Minggu, 31 Januari 2010

IT’S NOT FAIR!



Lisa jengkel. Bukan hanya jengkel, tapi juga gondok banget setengah mati. Bayangkan saja. Seminggu terakhir ini dia mati-matian belajar buat ulangan umum. Dia bela-belain ngurung di kamar seminggu hanya untuk belajar. Tapi giliran ulangan umum tiba dan hasilnya keluar, Lisa cuma mendapat nilai pas-pasan alias mendapat angaka enam. Sementara itu Emilia, yang kerjaannya tiap hari main di game center melulu dan nggak pernah belajar, malah mendapat nilai sempurna alias sepuluh.  Belakangan akhirnya nilai sepuluh itu dibatalkan, karena ternyata Emilia ketahuan menyontek saat ulangan umum berlangsung, dan ia harus mengulang lagi ulangan umumnya sendirian di ruangan guru.
Sobat muda, terkadang nggak sedikit dari kita yang merasa kalau hidup ini nggak adil. Kita merasa bahwa Allah itu nggak adil dengan hkehidupan yang diberikanNya pada kita. Seringkali ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk mencapai sesuatu, ternyata hasil yang didapat nggak seberapa, bahkan malah sia-sia. Bukan hanya berjuang keras, tetapi kita juga nggak putus untuk berdoa dan bahkan ada yang sampai berpuasa. Sementara itu ketika kita melihat orang lain yang tanpa harus bersusah payah, dengan mudahnya ia mencapai hasil yang gemilang dan luar biasa. Walhasil akhirnya  kita pun mulai merasa bahwa ini betul-betul nggak adil. Kita pun merasa bahwa segala perjuangan dan doa kita jadi sia-sia, sehingga mulai malas berusaha dan berdoa. Dalam hati kita pun bertanya-tanya, apa, sih, maksudnya Tuhan dengan semuanya ini?

Yup! Terkadang memang nggak adil...
Tidak bisa dipungkiri, kehidupan di dunia ini memang tidak selamanya adil. Acap kali kita rasanya ingin memberontak melihat ketidakadilan yang terpampang di depan mata. Bahkan rasa-rasanya kita bukan cuma gemas, tapi juga ingin sekali ikut arus di sekeliling yang gemar berbuat curang. Toh, percuma saja kita hidup lurus karena hasilnya juga nggak seperti yang kita ingin kan. Padahal kalau kita mau mengingat kembali, di mana pun juga yang namanya kecurangan itu tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik.
Coba kita lihat kembali kisah Yakub berlaku curang terhadap Esau., saat ia mengingini hak kesulungan Esau. Betapa Yakub, dengan bantuan ibunya, berusaha mencurangi Esau sedemikian rupa agar ia mau menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub. Pada akhirnya Yakub pun harus menuai buah dari kecurangannya itu. Ia harus melarikan diri dari kaum keluarganya, dan tinggal di negeri asing selama bertahun-tahun lamanya (Kejadian 27:41-28:5). Tidak hanya itu, dikemudian hari ternyata Yakub pun juga kena batunya. Ia juga dicurangi Laban, paman sekaligus calon mertuanya ketika ia hendak mempersunting Rahel. Laban berjanji akan memberikan Rahel menjadi istri Yakub, setelah tujuh tahun Yakub bekerja pada Laban. Namun ternyata yang diberikan adalah Lea, dan Yakub harus bekerja pada tujuh tahun lagi untuk mendapatkan Rahel (Kejadian 29:15-29).

He’s still and always fair!
Tak berbeda jauh dengan Yakub, kita pun juga akan mengalami hal yang sama jika kita mulai melakukan praktek-praktek kecurangan. Bagaimanapun juga, di tengah segala hal yang tidak adil di dunia ini, Allah tetap akan menunjukkan keadilanNya kepada manusia. Ingat kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya manusia berbuat curang, lama-lama juga pasti akan kena batunya juga. Kalau kita mulai berbuat curang dalam segala hal di hidup kita, siap-siap, de, kalau kemudian kita harus menerima buah dari kecurangan yang dilakukan.
Sahabat, Allah selalu menginginkan agar kita hidup dalam kejujuran dan ketulusan. Karena di mata Allah, segala bentuk pengkhianatan dan kecurangan tidak berkenan bagiNya, dan hal itu tentu saja akan merusak kepercayaan yang Allah berikan pada kita. Bukan nggak mungkin, lho, Allah kemudian mencabut berkat serta talenta yang diberikanNya pada kita, hanya gara-gara kecurangan yang kita lakukan. So guys, ayo mulai saat ini kita belajar untuk nggak lagi berbuat curang dalam segala hal. Nggak perlu iri dengan kesuksesan orang lain yang diraih lewat kecurangan. Tetapi biarlah kita tetap menjaga dan mempertahankan diri untuk terus hidup dalam kejujuran dan kemurnian seturut dengan Firman Allah, karena Ia sudah menjanjikan berkat tersendiri bagi orang-orang yang setia dan menjaga hidupnya tetap jujur dan lurus di hadapan Tuhan.



(Telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Januari 2010)








WHEN HE CALLS



“Dit... ayo, dong, ikutan persekutuan pemuda... Dari pada dugem nggak jelas melulu begitu...” ajak Deva suatu saat, entah untuk ke berapa kalinya. Adit cuma tersenyum seraya menjawab, “Ntar, deh... kapan-kapan aja, ya, Dev... Kalau gue udah bosen dugem...” Ajakan untuk aktif di gereja tak sekali dua kali menghampiri Adit. Namun berkali-kali pula ia menampiknya. Sampai suatu saat Adit mendadak tewas dalam sebuah kecelakaan mobil sepulang dugem. Hilang sudah kesempatan Adit untuk melayani Tuhan, selagi ia diberi kesempatan untuk hidup.
Sobat muda, sadar ataupun tidak, kita juga seringkali bersikap seperti Adit. Kalau mau dihitung-hitung, mungkin sudah berkali-kali pula kita menolak panggilan Allah dalam hidup kita untuk melayani Dia. Seribu satu alasan langsung dipasang begitu ajakan itu muncul. Sibuk kuliah atau sekolah, sibuk les, sibuk belajar, banyak kegiatan ekskul, capek, dan lain-lain. Jangankan untuk aktif di gereja dengan ikut persekutuan. Untuk kebaktian minggu saja kadangkala kita pun lebih banyak malasnya, dan lebih memilih untuk menikmati liburan di hari minggu ketimbang meluangkan waktu untuk beribadah pada Tuhan.

It’s all because of our egoism
Kenapa, sih, menjawab panggilan Allah, kok, begitu penting buat kita? Bukankah kita ini masih muda? Jadi untuk apa kita memikirkan hal-hal yang rohani itu dari sekarang? Suatu saat nanti, kan, masih ada waktu untuk semuanya itu, kalau kita sudah ada waktu. Begitu sering kita mengungkapkan alasan-alasan semacam ini. Bahkan hanya untuk meluangkan waktu sekali atau dua kali seminggu, barang satu sampai dua jam, kita pun enggan meluangkannya. Padahal Allah sudah memberikan waktu 24 jam sehari, setiap harinya, seluruhnya untuk kita.
Ya, keegoisan itulah yang seringkali membuat kita menutup diri akan panggilan Allah dalam hidup kita. Kalau direnungkan, kita lebih sering mau menangnya sendiri. Menuntut Allah untuk memenuhi segala keinginan kita, namun ketika Ia meminta hanya sedikit dari waktu kita, kita pun enggan untuk memberikannya. Inilah egoisnya kita. Ketika kita mulai bersikap egois dan mementingkan diri sendiri, disinilah kekacauan itu dimulai (Yakobus 3:16). Kita mulai menghalalkan segala cara agar kepentingan diri kita dapat tercapai. Semakin lama kita menumpuk berbagai macam kekacauan itu, semakin lama pula kita akan terus terperangkap dalam lingkaran setan yang tak tahu akan berakhir di mana, dan makin terjerumus dalam dosa yang kian menyesatkan.

Learning to answer His call
Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Samuel. Di saat lingkungan di sekelilingnya justru memberikan teladan yang buruk, Samuel yang masih belia justru mampu meresponi panggilan Allah dalam hidupnya (1 Samuel 3:1-10). Kalau saja ia mau, bisa saja Samuel menghabiskan masa remajanya dengan bersenang-senang sebagaimana dilakukan oleh remaja lain seusianya. Tetapi tidak dengan Samuel. Ia mau mendengarkan panggilan Allah. Hasilnya? Tak salah lagi ia menjadi salah satu nabi besar pada jamannya.
Demikian juga halnya dengan Timotius. Ia sadar benar bahwa sebagai anak muda ada cukup banyak tantangan yang harus dihadapinya. Namun karena Timotius sadar akan panggilan Allah, ia tidak mau terjebak dan mengikuti arus dunia sekelilingnya. Timotius lebih memilih untuk meresponi dengan benar panggilan Allah yang sudah dinyatakan dalam kehidupannya (2 Timotius 1:4-14).
Sebab itu sobat muda, belajar dari Samuel dan Timotius ini, selagi kita masih muda dan punya kesempatan yang luas, ayo kita belajar untuk meresponi panggilan Allah dalam hidup kita. Mungkin dari hal-hal yang kecil dulu, dengan meluangkan sebagian waktu kita untuk Tuhan. Nah, dari hal-hal yang kecil inilah kita akan terus belajar dan mengenal Allah lebih dalam lagi, sehingga kita tahu apa yang sudah Allah rencanakan dalam hidup kita. Dari sini pula kita juga belajar untuk tunduk dan taat akan kehendak Allah akan hidup kita, agar hidup kita pun senantiasa berkenan di hadapan Tuhan.


(Telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Januari 2010)