat Terang, meski mungkin pelayanan mereka hanya sebatas sebagai pemain musik, anggota paduan suara, singer, dan sebagainya.
       Kalau kemudian gereja beralasan bahwa pemberian ‘persembahan kasih’ ini didasarkan pada keing-inan untuk menolong jemaat yang kekurangan, gereja tetap perlu berhati-hati dan memperhitungkannya dengan lebih bijaksana. Jika memang demikian alasannya, gereja harus jeli untuk melihat, siapa pelayan yang ‘sungguh-sunguh sangat membutuhkan’, dan mana yang tidak, untuk menghindari timbulnya kasus-kasus ‘hamba-hamba upahan’ ini.
      Yang perlu diperhatikan disini adalah, bahwa pemberian penghargaan tersebut tidaklah harus selalu dalam bentuk materi (uang). Gereja seharusnya dapat lebih bijaksana dalam memberikan penghargaan kepada para pelayan ini. Penghargaan tersebut semestinya dapat diberikan dalam bentuk-bentuk yang lain. Misalnya dengan diberikan souvenir, atau sesuatu barang yang sedang dibutuhkan/ bermanfaat bagi si pelayan tersebut. Tindakan ini akan jauh lebih baik, karena dengan demikian gereja pun dalam hal ini juga mengajar jemaat-jemaatnya, supaya jangan melayani karena melihat ‘imbalan’ yang akan mereka dapatkan. Jadi, gereja harus lebih tegas di dalam memutuskan persoalan pemberian ‘persembahan kasih’ ini.


THE REAL SERVANT


       Pada hakekatnya, semua bentuk pelayanan di gereja sebenarnya tidak perlu menerima ‘bayaran’, kecuali bagi mereka yang melayani Tuhan dengan memberikan seluruh waktu, bahkan memberi hidupnya untuk melayani Tuhan. Jadi sudah selayaknyalah jika kehidupan mereka ditopang oleh jemaat tempat dimana ia melayani (I Korintus 9:13).
         Sebagai seorang hamba, kita seharusnya menyadari bahwa sebenarnya penghargaan itu tidaklah kita perlukan. Firman Allah dalam Lukas 17:9 mengatakan, “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Ingatlah, bahwa kita ini adalah hamba Allah. Sebagai  seorang hamba, tentu harus menurut apa yang diperintahkan oleh Tuhan kita, yang adalah Tuan kita. Seharusnya kita bersyukur karena Allah mempercayakan tugas yang mulia itu kepada kita.
      Jadi, mengapa kita harus mengharapkan ‘imbalan’ atau penghargaan atas pelayanan yang telah kita lakukan? Hamba Tuhan yang sejati, melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang dipercayakan kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari panggilan yang kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni untuk melayani Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini tidak layak mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena pelayanan yang kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah Tuhan berikan bagi kita.

        Paulus, rasul Kristus Yesus, juga menuliskan dalam II Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan dihadapanNya.” Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, milikilah hati yang murni disertai ketulusan dalam melayani Dia, dan jangan pernah sekalipun mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.q(yth)     (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Mei 2006)

MENGAMPUNI PASANGAN YANG BERSELINGKUH, MUNGKINKAH?


Apa yang Anda lakukan jika pasangan Anda berselingkuh? Memaki-makinya?
Balas berselingkuh? Menceraikannya? Atau Anda memilih untuk memaafkan
dan memberinya kesempatan kedua?


“Gila !!!” Kalimat pendek itulah yang keluar dari mulut Sarah (bukan nama sebenarnya), 55 tahun, saat mendengar suaminya bukan saja berselingkuh, tapi menikah lagi. Sang suami menikahi selingkuhannya itu dan Sarah terpaksa harus rela dimadu. Seolah tak perduli dengan tingkah suaminya, Sarah sepertinya tak perduli dan cenderung cuek. Meski usianya tak lagi muda, ibu  lima anak dengan sepuluh cucu ini masih hobi berdandan bak anak muda. Rok mini, blouse model u can see, ditambah dandanan menor plus sebatang rokok yang tak pernah lepas dihisapnya. Belakangan ia mengaku telah menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang tak lain supir pribadinya sendiri, untuk membalas kelakuan sang suami.
Kasus-kasus perselingkuhan yang kini kian marak, termasuk dalam kehidupan pernikahan Kristen, membuat banyak pasangan mulai was-was dengan kehidupan pernikahannya. Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pikiran-pikiran buruk, “Bagaimana kalau suami atau isteri saya berselingkuh? Bagaimana kalau pasangan hidup yang saya cintai dan percayai selama ini telah berbohong dan mengkhianati saya?” Lalu hal apa yang pertama kali terlintas di benak kita seandainya menemui kenyataan bahwa pasangan kita ternyata memiliki PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain)? Yang pasti rasa sakitlah yang akan kita rasakan. Kecewa, sedih, tak percaya, bahkan kebencianpun bisa muncul karenanya. Tak sedikit pula yang kemudian melampiaskannya dengan berusaha menandingi ulah pasangannya, dan membalasnya dengan perselingkuhan pula. Lupa sudah  akan cinta yang sudah tumbuh dan mereka bina serta diperjuangkan selama ini. Lupa juga akan sumpah janji setia dihadapan Allah dan jemaatNya. Lupa pula akan rumah tangga yang mereka bina, anak-anak, juga masa depan yang sudah dirangkai bersama. Akhirnya tanpa pikir panjang dan dilandasi dengan emosi juga rasa sakit yang amat sangat, keputusan bercerai rupanya menjadi pilihan terbanyak yang rata-rata diambil suami/ isteri yang diselingkuhi pasangannya. Tak cuma itu, pilihan untuk tetap mempertahankan pernikahan dengan alasan demi anak-anak, tetapi disisi lain melampiaskan rasa sakit hati dengan berselingkuh juga dengan orang lain, rupanya juga banyak dijalani oleh mereka-mereka yang menjadi korban perselingkuhan pasangannya.

Balas selingkuh?Of course, NO!

Membalas tindakan pasangan dengan berselingkuh sudah pasti bukanlah langkah yang tepat. Mungkin itu akan memuaskan emosi kita yang tengah terluka. Tapi di sisi lain, kita sendiri  lupa bahwa apa yang kita lakukan ini justru juga membawa kita jatuh ke dalam dosa perzinahan, dan Allah dengan tegas tidak menghendaki hal ini (Roma 7:2-3). Apapun alasannya, membalas berselingkuh bukanlah langkah yang tepat, karena akan disamping kita berdosa terhadap Allah, hal ini akan makin memperparah kondisi pernikahan kita yang tengah goyah. Keadaan ini bukan tidak mungkin malah akan menggiring pernikahan kita ke ambang perceraian. Masing-masing pihak akan saling menyalahkan karena sama-sama selingkuh. Belum lagi masalah anak-anak yang kian terlantar baik secara fisik dan terutama sekali secara batin, karena kedua orangtuanya lebih memikirkan egoisme emosinya. Walhasil opsi terakhir yang akan diambil tak lain dan tak bukan adalah cerai, karena masing-masing pihak tak dapat lagi mengendalikan emosinya. Wah….
Sebelum semuanya itu terjadi, hindarilah keinginan untuk membalas berselingkuh. Jika hal itu sempat terlintas di pikiran kita, segeralah minta ampun kepada Allah. Lakukanlah proses pemulihan diri dengan datang berserah kepada Allah. Pemberesan hati agar emosi kita diredakan harus dilakukan, agar kita mampu berpikir lebih jernih dan lebih bijaksana dalam mengambil sikap, supaya nantinya kita dapat mengambil keputusan yang tepat dan tidak tergesa-gesa dalam menghadapi masalah perselingkuhan ini

Cerai bukan solusi

       Banyak orang yang menganggap bahwa perceraian adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah perselingkuhan. Paham ini juga yang tengah dianut oleh orang-orang dunia saat ini. Terbukti dengan makin banyaknya kasus-kasus perceraian. Tak perduli itu di kalangan artis ataupun masyarakat biasa. Ironisnya lagi, justru ada banyak pasangan Kristen yang pernikahannya diberkati Allah di gereja, dan sudah sangat jelas bahwa Allah tidak mengijinkan terjadinya perceraian, tetapi tetap saja mereka memaksa bercerai. Bahkan dengan segala cara diusahakan agar bisa bercerai, meski tahu itu tidak akan mendapatkan restu dari gereja terlebih lagi dari Allah. Tapi benarkah perceraian adalah solusi terbaik untuk mengatasi masalah perselingkuhan ini?
        Firman Allah dengan tegas melarang terjadinya perceraian (baca: Matius 19: 6; I Korintus 7:10; I Korintus 7:11b). Lalu apa yang harus dilakukan? Paulus, rasul Yesus Kristus menasehatkan bahwa kita harus berdamai dengan pasangan kita (I Korintus 7:11a). Artinya, kita harus mengampuni pasangan kita yang telah berselingkuh. Bagaimana mungkin? Pasti mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin di hadapan Allah. Harus diakui hal ini memang bukanlah perkara mudah, terlebih bagi kita yang telah tersakiti. Tapi itulah yang harus kita lakukan, mengampuni dan memberi kesempatan kepada pasangan kita untuk bertobat dan dipulihkan oleh Allah. Diperlukan ketegaran hati dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, agar kita mampu memberi pengampunan kepada pasangan kita.
      Belajar untuk mengampuni dan berjiwa besar, itulah yang kita butuhkan untuk menyelamatkan pernikahan kita. Dengan demikian kitapun belajar mempertanggungjawabkan pernikahan yang dianugerahkan Allah kepada kita, supaya jangan sampai kita membawa pernikahan kita ini ke dalam kehancuran.

Bagaimana jika terlanjur diceraikan?

          Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita terlanjur dimadu atau diceraikan oleh pasangan kita? Yang pasti kita tetap harus mengampuni pasangan kita dan mendoakannya agar Allah memberi hikmat supaya dia bertobat dan kembali lagi. Masalahnya, kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Ada banyak diantara kita yang justru tergoda untuk menikah lagi dengan orang lain setelah diceraikan oleh pasangan. Padahal Firman Allah dalam 1 Korintus 7:11 menegaskan bahwa, “Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami …” Mengapa Allah menginginkan kita untuk tetap tidak menikah lagi? Karena di situlah Allah tengah berkarya. Ia tengah menguji kesabaran kita dalam menantikan janji-Nya untuk melakukan pemulihan dalam kehidupan rumah tangga dan pernikahan kita. Di situlah Allah menggodok kita supaya kita mampu menyerahkan persoalan rumah tangga kita pada Allah. Dan di situ juga Allah tengah menguji apakah kita mampu untuk sungguh-sungguh mengampuni dan menerima kembali pasangan kita yang telah melakukan perselingkuhan.
          Apapun itu, yang harus selalu kita ingat adalah bahwa disaat masalah perselingkuhan itu menyeruak dalam hidup pernikahan kita, kita harus melakukan introspeksi diri dan memohon pengampunan kepada Bapa kita di sorga. Yang terpenting yang harus kita lakukan adalah memulihkan hati dan batin kita supaya tidak dikuasai oleh amarah, dendam dan emosi yang meledak-ledak, karena jika kita masih dikuasai oleh semuanya itu, kita tidak akan pernah bisa untuk mengampuni pasangan kita dan tidak akan dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk menyelamatkan pernikahan kita.q(gd)    (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Mei 2006)