Sabtu, 31 Desember 2011

I JUST WANT TO SAY I LOVE (LIKE…?) YOU…


“Sumpah! Gue beneran cinta mati sama lo. Lo mau, kan, jadi pacar gue?” Nggak pakai nunggu lama , Siska langsung menganggukkan kepalanya begitu mendengar pernyataan Andi, cowok paling keren di sekolahnya. Kira-kira sebulan berlalu, Andi mulai menjauhi Siska, sampai kemudian mereka putus gara-gara Andi ketahuan jalan bareng sama Camilla, cewek cantik dari sekolah lain.
Bicara cinta memang susah-susah gampang bin gampang-gampang susah. Di usia-usia muda seperti kita sekarang ini, namanya cinta dan suka memang terkadang sering membuat kita bingung. Rasanya sulit membedakan mana yang suka dan mana yang cinta. Sudah terlanjur bilang cinta sama si A, eh… ternyata kita sebenarnya cuma menyukainya semata. Kita suka karena kagum dengan kelebihan yang dimilikinya. Tetapi belakangan baru sada, rupanya nggak ada rasa cinta di dalamnya. Akibatnya kita jadi di cap cowok  atau cewek gampangan gara-gara sering gonta-ganti pacar. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah karena ketidakmampuan kita membedakan mana yang ‘cinta’ dan mana yang hanya sekedar ‘suka’.

Apa, ya, bedanya?
Menurut wikipedia, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut. Berbeda dengan suka, yang menurut kamus besar bahasa Indonesia diidentikkan dengan sebuah perasaan atau suatu keadaan girang atau senang.
Datangnya cinta memang diawali dengan perasaan suka. Tapi seiring berjalannya waktu dan semakin dekatnya hubungan, kita baru bisa menyadari apakah ini hanya sekedar suka, atau kita sungguh-sungguh jatuh cinta. Itu sebabnya, namanya tahap pedekate di awal hubungan amat sangat diperlukan. Pada tahap ini semestinya justru membutuhkan rentang waktu yang cukup lama, supaya kita dapat benar-banar memastikan inilah yang namanya cinta dan bukan hanya suka.
Tidak bisa disangkal, pada tahap awal pertemuan, rasa suka akan mendominasi hubungan kasih kita. Kita menyukai wajahnya, cara bicaranya, tertawa renyahnya, kelembutannya, kepemimpinannya, wibawanya, dan lain-lain. Namun ketika perasaan suka itu berubah menjadi kerelaan untuk memberi yang terbaik dari diri kita demi yang terbaik untuknya... hmmm... that’s called love, guys... Menyukai mengacu pada kesenangan pribadi yakni menginginkan seseorang karena ia baik untuk kita dan menyenangkan hati kita. Sebaliknya, cinta merujuk kepada kesediaan memberikan diri untuk seseorang.

Before you decided...
Nah, sebelum memutuskan bahwa si dia bakalan jadi pacar, pastikan betul-betul bahwa yang kita rasakan pada si dia bukanlah sekedar perasaan suka, tapi karena kita sungguh-sungguh mencintainya. Itu sebabnya keputusan tersebut tidak dapat diambil dalam waktu yang singkat. Diperlukan waktu yang cukup untuk dapat memastikan pula, bahwa ini bukan hanya cinta, tetapi bahwa si dia adalah sungguh-sungguh seseorang yang Tuhan sudah siapkan untuk menjadi pasangan kita. Karena itu, doa dan hubungan yang intim dengan Allah memiliki peran yang besar dalam hal ini.
Well, sobat muda, ingatlah apa yang pernah firman Tuhan katakan, bahwa cinta itu begitu kuat seperti maut (Kidang Agung 8:6). Jika kita tidak hati-hati dan nggak mau dengar-dengaran dengan Allah, akan sulit bagi kita untuk memutuskan yang terbaik dalam hidup kita. Jangan pernah main-main dengan perasaan cinta yang sudah Tuhan anugerahkan bagi kita. Selama kita mau mendengarkan Allah, nggak akan sulit buat kita untuk membedakan mana yang hanya perasaan suka dan mana yang sungguh-sungguh cinta. Sehingga pada akhirnya nanti, kita akan mampu menemukan pasangan hidup yang terbaik yang Tuhan sudah sediakan untuk kita. q(ika)             (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Desember 2011)

SOL MED… I’M IN LOVE


Yang ini bukan Ustad Solmed yang lagi ngetop itu lho, ya… Social Media alias Sol Med memang saat ini digandrungi semua orang. Nggak cuma anak muda saja, tapi orangtua pun ikut keranjingan. Mulai dari Facebook, Twitter, Friendster, MySpace dan sebagainya. Sayangnya sebagai pengguna Sol Med, kita seringkali nggak aware dengan aturan mainnya. Inilah yang akhirnya jadi menimbulkan bencana buat kita sendiri.
Seperti yang dialami Fresta, Amelia dan Firda. Cuma gara-gara menuliskan status di wall akun facebook miliknya, “Sekolah saya korupsi looh! Pengen saya basmi!” Fresta pun akhirnya dikeluarkan oleh pihak sekolah. Amelia dan Firda, dua teman Fresta yang ikutan me-like statusnya pun juga ikut dikeluarkan oleh petinggi SMK Pembangunan Bogor, tempat mereka bersekolah (Kompas.com 3 Maret 2011).

Saat gaul juga beraturan
Ikutan bergabung  dengan  social media saat ini sepertinya memang sudah hampir menjadi suatu ‘keharusan’. Rasanya hidup nggak kelihatan lengkap dan nggak kelihatan gaul kalau belum punya akun facebook atau twitter. Sol Med sudah seperti menjadi bagian dari identitas kita. Nah, yang jadi masalah, nih, seringkali kita ikut-ikutan bergabung di Sol Med, tapi kita nggak tahu bahwa Sol Med pun ada aturan mainnya. Inilah yang sering kita lewatkan. Walhasil banyak terjadi kasus-kasus yang membuat kita tersandung masalah, hanya gara-gara luapan emosi sesaat yang tertuang di jejaring sosial.
Kasus yang dialami Fresta, Amelia dan Firda hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus yang timbul karena kita nggak paham aturan main ber-social media. Masih banyak kasus yang terjadi karena ketidakpahaman akan rule berjejaring sosial. Mulai dari peristiwa penculikan dan pemerkosaan yang terjadi karena terlalu percaya pada orang yang baru dikenal di jejaring sosial, kasus penipuan, sampai kasus pencemaran nama baik. Pendek kata, sebelum terjun ke jejaring sosial, kudu paham betul aturan main dan etikanya.

Please... be careful...
Berikut ada beberapa hal yang bisa dijadikan panduan dalam berjejaring sosial.
1.      Jangan bikin status sembarangan.
        Seringkali kita suka menulis status sembarangan. Misalnya saja berkomentar tentang sesuatu hal yang mungkin kita sendiri nggak tahu persis kebenarannya seperti apa. Akhirnya, yang terjadi kemudian bisa membuat persoalan jadi semakin panjang gara-gara status tersebut. Menulis status ibaratnya sama seperti kita berbicara. So, seperti pepatah bilang, “Mulutmu harimaumu.” Hati-hati menggunakan perkataan kita, supaya tidak menjadi batu sandungan buat kita sendiri (Pengkhotbah 5:5).
2.      Jangan terpancing emosi dengan status orang lain.
        Yang ini juga bahaya, lho. Kadang-kadang ketika membaca status orang lain, apalagi kalau statusnya rada-rada kontroversial, emosi kita pun cenderung ikut bermain. Akibatnya, kita pun seringkali langsung menanggapi status tersebut dengan emosional. Padahal mungkin saja status tersebut memang sengaja dibuat demikian untuk memancing emosi pembacanya. Well guys, hati-hati. Jangan terburu nafsu untuk menanggapinya. Firman Tuhan pun sudah mengingatkan kita dalam Yakobus 4:1. Kalau kita memperturutkan nafsu untuk menanggapi status yang semacam ini, bisa-bisa bakalan menimbulkan pertengkaran yang mungkin tak akan ada habisnya.
3.      Jangan curhat sembarangan.
        Kalau lagi gundah gulana, curhat memang rasanya paling enak. Tapi jangan sekali-kali curhat sembarangan di akun Sol Med. Bukan nggak mungkin curhatan kita justru akan jadi masalah dan berujung pada masalah yang lebih besar lagi dan bahkan harus menjadi masalah hukum. Nggak mau, kan, kalau jadi seperti itu? Boleh-boleh saja kalau mau curhat. Tapi harus hati-hati. Lebih baik curhat dengan ortu atau sohib kita yang dapat dipercaya. Itu akan jauh lebih aman dari pada bercurhat ria via jejaring sosial.
4.      Jangan terlalu percaya pada orang yang baru dikenal via Sol Med.
Nah, yang ini juga sangat penting. Ada banyak kasus pemerkosaan, penipuan dan penculikan yang terjadi, hanya gara-gara kita terlalu percaya pada orang yang baru yang dikenal di jejaring sosial. So,  jangan begitu saja percaya pada ajakan atau rayuan dari orang yang baru kita kenal di Sol Med. Sebab nggak semua orang di jejaring sosial selalu menggunakan identitas aslinya. That’s why kita kudu waspada, biar nggak terjebak dalam bujuk rayu yang menyesatkan dari orang-orang yang memang memanfaatkan jejaring sosial untuk berbuat jahat.
Sobat muda, pada akhirnya memang kita harus selalu waspada dan berjaga-jaga. Seperti Tuhan Yesus bilang, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Markus 14:38). Kalau kita nggak hati-hati, jejaring sosial yang mengasyikkan itu bisa membuat kita kecanduan dan membuat kita jatuh ke dalam berbagai macam persoalan yang mampu menyeret kita dalam perbuatan dosa. Have a nice friendship in social media...q(ika)       (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Desember 2011)

Senin, 31 Oktober 2011

I HATE IT!!!


“Hu… uh… ngomel melulu tiap hari. Nggak ada bosen-bosennya ngomel-ngomel dan marahin anak-anaknya.” Sobat muda pasti setuju, nggak ada yang suka diomel-omelin dan dimarah-marahin sama orangtua. Rasanya pasti bĂȘte dan nyebelin banget. Kadang-kadang kita pun suka mikir, kok, kita ini seperti anak kecil yang selalu saja dimarah-marahin. Mereka lupa apa, ya, kalau kita-kita ini sudah pada gede? Apalagi kalau mereka marah-marah di depan teman-teman kita. Huaahhh... rasanya tengsin minta ampun, deh. Kalau sudah begini, kitanya suka jadi jengkel dan rasanya pengen marah juga ke ortu. Masa sudah gede masih harus dimarah-marahin kaya anak kecil, sih? I hate it so much!!!

It’s because of love
Weits… jangan buru-buru marah dulu bro en sis. Gimana pun juga, namanya teguran dan nasehat dari ortu tetap kita butuhkan, lho. Kalaupun mereka marah, itu pun karena kita ini anak mereka yang sangat dicintai. Mereka nggak mau, dong, kita-kita ini jadi salah jalan karena nggak pernah dimarahin ataupun dinasehatin oleh orangtuanya.
Bersyukurlah punya orangtua yang masih mau memarahi dan menegur kita. Itu tandanya mereka sungguh-sungguh mengasihi dan memperhatikan kita. ‘Coz yang namanya kasih memang nggak melulu berwujud perhatian, belaian sayang, juga bermacam pemberian. Terkadang hajaran dan amarah pun harus diterima demi menyadarkan kita yang sudah berbuat kesalahan. Justru ketika kita berbuat salah dan ortu membiarkan saja, tidak marah dan tidak menegur, bukannya kasih yang mereka tunjukkan, tetapi justru mendorong kita untuk jatuh dan melakukan kesalahan yang lebih fatal lagi. Kalau sudah begini, mana yang mau kita pilih? Pilih ditegur, atau nggak pernah ditegur sama sekali?

2nd Adonia
Sobat muda, masih ingat, nggak, dengan Adonia, putra keempat Raja Daud dengan istrinya yang bernama Hagit? (II Samuel 3:4). Sepanjang hidupnya, Adonia sama sekali belum pernah dimarahi apalagi ditegur oleh Daud, ayahnya (I Raja-Raja 1:6). Akibatnya Adonia menjadi anak yang sombong dan hidup semaunya sendiri. Kelakuan buruk yang tak pernah ditegur ayahnya ini justru menjerumuskan Adonia ke dalam jurang kesalahan yang lebih besar lagi, hingga berujung pada kematiannya.
Well, kalau kita nggak mau jadi the second Adonia, mulai sekarang harus belajar berbesar hati ketika ortu menegur dan memarahi. Ingatlah! Adalah tugas mereka sebagai orangtua untuk mendidik dan menegur kita anak-anaknya (Amsal 13:24). Kalaupun mungkin ketika ortu menegur ataupun marah dengan cara yang menurut kita nggak pas, sah-sah aja kok kalau kita jadi jengkel. Tapi jangan jadikan kejengkelan itu terus dipendam dan membuat kita ogah ditegur.
Gimana pun juga, nggak selamanya juga cara ortu selalu benar ketika mereka marah ataupun menegur kita. Adakalanya maksud mereka mungkin baik, tetapi cara penyampaiannya yang nggak pas sehingga membuat kita jadi jengkel. Kalau kita merasa kemarahan atau teguran ortu nggak pas, bicarakanlah dengan mereka secara baik-baik. Pasti, deh, mereka juga akan mengerti keberatan kita. Nah, masih sebel? Try to calm down. Coba renungkan baik-baik setiap kemarahan serta teguran ortu, dan belajarlah dari semuanya itu. Apapun yang terjadi, semuanya itu untuk kebaikan kita juga, bukan?q(ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2011)

LOVE… LOVE… LOVE…


Menurut data hasil survey KPAI, sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di Jakarta, Surabaya, dan Bandung pernah berhubungan seks. Di Jakarta, menurut Riset Strategi Nasional Kesehatan Remaja yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Survei yang dilakukan BKKBN menyebutkan 5,3 persen pelajar SMA di Jakarta pernah berhubungan seks. Dan 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra nikah. Dari hasil survei yang dilakukan Annisa Foundation ditemukan 42,3 persen remaja SMP dan SMA di Cianjur, Jawa Barat, pernah berhubungan seks.
Inilah fakta yang terpapar di media awal bulan ini. Miris memang, tapi begitulah kenyataannya. Jangan kaget. Bukan nggak mungkin salah satu dari sekian banyak itu ternyata adalah kita. Seringkali hubungan seks pra nikah ini terjadi bukan karena kita minim pengetahuan tentang seks. Bukan pula karena kita penasaran dan pengin coba-coba. Namun semuanya itu terjadi karena kita nggak bisa menolak yang namanya cinta.

Demi nama cinta
Namanya anak muda, jatuh cinta adalah hal yang paling indah di dunia dan seringkali sulit untuk ditolak. Kita bahkan cenderung untuk tidak bisa menolak cinta. Demi cinta, apapun yang harus terjadi kita pasti bersedia melakukannya. Termasuk melakukan hal-hal yang semestinya belum boleh dilakukan sekarang, yaitu seks pra nikah.
Kenyataannya kita memang memilih menyerah melakukan seks pra nikah karena takut ditinggalkan, takut patah hati, takut tidak bahagia bila tidak bersama si dia, dan sejumlah alasan yang sebenarnya nggak perlu dikuatirkan. Seringkali kita berpikir bahwa ketika kita nggak mau melakukan hal-hal yang diminta oleh si dia, itu artinya kita nggak sungguh-sungguh mencintai. Salah besar!
Coba cek apa kata Firman Tuhan berikut ini, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (I Korintus 13:4-7) Nah, sekarang coba bandingkan dengan karakter pacar kita. Apakah si dia memiliki karakter sebagaimana yang disebutkan oleh Firman Tuhan?

Cinta itu tidak buta
Sobat muda, sesungguhnya cinta itu tidaklah buta. Sebaliknya Firman Allah justru membuktikan bahwa cinta itu sangat rasional. Cinta itu selalu bisa menunggu, karena ia sabar. Cinta itu tidak melakukan hal-hal yang nggak sopan. Cinta itu juga nggak mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.
Coba list  satu persatu keburukan si dia yang nggak bisa ditolerir dan juga semua kebaikannya. Buatlah list dengan jujur dan nggak perlu malu untuk melakukannya. Ingatlah bahwa kita nggak sedang mengkhianati si dia. Sebaliknya, justru kita sedang melakukan langkah-langkah preventif agar tak jatuh kedalam kesalahan yang fatal.
Kalau hasilnya lebih banyak karakter baik yang muncul, si dia patut untuk dipertahankan, sembari terus doakan dia, apakah benar si dia adalah pasangan yang tepat yang Tuhan sudah sediakan buat kita. Akan tetapi kalau si dia ternyata adalah pacar yang suka memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang nggak sopan dan juga nggak kita inginkan, forget it NOW! Masih banyak cowok-cowok ataupun cewek-cewek di luar sana yang lebih baik dan bersedia menunggu kita. Ingatlah bahwa Allah sudah mempersiapkan pasangan yang terbaik untuk kita. Tentu saja, asalkan kita mau bersabar dan terus mencari kehendakNya. Mumpung masih belum terlambat dan sebelum menyesal kemudian, segera bertindak dan selamatkan hidup kita.q(ika)     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2011)

Rabu, 31 Agustus 2011

I LOVE ME

“Aku nggak memang nggak pantas jadi juara kelas. Aku nggak punya cukup uang untuk ikutan les apapun yang bisa membantuku mendongkrak nilai di sekolah. Jauh banget kalo dibandingin sama Eva yang kaya, pintar, dan popular di sekolah. Mestinya memang Eva yang lebih pantas menjadi juara kelas daripada aku,” tukas Rina menyalahkan dirinya sendiri. Yah, hari itu Rina baru saja kena makian dari Eva. Eva yang biasanya selalu menjadi juara kelas, tahun ini harus merelakan kursi juara kebanggaannya itu pada Rina, si cewek pendiam anak tukang kebun sekolah.
Nggak cuma Rina yang seringkali suka menyalahkan diri sendiri. Banyak di antara kita yang punya ‘hobi’ menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu hal yang sebenarnya bukan kesalahan kita. Kerap kali kita suka menyalahkan diri karena kita nggak cantik atau nggak ganteng, so that’s why pacar kita akhirnya jadi selingkuh sama yang jauh lebih cakep. Malu sama teman-teman karena punya hobi kutak-katik vespa kuno yang sama sekali nggak ada keren-kerennya, makanya kita jadi selalu berusaha menyembunyikannya dari teman-teman se gang. Bahkan ada yang sampai nekat bunuh diri gara-gara diejek dan dianggap sebagai siswa paling nggak oke di sekolah.

Self Bullying
Sobat muda, sadar atau tidak, ketika melakukan hal-hal seperti itu, kita sedang mem-bully diri sendiri. Kalau biasanya kita sering mendengar ada orang yang kerap membully  atau dibully, nah, kali ini justru kita sendiri yang membully   diri sendiri. Biasanya ini terjadi tanpa disadari, yaitu saat kita sedang merasa down, kecewa, sedih atau sesekali merasa kurang pede. Sebenarnya perasaan down seperti ini wajar terjadi. Yang jadi masalah justru ketika kita menanggapinya secara berlebihan tanpa bisa dikendalikan lagi. Ketika ini terus menerus kita lakukan hingga menjadi sebuah kebiasaan, pada akhirnya justru membuat sobat muda nggak bisa menghargai diri sendiri. Inilah musuh terbesar dalam hidup, yaitu diri sendiri.
Jika sobat muda selalu melakukan tindakan-tindakan destruktif, tanpa lagi ingat bahwa kita ini adalah pribadi unik dan sangat berharga. Kalau sudah begini, sobat muda nggak bakalan pernah bisa melihat bahwa sesungguhnya kita ini punya potensi dan keunggulan yang seharusnya kita kembangkan. Yang ada malahan kita hanya mengubur dalam-dalam semua potensi yang ada dalam diri, hanya gara-gara sering membully diri sendiri. Nggak cuma itu saja efeknya. Kebiasaan membully  diri sendiri juga akan membuat kita menjadi sosok yang selalu berpikiran negatif dan nggak bisa menghargai apapun. Nah, akibatnya sudah pasti sobat muda nggak bakalan pernah bisa maju. Selama kita terus menerus seperti itu, hanya membuat diri kita semakin terpuruk saja, tanpa pernah bisa bangkit dan menjadi pemenang.

You’re Very Special
Guys, nggak ada gunanya kita menyakiti diri sendiri dengan tindakan self bullying.  Semuanya itu justru hanya akan merugikan kita saja. Ingat, lho, Allah menciptakan kita dengan sangat special, karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah  (Kejadian 26:27). Antara manusia yang satu dengan yang lainnya pasti berbeda. Masing-masing punya keunikan tersendiri dan Allah pun memberikan talenta serta potensi diri yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. So, that’s why kalau kita berusaha membully diri sendiri, sama artinya kita juga sedang menghina Allah yang sudah menciptakan kita.
Di mata Allah, kita semua sangat berharga. (Yesaya 43:4). Makanya, jangan pernah lagi merasa diri kita nggak berharga, nggak berguna, nggak berdaya, buruk rupa, bodoh, dan lain sebagainya. Ingatlah bahwa kita dilahirkan ke dunia ini bukan kebetulan. Allah selalu punya rencana yang terbaik untuk hidup kita. Itu sebabnya, ketika kita merasa down, nggak usah menanggapinya berlebihan sampai membully diri sendiri. Anggaplah semuanya itu sebagai bagian dari rencana Allah yang tengah memproses diri kita untuk rencanaNya yang indah. Mulai sekarang, ayo belajar untuk mencintai diri kita sendiri. Sebab ketika kita mencintai diri kita, kita tahu bagaimana harus menghargai hidup pemberian Allah ini, dan bagaimana kita dapat membuat hidup ini menjadi berharga seturut dengan kehendakNya.q(ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2011)

Kamis, 30 Juni 2011

AM I A GOOD FRIEND?

“Kalo lo bener-bener temen gue, lo pasti bakal bantuin gue. Apapun yang gue mau, lo kudu nurutin…” Hmm… mentang-mentang sahabat baik, temen baik, sohib satu geng, terkadang kita bisa ngelakuin segala cara demi solidaritas persahabatan. Nggak perduli kalau sebenarnya apa yang dilakukan itu salah. Kalau sudah begini apa iya kita masih bisa disebut dengan sahabat yang baik?

Mendukung segalanya?
Namanya sahabat, tentu saja harus kita dukung terus. Dalam suka dan duka, sahabat yang baik seharusnya selalu ada di sampingnya. Tapi kalau sahabat kita melakukan sesuatu yang salah dan mengajak kita untuk berbuat salah juga, apakah kita juga harus mengikutinya? O… o… o… kalau begitu  tunggu dulu. Namanya sahabat memang seharusnya selalu ada saat suka dan duka. Tapi kalau sahabat kita berbuat salah, sebagai sahabat yang baik sudah selayaknya kita menegurnya untuk kembali ke jalan yang benar, dan bukan malah ikut-ikutan makin menjerumuskannya dalam kesalahan yang lebih besar.
Sobat muda, ketika kita mendukung sahabat kita untuk masuk dalam kesalahan yang dibuatnya, bukan hanya kita makin menjerumuskannya ke dalam kesalahan yang lebih besar, tetapi kita sendiri juga jadi turut bersalah. Hasilnya, kesalahan bertumpuk itu justru kitalah yang menjadi penyebabnya. Mengapa? Sebab sudah tahu kalau sahabat kita bersalah, masih saja kita mendukung kesalahan itu.

Are you a good friend enough?
Well guys, seperti yang dibilang Amsal 17:17, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Kalau benar kita adalah sahabat yang baik dan sangat mengasihi sahabat kita, sudah sepantasnya kita menegurnya jika mereka berbuat salah. Masalahnya, apa kita sudah menjadi sahabat yang baik selama ini?
Mungkin yang sering terjadi, kita takut dianggap tidak setia kawan dan mengkhianati sahabat kita, sehingga kita membiarkan dan malah turut mendukung kesalahan mereka. Jangan pernah takut dicap sebagai sahabat yang tidak setia, hanya karena kita tidak mau ikut-ikutan dalam kesalahan yang diperbuatnya. Namun yang sudah menjadi kewajiban kita adalah menegur mereka dan membawanya kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian kita baru bisa sungguh-sungguh disebut seorang sahabat yang baik baik teman kita.q(ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2011)

KALAU NARSIS JANGAN PORNO

Heboh video porno sejumlah artis yang marak belakangan ini ternyata juga dibarengi dengan beredarnya  video-video porno yang lain dengan bintang anak-anak muda yang masih duduk di bangku SMP hingga kuliah. Well, tentu saja ini bikin miris, yah. Akhir-akhir ini banyak sobat muda yang ceritanya kepingin eksis di dunia maya, tapi yang ada malah jatuh ke dalam pornografi. Awalnya mungkin iseng-iseng belaka. Tapi mereka sama sekali nggak sadar kalo ternyata keisengan itu justru berbuah petaka yang bisa menghancurkan hidup mereka.

Gara-gara narsis
Punya situs pertemanan seperti facebook, twitter, friendster, dan sejenisnya memang membuat kita cenderung punya keinginan untuk memamerkan diri sendiri juga keseharian kita di dunia maya. Kita ingin semua orang tahu apa yang kita lakukan, seperti apa kita, dan apa yang kita inginkan. Kita senang jika orang lain memperhatikan dan mengomentari kita. Walhasil, tanpa disadari kita pun mulai jadi narsis, alias mulai senang mengagumi atau melebih-lebihkan diri sendiri.
Sepanjang perilaku narsis ini nggak ngerugiin diri sendiri dan orang lain, tapi malah menjadi media untuk menyalurkan bakat, seperti misalnya bakat modeling, fotografi, grafis dan sebagainya, it’s okay. Tapi gimana, ya, kalau sudah menjurus ke arah pornografi? Jelas-jelas ini sudah nggak benar sama sekali. Namun, terkadang ketika sudah tahu bahwa ini nggak benar, banyak sobat muda yang nekad untuk membuat foto-foto atau video yang berbau pornografi.  “Ini, kan, hidup gue. Suka-suka gue, dong, mau ngapain aja. Bukan urusan lo juga…”  begitu alasan yang sering terlontar ketika ditegur.

Be careful
Sobat muda, sudah saatnya kita belajar untuk berhati-hati dan tidak bersikap semau gue. Kita pun harus mulai belajar untuk berpikir masak-masak sebelum melakukan sesuatu. Begitu pula ketika kita akan membuat foto atau video, apalagi mempostingnya di dunia maya. Jangan sampai kita tergiur untuk membuat pose-pose seksi hanya untuk popularitas semu.
Ingat, lho, kita sudah ditebus oleh Allah dari cara hidup kita yang sia-sia (1 Petrus 1 : 18). Sebab itu, jangan pernah menyia-nyiakan hidup kita dengan melakukan hal-hal yang tidak berkenan dihadapan Allah. Jangan sampai kita lagi-lagi menyalibkan Kristus dan mendukakan hatiNya dengan melakukan tindakan-tindakan bodoh, yang justru nanti hanya akan merugikan kita sendiri di kemudian hari.q(ika) (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2011)

Sabtu, 30 April 2011

ANTARA BENCI DAN DENDAM


Suatu saat, ada seorang guru SMP yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantong plastik ke sekolah. Kemudian, dia meminta setiap anak untuk memasukkan satu kentang seukuran kelereng yang  telah disediakan ke dalam kantung untuk setiap orang yang berbuat salah pada mereka dan tak mau mereka maafkan. Anak-anak diminta menuliskan nama orang itu dan tanggal kejadian pada kulit kentang. Kantong tersebut harus dibawa kemanapun mereka pergi selama satu minggu penuh. Kantong itu harus berada di sisi mereka saat tidur, di letakkan di meja saat mereka belajar, dan ditenteng saat berjalan. Murid-murid tersebut diminta untuk menjadikan kantong itu sebagai teman mereka.
Ada beberapa anak yang memiliki kantong yang ringan, namun tidak sedikit juga yang memiliki plastik dengan kelebihan beban. Hari berganti hari, kentang itu makin lama jadi membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya waktu satu minggu itupun selesai. Hasilnya, semua anak agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus.

Menyimpan luka, menyimpan lara
Sama halnya seperti anak-anak SMP di atas, kita juga seringkali suka berlama-lama menyimpan kebencian dan dendam terhadap orang yang dianggap telah menyakiti diri kita. Bukannya langsung mengampuni dan melupakannya, tapi kita lebih suka menyimpannya dan berharap bila suatu saat nanti akan dapat membalasnya. Tapi tahu, nggak, guys, apa yang kita lakukan itu justru akan lebih menyakit hati kita sendiri?
Coba, deh, pikir baik-baik, semakin lama kita menyimpan dendam, semakin lama pula kita akan memikirkan bagaimana cara membalasnya. Kepala kita pun akan semakin dipenuhi dengan pikiran-pikiran untuk membuat trik-trik balas dendam. Walhasil ketika kita berusaha mewujudkannya, yang timbul berikutnya adalah pertengkaran-pertengkaran, saling dendam dan saling balas yang tak akan ada habisnya. Persis seperti yang dibilang di Amsal 10:12A, “Kebencian menimbulkan pertengkaran,…” Jelas hal ini justru akan makin menyakiti kita. Masa enak, sih, hidup dengan terus-terusan bermusuhan? Pastinya hidup jadi nggak tenang, kan?

Let it go…
Bukan hal mudah memang untuk bisa memberi maaf dan melupakannya. Apalagi buat anak-anak muda seperti kita yang bawaannya seringkali emosian. Tapi coba, deh, kita belajar dari Allah. Berapa banyak sebetulnya sakit hati yang Ia miliki karena dosa-dosa yang selalu kita buat. Banyak banget bukan? Malahan boleh dibiang sampai nggak bisa dihitung lagi saking banyaknya. Tapi Ia mau mengampuni semua kesalahan kita dan bahkan mengirim Yesus untuk menebus segala dosa kita.
Sobat muda, nggak ada salahnya, kok, kalau kita mau belajar mengampuni dan melupakan kesalahan orang lain. Jangan biarkan hidup kita terus menerus dikuasai oleh kebencian, amarah serta dendam yang nggak ada untungnya sama sekali. Ingat yang Om Paulus pernah bilang, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” (Kolose 3:13).
Awalnya memang akan terasa berat dan menyakitkan. Rasa nggak terima pasti akan berkecamuk di pikiran kita. Tapi kalau kita minta pertolongan dari Allah, Ia pasti akan menolong dan memampukan kita untuk dapat mengampuni dan melenyapkan segala benci serta dendam di hati kita. Chayoq(ika)       (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi April 2011)

SAMPAI MAUT MEMISAHKAN


Laki-laki tua itu bernama Bai Fang Li. Seumur hidup ia habiskan dengan mengayuh becak yang menjadi sandaran hidupnya sehari-hari. Tinggal seorang diri di gubuk reyot dengan pakaian seadanya. Perawakannya sangat kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Opa Li melanglang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Ia baru mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Dari penghasilan yang diperoleh selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya Opa Li mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun ia tidak melakukannya. Seluruh uang penghasilannya, setelah dipotong sewa gubuk dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siang serta sepotong kecil daging juga sebutir telur untuk makan malamnya, disumbangkannya kepada sebuah yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hampir 20 tahun Opa Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, Opa Li mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua. Opa Li wafat pada usia 93 tahun, dan meninggal dalam kemiskinan. Meski demikian, Opa Li telah menyumbangkan di sepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (setara 470  juta rupiah) yang ia berikan kepada yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Janji tinggal janji
Sobat muda, layaknya pasangan yang tengah mabuk kepayang karena cinta, seringkali kita mengumbar janji untuk setia sampai mati dengan pasangan kita. Pun demikian halnya yang kita lakukan pada Tuhan. Waktu baru awal-awal di babtis dan mengaku percaya, every time kita selalu bilang, “I love You, Jesus. Aku akan selalu mencintaiMu hingga ajal menjemput.” Tapi kenyataan yang terjadi, kita selalu menjadi orang yang mengkhianati Kristus. Ketika godaan dan persoalan hidup mulai menghampiri, kita langsung melupakan Yesus dengan mudahnya. Apalagi ketika kita jatuh cinta dengan orang yang nggak seiman. “Sebodo amat, deh, dengan Tuhan. Itu, kan, urusan pribadi masing-masing…” begitu biasanya kita ngeles.
Nggak jauh beda dengan yang dilakukan Om Petrus. Om Petrus selalu mati-matian bilang bahwa dirinya nggak bakalan menyangkal Yesus, bahkan ia berjanji akan selalu bersama dengan Yesus meski harus mati sekalipun (Matius 26:30-35). Tapi giliran Yesus ditangkap, langsung saja Om Petrus pasang tampang jaim and pura-pura nggak kenal (Matius 26:69-72).

Memberi bukti, bukan janji
Well guys, kisah nyata Bai Fang Li membuktikan bagaimana ia sungguh-sungguh mengasihi anak-anak yatim piatu dengan segenap hatinya. Opa Li hingga maut memisahkan tetap setia pada komitmennya untuk mengasihi dan memberikan bagian yang terbaik dari yang dimilikinya untuk diberikan kepada anak-anak tanpa orangtua tersebut. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita akan tetap memegang janji dan membuktikan cinta kita pada Yesus dengan sungguh-sungguh?
Sebagai manusia biasa, kita pasti nggak luput dari kesalahan dan dosa. Persoalannya, apakah kita mau menyadari kekeliruan itu dan berusaha memperbaikinya dengan kembali ke jalan yang benar? Om Petrus pernah melakukan kesalahan itu dengan menyangkali Yesus. Tetapi ia mau bertobat dan kemudian ia mampu membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh mengasihi Yesus, meski untuk itu Om Petrus harus merelakan nyawanya. So, kalau kita juga mau bertobat dan kembali ke jalanNya, nggak ada yang mustahil, kok. Kalau Allah sanggup memampukan Om Petrus untuk bertobat dan menjadi pengikutNya yang setia, Allah juga pasti sanggup memampukan kita untuk tetap setia mengikut Kristus. Tinggal sekarang, apakah sobat muda mau… atau tidak.q(ika)          (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi April 2011)

Senin, 28 Februari 2011

THE OPEN BOOK


Ruben. Begitulah ia biasa disapa. Hampir seluruh jemaat di GKI Gejayan Yogyakarta mengenalnya. Dari sekolah minggu sampai lansia, tak ada yang tak kenal Ruben. “Selamat pagi… selamat hari minggu… selamat beribadah… Tuhan Yesus memberkati…” Mungkin hanya kata-kata penyambutan itulah yang selalu diucapkannya di setiap hari minggu, menjelang ibadah minggu dimulai. Namun sapaan hangat dan senyum manisnya kepada seluruh jemaat itulah yang selalu diingat oleh semua orang. Padahal Ruben masih sangat muda. Jarang sekali ada anak muda yang sangat akrab dengan seluruh jemaat.
Sayang, di usianya yang masih muda pula Tuhan memanggilnya. Penyakit yang dideritanya sejak lama, akhirnya membawa Ruben kembali pada Bapa. Akan tetapi Ruben telah meninggal jejak-jejak manis di hati semua orang. Melalui sikap dan perbuatannya, setiap orang dapat melihat bahwa Kristus sungguh-sungguh hidup di dalam kesehariannya. Lalu bagaimanakah dengan kita? Sebagai anak muda seringkali kita merasa kesulitan untuk menjadi anak muda yang hidupnya sungguh-sungguh menjadi teladan Kristus. Jangankan menyapa seluruh jemaat seperti halnya yang dilakukan Ruben, menyapa teman sendiri saja kadang-kadang suka males. Apalagi kalo pas lagi musuhan. Jangankan menyapa, nengok aja juga males.

THE CONSEQUENCE
Menjadi anak Tuhan memang gampang-gampang susah. Jadi gampang kalau kita mau nurut sama semua perintah-perintahNya. Nah, susahnya, ya, kalau ternyata apa yang Allah mau untuk kita perbuat, ternyata bertentangan dengan keinginan hati kita. Wah… kalau sudah begini, hati rasanya ingin berontak saja. Masa, iya, sih, Tuhan nggak bisa mengerti maunya kita?
Sobat muda, ketika kita memutuskan untuk mengikut Kristus, kita semestinya sudah harus siap dengan segala konsekuensinya. Bahwa ada salib yang harus kita pikul sebagai pengikut Kristus. Nggak hanya itu, hidup kita sebagai orang Kristen secara otomatis bakal jadi sorotan. Kalau kita nggak hidup benar seturut dengan firman Allah, dengan mudahnya orang akan berkata, “Orang Kristen, kok, seperti itu, ya?”
Ingat, lho, hidup kita ini ibaratnya seperti kitab yang terbuka. Semua orang pasti akan melihat segala tingkah laku kita. Kalau kita hidup seturut dengan firman Allah, orang akan melihat Kristus melalui tingkah laku dan tutur kata kita, dan secara otomatis nama Tuhan pun dimuliakan. Sebaliknya, ketika kita nggak mau taat akan Allah, nama Tuhan pun bisa dipermalukan, hanya gara-gara kelakuan kita yang nggak sesuai dengan firman Allah. Matius 5:16 mengingatkan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

USE OUR LIGHTMETER
Kalau di dunia fotografi kita mengenal ada alat yang namanya lightmeter, yaitu sebuah alat untuk mengukur intensitas cahaya. Maka di dalam kehidupan sehari-hari, kita juga membutuhkan “lightmeter” yaitu Firman Tuhan, untuk dapat melihat apakah hidup kita sudah sungguh-sungguh memancarkan kasih Kristus ataukah belum. Kalau selama ini kita merasa cukup dengan menjadi anak Tuhan yang nge-flat alias yang standar, pokoknya yang penting rajin ke gereja dan nggak menyimpang dari firmanNya, ayo mulai sekarang kita belajar untuk melakukan lebih dari itu. Mulailah berfikir, sudahkah hidup kita ini sungguh-sungguh telah menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling kita. Ketika hidup kita menjadi berkat bagi orang lain, secara otomatis orang lain akan melihat bahwa Kristus sungguh-sungguh hidup dalam kehidupan kita. And  of course, itu akan menjadi kesaksian bagi orang lain.
Sebab itu, ayo, mulai sekarang rubah sikap hidup kita yang selama ini biasa-biasa saja dan hanya mementingkan diri sendiri. Mulailah belajar untuk mempergunakan masa muda kita dengan melakukan hal-hal yang membuat hidup kita lebih bermakna. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Bukan sesuatu hal yang mudah memang untuk memulainya. Tetapi ketika kita mau mencobanya, tentu saja akan membawa perubahan yang sangat berarti bagi kita, juga orang-orang di sekitar kita.q(ika)     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2011)



tulisan ini didedikasikan khusus untuk sahabatku terkasih, Alm. Ruben Rumbiak

STOP BLAMMING YOUR NEIGHBOURHOOD!


“Ini pasti gara-gara lingkungan rumahnya sarang narkoba, jadinya gampang ketularan jadi pecandu, deh…” Nggak sekali dua kali kita sering mendengar kalimat-kalimat semacam ini. Bukan hanya mendengar orang lain berbicara demikian, tapi seringkali kita juga suka menyalahkan lingkungan sekitar kita. Menyalahkan situasi dan lingkungan yang buruk, yang membuat kita nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi tahukah sobat muda, selalu menyalahkan keadaan ternyata nggak menyelesaikan masalah?

LOOK AT SAMUEL!
Dibilang menyebalkan, tentu saja sangat menyebalkan. Berharap dapat tinggal di rumah Tuhan dengan segala keramahan dan kesuciannya. Tapi yang ditemukan justru segala macam penipuan dan  kejahatan-kejahatan. Itulah yang harus dialami Samuel muda. Nyatanya ia mendapati keluarga Imam Eli yang berkelakuan buruk dan jahat, sampai-sampai Alkitab sendiri  menyebut mereka dursila (1 Samuel 2:12).
Namun Samuel mampu menunjukkan bahwa ternyata nggak selamanya lingkungan akan mempengaruhi seseorang. Sekalipun lingkungan sekitarnya buruk, tapi Samuel mampu menunjukkan bahwa dirinya dapat tetap mempertahankan hidupnya tetap bersih dan jujur di hadapan Allah. “Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia.” (1 Samuel 2:26). So, siapa bilang lingkungan yang buruk  akan selalu mempengaruhi seseorang hingga jadi buruk juga? Samuel telah membuktikannya.

BIG CHALLENGE!
Well guys, memang terkadang kita merasa sudah patah arang dan nggak pede ketika berhadapan dengan situasi lingkungan kita yang buruk dan sama sekali nggak mendukung kita untuk menjadi baik. Kalau belum-belum kita sudah menyerah dengan situasi dan terus menerus menyalahkan keadaan, kita memang nggak akan pernah jadi baik dan membiarkan diri terjerumus dalam situasi yang ada. Memang nggak gampang untuk menjadi baik, di saat keadaan sekeliling kita justru sangat buruk. Akan tetapi ketika mampu melakukannya, kita telah melakukan suatu perubahan besar. Bukan hanya perubahan dalam diri kita saja, tetapi perubahan dalam lingkungan kita juga.
Satu hal yang harus diingat. Tidak selamanya lingkungan yang buruk akan melahirkan hal-hal yang buruk juga. Sebaliknya, nggak selamanya juga lingkungan yang baik akan melahirkan hal-hal yang baik juga. Semuanya itu bergantung dari diri kita masing-masing. Kita semua diberikan dua pilihan dalam menghadapi semuanya itu. Mau dipengaruhi, atau mau mempengaruhi. Saat kita mau dipengaruhi, artinya kita menyerah pada lingkungan yang memang sudah demikian. Tetapi ketika kita mau mempengaruhi, ada suatu usaha dari diri kita untuk membuat perbedaan. Ada kemauan untuk belajar dari pengalaman yang ada. Bahwa kita tahu lingkungan yang buruk seringkali membuat kita terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang buruk juga. Namun dari pengalaman itulah kita mau melakukan perubahan. Kita mau justru berusaha untuk menjadi baik, meskipun lingkungan sekitar kita tidaklah mendukung untuk menjadi baik. Anggaplah ini sebagai sebuah kesempatan besar untuk dapat membuktikan bahwa kita mampu untuk membuat sebuah perubahan.
Nah, tunggu apalagi. Jangan biarkan diri kita tetap berkubang dalam situasi buruk yang ada. Ingatlah bahwa tidak ada satu situasi pun yang buruk di hadapan Allah. Segala kondisi, bahkan yang terburuk sekalipun menurut kita, tetap dapat digunakan Allah untuk menjadi berkat. Bukan hanya untuk kita saja, tapi juga untuk orang lain. Ingatlah juga, bahwa Allah sanggup melakukan apapun juga demi mencapai tujuan-Nya yang sangat sempurna bagi kehidupan kita.q(ika)            (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2011)

Senin, 31 Januari 2011

GENGSI DONG


Sudah hampir seminggu Nia dan Verra bertengkar dan nggak saling bertegur sapa. Padahal biasanya dua sahabat ini selalu lengket. Kemana-mana selalu berdua. Tapi tidak seminggu ini. Keduanya seperti musuh bebuyutan yang siap saling terkam. Hanya gara-gara hasutan Sonia, teman sekelas mereka yang memang nggak pernah suka dengan persahabatan Nia dan Verra, akhirnya mereka pun bermusuhan. Sebenarnya Nia dan Verra sadar kalau perseteruan di antara mereka seharusnya tidak perlu terjadi. Namun gara-gara merasa gengsi, nggak ada yang mau saling mengalah untuk menegur dan meminta maaf terlebih dahulu, akhirnya pertengkaran itu terus berlanjut.
Sobat muda, terkadang hanya karena masalah gengsi, kita jadi menggagalkan niat untuk berbaikan dengan orang lain yang sedang bermusuhan dengan kita. Hanya karena gengsi, seseorang juga rela menukar apa saja. Yang penting gengsi kita nggak jatuh di mata orang lain. But… haruskah demi gengsi kita rela mengorbankan apa saja?

Gara-gara takut
Berawal karena takut dianggap remeh, takut diketawain, takut kalah bersaing, takut kehilangan muka, dan lain sebagainya, akhirnya membuat kita jadi merasa gengsi. Yup! Gengsi untuk minta maaf duluan, gengsi untuk beli handphone yang murah, gengsi kalau cuma naik angkot, dan gengsi-gengsi-gengsi lainnya yang terus kita pertahankan. Padahal kalau dipikir-pikir, apalah arti semuanya itu?
Gengsi muncul karena kita sendiri yang menciptakannya. Kita ingin terlihat ‘lebih’ dibandingkan orang lain. Lebih kaya, lebih baik, lebih keren, lebih pintar, lebih benar, lebih suci, dan lebih-lebih lainnya. Padahal dibalik segala kelebihan yang berusaha selalu kita tonjolkan itu, terkadang sebenarnya semuanya itu hanyalah sebuah topeng belaka untuk menutupi kekurangan ataupun kesalahan yang kita miliki. Kita merasa malu kalau ternyata kita salah. Kita merasa malu kalau ternyata kita miskin dan bodoh. Kita berusaha terlihat ‘wah’ di depan semua orang, tapi kenyataannya tak seindah yang terlihat.

Nggak perlu gengsi
Masih ingat dengan orang-orang Farisi? Bagaimana mereka seringkali dengan sengaja terlihat rajin bersembahyang supaya mereka kelihatan saleh di depan semua orang (Matius 23:1-8). Bagaimana mereka seringkali merasa dirinya lebih benar dibandingkan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yohanes 8:1-10). Nah, kalau sudah demikian, apa bedanya kita dengan orang-orang Farisi?
Gengsi memang seringkali membuat kita lupa bahwa di mata Allah, semua manusia itu sama. Allah tidak pernah membeda-bedakan manusia satu dengan yang lainnya. Gengsi akan terus ada
selama kita tidak menyadari bahwa Allah menciptakan kita semua itu sepadan. Tidak ada yang lebih timggi ataupun yang lebih rendah.
So, nggak ada alasan buat kita untuk merasa gengsi melakukan hal yang baik, sekalipun mungkin ada banyak orang ataupun teman-teman kita yang mungkin akan menertawakannya. Kalaupun kita terlibat perselisihan, nggak usah gengsi untuk minta maaf lebih dahulu, sekalipun mungkin bukan kita yang salah. Nggak perlu pula merasa gengsi apalagi sampai  merasa malu menggunakan barang-barang yang nggak mewah. Yang penting sepanjang yang kita pergunakan itu usefull, ngapain juga harus gengsi-gengsian dengan menggunakan yang mahal?
Mulai sekarang, belajar untuk menjadi diri sendiri. Nikmati apa yang kita punyai, dan bukan menikmati apa yang nggak kita punya. Bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki. Dengan demikian, kita dapat memahami kalau gengsi itu sama sekali nggak penting, selagi kita bisa mensyukuri segala pemberian Tuhan kepada kita dan mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.q(ika)          (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Januari 2011)

MUDA FOYA-FOYA, TUA KAYA RAYA, MATI MASUK SORGA


Wawan memang sangat beruntung. Terlahir dari keluarga jenderal yang kaya raya, membuatnya merasa tak perlu hidup susah-susah. Sejak duduk di bangku SMP  ia terbiasa menghabiskan waktunya dari satu mal ke mal lain. Beranjak SMU Wawan makin sibuk menghabiskan waktunya untuk dugem dan pesta narkoba. Sampai satu saat ketika ia baru lulus SMU, orangtuanya mendadak meninggal, dan tak meninggalkan harta sepeser pun untuknya. Kontan saja kondisi ini membuat Wawan panik. Tak ada yang mampu ia lakukan untuk dapat menghasilkan uang dan hidup layak seperti dulu. Akhirnya satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya adalah menjadi tukang parkir di sebuah toko swalayan.
Fiuh… enak nian kalau kita bisa hidup seperti itu. Mungkin itulah yang terlintas di kepala, ketika membaca judul di atas. Menyenangkan sekali rasanya kalau di usia kita yang masih belia, kerjanya hanya berfoya-foya dan bersenang-senang belaka. Apalagi kalau nanti sudah tua kita jadi orang yang sangat kaya raya, dan akhirnya mati pun nanti masih mauk sorga… Hmm… what a beautiful life
Yah… banyak di antara kita, anak-anak muda yang seringkali merasa bahwa mumpung kita masih muda, ya, gunakanlah masa muda itu dengan bersenang-senang. Sebab nanti kalau sudah tua kita sudah nggak bisa senang-senang lagi dan waktunya mulai memikirkan hidup. Gara-gara filosofi kosong seperti inilah, banyak anak-anak muda yang menghabiskan masa mudanya dengan bersenang-senang, dugem, narkoba, dan banyak kegiatan hura-hura lainnya yang sama sekali nggak bermanfaat.

Masa Muda = Masa Belajar
Ya, mumpung lagi muda memang nggak dilarang bersenang-senang. Tapi kalau bersenang-senang itu kemudian jadi tujuan hidup, wah… yang ini jelas nggak banget, deh. Nyatanya justru inilah yang terjadi pada anak muda sekarang ini, menjadi penganut hedonisme. Penganut falsafah ini rata-rata menghabiskan hidupnya dengan bebas berhura-hura. Hari-harinya diisi dengan party, dugem, shopping, dan masih banyak kegiatan lain yang intinya hanya untuk menghambur-hamburkan uang. Bebas pacaran just for fun, tanpa tujuan. Pokoknya hidup hanya untuk mencari happy-happy semata.
Padahal sebenarnya masa muda adalah masa belajar. Saat yang paling tepat buat kita untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar nantinya dapat menjadi bekal ketika kita sudah harus memasuki dunia kerja yang nyata. Bukan hanya itu saja, masa muda juga merupakan masa-masa emas bagi kita untuk dapat melayani Tuhan. Karena di saat usia kita masih muda, kita dapat lebih maksimal dalam melayani Tuhan.

Boleh Happy-Happy, Tapi…
Sobat muda, firman Tuhan mengajarkan adalah baik untuk memberikan masa muda kita untuk Tuhan. Sebagai contoh kita bisa melihat Daniel, Yusuf, atau Musa, yang memberikan masa mudanya untuk dipakai Tuhan. Bahkan dalam Ratapan 3:27 dikatakan adalah baik jika sejak masa muda kita memikul kuk.  Memang ada tertulis, ”Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu… dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu…” Tapi harus diingat juga, bahwa karena semua itu Tuhan akan membawa kita ke pengadilan (Pengkotbah 11:9).
Itu sebabnya kita harus lebih bijaksana dalam mengisi dan memanfaatkan hidup masa muda kita. Ketika kita mengisinya dengan hal-hal yang bodoh dan tak berguna, sesal kemudian di masa tua tentu tak akan ada gunanya lagi. Jangan lupa bahwa hidup kita di dunia ini teramat singkat. Kapan saja Allah mau, ia bisa saja memanggil kita. Itu sebabnya kita harus sedini mungkin mengisi hidup kita dengan sebaik-baiknya, supaya pada saat kita harus mempertanggungjawabkan hidup kita di dunia ini, kita dapat mempersembahkan yang terbaik dari kehidupan kita.q(ika)           (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Januari 2011)