Jumat, 31 Oktober 2008

MENGHORMATI ORANGTUA, PERLU NGGAK, SIH?


“Mama ini gimana sih? Bego amat! Masa gitu aja nggak ngerti!” Nggak sekali dua kali Arnold memarahi ibunya dengan kata-kata kasar seperti itu. Bahkan mungkin sudah menjadi kebiasaannya  sehari-hari mengata-ngatai ibunya dengan kata-kata yang menyakitkan. Lain waktu ia juga kerap melawan ortunya yang dianggap kuno, kampungan, dan bikin malu di lingkungan pergaulannya.

It’s really hurt honey....
Sobat muda, bukan cuma Arnold yang sering bersikap seperti ini. Tanpa disadari kita pun sering juga nyakitin ortu, bukan? Mungkin nggak cuma lewat kata-kata, tapi juga lewat tingkah laku kita. Maybe kita nggak pernah menyadarinya karena melihat reaksi mereka yang kayaknya adem ayem saja, diam en sabar  saja. Padahal, tahu nggak sih kalau sebenarnya di dalam hati mereka, tertoreh luka yang perih akibat kata-kata atauapun perbuatan kita yang sudah menyinggung perasaan mereka.
Sometimes ada juga ortu yang meski hatinya sakit,  ‘terpaksa’ mendiamkan perilaku anaknya yang seperti itu, karena merasa kalah omongan, kalah wibawa, kalah pintar dibanding anaknya, karena si anak berpendidikan jauh lebih tinggi. Malah terkadang ada orangtua yang hanya bisa mengelus dada, dan menangis di dalam setiap doanya demi melihat perilaku sang anak.

Whatever the reason...
Terkadang kita pinya segudang alasan yang membuat kita merasa ‘sah-sah aja’ untuk nggak menghormati orangtua kita. Karena kita merasa apa yang dilakukan ortu itu nggak patas dan nggak layak buat dihormati. Entah karena pekerjaannya yang kita anggap hina, entah karena perbuatan ortu kita yang sangat menyakitkan hingga membuat kita merasa enggan untuk menaruh rasa hormat kepadanya, dan segudang alasan lainnya.
Guys, apapun alasannya, meski pendidikan ataupun penghasilan ortu kita rendah sekalipun, tetap nggak ada alasan buat kita bisa berbuat sekehendak hati, apalagi sampai mengata-ngatai mereka dengan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan. Bagaimanapun juga, mereka adalah orangtua yang sudah susah payah melahirkan, merawat, membesarkan, serta membiayai hidup kita dengan segala kerja kerasnya. Semuanya mereka lakukan karena cinta kasihnya kepada kita.
Sampai kapanpun juga, kita tetap berhutang hormat kepada orangtua kita. Meskipun lewat sikap dan tingkah-laku mereka  sama sekali tidak memperlihatkan bahwa mereka layak dihormati. Namun, selama mereka adalah orang-tua kita, selama mereka adalah ayah dan ibu kita, kita punya kewajiban untuk tetap dan terus menghormati mereka, dalam keadaan apa pun dan sampai kapanpun juga. Tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti menghormati orangtua kita.

The bible says...
Masih ingat nggak yang dikatakan firman Tuhan? Di Keluaran 20:12 firtTu jelas-jelas bilang, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” Nah, kalau Allah saja berfirman demikian, coba pikirkan lagi baik-baik, apakah pantas kita berkata-kata dan bertingkah laku yang menyakitkan hati ortu? Seberapapun buruknya ortu kita, mereka tetaplah orangtuamu yang harus kita hormati. Apalagi Allah juga pernah berfirman, “... dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.” (Matius 15:4). Hi... ngeri kan kalau seandainya itu benar-benar terjadi?
Nggak usah jauh-jauh ngebayangin dihukum mati gara-gara mengutuki ortu. Nggak menghormati ortu saja, itu berarti kita sudah berbuat dosa karena melanggar hukum Allah yang ke tujuh. Nah, dosa ini jika tidak dibereskan akan terus berlanjut sampai ke anak cucu kita. Suatu saat nanti kelak, ketika kita sudah punya anak dan mendapati anak-anak ketika yang sangat nakal, suka memberontak dan kurang ajar, ingatlah bagaimana kelakuan kita semasa muda yang seringkali tidak menghormati ortu.
So guys, kalau hari ini ada di antara kita yang masih suka melontarkan kata-kata kasar ataupun melakukan perbuatan yang menyakiti hati ortu kita, segera bertobat. Jangan jadi bebal, karena Allah nggak suka kita menyerahkan hidup kita hanya untuk diperalat Iblis menjadi anak-anak yang tidak taat pada Allah dan tidak menghormati orangtua.q (ika)                     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2008)

Minggu, 31 Agustus 2008

YOU'RE ALREADY FREE


              Beberapa waktu belakangan ini kita dikejutkan dengan berita tentang seorang artis muda cantik yang tengah naik daun, tertangkap polisi gara-gara kasus penyalahgunaan narkoba. Gara-gara tersandung kasus narkoba, karir serta masa depannya pun jadi terbengkalai. Nggak cuma artis saja yang berurusan dengan narkoba, di luar sana bahkan juga di sekeliling kita banyak anak-anak muda yang terjerat drugs hingga masa depannya berantakan. Sekolah nggak selesai, badan sakit-sakitan gara-gara kecanduan, bahkan ada yang harus mendekam di penjara karenanya.
               Gara-gara narkoba juga, kebebasan mereka jadi terenggut. Kemerdekaan mereka untuk meraih cita-cita dengan mulus jadi terhalang. Jeruji-jeruji rumah tahanan, dinding-dinding rumah sakit dan balai rehabilitasi narkoba, menjadi saksi bisu betapa jerat narkoba itu telah merenggut segala yang mereka miliki. Padahal semestinya mereka nggak perlu menjadi orang-orang yang terpenjara, kalau mereka menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merdeka.


Free Will
               Sejak manusia pertama diciptakan, Allah sesungguhnya sudah memberikan karunia yang nggak terhingga buat kita. Apa itu, ya? Yup! Benar sekali! Kehendak bebas alias kemerdekaan atawa kebebasan. Ingat ketika Allah baru menciptakan alam semesta beserta isinya, kemudian Ia menjadikan manusia. Saat itu Tuhan berkata bahwa manusia bebas untuk makan apa saja yang ada di bumi. Ia juga membebaskan manusia untuk memberi nama apa saja terhadap binatang-binatang ciptaan-Nya. Manusia juga diberi kebebasan untuk melakukan apa saja untuk mengolah bumi. (Baca Kejadian 1).
                Ini membuktikan bahwa sejak semula, Allah telah memberikan kebebasan dan kemerdekaan itu dengan cuma-cuma. Kita punya kebebasan untuk melakukan apa saja, sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi bukan berarti kebebasan itu lantas membuat kita jadi liar dan nggak terkendali. Kebebasan yang Allah berikan ini juga menuntut sebuah tanggung jawab, supaya kita nggak jadi sok dan bertindak sembarangan.
              
Kenapa harus terpenjara?
Nah… ini dia masalahnya… Banyak anak muda, nggak terkecuali kita tentunya, yang akhirnya jadi manusia yang nggak lagi bebas, karena kita bertindak sembarangan. Kita nggak bisa mengendalikan keinginan kita dan menjadi liar, sehingga jatuh ke dalam dosa. Ketika kita sudah jatuh dalam dosa inilah, lagi-lagi kita menjadi manusia yang tidak bebas dan terpenjara. Hmm… kok bisa, ya?
Misalnya aja nih, gara-gara nggak mau nilai ulangan jeblok, kita akhirnya memutuskan untuk mencontek pada saat ulangan. Ketika pertama kali  mencontek, kita selalu dihantui rasa takut dan bersalah. Takut kalau ketahuan dan nanti dihukum guru. Kita jadi nggak bisa bebas mengerjakan soal ulangan, karena selalu merasa was-was. Padahal sebenarnya kita nggak perlu merasa seperti itu kalau sebelumnya kita belajar giat, sehingga nggak perlu mencontek.
Itu baru pertama kali. Kalau ternyata pengalaman pertama ini ternyata berjalan mulus alias nggak ketahuan, yang kedua, ketiga dan seterusnya menjadi sesuatu hal yang biasa dan membuat kita ketagihan. Kita justru menjadi semakin malas belajar, karena sudah merasakan ‘kenyamanan’ mencontek. Nggak perlu capek-capek mikir dan belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tanpa disadari, kita pun sudah diperbudak oleh kemalasan. Nggak ada lagi perasaan bersalah, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Lagi-lagi kita menjadi manusia yang nggak bebas, hanya gara-gara kita nggak bisa mengendalikan kemalasan. Sampai pada akhirnya kita kena batunya. Ketahuan mencontek, nilai jeblok, sampai nggak naik kelas. Sekali lagi kita dipenjarakan oleh rasa malu dan juga penyesalan.

Bebas bertanggung jawab
               Semestinya kita nggak perlu jadi orang-orang yang terbelenggu dosa, kalau kita benar-benar bertanggung jawab dengan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita.  Sama halnya ketika orangtua kita memberi kebebasan supaya kita bisa hang out dan have fun dengan teman-teman kita. Tentu saja ada syarat yang mereka berikan. Jangan sampai semuanya itu mengganggu prestasi belajar kita. Artinya, kita diberikan kebebasan untuk mengatur waktu sendiri, kapan kita mau main, kapan pula waktunya kita harus belajar. Kalau kita bisa melakukannya dengan baik, tentu saja nggak akan menjadi masalah dan malah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan bukan?
               So, apa yang harus kita lakukan supaya tetap bisa menikmati kebebasan itu? Jawabannya cuma satu. Belajar untuk mengendalikan diri sendiri. Ketika kita mampu mengendalikan diri, kita juga jadi nggak gampang untuk jatuh ke dalam belenggu dosa. Belajar mengendalikan diri itu bisa mencakup banyak hal. Belajar mengendalikan diri untuk nggak nyontek ketika ulangan, belajar untuk nggak kebablasan main game sampai lupa belajar, belajar untuk nggak boros dengan uang jajan yang diberikan ortu, dan masih banyak lagi.
               Pendek kata, kalau kita sanggup mengendalikan diri, kebebasan itu akan selamanya bisa dinikmati.  Sebaliknya, kalau kita nggak sanggup mengendalikan diri, siap-siap saja untuk menerima kenyataan bahwa hidup kita bakal dibelenggu oleh keinginan yang nggak akan pernah ada puasnya juga nggak pernah akan ada habisnya. Firman Tuhan dalam Amsal 25:28 mengingatkan, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.” Artinya, kalau kita nggak bisa mengendalikan diri, hidup kita akan lebih mudah untuk dihancurkan dan diombang-ambingkan oleh berbagai keinginan. Nah, sekarang pilihan itu ada di tangan kita sendiri. Mau jadi orang yang merdeka, atau jadi orang  yang terbelenggu? It’s up to youq(ika)      (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2008)

TERIMA KASIH TUHAN…

“Aduh… coba kalau aku nggak gendut, pendek, hitam legam, dan penuh penuh jerawat… si Tedy yang ganteng itu pasti sudah naksir aku,” keluh Santi pada dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia mengeluhkan kondisi fisiknya yang menurutnya ‘unpretty’, ketimbang mensyukuri betapa brilian otaknya yang sanggup membawanya menjadi bintang pelajar selama dua tahun berturut-turut.


Nggak seperti yang terlihat
            Sobat muda, nggak sedikit di antara kita yang bersikap sama seperti Santi. Nggak puas dengan bentuk badan, mulai deh diet mati-matian sampai kurang gizi. Nggak puas sama bentuk wajah mulai mempermaknya di sana sini. Syukur-syukur dikaruniai kekayaan, bukannya dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat, malahan dipakai untuk operasi plastik. Kalau nggak punya duit, ya terpaksa mulai pakai make up tebal di sana-sini.
            Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam diri kita sendiri masih banyak potensi diri yang seharusnya bisa kita kembangkan dan patut untuk lebih kita perhatikan, daripada memusingkan persoalan penampilan fisik yang mungkin saja lebih banyak ‘menipu’. Jutaan orang di luar sana bahkan hanya menampilkan wajah-wajah yang terlihat ganteng, cantik dan menawan, tetapi sesungguhnya semuanya itu hanya palsu belaka. Banyak orang yang penampilan luarnya begitu cantik dan sempurna, ternyata hatinya penuh dengan keculasan dan kecurangan.
            Bahkan nggak jarang sampai ada yang rela menukar Tuhan dengan kuasa gelap, hanya demi untuk mempertahankan kesempurnaan fisik. Pasang susuk, mantera, dan lain sebagainya, supaya orang lain yang melihatnya akan tertarik dengan kecantikan atau ketampanannya. Padahal, dibalik semuanya itu, mereka hanyalah orang yang biasa-biasa saja.

Everyone so unique
            Suatu hari di sebuah ruang gereja, seorang gadis menangis tersedu-sedu di pangkuan ibu gembala-nya. “Mengapa Tuhan begitu tidak adil? Mengapa aku dilahirkan bertubuh gendut, pendek, hitam legam, penuh jerawat? Mengapa aku tidak dilahirkan seperti Irma yang tinggi dan langsing, atau seperti Susan yang cantik dan berkulit putih? Mengapa tidak ada seorang cowok pun yang mau mendekatiku? Mengapa?” Sang ibu gembala membiarkan gadis itu melampiaskan seluruh tangisnya. Setelah ia mulai tenang, ibu gembala itu pun membawanya ke belakang gereja.
            “Perkenalkan. Ini Amanda. Dia puteri ibu satu-satunya. Yang itu suaminya, Max. Mereka baru saja menikah. Mereka baru datang dari pelayanan pekabaran Injil di Afrika,” cerita ibu gembala seraya memperkenalkan puteri dan menantunya pada gadis itu. Lamat-lamat gadis itu memperhatikan Amanda. Amanda bukanlah perempuan yang terlahir sempurna. Ia menderita kebutaan sejak lahir. Saat berusia tujuh tahun ia menjadi korban tabrak lari yang membuat kedua kakinya harus diamputasi. Menjelang remaja, tiba-tiba saja Amanda terserang penyakit tulang yang membuat tulang punggungnya bengkok. Namun jelas terlihat di mata gadis itu, Amanda bukanlah sosok yang rendah diri. Ia selalu tersenyum dan tak pernah menyesali kondisi fisik yang dimilikinya. Dari wajahnya memancarkan kecantikan hati tiada tara. Tak heran jika Max yang yang secara fisik sempurna dan terhitung tampan, begitu mencintai, mengagumi, dan menghargai isterinya. Gadis itu pun menjadi malu hati. Kini dia mengerti dan sadar, betapa selama ini dirinya tak pernah mensyukuri kesempurnaan fisik yang dimilikinya.
             Guys, Allah menciptakan kita sedemikian uniknya. So, that’s why kita tuh beda satu sama lain. Meskipun mungkin kondisi fisik kita nggak sebaik or sesempurna orang lain, semuanya itu mustinya nggak jadi alasan buat kita jadi minder, karena kita sangat berharga di mata Allah (Yesaya 43:4). Sebaliknya, kita kudu mengucap syukur atas apa yang Tuhan beri (1 Tesalonika 5:18).
             Maybe kita nggak punya fisik oke, but kita punya inner beauty yang top banget or punya kelebihan lain yang bisa dibanggakan. Mungkin kita memang nggak dikaruniai wajah yang rupawan, tapi kita punya otak yang cemerlang, jago di bidang seni, punya hati yang lemah lembut dan suka menolong orang lain. So, jangan lagi ngerasa minder hanya karena ngerasa nggak cakep, tapi ingatlah segala kebaikan dan kemurahan Allah di dalam hidup kita, dan itulah yang seharusnya kita syukuri.q (ika)     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2008)



Senin, 30 Juni 2008

BOHONG LAGI… LAGI-LAGI BOHONG…


Lagi-lagi Amelia membohongi Mama. Ngakunya belajar bareng di rumah teman. Nggak tahunya asyik hang out di mal bareng teman-temannya. Minggu depannya lagi Amelia bilang mau menginap di rumah sahabatnya buat belajar persiapan ujian. Ternyata itu cuma alasan doang supaya bisa ikutan clubbing sampai pagi. Gara-gara keseringan bohong, lama kelamaan bohong jadi sesuatu hal yang biasa buat Amelia, malah jadi kebiasaan buatnya.
Bohong? Ah…. Itu, mah, biasa… semua orang juga melakukannya. Jadi orang kalo nggak bohong itu rasanya nggak afdol. Nggak usah sok suci, lah… Yap! Omongan-omongan yang, seperti ini, nih, yang menyesatkan. Kadang-kadang kita suka berpikir kalau bohong sedikit adalah hal yang wajar. Bohong sedikit itu nggak akan bikin dosa. Nggak cuma  itu aja. Kadang-kadang kita juga suka menganggap enteng yang namanya kebohongan.

Bohong kecil, bohong putih
Jangan salah, guys! Hal ini justru yang paling berbahaya. Kebohongan-kebohongan kecil yang sederhana yang seringkali kita anggap nggak ada apa-apanya, ternyata semuanya itu justru yang menjerumuskan kita ke dalam dosa yang berujung maut. Sayangnya, hal ini justru seringkali nggak kita sadari karena kita terlalu menganggap enteng dosa dusta yang kita buat.
Nah, ada lagi yang ternyata juga berbahaya. Seringkali juga kita ‘menghalalkan’ yang namanya kebohongan demi sebuah kebaikan. Ini yang kerap kita sebut bohong putih. Contohnya, nih, kita sengaja bohongin sobat kita yang pacarnya ternyata kita pergokin telah berselingkuh. Nah, kita sengaja bilang ke sohib kalau pacarnya itu adalah pacar yang sangat setia (meski sebenarnya hobi gonta-ganti pacar), hanya gara-gara kita takut sohib kita jadi patah hati dan terluka.
Well guys, firman Allah sama sekali nggak mengenal yang namanya bohong kecil, bohong besar, apalagi bohong putih, bohong abu-abu, apalagi bohong hitam. Yang namanya bohong tetap saja bohong. Nggak ada ukuran tertentu yang dapat mengukur besar kecilnya kebohongan. Sekecil apapun kebohongan yang dibuat, sebaik apapun tujuan kita berbohong, yang namanya bohong tetaplah bohong dan itu adalah dosa.

Belajar dari Ananias dan Safira
Firman Tuhan dalam Amsal 19:5 cukup jelas menyatakan, “Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan tidak akan terhindar.” Nah, dari ayat ini kita bisa melihat bahwa sekalipun kebohongan yang kita lakukan sangat kecil atau bahkan itu digunakan untuk tujuan yang menurut kita baik, tetap saja kalo berbohong kita nggak bakalan luput dari yang namanya hukuman.
Kok bisa, ya? Contoh nyatanya bisa kita lihat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11. Cuma gara-gara uang yang mungkin saja nggak seberapa besar dibanding dengan kekayaan yang mereka miliki, Ananias dan Safira harus mati. Apa yang dilakukan oleh Ananias dan Safira adalah pelajaran berharga buat kita semua. Bahwa apa yang kita pikir itu kebohongan kecil yang orang lain nggak mungkin tahu, ternyata Tuhan tahu dan memperhitungkannya. Ananias dan Safira harus meregang nyawa karena kebohongan yang mereka buat.
Nah, beruntunglah kita semua, karena Tuhan masih mau mengingatkan kita senantiasa. Kalau hari ini masih ada di antara kita yang suka bohong, meski itu untuk hal yang kecil, Allah masih memberi kesempatan buat kita untuk bertobat. Apalagi kalau kita sudah mengaku percaya dan dibabtiskan. Itu artinya kita sudah menjadi manusia baru yang seharusnya hidup seperti yang Allah inginkan, menjadi seperti Kristus. Sebagai manusia baru, kita selayaknya meninggalkan dosa-dosa kita di masa lalu, termasuk dusta alias kebohongan (baca Efesus 4:21-25). So, tunggu apa lagi? Jangan buang-buang waktu lagi! Jangan tunggu sampai Allah mengambil nyawa kita, sebelum kita sempat bertobat. Okay?q(ika)      (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2008)

STOP MENUNDA-NUNDA


Hari itu Amelia berangkat sekolah dengan penuh ketergesaan. Sembari sarapan, ia berusaha keras agar PR matematika-nya juga bisa diselesaikannya. Sebetulnya Amelia nggak lupa kalau hri ini ia harus mengumpulkan PR matematika. Tapi kebiasaannya yang suka menunda-nunda pekerjaan itulah yang membuat Amelia selalu disibukkan dengan segala sesuatu yang serba mendadak dan tergesa-gesa.
Sobat muda, mungkin nggak cuma Amelia saja punya hobi suka menunda-nunda pekerjaan. Nggak sedikit di antara kita juga yang suka menunda-nunda segala sesuatu. Makanya, nggak usah heran kalau hidup kita seringkali seperti selalu diburu-buru dan nggak pernah bisa tenang, karena kita seringkali suka menunda untuk menyelesaikan segala sesuatu.

Kenapa suka menunda, ya?
Kalau ditanya alasannya kenapa suka menunda, ada satu jawaban yang paling sering kita dengar. Malas. Penyakit yang satu ini memang nggak bisa nggak, sering jadi sumber utama yang bikin kita punya kebiasaan suka menunda-nunda. Ah, malas… nanti juga pasti selesai, kok. Gara-gara malas inilah, seluruh pekerjaan kita bisa jadi berantakan. Kita jadi nggak punya manajemen waktu yang jelas, sehingga banyak waktu yang terbuang gara-gara kemalasan kita ini. Padahal kalau saja nggak malas, kita bisa menyelesaikan segala sesuatunya tepat waktu, dan bahkan ada banyak hal lainnya yang juga bisa kita selesaikan dengan segera.
Alasan lainnya adalah karena kita nggak punya prioritas. Kalau kita punya prioritas, tahu hal-hal apa saja yang urgent untuk dilakukan dengan segera dan mana hal-hal yang masih bisa menunggu untuk diselesaikan kemudian, kita pastinya nggak bakal kerepotan untuk menyelesaikan seluruh tugas dan tanggung jawab kita. Punya prioritas juga berarti kita punya manajemen waktu yang jelas untuk menyelesaikan seluruh kegiatan kita.

Don’t be lazy!
Nah, kalau sudah tahu bahwa sumber utama kebiasaan suka menunda-nunda adalah gara-gara malas, mulai sekarang kita harus menghilangkan rasa malas yang selalu hinggap dalam diri kita. Semakin kita memupuk kemalasan itu, semakin banyak hal yang akan tertunda, dan semakin banyak waktu yang akan terbuang dengan percuma. Padahal dengan waktu-waktu yang terbuang percuma itu, sebenarnya kita bisa lebih banyak melakukan hal-hal lainnya.
Remember guys, hidup kita sangatlah singkat. Waktu-waktu ini adalah jahat, dan waktu akan terus berlari dengan cepat. Kalau kita nggak bisa memanfaatkan waktu yang kita miliki dengan baik, jangan slahkan kalau nantikan kita ketinggalan dalam banyak hal. Kalau kita suka menunda-nunda, berarti berkat yang akan kita terima pun jadi ikutan tertunda. So, kalau kita nggak mau ditunda, jangan suka menunda-nunda pekerjaan lagi, ya.q(ika)  (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2008)

Jumat, 29 Februari 2008

DIA BUKAN MILIKMU


Aldo kesal sekali. Selama ini ia hampir tidak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri. Seluruh hidup dan waktunya tersia untuk mengurus Evi, kekasihnya yang baru dipacari setahun belakangan. Dari melek mata sampai menjelang merem lagi, ia harus stand by buat Evi. Nemenin sarapan, nganterin sekolah, bantuin ngerjain pr, nganterin les, nemenin belanja, dll. Pendek kata, karena Aldo sudah menjadi pacarnya, Evi merasa bahwa Aldo adalah milikmya sepenuhnya. Pokoknya Aldo nggak boleh jalan bareng orang lain kecuali dengan dirinya. Sikap Evi ini terang saja membuat Aldo berontak, dan akhirnya memutuskan hubungan mereka.

Pacaran = “Penjajahan”?
Sobat muda, seringkali ketika sudah punya pacar, kita suka lupa bahwa masa pacaran adalah sebuah masa penjajagan. Masa di mana kita berusaha untuk saling mengenal satu sama lain sebelum sampai ke jenjang yang lebih lanjut. Sebagian sobat muda ada yang menganggap bahwa masa pacaran adalah masa-masa for just have fun belaka. Tapi nggak sedikit juga yang menganggap kalau kita sudah nembak seseorang buat dijadiin pacar, otomatis si dia adalah milik kita sepenuhnya. Bahkan nggak jarang juga, baru sampai tahap naksir aja, kita sudah menganggap si dia yang kita taksir itu adalah milik kita, so orang lain nggak boleh ada yang menganggu gugat. Buntut-buntutnya, kita bisa berantem cuma gara-gara berebut cewek or cowok yang lagi ditaksir. Ck… ck… ck…
Guys, seoperti yang sudah diungkap tadi bahwa pacaran adalah masa penjajagan di mana kita mulai berteman lebih dekat lagi, kita belajar untuk bisa lebih mengenal pasangan kita lebih dalam lagi. Nggak cuma sekedar bisa bersama-sama ke mana pun kita berada. Nggak juga cuma sekedar menikmati hari bersama dan menjalani hidup seolah dunia hanya milik berdua saja. Lebih dari itu, masa pacaran adalah masa di mana kita bisa belajar untuk saling menghargai, saling mendukung, saling mengerti dan memahami satu sama lain, dan bukannya untuk saling ‘menguasai’.
Remember guys, pacar kita bukanlah milik kita. Ingat bahwa si dia masih milik kedua orangtuanya, demikian juga dengan kita. Kita nggak bisa serta merta mengklaim bahwa dia adalah milik kita sepenuhnya. Coba, deh, perhatiin firman Tuhan dalam Kejadian 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Nah, dari ayat ini kita bisa melihat bahwa selama kita dan pacar kita belum terikat dalam tali pernikahan, berarti si dia belumlah sah menjadi milik kita. So, kalau sudah begitu jelas sudah bahwa meskipun kita sudah resmi pacaran, bukan berarti pacar kita adalah milik kita. Kita juga nggak berhak untuk mengatur hidup si dia semau-mau kita, apalagi sampai ‘menjajah’ dan menguasai seluruh hidupnya.
Sobat muda, mungkin karena rasa cinta yang sangat besar, kita ataupun si dia merasa rela-rela saja untuk melakukan apapun yang dinginkan oleh sang kekasih, demi menyenangkan orang yang dicintai ataupun menunjukkan kebesaran cinta kita. Sah-sah saja kita melakukannya. Tetapi harus diingat bahwa bukan berarti semuanya itu membuat kita jadi lupa akan the real life yang kita punya. Kita punya banyak kewajiban dan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam hidup ini. Kita punya banyak hal yang harus dikembangkan, agar hidup kita punya arti. Apalagi Allah sudah mengaruniakan talenta bagi tiap-tiap orang yang harus dikembangkan. Nah, kalau hari-hari kita isinya hanya buat pacaran aja dan nggak mikir yang lain-lainnya, bagaimana nanti ketika kita harus mempertanggung jawabkan talenta yang sudah Allah berikan buat kita?

Pacaran = Pengenalan
That’s why guys, kita kudu ingat dan sadari sejak dini, bahwa masa pacaran justru harus kita gunakan sebaik mungkin untuk mengenal pasangan kita dan bukan untuk memonopoli hidupnya. Dengan saling memberikan kesempatan bagi masing-masing untuk dapat mengeksplorasi serta mengaktualisasikan diri, menghargai setiap apapun yang dilakukannya, memberikan kebebasan dan memahami apa yang menjadi keinginan dan harapannya, justru akan membuat kita menjadi tahu seperti apa pasangan kita yang sesungguhnya. Nah, kalau kita berusaha memonopoli kehidupan pasangan kita, sama artinya kita sebenarnya nggak siap buat pacaran. Kenapa? Karena kita hanya lebih mementingkan keakuan dan keegoisan kita. Kita nggak mau berbagi, apalagi menghargai kehidupan orang lain yang notabene adalah pacar kita. Kalau sudah begini, bukankah lebih baik nggak usah pacaran aja?
Makanya, mulai sekarang, belajar untuk nggak lagi “sok berkuasa” atas hidup pacar kita. Ingatlah bahwa si dia bukanlah (belum menjadi) milik kita. Meski jika kelak suatu saat nanti pun si dia akhirnya benar-benar menjadi pasangan hidup kita, kita pun juga nggak berhak untuk berlaku seenaknya. Akan tetapi yang terpenting yang harus diingat adalah bagaimana kita benar-benar memanfaatkan masa pacaran sebagai sarana belajar untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain, supaya kita nggak salah dalam memilih pasangan hidup kita kelak.q(ika)    (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2008)