Kamis, 31 Desember 2015

SANG PEMIMPI



Namanya Yusuf. Sejak masih belia ia sering disebut si tukang mimpi. Kerap diabaikan dan ditertawakan gara-gara terlalu sering menceritakan mimpinya. Karena mimpinya juga iya harus dimasukkan ke sumur, dijual sebagai budak, dan bahkan sampai harus masuk penjara. Tapi semua kepahitan hidup yang harus dijalaninya terbayar ketika Yusuf diangkat sebagai seorang raja muda. Mimpi-mimpi yang pernah diceritakannya, semuanya menjadi kenyataan. Tentu saja, semuanya itu tidak akan terjadi jika bukan karena kehendak Allah.
Sobat muda, siapa, sih, di antara kita yang nggak pernah bermimpi? Semua orang pasti punya mimpi. Entah itu bermimpi menjadi orang yang sukses, terkenal, menjadi sang juara, dan lain sebagainya. Namun agar mimpi itu bisa menjadi kenyataan, tentunya tak semudah membalikkan tangan, bukan? Butuh usaha, perjuangan dan kerja keras agar semua mimpi kita bisa menjadi kenyataan.

Bukan mimpi semata
                Punya mimpi itu sah-sah saja. Karena mimpi adalah bagian dari harapan dan cita-cita kita. Dengan mimpi, kita pun jadi termotivasi untuk berusaha yang terbaik demi mewujudkan mimpi tersebut. Akan tetapi mimpi tidak akan pernah menjadi kenyataan ketika kita hanya terus saja bermimpi tanpa mau berusaha. Mimpi hanya sekedar menjadi bunga tidur semata ketika kita tidak berusaha mewujudkannya.
                Tapi sobat muda juga jangan salah, ya. Mimpi pun akan jadi sia-sia untuk diwujudkan ketika kita juga nggak connected dengan Allah. Maksudnya, boleh-boleh saja kita punya mimpi, tapi jangan lupa doakan mimpi kita itu di hadapan Allah. Tanyakan pada Allah apakah mimpi yang sangat kita harapkan itu sudah sesuai dengan kehendak Allah atau tidak. Jangan sampai kita punya mimpi, namun karena Allah nggak berkenan, jadinya kita pun memaksakan diri untuk dapat mewujudkannya.

Dreams come true
                Mewujudkan mimpi menjadi kenyataan dibutuhkan sebuah usaha dan kerja keras. Nggak cuma didoakan saja. Setelah kita doakan dan yakin bahwa ternyata mimpi alias cita-cita kita itu ternyata memang seturut dengan kehendak Allah, next step yang harus kita lakukan adalah berusaha dan bekerja keras untuk dapat mewujudkan impian itu. Berdoa saja jelas nggak akan mampu mewujudkan mimpi kita. Lihat bagaimana perjuangan  dan pergumulan Yusuf yang harus menempuh jalan berliku hingga akhirnya sukses menjadi raja muda di Mesir, mengelola seluruh negeri.
Tidak semua perjalanan meraih mimpi akan selamanya mulus. Akan ada saat-saat dimana kita mungkin harus sampai berjuang keras dengan penuh air mata. Di saat-saat seperti inilah diperlukan kekuatan hati dan pikiran kita untuk tetap setia dan tanpa mengeluh dalam menjalani segala proses untuk mencapai mimpi itu. Tetap bertahan adalah kunci untuk meraih mimpi kita. Sebab ketika kita bertahan, akan ada reward yang akan terima. (Lukas 21:19). 
Langkah selanjutnya adalah tetap tekun dalam menjalani setiap proses yang harus dilalui dalam upaya mewujudkan mimpi kita. Satu hal lagi yang terutama, jangan pernah meninggalkan Allah dan teruslah bergantung kepadaNya. Sebab hanya dekat Allah saja, impian kuta bisa terwujud. Bagaimanapun juga Allah sangat menghargai setiap usaha dan kerja keras yang kita lakukan. Karena Allah tidak pernah tidur. Ia akan memberkati segala jerih lelah kita, asalkan kita mau meletakkan hidup kita seturut dengan kehendakNya. Saat Allah sudah menunjukkan waktuNya, kita akan menikmati buah dari ketekunan itu, dan mimpi itupun akan menjadi kenyataan.


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2015)

PEACE IN MY HEART




Hari ini Vincent merasa seperti hari terberatnya. Betapapun ia berusaha keras, tetap saja ia selalu kalah dari Tobi. Padahal kalau dipikir-pikir, apa, sih, hebatnya Tobi dibanding dirinya? Vincent merasa dirinya lebih pintar, lebih kaya, lebih ganteng dan bahkan lebih terkenal ketimbang Tobi di sekolah. Tapi selalu saja ia kalah dari Tobi. Di sekolah, Tobi selalu menjadi juara kelas, sementara Vincent selalu berada di urutan kedua. Di kalangan teman-teman pun, Tobi jauh lebih populer ketimbang dirinya. Apalagi di antara cewek-cewek, selalu saja Tobi yang jadi perbincangan. Ini yang bikin Vincent jadi makin panas. Seribu macam cara sudah dilakukannya demi mengalahkan Tobi. Hati Vincent nggak bakalan bisa tenang kalau nggak bisa ngalahin Tobi. Sampai akhirnya, Vincent melakukan hal yang buruk, dengan merencanakan pengeroyokan terhadap Tobi, yang membuat Tobi harus masuk rumah sakit dan Vincent pun berurusan dengan pihak berwajib.

Gara-gara iri hati
Bukan cuma orang pacaran yang bisa cemburu, dalam pertemanan pun ternyata bisa bikin seseorang jadi cemburu. Berawal dari iri hati yang terus disimpan dan dipupuk, akhirnya malah jadi kejahatan yang yang terjadi. Sobat muda, pernahkah mengalami rasa iri? Hampir semua orang pernah mengalami iri hati. Tapi sayangnya nggak semua orang bisa mengendalikan rasa iri tersebut dan mengelolanya dengan baik.
Tahu nggak, sih, kalau iri hati itu bisa berujung pada kejahatan? Om Yakobus pernah mengingatkan kita, “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” (Yakobus 3:16). Sobat muda masih ingat, kan, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habel ? (Kejadian 4:1-16) Berawal dari rasa iri karena persembahan Habel lebih menyenangkan hati Allah, Kain akhirnya harus menerima predikat sebagai pembunuh. Iri hati Kain membuat hidupnya tidak tenang hingga Habel pun terpaksa harus terbunuh.
Vincent dan Tobi juga Kain dan Habel hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang menjadi korban iri hati. Gara-gara dibakar rasa iri, kita bisa terjerumus pada perbuatan jahat. Coba, deh, sobat muda perhatiin, banyak sekali kasus bullying di sekitar kita, yang terjadi karena diawali dengan perasaan iri. Nah, apakah sobat muda mau menambah deretan panjang sebagai peserta kasus iri hati? So pasti nggak mau, kan?

Berdamai dengan diri sendiri
Lalu bagaimana caranya agar iri hati ini nggak berkembang merajalela hingga korban berjatuhan? Satu-satunya jalan adalah kita harus berusaha untuk belajar mengelola rasa iri tersebut. Guys, harus disadari bahwa setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Itu adalah karunia yang sudah Tuhan berikan bagi kita. Kadang-kadang ketika kita melihat hidup orang lain yang mungkin terlihat jauh lebih baik dari kita, inilah yang membuat kita jadi iri. Ujungnya adalah karena kita nggak mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri dalam hidup. Karena nggak bersyukur itulah rasa iri terus tumbuh subur, yang membuat kita nggak lagi merasakan kedamaianan di hati. Yang terus ada di pikiran dan hati kita adalah bagaimana caranya supaya nggak kalah dari orang lain.
That’s why guys, biar gak kelamaan jadi penyandang iri dan dengki, kita wajib berdamai dengan diri sendiri. Belajar menerima kondisi diri sendiri apa adanya, dan mensyukuri apapun kondisi kita, karena semuanya itu adalah berkat dari Tuhan. Masa, sih, kita mau terus menerus hidup dalam kegelisahan, hanya gara-gara iri? Jangan sampai hidup kita jadi sia-sia karena iri. Ingat lho, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” (Amsal 14:30)
                Nggak hanya itu, kita juga mesti belajar menerima keberadaan orang lain dengan lapang dada. Sekalipun orang lain mungkin lebih segala-galanya dari kita, belajar untuk menerima semuanya itu. Mungkin kita nggak bisa melebihi mereka. Tapi ingat bahwa kita pasti punya kelebihan lain yang nggak bakal dimiliki oleh orang lain. ‘Coz we’re unique. Cobalah untuk menggali potensi diri sendiri, agar kita mampu menonjolkan kelebihan kita. Bangga dengan setiap kelebihan yang kita punya. Mungkin kita tidak kaya, tidak pandai, ataupun tidak populer. Tapi banggalah kepada diri sendiri, ketika kita mungkin lebih disukai oleh orang lain, atau dipilih Tuhan untuk melayaniNya, karena kesetiaan, ketekunan, atau kemurahan hati yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Dengan cara itulah kita dapat menjalani hidup yang lebih tenang dan terbebas dari belenggu iri hati. 
               Kalau sobat muda sampai terkena virus iri hati, nggak usah buru-buru jadi panas hati. Stay cool. Ambil waktu untuk berdoa. Minta pertolongan Tuhan agar Ia menolong kita supaya dapat menguasai diri dan nggak melanjutkan rasa iri itu menjadi perbuatan jahat. Berdoa juga agar rasa iri yang tengah melanda justru menjadi motivasi buat kita untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi diri yang kita punya. Dengan begitu, iri hati hilang, kedamaian pun datang.


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Desember 2015)

Sabtu, 31 Oktober 2015

I FAILED



Rara sedih bukan kepalang. Label bintang kelas tak lagi mampu dipertahankannya. Gara-gara sakit typhus, tahun ini Rara mau tak mau harus melepas gelar juara kelas yang selama ini terus dipertahankannya. Bukan hanya kehilangan gelar juara, namanya pun juga harus terdepak dari jajaran peringkat 10 besar di kelasnya. Sedih, kesal, kecewa, semuanya bercampur aduk di hati Rara. Meski demikian, Rara tidak ingin membiarkannya terus berlarut-larut. Kegagalannya kali ini justru dijadikannya pemicu semangatnya untuk menjaga kesehatannya lebih baik lagi, dan berusaha untuk meraih kembali prestasinya yang sempat tertinggal.
Sobat muda, tidak semua orang mampu bersikap positif seperti Rara saat sedang menghadapi kegagalan. Padahal, seringkali ada sebuah berkat tersembunyi di balik kegagalan yang dialami. Namun justru banyak di antara kita yang kerap kali makin terhanyut dalam kegagalan yang tengah dialami. Kegagalan yang terjadi terus menerus disesali, sehingga membuat kita sulit menghadapi kenyataan. Akibatnya, kita pun semakin terpuruk dan susah untuk bangkit.

Stay calm
Pas pertama kali terima kabar ‘buruk’ tentang kegagalan yang kita alami, biasanya reaksi pertama kita adalah bingung, kecewa, sedih, panik, galau, semuanya bercampur menjadi satu. Jika kita terus membiarkan hal ini terjadi, maka hal ini akan semakin menyeret kita dalam keterpurukan atas kegagalan yang dialami. Saat mengalami kegagalan, seharusnya kita tetap tenang. Introspeksi pada diri sendiri, mengapa kita harus mengalami kegagalan ini.
Nah, tahap berikutnya adalah kita harus tetap sabar dan belajar menerima kegagalan itu. Belajar menerima bahwa kegagalan itu adalah bagian dari rencana Allah untuk mendewasakan kita. Saat kita mengalami kegagalan, bukan berarti kita hancur. Allah tentu ingin kita belajar sesuatu dari kegagalan yang kita alami. Kegagalan ini justru menjadi cambuk untuk memotivasi kita agar terus berusaha lebih baik lagi. Tanpa adanya kesabaran dan kemauan untuk belajar serta memperbaiki kegagalan yang sudah terjadi, kita tidak akan memapu meraih sebuah kesuksesan.
Terbiasa hidup nyaman di taman Eden, Adam dan Hawa adalah contoh nyata di dalam Alkitab bagaimana mereka bersabar dan bertahan serta belajar dari kesalahan dan kegagalan yang pernah mereka alami. Meskipun harus merasakan kerasnya kehidupan di luar taman Eden, mereka tetap percaya bahwa Allah punya rencana yang baik atas kehidupan mereka.

It’s not the end
Satu kegagalan, bukanlah akhir dari segalanya. Ingat bagaimana Thomas Alva Edison berjuang menemukan lampu pijar? Bukan hanya satu atau dua kali kegagalan yang harus dialaminya. Tapi 9998 kegagalan harus dia telan sebelum akhirnya ia meraih sukses di usahanya yang ke 9999. Demikian pula dengan Ayub yang tidak hanya kehilangan harta bendanya, tetapi juga anak-anaknya bahkan ia masih harus tertimpa sakit penyakit parah. Belum lagi ia harus dijauhi oleh teman-temannya serta menerima banyak hinaan. Bahkan sang istri pun mulai tidak mendukungnya.
Bayangkan saja seandainya kita di posisi Ayub atau Thoamas Alfa Edison, belum tentu kita bisa bertahan dan sekuat mereka dalam menghadapi kegagalan. Namun satu hal yang pasti, saat menghadapi kegagalan, hidup kita tidak akan berhenti sampai di situ saja. Jangan sampai kita salah bersikap ketika menghadapi kegagalan. Sebab, baik itu sukses ataupun gagal, semuanya itu Allah ijinkan untuk terjadi dalam hidup kita agar menjadi pelajaran penting yang membuat kita semakin kuat di dalam Tuhan. 
Ketika kita gagal dan berbagai masalah datang menghampiri, Tuhan menghendaki agar kita tidak pernah menyerah dan putus asa terhadap situasi yang ada. Tuhan tidak pernah mengijinkan kegagalan menimpa kehidupan kita tanpa ada maksudnya. Tuhan tidak pernah memberikan masalah melebihi dari kekuatan yang dimiliki (I Korintus 10:13). Ketika kita diijinkan mengalami kegagalan, Dia akan selalu tetap bersama dengan kita, dan memberikan kekuatan kepada kita agar dapat menopangnya. That’s why guys, semua kegagalan pasti akn dapat kita lewati, sepanjang kita selalu mengandalkan Tuhan di dalam kehidupan kita.



(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Oktober 2015)

IF WE FALL IN LOVE



Rita baru sebulan jadian dengan Ryan. Semenjak pacaran, teman-teman mereka, bahkan teman-teman di persekutuan pun pelan-pelan malah mulai menjauhi mereka. Ryan dan Rita sendiri pun tak sadar kalau teman-teman mereka mulai menjauh. Selidik punya selidik, rupanya ada something wrong dengan hubungan Rita dan Ryan yang bikin teman-teman mereka menjauh. Rupanya sikap Rita dan Ryan yang terlalu mendewakan hubungan mereka inilah yang bikin teman-temannya jadi merasa jengah, sehingga membuat mereka mulai dijauhi oleh-oleh teman-temannya.
Guys, namanya lagi jatuh cintrong, segalanya rasanya cuma jadi milik berdua saja. Terkadang karena lagi cinta-cintanya, kita jadi lupa kalau masih berpijak di bumi. Lupa kalau kita hidup nggak cuma ada kita dan pacar doang.  Lupa kalau pacaran mestinya nggak bikin kita berubah jadi orang lain. Lupa kalau pacaran bukan berarti kita nggak menghargai diri sendiri. Lupa kalau pacaran nggak berarti kita kehilangan relasi dengan orang lain.

Pacaran = Being a different person?
Sobat muda, saat kita memutuskan untuk pacaran, seringkali kita terlena dengan perasaan cinta yang tengah membuncah di dada. Gara-gara terlena ini juga, kita jadi banyak melakukan kesalahan. Padahal semestinya, saat pacaran adalah saat yang paling tepat buat kita untuk mengenal lebih dalam lagi tentang karakter dan kepribadian pasangan, sebelum nantinya kita berjalan menuju ke jenjang yang lebih serius lagi.
Nah, berikut ini adalah beberapa kesalahan yang mungkin kerap kita lakukan di saat pacaran. First, trying to change your boyfriend/ girlfriend. Baru mulai pacaran, kita sudah menemukan hal-hal yang ada dalam diri pacar kita yang dirasa kurang sreg. Bukannya diomongin bersama, tapi kita sudah berusaha setengah mati untuk mengubah pacar menjadi seseorang yang kita harapkan. Sepanjang itu adalah sesuatu yang positif, it’s okay. Misalnya punya pacar perokok berat, terus kita berusaha agar pacar jadi lebih sehat dan ngurangi and then menghentikan kebiasaannya merokok. That’s a good things. Sayangnya, seringkali kita berusaha mengubah pacar yang tadinya mungkin adalah seseorang yang punya kepribadian supel, tapi begitu pacaran dengan kita, dia tiba-tiba harus jadi orang yang kuper karena harus selalu ada di samping kita and nggak boleh ke mana-mana. Ini sama sekali nggak oke bingits.
Second, terlalu mengagung-agungkan pacar. Jatuh cinta memang sering bikin lupa segalanya. Bikin kita selalu memuja si dia. Tapi hati-hati! Nggak jarang kita juga jadi lebay sampai-sampai menomorsatukan si dia di atas segalanya. Pokoknya serba pacar yang diutamain, yang lainnya belakangan. Lama-lama, bukan hanya tugas dan kewajiban kita saja yang terbengkalai, bahkan Tuhan pun bisa jadi di urutan terakhir di hidup kita.
Third, berhenti berhubungan dengan orang lain. Gara-gara punya, pacar, hidup kita pun jadi eksklusif. Maunya cuma berdua saja dengan si dia. Ini yang bikin teman-teman kita pun jadi sebal dan menjauh dari kita. Akhirnya kita pun kehilangan kontak dan sosialisasi dengan teman. Padahal hidup bersosialisasi dengan orang lain, tetaplah penting. Nggak mungkin, kan, kita hidup suma dengan satu orang saja alias cuma sama pacar kita aja?

Pacaran = Time to learn
Guys, pacaran nggak berarti kita jadi ngubah kepribadian dan karakter pasangan seperti yang kita mau. Sebab gimana pun juga, dia adalah pribadi unik yang Allah ciptakan berbeda dengan kita untuk saling melengkapi. Dia punya karakter dan kepribadiannya sendiri, begitu pula dengan kita. Kalau kita berusaha mengubahnya seperti yang kita mau, baik si dia maupun kita juga nggak akan menjadi pribadi yang utuh. Semestinya kita nggak perlu mengubah diri kita atau pacar kita menjadi orang lain. Tapi yang paling tepat adalah, baik kita maupun si dia sama-sama mengembangkan diri masing-masing untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkenan kepada Tuhan.
Berikutnya, pacaran bukan berarti si dia adalah segala-galanya. Ketika kita mulai menomorsatukan pacar di atas  segalanya, sama artinya kita mulai mendewa-dewakan si dia. Jangan lupa kalau Allah kita adalah Allah yang cemburu (Keluaran 34:14). Pacar pun bisa menjadi allah lain bagi kita, ketika kita mulai menomorsatukan si dia daripada Allah.Ingat lho, bagaimanapun juga Tuhan harus tetap nomor satu di dalam kehidupan kita. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20:3).
Yang terakhir, meski punya pacar, nggak berarti juga hidup kita jadi eksklusif. Kita tetap butuh bersosialisai dengan orang lain. Hidup nggak melulu hanya berdua dengan pacar. Kita tetap perlu bertemu dan bercengkerama dengan keluarga. Kita pun masih tetap perlu punya ‘me time’ dengan teman-teman kita. Mengapa? Sebab ketika kita sedang suntuk, jenuh, bosan, atau bahkan saat bertengkar dengan pacar pun, pasti kita akan mencari keluarga atau sahabat kita untuk diajak berdiskusi dan bertukar pikiran.
Well guys, pacaran memang perlu. Tapi bukan berarti dengan punya pacar, hidup kita jadi terbatas. Punya pacar seharusnya membuat kita jadi pribadi yang lebih baik lagi.’ Coz dengan adanya pacar, seharusnya kita bisa saling support satu sama lain, bukan hanya dalam rangka membangun relasi yang baik dengan pacar semata, tetapi juga dalam rangka membangun relasi yang lebih baik lagi dengan keluarga, teman-teman, dan orang-orang di sekeliling kita. 
Nah, kalau punya pacar ternyata nggak bikin kita jadi pribadi yang better, hmm... patut dipertimbangkan kembali apakah hubunganmu dengan pacar dapat diteruskan atau tidak. Remember, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang sepadan yang akan menjadi  penolong bagi kita (Kejadian 2:18). Jika si dia adalah pasangan hidup yang benar-benar dari Allah, tentunya dia akan menjadi pasangan yang sepadan buat kita, dan hubungan kita dengan si dia akan menjadi sebuah hubungan yang saling membangun satu sama lain.



(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Oktober 2015)

Senin, 31 Agustus 2015

BERSAMA KITA BISA



Sudah menonton iklan televisi sebuah produk susu anak dengan tagline “Berdua jadi hebat” ? Di iklan tersebut digambarkan bagaimana dua orang anak kecil bersama-sama membereskan mainan mereka yang berantakan, sehingga lebih cepat diselesaikan. Di segmen yang lain digambarkan pula seorang kakak yang tengah menalikan sepatu adiknya. Sedikit kesulitan, sang adik kemudian membantu kakaknya dengan menekan bagian tengah tali sepatunya, sehingga si kakak lebih mudah untuk mengaitkan tali sepatunya.
                Bekerja sama dengan orang lain ternyata lebih indah bukan? Meski mungkin kenyataannya nggak seindah dan semudah yang dibayangkan. Saat kita saling bekerja sama, setidaknya ada dua kepala, dua keinginan, dua harapan, yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Bukan nggak mungkin perbedaan ini bukannya bikin semuanya jadi indah, tapi malah bikin susah, karena tidak ada yang mau mengalah.

Bersama membuat perbedaan
                Buat yang terbiasa ngerjain apa-apa sendiri, yang namanya berbagi sesuatu, entah itu tugas atau apapun juga, terkadang ngerasa malah bikin ribet kalau harus ngerjainnya bareng-bareng sama orang lain. Tapi tahu nggak, sih, kalau ternyata dengan mengerjakan segala sesuatu bersama-sama, ternyata ada something different yang mungkin bikin kita jadi keheranan sendiri.
Pertama,  kalau ngerjain sesuatu sendiri, apa-apa mesti dipikirin sendiri. Sampai kadang kalau ada sesuatu yang sebetulnya bisa mempermudah kita buat menyelesaikannya, berhubung kitanya nggak kepikiran sampai kesitu, akhirnya kita pun jadi pusing sendiri. Coba kalau kita kerjakan bersama-sama dengan orang lain, sesuatu yang nggak kepikiran di kepala kita, bisa jadi tercetus dari rekan kita. Ada teman yang bisa kita ajak saling berbagi dan bertukar pikiran. Jadinya kita nggak perlu lagi pusing-pusing sendiri karena ada teman yang bantuin mikir.
Kedua, kerjaan jelas lebih cepat diselesaikan, karena ada partner yang bantuin kita. Coba kalao kita kerjain sendiri. Misalnya harus angkut-angkut barang, kalau ada temannya kita pasti akan terbantu dan nggak capek sendiri. Yang jelas makin mempersingkat waktu kalau kita ngerjain sama-sama orang lain. Kita pun juga nggak wasting time hanya karena ngoprek satu kerjaan yang nggak kelar-kelar gara-gara dikerjain sendiri.
Ketiga, kalau harus ngerjain sesuatu sendiri, apalagi yang bukan bidangnya, jelas butuh waktu yang lama buat menyelesaikannya. Beda cerita kalau ada teman yang membantu. Siapa tahu ternyata di lebih expert, jadinya tugas bisa dikerjain bareng-bareng dengan lebih cepat, sesuai dengan keahlian masing-masing.
Dalam Alkitab, contoh nyata yang bisa kita lihat dari bekerja bersama adalah saat Yosua harus memimpin bangsa Israel berperang melawan orang Amalek (Keluaran 17). Yosua tak mungkin menang jika Musa tidak mengangkat tangannya terus menerus. Sementara itu, Musa pun tidak akan kuat mengangkat tangannya terus jika tidak ada bantuan dari Harun dan Hur yang membantu Musa dengan menopang kedua tangannya. Akhirnya, kerjasama mereka pun membuahkan hasil dengan kemenangan Israel atas orang Amalek. Bayangkan saja jika Musa lelah mengangkat tangannya, dan Harun serta Hur mogok bantuin Musa. Jelas Yosua dan bangsa Israel akan kalah melawan orang Amalek.

Ada beda... tapi...
                Memang, bekerja bersama-sama dengan orang lain pasti ada yang namanya potensi konflik. Saling nggak cocok pendapat, egoisme hingga rasa iri yang muncul bisa saja menghampiri, sehingga membuat tugas yang seharusnya diselesaikan bersama jadi berantakan. Namun semuanya itu bisa dijembatani dengan yang namanya toleransi. Kerendahan hati serta kemauan dari diri kita untuk saling mengalah dan menghargai pendapat orang lain menjadi kunci suksesnya sebuah kerja yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain.
                Di atas semuanya itu, kasih adalah hal yang paling utama sebagai kunci sukses sebuah kerjasama (Kolose 3:14). Jika kita mengasihi orang-orang yang bekerja bersama-sama dengan kita, yang namanya iri hati, egoisme, beda pendapat, akan dengan dengan mudah disingkirkan. Satu nasehat penting disampaikan oleh Paulus, agar sebuah kerjasama dapat terjalin dengan baik. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. (Galatia 6:2). Jika kita mau saling menolong dengan tulus hati, sebuah apapun masalah ataupun tugas yang tengah dihadapi akan dapat terselesaikan dengan baik. Happy working together...


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2015)
 

BE A GOOD FRIEND



Timothy suntuk. Siang ini ia baru saja bertengkar dengan Andreas, sahabatnya. Andreas marah padanya, karena ia tak mau mendukung Andreas untuk memusuhi Stanley. Stanley belum lama ini ketahuan merebut Rita, pacar Andreas. Jelas kejadian ini bikin Andreas murka dan dendam banget sama Stanley. That’s why Andreas mati-matian membujuk Timothy untuk ikutan membenci Andreas. Sayangnya Timothy ogah menuruti permintaan Andreas. Timothy malah menasehati Andreas untuk    melupakan semuanya. Setidaknya, kejadian itu membuktikan bahwa Rita bukanlah cewek yang baik buat Andreas. Seharusnya Andreas bersyukur karena Tuhan sudah nunjukinnya dari sekarang, nggak nanti-nanti ketika mereka sudah nikah. Begitu menurut Timothy. Sayangnya Andreas nggak sependapat. Andreas malah menganggap Timothy nggak setia kawan dan malah lebih ngebelain Stanley dan Rita. Inilah yang membuat Timothy suntuk. Ia berusaha menjadi sahabat yang baik buat Andreas, namun justru mendapat reaksi yang nggak diharapkan.

Wise... or... Worse
Guys, pernah nggak menghadapi kejadian seperti ini? As a best friend, kita mencoba ngasih solusi yang baik buat sohib kita, eh... nggak tahunya malah dimusuhin sama sohib. Menjadi sahabat yang baik memang gampang-gampang susah, ya. Nyatanya, sebagai sahabat tanpa disadari kita seringkali lebih menjadi sahabat yang ‘mendukung’ perbuatan yang salah sohib  kita. Betul, nggak? Misalnya saja, ketika tahu sohib kita ternyata mulai mengkonsumsi narkoba, bukannya mengingatkan tapi kita justru menjauhinya karena takut disangka terlibat narkoba juga. Bahkan kita cenderung membiarkannya, karena merasa itu bukan urusan kita.
Saat senang, mungkin gampang buat kita berbela rasa dengan sahabat. Tapi saat susah? Ternyata nggak semudah itu. Yang terutama ketika sahabat kesusahan. Bukannya mendorong sahabat agar move on dari kesulitan yang dihadapi, tapi kita justru ‘mendorongnya’ makin terpuruk dalam kesulitannya. Masih ingat dengan kasus terbunuhnya Mia Nuraini? Gara-gara nggak bisa move on dari mantan pacarnya, seorang pemuda berinisial ‘A’ bersama teman-teman satu gank-nya nekat mengeroyok dan melukai Mia yang tengah berboncengan sepeda motor dengan Sony, pacar barunya.  Ironisnya, sebagai sahabat, seharusnya teman-teman ‘A’ dapat menasehati dan mencegahnya melakukan tindak bodoh. Sebaliknya, atas nama solidaritas mereka justru membantu ‘A’ untuk berbuat kriminal pada Mia, dan akhirnya mereka semua harus berakhir di penjara.

In joy and sorrow
                “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:17). Namun ketika sahabat kita mengalami kesusahan, bukan berarti kita lantas mengumandangkan solidaritas yang keliru, seperti yang dilakukan oleh teman-teman A di atas. Susah senang memang mestinya dijalani bersama sebagai sahabat. Bukan salah benar mesti dijalani bersama sebagai sahabat. Masih ingat dengan persahabatan Amnon dan Yonadab (II Samuel 13)? Saat Amnon jatuh cinta pada saudaranya sendiri, Yonadab justru memberi nasehat yang menyesatkan pada Amnon, hingga akhirnya tragedi penodaan terhadap Tamar pun terjadi..
Menjadi sahabat yang baik adalah ketika sahabat kita senang, kita pun turut bersukacita bersamanya, dan bukan iri hati atas kebahagiaannya. Sahabat yang baik adalah, ketika sahabat kita susah, kita selalu ada disampingnya, menghibur, menguatkannya, dan yang terpenting adalah selalu mendoakannya. Saat sahabat kita salah, kita pun harus berani menegurnya agar ia sadar dan tidak semakin jatuh dalam kesalahannya. Sebaliknya, saat kita melakukan kesalahan dan sahabat kita menegur, hendaknya kita juga bisa berbesar hati untuk mau menerima kritik, masukan dan bahkan teguran dari sahabat kita. Apalagi kalau teguran itu justru untuk membangun kita. Itu artinya sahabat kita sungguh-sungguh mengasihi kita, karena ia tidak mau kita makin jatuh dalam kesalahan yang sudah kita buat.
Well guys, apapun itu kehadiran sahabat selalu memiliki arti lebih dalam kehidupan kita. Namun kita tetap harus aware juga. Jangan sampai kita punya sahabat yang menyesatkan seperti Yonadab, atau bahkan kita sendiri menjadi sahabat yang menyesatkan. Remember, Paulus dalam I Korintus 15:33 sudah mengingatkan, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Sekarang tinggal kita sendiri yang memutuskan, mau jadi sahabat yang baik, atau jadi sahabat yang menyesatkan. Atau,  apakah kita mau memilih mengikuti sahabat yang baik, atau sebaliknya mengikuti sahabat yang menyesatkan. Semua pilihan itu, ada pada kita sendiri.

(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Agustus 2015)
 

Selasa, 30 Juni 2015

I DO... TRUST YOU



Vino bingung. Takut, kuatir. Semuanya bercampur aduk jadi satu. Besok adalah hari pertamanya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di sebuah kampus favorit yang diidam-idamkannya. Sudah lama sekali Vino mengidamkan agar dirinya dapat diterima menjadi salah satu mahasiswa di universitas top tersebut. Sebenarnya, Vino sudah berdoa dan memasrahkan diri kepada Tuhan untuk ujiannya besok. Ia pun juga sudah belajar dengan tekun agar dapat menyelesaikan semua soal ujian nanti dengan baik. Tapi Vino tetap saja merasa takut dan kuatir. Merasa tidak tenang, Vino akhirnya memutuskan untuk membuat contekan, buat jaga-jaga kalau nanti ada soal yang tak bisa dijawabnya.

PPP = Pura-Pura Percaya
Guys, ayo ngaku, bukankah kita juga sering berperilaku seperti Vino? Oke. Kita mengaku percaya pada Tuhan. Kita bilang, kita menyerahkan diri sepenuhnya untuk segala sesuatu yang sedang kita pergumulkan kepada Tuhan. Namun, kenyataannya, kita cuma pura-pura percaya kepada Tuhan. Lho, kok, bisa? Yup! Buktinya saja sudah jelas. Kita tetap saja kuatir, nggak bisa berpasrah diri penuh kepada Allah, dan malah memikirkan cara-cara lain  yang  ‘bukan caranya Allah’ untuk mengatasi pergumulan yang sedang dialami dan kita kuatirkan.
Inilah yang juga dialami oleh murid-murid Tuhan Yesus. Meski tahu bahwa Tuhan Yesus ada di dalam perahu, meski dalam keadaan Tidur, tapi tetap saja mereka takut dan menjadi tidak percaya ketika badai besar menghantam perahu mereka (baca Markus 4:35-41). Nggak heran kalau kemudian Tuhan Yesus pun menegur mereka, ketika murid-murid sudah membangunkan Yesus dari tidurnya.
Sobat muda, yang namanya percaya, memang sesuatu yang mudah sekali kita ucapkan. Kalau boleh jujur, memang terkadang susah bagi untuk melakukannya. Apalagi ketika kita selalu didera berbagai persoalan-persoalan hidup yang datang bertubi-tubi. Kita merasa sudah berdoa kepada Tuhan, memohon pertolongan dariNya, tapi kok Tuhan seolah-olah nggak segera datang untuk menolong. Kita lupa bahwa jawaban Allah terkadang nggak selalu datang dengan cepat seperti yang kita inginkan. Sim salabim, masalah langsung beres. Kita suka lupa bahwa Allah mau kita berproses dalam setiap persoalan yang dihadapi, agar kita menjadi kuat di dalam Dia. But, yang terjadi kita maunya instan. Maunya masalah langsung bisa selesai begitu saja.

There’s always a process
Sahabat, ketika kita percaya kepada Allah, dibutuhkan kepasrahan diri penuh kepada Allah. Kita harus mampu menunjukkan iman kita ketika kita didera berbagai pergumulan. Saat itulah kepercayaan kita akan kedaulatan Allah itu diuji. Meski mungkin kita terkadang akan jatuh dan mengalami krisis kepercayaan terhadap Allah, namun Allah dengan sepenuh kasih akan menolong dan menuntun kita. Dia akan mendorong kita untuk mempercayai kedaulatanNya yang dahsyat dan ajaib.
Satu hal yang harus kita sadari, bahwa nggak ada sesuatu pun yang instan. Termasuk ketika kita menghadapi berbagai pergumulan dan persoalan hidup. Nggak pernah ada kantong ajaib Doraemon yang selalu langsung bisa mengatasi masalah kita di dalam kehidupan nyata kita. Yang ada, bahwa selalu dibutuhkan proses dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Nah, lewat proses yang terjadi dalam menyelesaikan pergumulan itulah, kita dibentuk oleh Allah agar semakin kuat dan semakin dewasa di dalam segala perkara. Kalau kita hanya mau yang instan saja seperti Nobita, kita nggak akan pernah jadi pribadi yang dewasa. Iman percaya kita kepada Allah pun nggak akan bertumbuh dengan baik. So, masakan sobat muda mau punya iman yang kerdil seperti bonsai?
That’s why guys, nggak usah terlalu kuatir apalagi takut akan badai kehidupan yang kita alami. Belajar dari Daud yang tidak takut akan seberat apapun pergumulan yang dihadapinya. “Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu; kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mazmur 56:4-5). Demikian juga dengan kita. Jika kita tahu ada Allah yang selalu ada di pihak kita, tidak perlu lagi ragu dan kuatir. Cukup lakukan apa yang menjadi tugas kita, percayai Allah dengan sepenuh hati, dan biarkan Ia berproses dalam diri kita di saat persoalan hidup itu datang. Okay?

(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Juni 2015)
 

ALKITAB VS SOSMED



Valent terlihat sibuk mengutak-atik handphone-nya sepanjang ibadah minggu. Looks like dia terlihat begitu tekun membaca Alkitab lewat aplikasi Alkibat Online yang ada di gadget-nya. Tak bergeming, seolah tampak khusyuk memperhatikan khotbah yang disampaikan pendeta. Namun saat melongok melihat apa yang terpampang di gadget-nya, rupanya bukan aplikasi Alkitab yang tengah dibacanya. Valent ternyata tengah sibuk update status di jejaring sosial yang diikutinya.
Sobat muda, hampir sebagian besar dari kita pasti punya aplikasi Alkitab di gadget yang kita miliki. Seiring dengan perkembangan teknologi pula, belakangan kita pun mulai ‘meninggalkan’ Alkitab versi cetak dan lebih memilih untuk menggunakan aplikasi Alkitab yang ada di gadget. Alasan simple dan nggak perlu bawa-bawa buku yang berat jadi  pilihan kita. Tapi rupanya, pilihan kita ini seringkali bikin kita jadi gagal fokus untuk mendengarkan Firman Tuhan. Bukannya serius baca Alkitab dan merenungkannya, yang kejadian malah kita jadi lebih sering update status pas lagi ibadah.

Gadget addict
Guys, bukannya nggak boleh, sih, kita menggunakan aplikasi Alkitab yang ada di gadget ketimbang Alkitab versi buku. Tapi harus disadari, nggak bisa dipungkiri kalau kita mulai tergantung dengan gadget, entah itu smartphone, pocket pc, ataupun tablet. Memiliki gadget bukan lagi masalah ngikutin tren yang ada, tapi sudah berubah menjadi sebuah kebutuhan. Nggak ada gadget, rasanya hidup seperti ada yang kurang. Di satu sisi, kita memang sangat tertolong dengan teknologi yang ada pada gadget yang kita punya. Tapi di sisi lain, kita pun jadi terlalu asyik dengan gadget, dan nggak konsen lagi sama hala-hal yang lainnya.
Inilah kelemahan kita. Mungkin selama ini kita kerap ‘menyalahkan’ gadget, dengan mengatakan bahwa inilah sisi buruknya teknologi. Actually, persoalannya bukanlah karena salah gadget ataupun teknologinya. Tapi sebenarnya ini adalah salah kita sendiri yang nggak sanggup menempatkan diri dan mengekang diri sendiri. Kita sering nggak bisa menahan diri. Ketika seharusnya sedang fokus ibadah, bukannya serius mendengarkan Firman, tapi kita malah asyik update status atau bahkan malah sibuk selfie. Ayo jujur, bukankah kita memang sering gagal fokus karena memang nggak sanggup nahan diri buat mainin gadget, kan?

Self control
Apapun itu, harus kita syukuri bahwa pengetahuan yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada manusia, sehingga manusia sanggup ‘melahirkan’ teknologi canggih sebagaimana adanya gadget yang sekarang kita punya. Nah, sebagai wujud syukur kita itu, sudah seharusnya sobat muda menggunakan gadget sebagaimana mestinya, sesuai dengan waktu, tempat, dan kegunaannya. Lalu, gimana caranya, ya, supaya kita bisa menggunakan gadget sebagaimana mestinya? Kunci utamanya cuma satu, yaitu penguasaan diri.
Wedew, penguasaan diri? Hmm... rasanya gampang-gampang susah dan susah-susah gampang. Sebenarnya kalau sobat muda sanggup menguasai diri, menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang lain selama kita menghadap Tuhan, nggak ada yang salah memang dengan menggunakan gadget pada saat ibadah. Yang jadi masalah adalah ketika kita nggak mampu menguasai diri, dan lebih memilih bermain gadget saat ibadah berlangsung. Yang ini sudah pasti salah. Meski kita kadang suka ngeles, dengan alasan khotbah pendetanya ngebosenin, sehingga kita lebih milih asyik bermain gadget ketimbang fokus beribadah, tetap saja itu juga nggak bisa dijadiin alasan.
Kalau sobat muda merasa susah banget untuk menguasai diri, balik lagi, sebenarnya itu back to ourselves. Mau nggak, sih, kita menguasai diri sendiri? Mungkin di mulut kita bilang mau. Niat dan keinginan ada. Tapi kalau kita nggak punya kemauan yang kuat untuk menguasai diri, pasti kita akan bilang susah banget yang namanya penguasaan diri. Ingat, lho, “...roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Matius 26:41). That’s why sobat muda kudu punya kemauan yang kuat supaya kita mampu menguasai diri, so, dengan begitu kita akan sanggup untuk fokus beribadah dengan baik pada saat ibadah, dan mempergunakan gadget sebagaimana mestinya.

 (Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Juni 2015)


Selasa, 28 April 2015

IT’S GOOD TO BE TRUTH



Batin Naomi dilanda bimbang. Sekujur  tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Sesaat tangannya bergerak ingin mengeluarkan catatan kecil yang sudah disiapkannya dari rumah. Namun, mendadak Naomi mengurungkan niatnya itu. Hati kecilnya berkata, “Jangan lakukan itu!” Tapi, pelan-pelan tangannya mulai bergerak lagi, berusaha meraih catatan kecilnya. Namun akhirnya Naomi menghentikan segala usahanya mengambil catatan kecil itu. Ia putuskan untuk berusaha mengerjakan sendiri soal-soal ulangan itu tanpa menyontek. Tak perduli meski hasilnya nanti jelek karena Naomi tidak belajar dengan maksimal, tapi hatinya merasa lega karena nilai ulangannya adalah murni hasil usahanya sendiri, dan bukan hasil dari menyontek.

Antara ‘benar’ dan ‘salah’
Sobat muda, di zaman yang suka terbalik-balik seperti sekarang ini, kita sering dihadapkan dengan berbagai macam persoalan hidup yang bikin kita bingung dalam menentukan sikap. Nggak sekali dua kali, kita harus berhadapan dengan situasi ketika ngelakuin hal yang benar ‘dianggap’ salah, ngelakuin hal yang salah ‘dianggap benar’ tetapi bertentangan dengan hati nurani. Dalam situasi seperti itu, nggak jarang yang terpampang di mata kita adalah pilihan untuk melakukan hal yang salah, namun hal itu ‘dianggap benar’ olah lingkungan sekitar kita, meski harus melanggar hati nurani.
Di tengah pergumulan untuk memilih antara melakukan yang benar tapi ‘salah’ dengan melakukan yang salah tapi ‘benar’, pada akhirnya kita lebih banyak mengalah dan menyerah pada pilihan untuk melakukan hal yang salah namun dianggap ‘benar’. Di mata teman-teman ataupun lingkungan sekitar saat itu, kita mungkin akan ‘aman’ karena sudah melakukan hal yang ‘sewajarnya. Akan tetapi di mata Tuhan, jelas apa yang kita lakukan adalah salah.
Seperti halnya kisah Naomi di atas. Di mata teman-temannya, menyontek adalah sesuatu hal yang ‘biasa’ dilakukan demi mendapatkan nilai bagus. Tapi jelas di mata Tuhan, menyontek adalah hal yang salah. Namun dengan pergumulan batin yang cukup berat, Naomi akhirnya mampu mengambil keputusan yang benar, meski mungkin dengan resiko nilai yang didapatkannya nggak sebagus yang diharapkan.

Benar itu luar biasa
Mengambil keputusan yang benar dan tepat dalam situasi seperti di atas kelihatannya mudah. Tapi justru menjadi sulit ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa orang-orang di sekitar kita nggak selalu bisa menerima keputusan yang seharusnya benar. Lalu, apa yang harus kita lakukan di saat-saat seperti ini? Haruskah kita mengikuti arus dan menjadi sama dengan orang lain pada umumnya? Pilihan untuk hidup benar adalah sebuah pilihan yang luar biasa, saat kita sungguh-sungguh mau menjalaninya di tengah-tengah hidup yang penuh dengan ketidakbenaran. Sebagai murid Kristus, Allah tentu saja ingin kita semua hidup dalam kebenaran.  Ingatlah bagaimana firman Allah mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik kita dalam kebenaran (II Timotius 3:16).
Om Paulus jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).  Memilih hidup benar di antara berbagai perilaku salah yang dianggap benar memang membutuhkan perjuangan berat. Mungkin sobat muda akan mengalami banyak tantangan. Diejek karena dianggap sok-sokan hidup benar, atau mungkin dianggap sok suci. Namun ketika kita memilih hidup benar seturut dengan kehendakNya, percayalah bahwa Allah akan memberikan kekuatan ekstra kepada kita untuk tetap hidup benar seturut dengan firmanNya. Tentu saja itu akan terjadi jika kita mau terus bersandar kepada Allah.(ika)


(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi April 2015)
 

THE TEMPTED



I’m falling in love. I really in love with her. She’s my true love. Apapun yang terjadi, gue harus ngedapetin dia untuk jadi pasangan gue. Gue yakin dia orang yang tepat untuk mendampingi hidup gue.” Begitulah tekad Daniel untuk mendapatkan Soraya, gadis pujaan hatinya. Meski Daniel tahu, Soraya bukanlah gadis yang baik. Daniel tahu, selama ini Soraya hanya sekedar memanfaatkan dirinya untuk kepentingan Soraya semata. Hingga suatu saat Soraya meninggalkan Daniel demi cowok lain yang lebih tajir. Daniel pun merasa dunianya runtuh, dan menganggap apa yang dialaminya adalah sebuah cobaan dari Tuhan. Hmm... wait a minute... benarkah Daniel dicobai Tuhan?

Dicobai atau mencobai diri sendiri?
Hampir semua orang mungkin pernah terpuruk gara-gara cinta, seperti yang dialami Daniel. Nah, berapa banyak di antara sobat muda yang kemudian bersikap seperti Daniel, menganggap bahwa apa yang sudah terjadi adalah cobaan dari Allah? Guys, coba, deh, diingat-ingat. Seberapa seringkah kita mengatakan bahwa semua  persoalan hidup yang dialami adalah cobaan dari Allah? Sekali, dua kali, atau... selalu?
Sobat muda, satu hal yang harus diingat bahwa, “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” (Yakobus 1 : 13). Jelas, bukan, bahwa Allah nggak pernah mencobai kita? Kenyataannya yang sering terjadi adalah pencobaan itu datang karena kesalahan kita sendiri. Contohnya, ya, kisah Daniel di atas. Sejak awal, Daniel tahu bahwa Soraya bukanlah pasangan hidup yang Tuhan berikan untuknya. Namun karena Daniel terus memaksakan diri, akhirnya ketika Soraya benar-benar meninggalkannya, ia pun ‘mengkambinghitamkan’ Tuhan dengan mengatakan bahwa semuanya itu adalah cobaan dari Tuhan.
Akibat nggak mau dengar-dengaran dengan Allah dan ogah menuruti kehendakNya, setiap kali jatuh dalam pencobaan karena kesalahan sendiri, kita pun jadi suka menyalahkan Tuhan. Inilah sumber pencobaan yang kita alami, yaitu keinginan manusiawi kita sendiri. Sudah tahu kalau yang dilakukan salah, namun tetap dilanjutkan. Nah, ketika terus dipertahankan, lama-lama akhirnya kita pun jatuh ke dalam dosa.

Ketika pencobaan itu datang...
Lalu apa yang harus kita lakukan agar terhindar dan terlepas dari cobaan hidup yang bersumber dari tingkah laku kita sendiri? Pertama, sudah pasti kita harus bertobat dan mengakui segala kesalahan kita di hadapan Tuhan. Berdoa dan mohon pengampunan dari Allah atas segala kesalahan yang sudah kita perbuat. Kedua, belajar sungguh-sungguh taat kepada Allah.  Ketika kita mengasihi dan menempatkan Allah di atas segalanya, kita juga belajar untuk taat dan mau dengar-dengaran dengan Allah. Memang, pada kenyataannya belajar untuk taat kepada Allah tidak semudah seperti kita berbicara. Ada perjuangan dan usaha keras di dalamnya, ketika di satu sisi ingin taat pada Allah, sementara di sisi lain kita pun juga ingin bebas melakukan apa yang menjadi keinginan hati kita.
Nggak gampang memang agar kita bisa menang atas pencobaan. Namun kalau kita mau sungguh-sungguh berharap kepada Allah, tetap taat dan setiap pada firmanNya, tentunya kita akan diberi kekuatan untuk menghadapi segala pencobaan yang ada. Kalau kita merasa lelah dan hampir menyerah menghadapi setiap pencobaan hidup yang terjadi, remember, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13). Keep your spirit in Christ!(ika)

(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi April 2015)