Kamis, 30 November 2006

ANAK-ANAK TERTOLAK


Ribuan…bahkan mungkin jutaan anak di seluruh dunia, tak terkecuali anak-anak yang lahir dari keluarga Kristen, yang ternyata lahir dalam keadaaan tertolak. Kehadirannya yang tak diinginkan, membuat orangtuanya berlaku tidak adil, sehingga melahirkan penderitaan yang amat sangat dalam hidup si anak

          Ada begitu banyak alasan yang membuat kita sebagai orangtua, terlebih sebagai seorang ibu, sampai ‘tega’ menolak anak kita. Ketika si buah hati ternyata lahir dalam kondisi tidak seperti yang kita harapkan, ketika anak yang dilahirkan bukan hasil cinta kasih melainkan hasil kasus perkosaan, ketika kita merasa belum siap untuk memiliki anak, ketika kita sendiri ternyata punya trauma ditolak oleh orangtua kita, ketika kita memiliki ketakutan untuk memiliki anak, dan berbagai alasan lainnya. Semuanya itu ternyata sanggup membuat kita menjadi begitu tega menyakiti anak kita, dengan menolak kehadiran dan keberadaannya. Namun, banyak diantara kita yang tidak sadar, bahwa penolakan yang kita lakukan itu ternyata berakibat fatal.

Inilah Akibatnya!
        Siapa sangka, penolakan yang kita lakukan ternyata menimbulkan suatu luka-luka batin yang cukup dalam di hati anak-anak, sehingga mengakibatkan reaksi yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kepahitan! Itulah yang akan dialami anak-anak jika kita menolak mereka. Anak-anak yang ditolak ini akan merasa diabaikan, terhina, dan juga merasa malu. Inilah yang menyebabkan mereka gampang sekali mengembangkan pola penyesalan, kebencian dan agresif. Kata-kata yang menyakitkan akan sering keluar dari mulutnya. Sekali ia disakiti orang lain, mudah sekali baginya untuk langsung membenci dan membalas dendam kepada orang yang telah disakitinya. Perasaan-perasaan  tertolak inilah yang membuat si anak menjadi trauma. Bukan tidak mungkin trauma ini akan terus terbawa sampai ia dewasa dan berkeluarga, dan akan berpengaruh pada cara ia mendidik anak-anaknya kelak. Inilah yang harus dibereskan dan dituntaskan. Memang, tidak semua anak yang tertolak ini akan mengalami trauma yang melahirkan perilaku negatif. Ada juga anak-anak tertolak ini, yang kemudian mengalami trauma, tetapi justru karena trauma yang ia alami itulah, melahirkan perilaku yang positif.
      Demikian juga dengan apa yang dialami Yefta (Hakim-Hakim 11:1-11). Hanya karena ia putra seorang pelacur, keluarganya lantas mengusirnya. Juga Daud, yang kerap dianggap anak bawang dan hanya pantas disuruh menjaga kawanan domba ayahnya dan melayani kakak-kakaknya saja (I Samuel 16:11, 17:15, 17:17-22, 17:28). Tetapi baik Yefta maupun Daud, mampu menunjukkan bahwa diri mereka sanggup mengatasi rasa sakit akibat penolakan yang mereka alami, dan semuanya itu justru mampu memacu mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik serta melakukan yang terbaik seturut kehendak Tuhan. Tidak semua anak bisa seperti Mark, Daud, ataupun Yefta. Kenyataan yang ada justru menunjukkan bahwa perilaku negatif justru lebih banyak muncul pada anak-anak yang tertolak ini. Ini tidak bisa dipungkiri lagi dan harus segera diatasi.

Harus Bagaimana?
    Tak sedikit orangtua yang tidak menginginkan kehadiran anak ini, kemudian mencoba ‘mele-nyapkannya’ dengan jalan menggugurkan  kandungannya, dengan dalih tidak mau ‘menyakiti’ si anak. Persoalannya sekarang, apapun alasannya, iya kalau akhirnya dengan segala usaha yang dilakukan, anak itu benar-benar ‘lenyap’. Tetapi bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya, anak tersebut tetap lahir, namun dalam kondisi cacat. Bukan tidak mungkin hal itu akan membawa penyesalan yang mendalam bagi kita sendiri sebagai orangtuanya, atau justru sebaliknya, hal itu makin menjadi alasan bagi kita untuk menolak dan membencinya, serta berusaha untuk ‘membuang’nya.
      Ketika di dalam hati dan pikiran, kita sudah ‘menyatakan’ menolak kehadiran anak tersebut, sebe-tulnya pada saat itulah anak sudah merasakan bahwa dirinya ditolak oleh orangtuanya. Saat itu juga, anak sudah mampu merekam  penolakan orangtuanya, dan itulah yang membuatnya menyimpan rasa sakit hati, sejak masih berada dalam kandungan. Mungkin kita menganggap, ‘bagaimana mungkin bayi dalam kandungan dapat merasakan penolakan itu?’. Jawabannya sederhana, karena ia berada dalam kandungan ibunya, secara otomatis ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya. Kalau sang ibu tidak menginginkannya, otomatis pula ia dapat merasakannya.
       Firman Tuhan dalam Kolose 3:21 mengingatkan kita secara tegas, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Kalau kita sudah menolak anak-anak kita dengan cara atau dengan alasan apapun, kita sudah membuat hati anak-anak kita menjadi tawar dan hal itu sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah. Itu baru kesalahan pertama kita. Kesalahan kita berikutnya, kita sudah mendorong anak kita untuk memiliki sifat-sifat negatif. Kemarahan, apatisme, kebencian, permusuhan, dan semua sifat-sifat negatif yang muncul pada si anak, semuanya itu disebabkan oleh penolakan kita.
       Sebagai orangtua, kita seharusnya memberikan cinta kasih  kepada anak-anak kita. Apapun alasan-nya, kita tidak berhak untuk menolak anak  kita, karena bagaimanapun juga ia adalah darah daging kita, anugerah dari Allah, dan anakpun memiliki hak penuh untuk hidup dicintai, diterima dan dihargai oleh orangtuanya. Kalau kita sudah menolak anak kita, sama artinya kita menolak Allah dan merampas hak anak-anak kita untuk dicintai dan dihargai. Jadi, kalau kita sudah melakukan penolakan itu, kita bukan hanya melanggar Firman Allah untuk mendidik dan mengasihi anak-anak kita, tetapi juga kita telah melanggar hak asasi anak-anak kita. Efesus 6:4 sendiri sudah memberikan peringatan keras, supaya kita mendidik serta mengasihi anak-anak kita, dan bukannya membuat mereka merasa marah akibat penolakan kita.
      Mungkin kita sendiri sebagai orangtua merasa terluka, ketika anak yang kita lahirkan ternyata tidak seperti yang diharapkan, atau kita tidak siap memiliki anak, atau apapun alasannya. Tetapi kita harus mau belajar dan mau menerima kehadiran anak tersebut, serta harus mau mengasihinya dengan tulus. Mengapa? Karena hanya dengan cara demikianlah kita akan dapat menghilangkan luka yang kita rasakan karena ketidaksiapan dan kekecewaan kita, sehingga tidak ada alasan lain bagi kita untuk menolaknya, dan mau tidak mau yang kita lakukan adalah menerima dan mengasihi dia. Ingatlah, Tuhan Yesus sendiri memerintahkan kita untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:39). Kalau kita tidak mau menerima dan mengasihi anak-anak kita  serta menolaknya, sama halnya kita menolak sesama kita, karena anak-anak ini adalah sesama kita manusia juga.
       Saat ini, jika kita sebagai orangtua sudah terlanjur melakukan kesalahan dengan menolak anak-anak kita, mulailah untuk bertobat dan lakukanlah pemulihan. Tak cukup hubungan kita dengan Allah saja yang harus dipulihkan, tetapi hubungan kita dengan anak yang sudah kita tolak itu harus dipulihkan. Mungkin diperlukan suatu proses yang cukup panjang. Tetapi jika kita mau bertobat, dan mau membuka hati dan diri kita, serta mau belajar untuk menerima dan mengasihi anak-anak kita, dan yang terpenting lagi menyerahkan semuanya kepada Allah, semuanya akan dapat diatasi.
       Satu hal yang perlu kita lakukan. Jangan hanya bertobat dan mengakui kesalahan kita di hadapan Al-lah saja, tetapi kita juga harus mengakui kesalahan kita dan meminta maaf pada anak-anak yang sudah kita tolak. Jangan merasa gengsi karena kita adalah orangtuanya. Kalau kita mau mengakui, meminta maaf dan mau memperbaiki kesalahan kita di hadapan anak yang sudah kita tolak, ini merupakan suatu ‘pengakuan’ kita pada si anak. Dengan cara ini pula, proses pemulihan itu akan berjalan lebih cepat. Sekali lagi, kuncinya, apapun kondisinya, terima dan kasihi anak kita dengan tulus.q(yth)      (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi November 2006)