Senin, 31 Desember 2007

Menghadapi Pengkhianatan (Part 3) : AMPUNILAH DIA!

“...dan ampunilah seorang akan yang lain 
apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain,...” 
(Kolose 3:13)


Bacaan : Kejadian 18:16-33

Hati ini rasanya terasa sulit dan enggan sekali manakala harus mengampuni seseorang yang telah mengkhianati diri kita. Bagaimana mungkin kita bisa mengampuni orang yang sudah jelas-jelas berkhianat dan berpaling dari kita, menyalahgunakan kepercayaan yang sudah kita berikan kepadanya. Rasanya tidak mungkin.
Akan tetapi Allah memberikan sebuah pelajaran penting bagi kita.Selama perjalanan bangsa Israel keluar dari tanah Mesir hingga akhirnya bebas dan menjadi bangsa yang merdeka dari perbudakan, entah sudah berapa ribu kali bangsa Israel berkhianat dan berpaling dari Allah yang sudah menyelamatkan mereka. Mulai dari berpalingnya mereka pada patung lembu emas, dewa-dewa baal, sampai menukar Allah dengan pasangan hidup yang tidak percaya kepada Allah. Jelaslah sudah bahwa ini semua membuat Allah merasa sakit hati dan terluka. Tetapi jika kita memperhatikan lagi, berapa kali Allah mengampuni  umat Israel dan mau menerima mereka kembali ke dalam pelukanNya?  Yah, berkali-kali hingga tak terhitung lagi Allah selalu mengampuni Israel. Seandainya kita menjadi Allah, mungkin kita sudah malas untuk mengampuni Israel yang selalu saja berkhianat. Tetapi Allah menunjukkan kasih dan pengampunan yang sangat besar, sehingga Ia mau menerima kembali bangsa Israel.
Hari ini, belajar dari cara Allah menghadapi pengkhianatan bangsa Israel, kita pun seharusnya juga mau belajar untuk mengampuni orang yang sudah mengkhianati kita. Awalnya mungkin akan terasa sulit. Akan tetapi jika kita mau berdoa dan dengan sungguh-sungguh serta tulus hati mau mengampuninya, niscaya Allah akan memberikan kekuatan yang memampukan kita untuk mengampuni orang lain. Per­soalannya sekarang, kita mau atau tidak mengampuni orang tersebut. Bagaimanapun juga, dengan pengampunan ini, proses pemulihan pun akan lebih mudah terjadi. Sekarang, pilihan ada di tangan kita.(ika)


Pengampunan tidak hanya mendatangkan sebuah pemulihan, 
tetapi juga damai sejahtera serta sukacita yang luar biasa. 


(Telah dimuat di Renungan Harian Imamat Rajani Edisi Desember 2007)

Menghadapi Pengkhianatan (Part 2) : KENDALIKAN EMOSIMU!



“Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.”
(Amsal 14:29 )


Bacaan : Kejadian 4:1-16

Kemarahan adalah sebuah reaksi ‘wajar’ yang seringkali muncul dalam diri setiap orang yang menghadapi pengkhianatan. Sayangnya apa yang kerap dianggap wajar tersebut justru akan menimbulkan persoalan lain yang jauh lebih besar ketika kita tidak sanggup mengendalikannya.
Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Kain. Ia merasa Allah telah bertindak tidak adil pada dirinya. Ia merasa Allah sudah tak lagi percaya  pada dirinya. Ia merasa ‘dikhianati’ Allah yang dirasanya lebih memilih Habel. Akibatnya, Kain menjadi sangat marah dan membenci adik kandungnya sendiri. Tak sanggup mengendalikan emosi yang menguasai dirinya, Kain akhirnya harus menghilangkan nyawa Habel.
Saat kita marah dan memiliki emosi meluap, seharusnya kita secepatnya meredakan emosi, agar nantinya tidak merembet dengan melakukan tindakan-tindakan bodoh yang pada akhirnya justru merugikan diri sendiri. Segala sesuatu yang kita lakukan saat diri dikuasai oleh emosi dan kemarahan yang tertahankan, semuanya itu tidak akan pernah mendatangkan kebaikan bagi diri kita. Yang ada justru persoalan tidak terselesaikan dengan baik, malah kemudian muncul persoalan-persoalan baru yang lebih rumit lagi.
Sebab itu saudaraku, jika karena pengkhianatan itu kita mulai dikuasai  oleh amarah, akan jauh lebih baik bagi kita untuk pergi menyendiri. Menjauhkan diri dari semua orang supaya kita dapat menenangkan diri serta melepaskan emosi yang meluap. Jika sudah dapat menenangkan diri dan meredam emosi, tentunya kita akan lebih mudah untuk berintrospeksi diri dan mencerna pokok permasalahan yang menyebabkan terjadinya pengkhianatan tersebut. Nah, kalau sudah demikian, tentunya tidak akan sulit bagi kita untuk mengambil langkah-langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karenanya, marilah kita semua belajar mengendalikan emosi, supaya kita tidak melakukan kesalahan fatal yang nantinya akan memperburuk keadaan sehingga sulit untuk dipulihkan.(ika)


Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.


(Telah dimuat di Renungan Harian Imamat Rajani Edisi Desember 2007)
 

Menghadapi Pengkhianatan (Part 1) : JANGAN MENYALAHKAN



“Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, 
supaya kamu jangan dihukum...” (Yakobus 5:9)

Bacaan : Keluaran 16:1-12


Menghadapi kenyataan bahwa kita telah dikhianati oleh orang yang kita sayangi ataupun orang yang sangat kita percayai memang bukanlah hal yang mudah. Kecewa? Sudah pasti. Tentu saja kita akan sangat kecewa dan marah sekali. Reaksi berikutnya adalah mulai menyalahkan. Entah itu menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain. Namun yang paling sering kita lakukan adalah menyalahkan orang lain.
Inilah yang kerap kali kita lakukan. Saat pengkhianatan itu terjadi, kita cenderung menyalahkan orang-orang yang dianggap punya andil dalam tragedi pengkhianatan tersebut. Sementara itu di sisi lain kita justru lupa bahwa bukan tidak mungkin pengkhianatan itu terjadi karena kesalahan kita sendiri. Entah itu karena ucapan ataupun tingkah laku kita yang membuat orang lain mengkhianati kita.
Saudara, menyalahkan orang lain atas pengkhianatan yang terjadi justru tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Yang ada hanyalah kita tidak akan pernah menyadari kesalahan kita dan semakin lama bara dendam justru akan menumpuk di hati.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Introspeksi diri. Yah! Dengan introspeksi diri, kita akan sadar bahwa pengkhianatan itu bisa terjadi bukan hanya karena faktor si pengkhianat itu semata, tetapi kita pun bisa jadi juga turut andil di dalamnya. Terkadang ketika sikap, tutur kata, ataupun tingkah laku kita yang tidak baik, membuat orang lain sakit hati sehingga mereka menjadi dendam dan kemudian mengkhianati kita.
Sebab itu, jangan pernah buru-buru berusaha menyalahkan orang lain apalagi mengkambing hitamkan orang lain sebagai biang terjadinya sebuah pengkhianatan. Periksa diri kita sendiri. Ingatlah! Tidak ada satu manusia pun yang tidak pernah melakukan kesalahan. Dengan introspeksi diri dan tidak buru-buru menyalahkan orang lain, kita pasti akan lebih mudah untuk mencerna masalah dan bagaimana cara menyelesaikannya dengan baik dan tepat. (ika)


Introspeksi diri adalah langkah awal untuk meredakan rasa sakit akibat pengkhianatan.



(Telah dimuat di Renungan Harian Imamat Rajani Edisi Desember 2007)

BIANG GOSIP

Bacaan : Keluaran 23:1-2
“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain...”
(Efesus 4:25)

Seorang gadis kecil mengadu pada ayahnya. Ia bi­ng­ung, mengapa ada teman sekelasnya yang suka ber­gosip, padahal saat itu sedang bulan puasa. Kemudian si gadis kecil itu bertanya kepada ayahnya, “Kok, ada, ya, orang yang seperti itu?” Lalu sang ayah mengeluar­kan ponsel kameranya, kemudian memotret anak gadis­nya, dan menunjukkan hasil fotonya kepada sang anak seraya berkata, “Ada, nih...,” dan gadis kecil itupun  hanya bisa tersenyum tersipu malu.

Seringkali kita suka merasa kesal sendiri ketika melihat ataupun mendengar ada orang yang sedang ber­gosip, apalagi kalau yang sedang menjadi to­­pik per­go­sipan itu adalah diri kita sendiri. Sudah pasti hati kita menjadi panas dan dongkol. Lalu apa yang kita lakukan ke­mudian? Curhat pada orang lain, dan... mulai­lah kita ‘mem­bicarakan’ orang yang sudah menggo­sipkan kita. 

Nah, kalau sudah demikian, apa bedanya kita deng­an me­re­ka? Sebab itu, hati-hati dengan mulut dan bibir kita supaya tidak mengeluarkan perkataan yang negatif, ma­kian, umpatan, dan lain-lain, yang justru tidak men­­­jadi berkat dan malah mendatangkan kutuk bagi ki­ta.

Warning!
Waspadalah! Gara-gara gosip, manusia bisa saling bertengkar, bemusuhan, bahkan saling membunuh satu dengan yang lain. Gosip bisa menjadi biang kehancuran hidup kita, juga hidup orang lain. Sebab itu, gunakan mulut dan bibir kita hanya untuk kemuliaan nama Tuhan, supaya kita tidak terjebak untuk menjadi penggosip-penggosip yang dapat membawa kita kepada dosa lidah yang berujung maut.(ika)

(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!) 

SETIA ITU INDAH

Bacaan : 2 Timotius 2:8-13
“Sebab TUHAN itu ba­ik, kasih setia-Nya un­tuk selama-lamanya, 

dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.”(Mazmur 100:5) 



Mona dan Eli adalah dua sahabat karib yang tak ter­pisahkan. Meski Eli menderita cacat kaki se­hing­ga harus dibantu kursi roda, semuanya itu tak menghalangi persahabatannya dengan Mona. Ham­pir setiap hari mereka menghabiskan waktu ber­sama. Bergantian mereka datang dan saling meng­un­jungi rumah masing-masing. 

Suatu hari Mona berjanji untuk berkunjung ke ru­mah Eli. Lama ditunggu-tunggu, tapi Mona tak datang juga. Eli mulai merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ia tahu persis, Mona bukanlah orang yang su­­ka terlam­bat, apalagi sampai ingkar janji. Segera ia me­mang­gil tak­si dan pergi ke rumah Mona. Se­­sam­painya di sana, ia melihat Mona tergeletak di ta­­man be­la­kang. Rupanya kaki Mona terkilir saat ia hendak mengambil bunga yang akan diberikannya pada Eli.
Seringkali hubungan kita dengan Allah tak sesetia persahabatan Eli dan Mona. Kerap kali yang setia ha­nya satu pihak, yaitu Allah semata, sementara kita lebih banyak tidak setianya. Belajar dari persahabatan Mona dan Eli, hari ini, marilah kita mulai belajar setia dengan Allah, sebagaimana Ia selalu setia pada kita.

Warning!
Barangkali, saat ini mungkin kita termasuk penganut paham ‘selingkuh itu indah’, sehingga kita kerap kali mengkhianati kesetiaan Allah dengan menggadaikan iman demi harta, jabatan, bahkan juga pasangan hidup. Ingatlah bahwa ‘perselingkuhan’ itu justru akan membawa kita  kepada jurang maut. Sebab itu, janganlah menggadaikan kesetiaan Allah, karena ia selalu setia kepada kita. (ika)

 (Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

Everyone Can Change

Bacaan : Filemon 1:8-22 
“..., sebab mungkin Tuhan memberikan ke­sempatan kepada mere­ka untuk berto­bat ...,”        
(2 Timotius 2:25)

Masih ingat pesinetron muda Faisal yang pernah di penjara gara-gara kasus perkosaan? Setelah dibebas­kan dari penjara, sebuah LSM perempuan meminta agar me­dia memboikot Faisal agar tidak bisa lagi tampil di media dan melanjutkan karirnya di dunia hiburan, gara-gara ka­­sus perkosaan yang pernah dilakukannya.

Seringkali ketika kita melihat ada orang yang  pernah melakukan kesalahan, saat ia berto­bat, kita cenderung eng­gan untuk memberinya kesem­patan untuk menjadi orang yang baik, karena kita sendiri su­­dah diliputi kekha­wa­­tiran kalau orang tersebut akan mengulangi perbu­at­an­nya lagi. Kita cenderung menjudge, bahwa orang jahat akan jahat selamanya.

Saudara, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Dan setiap orang juga pasti dapat bertobat dan berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Yang diperlukannya hanyalah satu, yaitu sebuah kesempatan. Karena hanya dengan kesempatan itulah, seseorang yang pernah bersalah, dapat memperbaiki dirinya menjadi manusia baru yang lebih baik lagi.  Nah, maukah kita memberikan kesempatan baginya untuk berubah dan bertobat?

Warning!
Kesempatan selalu dibutuhkan oleh semua orang, termasuk mereka yang pernah berbuat kesalahan. Jika mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri, selamanya mereka akan terus berkubang dalam kesalahan dan kejahatan yang diperbuatnya. Sebab itu, kita harus memberi kesempatan bagi orang yang pernah bersalah agar dapat memperbaiki kesa­lah­annya. (ika)


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!) 

O. J SIMPSON

Bacaan : Roma 6:1-14
“Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan.”
(Galatia 6:7)

Beberapa tahun yang lalu, O. J Simpson dikenal se­bagai seorang bintang football yang cukup terkenal. Sam­pai kemudian ia ditangkap dan dipenjarakan karena ka­­sus pembunuhan. Selepas dari penjara, lagi-lagi Simp­son harus berurusan dengan pihak berwajib karena ka­sus perampokan. Entah mengapa, ia seolah tidak pernah ka­pok melakukan tindak kejahatan dan tak pernah belajar dari kesalahannya di masa lalu.
Saudara, seringkali kita pun bersikap sama dengan O. J Simp­son. Sudah sekali berbuat dosa dan menerima  akibat dari dosa yang sudah kita lakukan tersebut, tetapi masih belum kapok juga dan masih terus berbuat dosa lagi. Seolah-olah usaha kita untuk memperbaiki diri setelah  ki­ta memohon ampun kepada Allah hanyalah sekedar u­cap­an di bibir semata.
Hari ini firman Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mulai bersungguh-sungguh memperbaiki diri. Jika ki­ta sudah berbuat dosa, bertobatlah dengan sungguh-sung­guh dan jangan mengulanginya lagi, apalagi meng­ulangi dosa yang sama. Sebab apa artinya pertobatan dan pengampunan itu, jika kita masih terus berbuat do­sa?

Warning!
Jangan pernah mempermainkan pertobatan dan pengampunan! Ingat, pengampunan itu datang dari Allah yang telah memberikan kasih ka­runiaNya  bagi kita. Sebab itu, jika kita sudah ber­­buat dosa, segera bertobat dan jangan meng­u­langinya lagi. Jika kita sengaja meng­u­lang­i­nya, sama artinya kita sedang mem­per­mainkan pengampunanNya. Ingatlah, Allah tidak bisa dipermainkan.(ika)


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)

IT’S NICE TO BE OURSELVES


Pagi itu saya dikejutkan dengan kehadiran seorang polisi dan sopir angkot yag tiba-tiba saja menghentikan bus kota yang saat itu tengah saya tumpangi. Ternyata mereka sedang mencari-cari seorang anak SMU yang diduga telah menusuk seorang pelajar lain di angkot sang sopir. Ternyata benar, si pelaku memang mencoba kabur dan berada dalam bus yang saya tumpangi. Langsung saja ia digelandang turun dari bus untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Belum lama ini juga kita semua dihebohkan dengan komplotan gank motor yang sudah meresahkan masyarakat, khususnya di kota Bandung. Sejak gabung dengan gank motor ini, beberapa orang teman-teman kita yang baru duduk di bangku SMP dan SMU ini mulai berani melawan ortu, guru, bahkan mulai melakukan tindakan kriminalitas. Dari kebut-kebutan, berantem yang nggak jelas, sampai melakukan tindakan pengrusakan hingga ke pembunuhan. Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi, salah seorang anggota gank motor tersebut mengaku kalau mereka melakukan semuanya itu, sebagai solidaritas mereka pada gank yang telah menjadi identitas alias jati diri mereka.

Antara identitas dan penerimaan
Sobat muda, yang namanya jadi remaja memang gampang-gampang susah. Penginnya, sih, kita ini berusaha untuk bisa hidup lurus-lurus saja. Sekolah yang benar, jadi anak yang berbakti pada ortu, gaul pun juga benar. Tapi sayangnya terlalu banyak hal di sekeliling kita yang ternyata cukup bikin hidup kita akhirnya jadi nggak selurus yang kita penginin. Ketemu sekolah baru dengan teman-teman yang sudah ngebentuk gank sendiri-sendiri, tentu saja bikin kita kepengin masuk menjadi salah satu anggota gank tersebut agar keberadaan kita diakui. Kalo kita nggak jadi anggota gank, bisa-bisa kita bakalan nggak punya teman, bahkan bisa dijadiin bulan-bulanan teman-teman lainnya.
Sudah ngegank, repot juga. Kalo kita nggak ikut-ikutan ngelakuin apa yang menjadi keinginan teman-teman segank, bisa-bisa kita dianggap nggak setia kawan. Buntut-buntutnya kita malah dijauhin dan bakalan dikeluarin dari gank, runyam urusannya. Akhirnya kita jadinya ngikutin kemauan teman-teman segank, meski untuk itu kita harus ‘berkorban’ dengan menyia-nyiakan keluarga, masa depan, bahkan Tuhan sekalipun. Hanya demi sebuah pengakuan dan identitas itulah, kita jadi berani ngelawan ortu dan guru, berani nggak ngelanjutin pendidikan yang sudah diupayakan setengah mati oleh ortu, bahkan kita juga sudah berani melahap narkoba, merampok, sampai menghilangkan nyawa orang lain. Ck... ck... ck...

It’s me... my self...
Guys, apa yang tejadi belakangan ini tentu saja jadi keprihatinan buat kita semua. Cuman gara-gara kepengin diterima dan menjadi bagian dari teman-teman, kita sampai tega mempertaruhkan apa yang kita punya, termasuk keluarga dan masa depan kita. Padahal jauh di luar sana, banyak orang yang merindukan kesempatan untuk bisa seperti kita. Punya keluarga yang baik, bisa sekolah dan meraih cita-cita serta masa depan yang lebih baik. Sayangnya kita justru menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang  nantinya justru bakal ngejerumusin.
Actually, yang namanya sebuah pengakuan, pastinya penting banget buat kita semua. Tapi bukan berarti kita jadi ikut-ikutan jadi ‘nggak bener’ untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari orang-orang di sekeliling kita. Pengakuan dari orang lain nggak cuman bisa dilakukan ketika kita bergabung dalam sebuah gank dan melakukan aksi-aksi negatif supaya kelihatan cool ‘n keren. Kita juga bisa, kok, ngedapetin pengakuan dari orang lain ketika kita bisa nunjukin prestasi yng kita punya.
Yah... memang, sih, kadang-kadang kita lebih suka ‘memilih’ untuk diakui dengan cara yang salah ketimbang dengan cara yang benar. Bagaimanapun juga untuk bisa berprestasi, dibutuhkan sebuah proses yang cukup panjang. Ada perjuangan berat yang harus dilalui untuk mencapai pembuktian atas sebuah keberhasilan. Sementara untuk sesuatu negatif, biasanya bisa dengan mudah kita jalankan tanpa perlu bersusah-susah. Padahal kalau dipikir-pikir, hal-hal negatif inilah yang bisa merusak masa depn kita nantinya.
That’s why, nggak usah ikut-ikutan jadi buruk hanya demi diakui oleh teman-teman kita. Ingat, lho, yang firTu bilang, “...Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33). Jangan menyerah ketika kita merasa kesulitan untuk mencapai sebuah prestasi yang baik. ‘Coz, ini adalah proses belajar yang sangat baik dan berguna bagi kita, sebelum akhirnya kita meraih sebuah prestasi dan diakui oleh orang lain. “Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.” (Ratapan 3:27).
So, nggak perlu, lah, kita ngerasa sok kelihatan bandel supaya diakui orang lain. Belajar untuk jadi diri sendiri. Pengakuan dan kesuksesan itu ditentukan oleh diri kita sendiri, dan bukan dari orang lain. Teman-teman kita, gank yang kita punya, sama sekali nggak menentukan masa depan kita kelak. Justru diri kita sendirilah yang nentuin mau jadi apa kita kelak, dan kita mau diakui seperti apa oleh orang lain. Itu sebabnya kita harus bisa nunjukin kualitas diri kita sendiri, and jadi diri sendiri, supaya orang lain bisa mengakui diri kita, sebagaimana adanya kita.q(ika)           (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Desember 2007)

Minggu, 30 Desember 2007

KASIH IBU

Bacaan : Amsal 31:10-31
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, 
sehingga Ia telah meng­aruniakan Anak-Nya yang tunggal,...”
      (Yohanes 3:16)


Bagi saya, mama saya adalah mama yang terbaik di dunia. Dia selalu ada setiap saat saya membutuhkan per­tolongannya. Meski kadang-kadang suka berselisih, tapi semuanya itu tak meng­u­rangi kasih mama pada sa­ya. Saya pikir, begitulah semua ibu di dunia. Kasihnya senantiasa tak terhingga kepada anak-anaknya.

Pandangan saya sedikit berubah ketika suatu saat sa­ya menyaksikan seorang anak yang diusir oleh ibu­nya, hanya karena ia tak mampu menghasilkan uang yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan yang lebih miris lagi, ketika saya melihat ada sejumlah ibu yang tega menjual anak kandungnya sendiri demi mencukupi kehidupan hidupnya. Ternyata, tidak semua ibu yang mampu memiliki kasih yang begitu besar kepada anak-anakNya.

Berkaca dari Allah yang begitu sangat mengasihi ki­ta, sehingga Ia merelakan putra tunggalNya untuk me­nebus dosa kita, semestinyalah kita menjadi orangtua yang sungguh-sungguh mengasihi dan rela melakukan apapun juga demi anak-anak kita, dan bukannya malah mengeksploitasi mereka.

Warning!
Anak adalah anugerah Allah. Semestinya kita mendidik dan mengasihi mereka semak­simal mungkin, sebagai wujud dan tanggung jawab kita kepada Allah yang sudah menga­nugerahkan mereka pada kita. Ingatlah, di luar sana masih banyak orang-orang yang tidak mendapatkan karunia dan anugerah seperti kita. Selayak­nyalah kita mensyukuri anugerah Allah ini, dengan mencurahkan kasih kita pada mereka.(ika)

(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)