Selasa, 10 Februari 2004

BROKEN HEART … OH NO …


Pernah khan patah hati? Nggak sedikit dari kita yang hatinya pernah hancur berkeping-keping (kayak kaca pecah dong…), coz of broken heart. Entah itu diputusin gara-gara someone else, sudah nggak cocok lagi, nggak dibolehin ortu, jarak jauh yang misahin, or bisa juga karena pacar kita meninggal. Sedih banget deh rasanya. Nggak cuma sedih, rasa kehilangan yang amat sangat, luka yang dalam banget, pokoknya rasanya jadi nggak karuan deh. Nggak heran kalau banyak diantara kita, apalagi yang imannya nggak kuat, lantas milih untuk bunuh diri saking nggak kuatnya nahan sedih. Wah …

Awal Yang Salah

Yang namanya patah hati tuh boleh dibilang sering banget dialamin anak-anak muda. Tapi kok bisa sih kita broken heart? Ada dua hal penting yang bisa jadi penyebab utama, mengapa kita bisa ngalamin patah hati. First, karena sejak awalnya kita  sudah melakukan kesalahan ketika memulai sebuah hubungan. Pas kita mulai naksir-naksiran, mulai PDKT alias pendekatan, mulai ngucapin kalimat sakti I Love You, seringkali kita sebelumnya nggak mau nanya dulu sama Tuhan, bener nggak sih ini pasangan yang Tuhan kasih buat kita. Kita nggak mau dengerin en nggak mau ngikutin direction-nya Tuhan dalam milih pasangan hidup alias PH. Kebanyakan dari kita cuma main asal tembak, asal-asalan milih PH, padahal firTu sudah ngingetin supaya kita nggak sembarangan milih pacar. Akibatnya ya itu tadi, kita musti ngerasain luka en sakit hati ketika harus putus en jadi patah hati. Waktu kita putus pun, yang terluka juga bukan cuman kita saja, tetapi mantan pacar kita pun ikut terluka, juga Bapa kita di sorga ikut terluka juga dengan apa yang kita alami. Luka en rasa sakit hati yang kita alami itu bisa saja bikin hubungan pertemanan kita dengan mantan, juga hubungan kita dengan Tuhan, for next bisa jadi nggak baik juga. Apalagi kalo kita nggak segera ngelakuin pemberesan. Wah … bisa lebih gawat lagi tuh … Sekarang bayangin saja kalau kita berulangkali gonta-ganti pacar en bolak-balik putus cinta, sekalipun mungkin bukan kita yang mutusin. Kebayang nggak sih berapa banyak kali kita akan terluka? Kebayang juga nggak sih ada berapa banyak hati yang akan ikut terluka juga? Banyak khan?
Second, kita ngalamin putus cinta or patah hati, itu karena Allah mengijinkan kita mengalaminya. Ada banyak hal yang bisa jadi penyebab kenapa Allah mengijinkan hal itu terjadi dalam hidup kita. Bisa saja karena kita lebih sibuk mentingin pacar ketimbang menomorsatukan Tuhan, hingga Ia mengijinkan kita mesti pisah. Bisa juga karena Allah sedang menguji kita, supaya kita boleh makin dikuatkan dan makin dibangun di dalam Dia lewat peristiwa perpisahan itu. Selalu ada maksud Allah yang baik ketika kita mengalami perpisahan itu.

He Will Makes Everything Beautiful In His Time

Ketika kita berhadapan dengan kenyataan musti pisah dengan orang yang sangat kita kasihi, first step yang harus kita lakuin adalah mengintrospeksi diri. Kalau memang kita sudah salah melangkah dan sudah bikin kesalahan fatal, segera minta ampun pada Tuhan dan lakukan pemberesan. Jangan biarkan masalah itu berlarut-larut, yang mengakibatkan rusaknya hubungan banyak pihak. Tapi kalau kita sudah periksa diri dan kita sudah yakin benar nggak ada something wrong, kita musti harus terus bergumul dengan Allah. Ask God, apa yang menjadi maksud Allah dibalik peristiwa ini. Jangan keburu patah hati, ngerasa frustasi, trus pengen bunuh diri, lari ke narkoba atau jadi alkoholik. Or maybe ada yang kayak si Edi, saking sakit hatinya diputusin Elina, akhirnya ia jadi nggak suka sama cewek. Buntut-buntutnya ia malah berubah jadi … cewek …Oh … no … jangan sampai deh kejadian kayak begitu.
Memang, kita nggak bisa memungkiri, di awal-awal kita pasti akan ngerasa sakit en terluka banget. Tapi inget, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mazmur 34:19). Sedikitpun Allah  nggak akan meninggalkan kita. So, jangan pernah berpikir dan terlintas sedikitpun di benak kita, bahwa dengan berakhirnya hubungan kasih kita, berarti habis sudah hidup kita en runtuh pula dunia ini. Nggak lho, jangan pikir begitu. Ingat! Dunia belum berakhir, guys. Kita masih muda. Perjalanan kita masih panjang dan dunia nggak akan berakhir begitu asja gara-gara putus cinta. Kita masih punya waktu yang cukup panjang untuk melanjutkan hidup kita, meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik, serta bergumul untuk menemukan pasangan hidup yang terbaik dari Tuhan.
Ketimbang melampiaskan kesedihan dan kepahitan yang kita alami dengan hal-hal yang nggak benar yang nantinya malah ngerusak en bikin hidup kita jadi makin terpuruk plus hancur, better for us untuk datang pada Tuhan. Kita tahu persis, narkoba, miras, bahkan baygon sekalipun or pelampiasan buruk lainnya justru nggak akan menyembuhkan luka hati kita. Semuanya itu cuma bersifat semu en nggak nyelesain masalah. Cuma Tuhan Yesus saja yang bisa membalut dan menyembuhkan luka-luka hati kita. Seperti yang dibilang di Mazmur 147:3, Allah Bapa kita akan membalut luka-luka hati kita, dan seiring dengan perjalanan waktu, Ia akan berproses dalam diri kita dan memulihkan luka-luka hati kita. So, nggak ada yang lebih indah selain ketika kita menyerahkan pergumulan kita ini kepada Bapa di sorga. Coz He will makes everything beautiful for us in His time. OK?(yth)

Kamis, 05 Februari 2004

KALAU SAJA…


“….Duh Tuhan….kenapa gue harus nge­li­at mereka berdua?” keluh Maria dalam ha­ti, begitu ia melihat Petrus dan Martha da­tang ke gereja berdua sambil bergandengan me­sra. “Jadi ke gereja nggak ya?” Maria mulai ra­gu-ragu untuk melangkahkan kakinya me­ma­suki halaman gereja. Setelah terdiam cu­kup lama di luar pagar gereja, akhirnya Ma­ria membalikkan badannya dan melangkah­kan kakinya kembali menuju ke rumahnya.
Dua tahun yang lalu, Maria berkenalan de­ngan Petrus, cowok cakep yang gape ma­in gitar di persekutuan pemuda gereja­. Karena Maria sering bertugas sebagai si­nger dan Petrus yang mengiringi musik, la­ma-kelamaan mereka berdua pun semakin de­kat dan semakin akrab. Tak heran bila me­reka akhirnya memutuskan untuk berpa­caran. Hampir semua teman-teman sepela­ya­nan mereka di gereja, selalu memuji ke­kom­pakan dan keserasian pasangan Maria-Pe­trus ini. Bagaimana tidak? Dua-duanya sa­ma-sama cinta Tuhan, pandai, cantik dan tampan, aktif di pelayanan gereja. Pokoknya mereka ber­du­a adalah “The Perfect Couple” di perse­ku­tuan pemuda.
Namun ternyata semuanya itu tak ber­langsung lama. Setahun kemudian, hadirlah Mar­tha, anak baru di persekutuan pemuda mere­ka. Martha adalah cewek yang punya da­ya tarik yang luar biasa. Selain cantik, me­na­rik, dan supel, ia juga gadis yang sang­at kaya. Kehadiran Martha mampu membius per­hatian semua cowok yang ada di perse­ku­tu­an pemuda itu, termasuk juga dengan Pe­trus. Secara diam-diam, Petrus dan Mar­tha pun mulai menjalin hubungan cinta, tan­pa sepengetahuan Maria. Sepandai-pandai­nya Petrus menyembunyikan hubungannya de­ngan Martha, akhirnya tercium juga oleh Ma­ri­a. Pertengkaran sengit di antara mereka ber­dua pun tak terelakkan lagi. Dan semua­nya berakhir dengan putusnya hubung­an Maria dan Petrus.
Sejak perpisahan mereka itulah, baik Ma­ria, Petrus maupun Martha, mulai undur da­ri pelayanan. Bahkan Maria juga mulai ja­rang datang ke persekutuan dan kebakti­an minggu di gereja. Apalagi jika di gereja Ma­ria melihat Petrus dan Martha datang ke ge­re­ja berdua, ia akan segera ber­ingsut pergi meninggalkan gereja dan berla­ri pulang.
“Ria…lu kenapa sich? Udah lama ba­ng­­et nggak pernah nongol lagi di gereja. Kita se­­­mua kangen lho dengerin suara merdu lu itu. Habisnya…singer-singer yang sekarang pa­­da fals semua sich. Lagi sibuk apaan sich lu, sampai-sampai gak sempet lagi ke gere­ja?” tanya Vanya, sobat kental Maria di per­se­ku­tuan, ketika berkunjung ke rumahnya. Ma­ri­a menghela nafas panjang.  Sulit bagi­nya untuk menjawab pertanyaan itu se­ca­ra jujur.
“Ah…nggak ada apa-apa kok, Nya. Gue cu­ma sibuk belajar buat nyiapin EBTA­NAS en UMPTN aja,” jawab Maria.
“Masa cuma gara-gara itu aja, lu jadi ja­rang ke gereja lagi?  Come on…Ria…Pas­ti ada sebab lain. Gue tahu bener siapa e­lu. Ehm…gue tahu…Ini pasti soal Petrus en Martha, iya khan?” tebak Vanya.
Maria pun tercekat. Tenggorokannya se­o­lah kering, tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Tapi memang semua yang diu­cap­kan Vanya itu benar. Semuanya itu gara-ga­ra Petrus dan Martha. Selama ini semua o­rang di gereja, mengenal Petrus dan Maria se­ba­gai pasangan yang serasi. Tiba-tiba saja mereka harus putus, dan sekarang Pe­trus dengan Martha. Ini adalah sua­tu hal yang memalukan dan menyakitkan ba­gi Maria. Sejujurnya ia tak pernah bisa me­ne­ri­ma kenyataan ini. Itulah keadaan yang sebenarnya. Semuanya terasa begitu me­nya­kitkan bagi Maria. Itulah sebabnya ia jarang muncul di gereja lagi.
“Dengar Ria, lu harus balik lagi ke gere­ja. Masa cuma gara-gara Petrus en Martha a­ja, lu nggak mau lagi ke gereja. Nggak lucu Ria... lu kayak anak kecil banget deh…” tegur Vanya.
“Kayak anak kecil gimana? Gue nggak mau ke gereja, karena sakit hati gue belum hilang. Gima­na mungkin gue tetep pelayanan di ge­re­ja, sementara gue tetep nyimpen rasa sakit ha­ti sama mereka. Ntar pelayanan gue jadi ru­sak gara-gara mereka. Gue nggak mau jadi mu­na­fik, Nya!” bantah Maria.
“Nah….justru itu! Lu mesti beresin ra­sa sakit hati lu itu. Kalau lu nggak pernah be­re­sin itu, selamanya lu bakal nyimpan den­dam en nggak balik-balik ke gereja lagi.”
Maria terdiam mendengar kalimat tera­khir Vanya. Selama ini memang ia cenderung  te­rus menyimpan rasa sakit itu tan­pa mau mem­bereskannya. Dan se­sung­guh­nya, itu­lah yang membuat dirinya men­jadi dendam pada Petrus dan Martha. Maria memu­tuskan untuk menghenti­kan pelayanannya dan nggak akan ke gereja lagi, se­be­lum pasangan baru itu keluar dan pin­dah gereja.
“Ria, dengerin gue yach…lu nggak bisa ka­yak gini terus. Lu mesti bertobat en minta Tuhan Yesus untuk pulihin hati lu. Kalau ng­gak, lu nggak bakalan dapat damai sejah­tera Kristus. Sudah gitu, pelayanan lu juga ja­di terhambat. Tahu nggak? Gara-gara lu se­perti ini, ada banyak orang yang juga ikut ke­hilangan berkat. Mereka-mereka yang bia­sa denger suara lu ngerasa terberkati en ter­­la­­ya­ni, sekarang pada nyariin lu. Tahu gak sich? Tiap kali lu jadi singer, lu itu udah nyentuh hati orang-orang yang nge­dengerin, hingga mereka jadi bertobat,” nasehat Vanya berapi-api. 
“Tapi Nya, hati gue sakit banget. Gue nggak bisa!” bantah Maria tak terima.
“Ria, lu pasti bisa kalau lu mau en nye­ra­hin semuanya pada Yesus. Lu percaya khan kalau Yesus sanggup melakukan segala perkara,” ujar Vanya sambil memeluk Maria yang tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Hari Minggu pagi yang cerah, Maria me­mutuskan untuk ke gereja bareng Vanya.
“Nya, kalau ntar ketemu anak-anak en di­ta­nyain mereka, gue jawab apa?” tanya Ma­ria yang mulai ragu-ragu melangkah.
“Aduh… cuek aja lagi,” sahut Vanya sam­bil terus berjalan.
“Tapi Nya… em… kalau... kalau ntar kete­mu Petrus ama Martha gimana? Udah ah… pulang aja yuk...” Vanya geleng-ge­leng kepala melihat tingkah Maria.
“Eh Ria… lu gimana sich? Kalau lu kayak gini terus, lu nggak akan pernah berani menghadapi masalah. Udah lah…ayo ma­suk…” ujar Vanya seraya menarik tangan Ma­ria. Mau tak mau ia pun menuruti Vanya.
Saat Maria memasuki gedung gereja, ia di­sambut dengan sukacita oleh teman-te­man­nya. Segera saja ia merasakan sukacita dan damai sejahtera yang luar biasa meling­ku­pi dirinya. Sepanjang kebaktian hari itu, Ma­ria memperoleh berkat yang luar biasa
“Eh, Ria, ada Petrus en Martha, tuh. Ki­ta kesana yuk,” ajak Vanya usai kebak­tian.
“Ogah…ah. Pulang aja yuk,” tolaknya. Jujur, Maria malas bertemu Petrus dan Martha.
“Hei, katanya lu udah ngampunin me­re­ka. Kok masih gitu sih? Ayo dong Ria.”
“Males ah”
“Ria… Ayo!” ujar Vanya sambil meng­ga­mit lengan Maria dan menyeretnya mene­mui Petrus dan Martha.
“Hallo Petrus… Halo Martha,” sapa Va­nya ramah. Sejenak nampak kegugupan me­lan­da Petrus, Martha juga Maria.
“Eh... em… e… halo juga,” balas Petrus. Mar­tha yang disampingnya hanya diam saja tan­pa bisa menyembunyikan wajahnya yang nampak khawatir. Vanya yang memba­ca suasana yang tidak enak itu, mulai menye­garkan suasana dengan gurauan­nya. Meski sempat beberapa saat situasi jadi terkesan garing, tapi itu tak berlang­sung lama. Tak lama kemudian, mereka pun sudah bisa bercanda dengan akrabnya.
“Eh, Ria… e… gue… gue… mau minta ma­­af…soal... soal…gue…emmm…e…gue…sama…e…Pe­trus. Gue nggak bermaksud…e…gue sama sekali nggak bermaksud nyakitin hati lu. Maafin gue Ria.” tu­tur Martha setelah sekian lama mereka ngobrol.
“Udahlah Tha, lu nggak perlu minta ma­af. Gue udah ngelupain semuanya kok. La­gian, mungkin Tuhan memang punya rencana lain, dan Pe­trus mungkin juga bukan untuk gue. Yang penting, kalian baik-ba­ik aja, en kita masih tetep berteman baik,” ucap Maria sambil tersenyum. Lega. Akhir­nya semua bisa disele­sai­kan dengan baik.
“Nah, coba sejak awal kalian mau saling maafin, khan enak. Iya khan...” sela Va­nya sambil mengedipkan matanya, diiri­ng­i senyum manis Maria, Petrus, dan Martha.  (esi)