Jumat, 31 Desember 2010

NEVER WAKE UP

Sudah dua tahun Amelia kehilangan pacarnya karena kecelakaan. Selama dua tahun itu juga Amelia membiarkan dirinya hidup dalam dunianya sendiri, seolah-olah almarhum Aldo kekasihnya masih ada bersama-sama dengan dirinya. Amelia sulit menerima kenyataan bahwa Aldo sudah tiada. Akibatnya, nilai-nilai Amelia di sekolahnya pun menurun. Amelia menjadi gadis yang tertutup dan lebih banyak mengurung diri di kamar. Amelia nggak lagi mau berhubungan dengan orang lain selain dengan dirinya sendiri. Padahal dulunya Amelia dikenal sebagai gadis supel dan cerdas dengan segudang aktivitas.
Sobat muda, mungkin kita pernah mengalami hal yang hampir mirip dengan yang dialami Amelia. Entah karena diputusin pacar, dikecewakan sahabat atau ortu, atau kita menjadi down karena sesuatu hal lain, akhirnya membuat kita menjadi tertutup dan sulit melupakan peristiwa yang pernah kita alami itu. Yang menjadi masalah, seringkali kita cenderung mebiarkan perasaan down itu membelenggu dan mengikat kehidupan kita. Alhasil, jadilah kita terus menerus terpuruk dan sulit untuk bangkit menerima kenyataan yang ada serta melanjutkan hidup.

Problem = Opportunity
Semua orang pasti pernah punya masalah. Ada yang berat, ada juga yang ringan. Terkadang persoalan-persoalan berat yang sering dialami membuat kita terpuruk dan meratapi persoalan itu sendiri. Nggak sedikit dari kita yang kerap menangisi persoalan berat yang dialami, sampai-sampai ogah bangun dan bangkit dari keterpurukannya untuk menyelesaikan masalah. Yang ada hanyalah keluhan-keluhan panjang, ”Mengapa ini harus terjadi dalam hidupku?”
Sobat muda... ketika persoalan datang di kehidupan kita, semuanya itu ada untuk dipecahkan dan diselesaikan. Persoalan tidak akan pernah selesai kalau kita terus menerus terpuruk dan meratapinya. Kalau kita terus meratapinya, yang ada malah kita semakin down dan terus menjadi orang yang menyerah pada keadaan. Padahal kalau mau sedikit berpikir positif, persoalan adalah sebuah kesempatan emas bagi kita. Yup! Ini adalah kesempatan emas buat kita untuk menang dari persoalan yang sedang dihadapi. Kalau kita berhasil menyelesaikannya, berarti  ada satu langkah maju dalam hidup kita. Pengalaman kita dalam menghadapi masalah pun semakin bertambah, sehingga ketika nantinya berhadapan dengan persoalan yang lain lagi, kita pun sudah lebih siap. Semakin banyak persoalan yang berhasil kita selesaikan, semakin kayalah kita akan pengalaman hidup.

Wake Up, Now!
Well, kalau saat ini sobat muda sedang terkungkung dalam persoalan, ayo, segera bangun dan mulai selesaikan masalahmu. Terkadang kita ogah bangkit dari masalah karena takut pada diri sendiri.  Bisa karena nggak pede, nggak yakin dengan kemampuan diri sendiri, takut melupakan kenangan yang ada, semuanya itu jadi menghalangi kita untuk terbangun dan menyelesaikannya. Nggak jarang juga kita terlalu takut nggak sanggup menyelesaikan persoalan tersebut karena merasa persoalan yang dihadapi terlalu besar dan tak mungkin terselesaikan. Remember, ”Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13)
That’s why guys, it’s time to wake up, now. Jangan mau terus menerus di belenggu oleh masalah-masalah. Kalau kita mau menjadi orang yang sukses dalam hidup, mulai sekarang kita harus belajar menyelesaikan setiap persoalan yang menghampiri kehidupan. Kemauan dan kemampuan kita dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada itulah yang memperkaya pengalaman hidup kita, dan itulah yang semakin menguatkan kita di dalam Tuhan.
Yakobus  1:12 mengingatkan kita, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Nah, tunggu apalagi? Jangan sia-siakan hidup hanya untuk seonggok persoalan  yang menggelayuti kita, tapi mari kita sama-sama belajar untuk mengatasi dan menyelesaikan setiap masalah yang menerpa, supaya kita menang atasnya dan nama Tuhan pun dipermuliakan.q(ika)    (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Desember 2010)

FOR YOU... I WILL

“Sumpah, deh, apapun bakal gue lakuin demi lo seorang. Biarpun harus nyeberang sampai ke kutub utara, gue bakal lakuin karena gue cinta banget sama lo….” Waduh... janji-janji yang begini ini biasanya cuma ada di sinetron-sinetron saja. Tapi ngaku, deh, sobat muda, sering juga, kan, kita janji-janji sorga begitu, meski kadang kebanyakan ngegombalnya? Pokoknya, demi sang pujaan hati apapun bakal dilakukan, meski untuk itu kita harus menderita. Yang penting judulnya menyenangkan hati pacar tercinta.

Bukan sekedar janji biasa
Sama juga dengan Tuhan Yesus. Saking cintanya sama manusia, Dia rela jauh-jauh datang dari sorga yang indah banget itu, dan turun ke dunia yang lebih banyak repotnya ini, cuma buat merekonsiliasi hubungan antara manusia dengan Allah yang sudah sempat rusak gara-gara manusia jatuh ke dalam dosa (Yohanes 3:16). KelahiranNya menjadi Sang Pendamai bukanlah janji gombal, tapi sungguh-sungguh nyata dalam hidup kita. Om Yosua pun sudah membuktikan bahwa janji Allah adalah Ya dan Amin. Om Yosua sudah banyak melewati hal yang sangat luar biasa bersama dengan Tuhan. Yosua melihat apa yang Tuhan lakukan untuk dirinya dan seluruh bangsanya teramat istimewa. Kalau kita membaca Yosua 23:9-11, disitu kita melihat bagaimana Om Yosua merasakan betapa Allah melakukan jauh lebih banyak dari apa yang dapat ia lakukan dan perbuat.
Lalu bagaimana dengan cinta kita sama Tuhan? Nggak sekali dua kali kita ngaku cinta banget sama Tuhan. Bahkan hampir setiap menit kita selalu ngucapin, “I LUV U, JESUS.” Sayang, kenyataannya justru beda banget. Kita justru malah lebih banyak OD alias Omong Doang. Bilang cinta Yesus, tapi nurutin kehendakNya even itu buat hal yang simple saja kita ogah. Dari soal pacaran yang asal nembak, nggak taat sama ortu, males belajar,  and so on. Padahal tiap kali doa en nyanyi, kita selalu bilang cinta Yesus dan mau ngelakuin apapun buat Dia. Tapi pas giliran harus bantuin ortu, kitanya malah ogah-ogahan dan nggak jarang malah suka marah-marah balik sama mereka. Milih pacar juga sembarangan. Asal kelihatan suka, langsung jadian. Berdoa mati-matian biar lulus ujian, tapi belajar pun malesnya nggak ketulungan, malah lebih mentingin main game online. Walhasil yang katanya cinta itu, akhirnya jadi dusta semua. Ternyata memang kita lebih cinta diri sendiri ketimbang cinta Yesus. 

Bukan janji tinggal janji
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengasihi Dia? Kepada kita, Allah pun menuntut agar mengasihiNya dengan segenap jiwa, kekuatan dan segenap hati kita. Ingatlah bahwa hanya Allah yang sanggup menebus hidup kita dari dosa. Cuma Allah yang sanggup menyelesaikan setiap permasalahan kita, sekalipun orang lain bilang itu tidak mungkin, namun bagi Allah nggak ada yang mustahil. Allah sanggup memberi lebih bagi kita, karena Dia tahu kebutuhan kita yang sesungguhnya. Mengasihi Allah sangatlah mudah. Tips-nya bisa dengan mudah kita dapatkan di Yohanes 14:21, ”Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” Gampang, kan?
Well... setidaknya kita jadi diingatkan lagi kalau cinta kita sama Tuhan, tuh, seringkali nggak semanis janji yang selalu kita ucapin. Butuh komitmen yang kuat kalau kita mau sungguh-sungguh mencintaiNya, biar nggak cuman OD semata. Nggak usah terlalu mengumbar kata dan janji, “Aku sungguh-sungguh mencintaiMu, Yesus.” Tapi buktikan, dong, cinta itu dengan melakukan kehendakNya di dalam setiap langkah hidup kita. Kalau kita sudah sungguh-sungguh senantiasa melakukan kehendakNya, kita nggak perlu sungkan buat bilang, “ For You... I will...”.q (ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Desember 2010)

Minggu, 31 Oktober 2010

NGGAK LAGI-LAGI…



10 April 2006 silam, bintang sinetron ’Ada Apa Dengan Cinta’, Revaldo Vivaldi ditangkap polisi dalam sebuah pesta narkoba. Akibatnya, Revaldo harus mendekam di penjara selama dua tahun dan diharuskan membayar denda sebesar satu juta rupiah. Tak lama setelah menghirup udara segar kebebasannya, 20 Juli 2010 lalu lagi-lagi Revaldo harus menikmati dinginnya jeruji besi gara-gara kasus yang sama, narkoba. Nggak cuma Revaldo, bintang film Ibra Azhari pun juga mengalami hal seruap. Setelah beberapa tahun lamanya harus mendekam di penjara gara-gara tersangkut kasus narkoba, untuk keempat kalinya Ibra ditangkap polisi pada  23 Agustus 2010 karena kasus yang sama.
Sobat muda, masih ingat, nggak, dengan pepatah yang bilang, ”Keledai pun tak akan jatuh ke lubang yang sama.” Namanya manusia, pasti pernah, dong, melakukan kesalahan. Nggak terkecuali juga dengan kita. Kita pun pasti pernah melakukan kesalahan. Entah itu kesalahan kecil, maupun kesalahan yang besar dan bahkan sampai fatal. Nah, yang jadi masalah, nih, dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat itu, pernahkah kita belajar dari kesalahan tersebut dan mencoba untuk tidak mengulanginya?

Ogah introspeksi
Namanya anak muda, kadang-kadang kita suka cuek dengan yang namanya introspeksi diri. Ketika kita berbuat salah dan kesalahan itu sudah bisa dibereskan, kita malas introspeksi dan belajar dari kesalahan itu sendiri. Kok bisa gitu, ya? Yup! Karena kita sering menganggap enteng kesalahan tersebut. Kita menganggap yang penting kesalahan itu sudah dibereskan. Titik. Stop sampai di situ  saja. Kalau suatu saat kesalahan itu terjadi lagi, yah... itu urusan belakangan. Padahal semestinya kita nggak boleh seperti itu. Kalau kita nggak mau belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat, selamanya kita akan terjebak dan terus menerus mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.
Lalu apa yang harus kita lakukan supaya nggak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Yang pertama jelas kita harus bisa introspeksi diri. Lewat introspeksi diri ini, kita mengingat-ingat kembali apa saja yang sudah dilakukan sehingga kita melakukan kesalahan tersebut. Nah, dari sinilah kita bisa tahu dan mengambil langkah-langkah selanjutnya, supaya lain kali nggak melakukan kesalahan lagi yang serupa.

Nggak takut berbuat benar
Salah satu kendala mengapa kita jadi mengulangi kesalahan yang sama adalah karena kita takut melakukan hal yang benar. Contohnya, nih, biasanya kita malas pergi ke gereja dan lebih suka nongkrong dan gangguin orang di mal  bareng teman-teman se-gank. Nah, pas kita udah tahu kalau perbuatan itu salah dan pengin bertobat, kita malah nggak jadi bertobat dan kembali melakukan kesalahan yang sama karena takut dibilang sok alim sama teman-teman se-gank kita.
Om Paulus pernah melakukan kesalahan fatal dengan selalu memburu serta mengancam akan membunuh murid-murid Tuhan Yesus. Sampai pada akhirnya ia bertobat dan menjadi murid Kristus. Om Paulus nggak takut berbuat benar, meskipun untuk itu resikonya adalah dia harus berhadapan dengan Imam Besar dan orang-orang Yahudi  yang dulu pernah menjadi sekutunya (Kisah Rasul 9:1-31). Om Paulus percaya, bahwa ketika kita mau sungguh-sungguh belajar dari kesalahan, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi kita.
Nah, belajar dari pengalaman Om Paulus, sudah semestinya kita pun belajar untuk nggak lagi melakukan kesalahan yang sama. Kita juga bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh di dalam Alkitab, dan bagaimana mereka belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Om Paulus dalam 1 Korintus 10:11 juga mengingatkan kita, ”Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba.”
Pepatah pernah bilang, ”Keledai nggak akan jatuh dua kali ke lubang yang sama.” Nggak mau, dong, jatuh lagi dalam kesalahan yang sama. Memang selalu ada harga yang harus dibayar akibat kesalahan yang pernah kita lakukan. Akan tetapi selama kita mau bertobat serta belajar dari kesalahan tersebut serta nggak mengulanginya lagi, Allah pasti akan memberikan pertolongan dan kekuatan bagi kita untuk hidup benar seturut kehendakNya. So, nggak lagi-lagi jatuh di kesalahan yang sama ya...(ika) (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2010)

PILIH AKU ATAU MEREKA…?

Bulan Maret 2010 lalu, artis belia Juwita Bahar kabur dari rumah ayahnya, Memo Sanjaya, gara-gara dilarang sang ayah pacaran. Kabur dari rumah sang ayah, Juwita kemudian memutuskan untuk tinggal dengan ibunya, Annisa Bahar, yang sudah bercerai dengan ayahnya. September 2010, lagi-lagi Juwita kabur dari rumah ibunya dengan alasan yang sama, karena tidak mengizinkan Juwita berpacaran.
Hmm… jatuh cinta memang berjuta rasanya. Apalagi buat sobat muda yang baru-baru kenal namanya cinta... Duh...  yang terbayang di depan mata pasti cuma dia... dia... dia... dan dia lagi. Apapun yang dilakukan, pokoknya demi si dia pasti akan terlaksana. Biarpun seribu badai menghadang, si dia tetaplah pujaan hati yang bakal di nomor satukan. Masalahnya ketika sang pujaan hati sudah dikenalin ke ortu, terus ternyata mereka nggak memberikan respon yang positif atas hubungan kita alias nggak setuju. Wedew... mau nggak mau, suka nggak suka kita lantas dihadapkan pada dua pilihan. Milih si dia atau ngikutin maunya ortu.

Nggak ada maksud buruk, kok...
Namanya orangtua, pastilah selalu menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Kalaupun sampai mereka melarang anaknya berpacaran, pastinya ada alasan dari mereka yang tentu saja nggak ada maksud yang buruk  buat kita. Namun lantaran kita sudah terlanjur cinta sama si dia, segala macam larangan dari ortu jadi terdengar seperti sebuah pertentangan buat kita. Kita merasa ortu sama sekali nggak ngerti perasaan kita. Kita merasa ortu itu egois dan hanya mementingkan kemauan mereka saja.
Well... well... well... padahal nggak sejelek itu kok... Mereka cuma nggak mau kita jatuh ke dalam pergaulan yang nggak sehat. Namanya orangtua, pastilah mereka sangat khawatir dengan pergaulan anak muda zaman sekarang yang seringkali kelewat batas. Nggak cuma itu aja, kalau mereka tahu bahwa ternyata pacar kita ternyata bukan anak baik-baik, so pasti mereka bakal nggak ngizinin kita pacaran sama orang yang nggak jelas dan yang nggak baik kelakuannya. Apa yang dilakukan oleh ortu pada kita nggak lain adalah bentuk rasa cinta mereka kepada kita, karena mereka sayang pada kita dan nggak pengin hal buruk terjadi pada kita.

Nggak perlu bingung
Nah, kalau kondisi kita cinta banget sama si dia tapi ternyata ortu nggak ngizinin, rasanya memang kita seperti dihadapkan pada dua pilihan berat. Mana yang harus dipilih… Si dia yang sangat kita cinta, atau  ortu yang sangat kita sayang? Hmmm… bingung, kan? Jelas kita nggak mau kehilangan orang-orang yang kita sayang, apalagi sampai melawan ortu. Actually kita mestinya nggak perlu bingung-bingung, kok. Kalau kita mau belajar memahami apa yang diinginkan ortu, dan nggak dibutakan cinta semata, kita pasti bisa paham kalau ortu cuma mau yang terbaik buat kita.
That’s why guys, mulai saat ini kita harus belajar berpikir jernih dan nggak dibutakan oleh cinta semata. Ingat, lho, cinta itu kuat seperti maut (Kidung Agung 8:6). Kalau kita nggak menjaga hati kita hingga dibutakan oleh cinta, kita nggak bakalan bisa berpikir jernih untuk bisa memahami nasehat serta keinginan ortu. So, mulai sekarang, kalau ternyata ortu melarang kita pacaran dengan si dia yang saat ini jadi pacar kita, mulai introspeksi diri. Adakah yang salah dengan gaya pacaran kita? Adakah kita terlalu cinta dengan si dia sehingga kita melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran? Terus cek juga si dia… Benarkah dia pasangan yang tepat yang Tuhan berikan buat kita? Kalau hati dan pikiran kita nggak dibutakan cinta, kita pasti bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jernih. Dengan begitu kita nggak bingung-bingung lagi, dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang benar. Jangan lupa untuk senantiasa melibatkan Tuhan dalam hal ini, supaya kita nggak salah langkah. Okay?q(ika)   (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2010)

Selasa, 31 Agustus 2010

IT’ S NOT YOUR FALSE!


Erna bingung. Vika mendadak membencinya hanya gara-gara ia sekarang menggantikan posisi Vika sebagai ketua OSIS. Padahal Erna terpilih karena berhasil memenangi pemungutan suara pemilihan ketua OSIS. Pernah Erna mencoba mengajak Vika bicara empat mata dari hati ke hati.  ”Vik, kenapa, sih, lo benci gue? Emang gue salah apa ya sama lo? Kalo emang gue punya salah... maafin gue, ya...” Tapi reaksi Vika cuma diam dan berlalu begitu saja meninggalkan Erna. Selanjutnya... permusuhan itu masih terus terjadi. Lama-lama Erna yang merasa bersalah sendiri dan tak enak hati, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri jabatan ketua OSIS, karena ia nggak mau terus-terusan bermusuhan dengan Vika. Padahal keberadaan Erna sebagai ketua OSIS sangat dibutuhkan oleh teman-temannya.
Yang namanya feeling guilty seperti apa yang dialami Erna ini kerap kali kita hadapi juga. Seringkali kita merasa bersalah sendiri karena sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan kita. Nah, perasaan seperti inilah yang membuat kita terbelenggu  dan seringkali menghambat langkah kita untuk maju. Terkadang karena terlalu memikirkan anggapan dan perasaan orang lain yang seharusnya tidak perlu, membuat kita tidak bisa lagi melihat mana yang seharusnya kita lakukan dan mana yang tidak. Akhirnya, diri kita sendiri yang dirugikan, sementara orang lain yang kita berusaha jaga perasaannya, ternyata sama sekali nggak perduli dengan apa yang kita lakukan.

Think about it!
Sobat muda, kadang-kadang memang demi menjaga perasaan orang lain, kita cenderung untuk mengalah untuk menghindari keributan. Nggak salah, sih, memang. Tapi dalam kondisi tertentu, seringkali kita justru merasa bersalah sendiri dan mengalah hanya karena satu orang, sementara di sisi lain, ada banyak orang lain yang lebih membutuhkan kita. Seperti apa yang dialami Erna, semestinya Erna nggak perlu merasa bersalah sekali pada Vika, sampai-sampai ia harus mengundurkan diri, padahal teman-temannya yang lain sangat membutuhkannya.
Ketika didera perasaan bersalah yang tak seharusnya kita rasakan, semestinya kita introspeksi dan berpikir ulang. Apakah benar kita harus merasa bersalah dan berkorban sedemikian rupa, sehingga kita bisa berbaikan lagi dengan orang tersebut sampai harus mengorbankan segalanya? Hmm... rasa-rasanya memang kita harus think about it! Bagaimanapun juga nggak semestinya kita merasa bersalah sampai seperti itu. Ketika kita sudah mencoba untuk bersikap baik terhadap orang yang memusuhi kita tetapi tetap nggak mendapat respon yang baik juga, kita nggak perlu merasa bersalah yang berlebihan karena memang itu bukan kesalahan kita. Kalaupun teman atau orang lain yang memusuhi kita tetap bersikap memusuhi, well... itu adalah masalah mereka, dan bukan masalah kita. Yang terpenting adalah kita tetap berusaha bersikap baik dengannya dan nggak menunjukkan sikap memusuhi.

Stay Calm
Nah, mungkin sobat muda bisa mencontek tips dari Om Paulus ini deh, ”Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya (Roma 12:20). It means, tanpa perlu merasa bersalah sedemikian rupa, dengan sikap kita yang tetap baik dengan mereka yang memusuhi, lama-lama mereka sendiri nantinya yang akan merasa nggak enak hati dan mau berbaikan lagi dengan kita. Memang mungkin butuh proses dan waktu yang nggak pendek. Tetapi Roma 12:17-20 cukup jelas mengajar kita, bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi kita.
So, tetap tenang dan belajar untuk menetralkan rasa bersalah yang mungkin sudah kelewat berelebihan. Apapun yang terjadi, kita sudah berusaha yang terbaik dan terus bersikap baik. Selebihnya, keep pray for them dan biarkan Allah yang berperkara, menolong kita agar suatu saat nanti hubungan kita dengan mereka dapat pulih kembali. q (ika)               (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2010)

FORGIVING MY PARENTS


“Huhh… rasanya aku nggak mungkin bisa maafin Mami. Aku sebel banget sama kelakuan Mami. Masa Mami selalu banding-bandingin aku sama Pingkan. Yang Pingkan lebih cantik lah, lebih pintar, lebih sopan, pokoknya lebih segalanya dari pada aku... Huaaa.... rasanya Mami nggak pernah bangga sama aku. Buat Mami, aku, tuh, seolah jelek melulu... nggak ada bagus-bagusnya. Heran, deh... memang aku ini anaknya atau bukan, sih...” keluh Anita.
Sobat muda, bukan cuma  Anita yang suka sebal sama tingkah laku ortunya, banyak di antara kita yang mungkin juga sering ilfil sama kelakuan ortu yang menurut kita bikin sakit hati dan nggak pantas dilakukan oleh ortu. Kalau sekali dua kali, mungkin saja kita masih bisa maklum dan kesalnya bisa cuma sebentar saja. Tapi kalau dilakukan berkali-kali dan seolah-olah ortu seperti nggak ngerasa kalau apa yang dilakukannya itu sudah menyakitkan... hmmm... rasa-rasanya, kok, sudah nggak bisa ditolerir lagi. Meski mungkin kita sudah pernah mengungkapkan kekecewaan kita pada ortu, ternyata nggak mendapat respon positif dari mereka. Sampai akhirnya kita menumpuk rasa kesal dan kecewa itu dalam hati hingga menggunung, hingga menjadi sebuah akar pahit yang menjadi duri dalam hati kita. Rasa-rasanya seolah tak mungkin lagi memberi maaf pada ortu yang sudah terlalu menyakiti hati kita.

Everyone can make mistakes
Rasanya memang sakit dan seperti tak termaafkan memang jika kita mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan ortu pada kita. Namun ketika kita terus menyimpan rasa sakit hati itu, justru semuanya itu akan semakin menjadi beban berat di dalam diri kita. Bukan hanya karena persoalan itu cenderung sulit dilupakan atau terlalu menyakitkan. Kenyataannya kita telah menjadi hakim paling keras untuk diri sendiri. Kita sulit menerima kenyataan, sehingga semuanya itu membuat kita menjadi seseorang yang terbelit dengan masa lalu dan sulit mengambil langkah selanjutnya. Padahal kalau kita terus menerus bersikap seperti ini, sepanjang hidup kita akan selalu terbeban dan setiap langkah hidup kita akan selalu dibayang-bayangi rasa sakit hati ini.
Sobat muda, tak bisa dipungkiri bahwa perasaan sakit hati itu tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja. Akan tetapi satu hal yang harus kita sadari bahwa setiap orang pasti bisa melakukan kesalahan. Setiap orang pasti bisa melakukan hal yang menyakitkan sesamanya. Demikian juga dengan orangtua kita. Tak selamanya mereka menjadi orangtua yang sempurna. Adakalanya mereka pun berbuat kesalahan. Sama halnya dengan kita. Kita pun sebagai anak juga pasti tak luput dari kesalahan. Memang mungkin kali ini kebetulan ortu yang bikin kesalahan besar dengan menyakiti kita. Tak bukan berarti pula kita tak bisa memaafkan kesalahan mereka.

Forgiving = Healing
Guys, satu hal yang harus kita ingat, bagaimanapun juga mereka adalah ortu yang sudah melahirkan serta membesarkan kita. Sebesar apapun kesalahannya, mereka tetaplah orangtua kita. Nggak ada yang namanya bekas orangtua ataupun bekas anak. Itulah sebabnya kita harus tetap mengampuni mereka. Malahan dengan mengampuni mereka, beban hati kita pun dapat terangkat dan langkah kita ke depan pun tidak akan lagi dihantui perasaan dendam dan sakit hati yang selama ini tersimpan.
Adanya pengampunan berarti juga akan ada sebuah pemulihan. Ketika kita mau mengampuni orangtua kita, pemulihan atas luka-luka batin yang pernah mereka torehkan pada hati kita pun akan disembuhkan dan dipulihkan. Memang semuanya itu perlu proses. Namun kalau kita mau dengan sungguh-sungguh dan rela hati memberikan pengampunan, pasti Tuhan akan menolong menyembuhkan hati kita yang tengah terluka. Jangan buat Mang Iib mengambil kesempatan dalam kesempitan, membuat kita jatuh dalam dosa hanya gara-gara kita nggak mau memberi pengampunan kepada ortu kita (II Korintus 2:10-11). Ketika kita mau mengampuni orangtua kita, Allah juga akan mengampuni kita (Matius 6:14). Pada saat itulah pemulihan itu terjadi. So, tunggu apalagi. Jangan sampai masalah dengan ortu terus berlarut dan Mang Iib memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri. Okay?q (ika)            (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agutus 2010)

Selasa, 23 Maret 2010

Welcome To The World My Little Princess



Alexandra Leica Darmawan... @ March 23, 2010 (12.10 pm... 2,9 kg... 47 cm...) you have complete my life... after a long time journey... Thanks God for giving her to us... love you my little princess...

 ** Why we give her name "Alexandra Leica Darmawan"?

Alexandra : "Defender, protector of man"

Leica : Name of Leitz Camera, "Great beauty and wisdom, lover of all things and kind"

Darmawan : Her Daddy's last name (family name), "One who has or adhere to promises"


We're really hope that she will be like the meaning of her name.










Minggu, 28 Februari 2010

PRASANGKA BURUK


Vera akhirnya menyesal sendiri. Sepanjang hari ia mencurigai pria bertato yang selalu mengawasinya sejak ia berangkat sampai pulang sekolah. Nyaris saja ia menuduh pria itu adalah orang yang bakal menculiknya. Tak tahunya pria itu adalah polisi yang tengah menyamar dan justru dialah yang menyelamatkan Vera dari upaya penculikan dan perdagangan anak yang dilakukan oleh sekelompok penculik anak yang sudah lama mengincarnya.
Hmm… prasangka buruk… hayo… ngaku, deh, siapa yang nggak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain? Mungkin boleh dibilang 99,9% di antara kita pasti pernah punya prasangka buruk terhadap orang lain. Lalu mengapa, ya, kita bisa berprasangka buruk terhadap orang lain? Salah, nggak, sih, kalau kita punya prasangka buruk pada seseorang yang menurut kita memang pantas dicurigai?

Mengapa kita mudah berprasangka?
Hampir semua orang pernah mempunyai dugaan-dugaan tertentu terhadap orang tindakan, tingkah laku, bahkan juga perkataan dan pikiran seseorang. Entah itu prasangka yang baik, maupun prasangka yang buruk. Prasangka sendiri bermula dari cara kita memandang atau menilai orang lain sesuai cara pandang kita sendiri. Saat menilai orang tersebut, kita tentunya menggunakan nilai-nilai yang ada dalam diri kita sendiri. Yang menjadi masalah adalah ketika kita mulai menempelkan prasangka buruk pada orang tersebut. Padahal, orang tersebut belum tentu seburuk yang kita sangka.
Karena ukuran-ukuran yang kita miliki inilah yang membuat kita dengan mudahnya berprasangka terhadap dengan seseorang. Bahkan karena prasangka pula, kita jadi punya sikap yang memihak dan nggak bisa obyektif ketika memutuskan sesuatu hal. Inilah yang membuat kita seringkali kemudian menjadi bersikap tidak adil terhadap sesuatu.
Bukan hanya karena ukuran-ukuran yang kita miliki saja yang membuat kita mudah berprasangka buruk pada seseorang. Kita juga sering berprasangka buruk pada seseorang karena ikut-ikutan dengan pandangan orang lain. Karena hal ini pula, kita mengambil tindakan yang kurang tepat yang bisa merugikan orang lain maupun diri sendiri.

So, gimana, dong...?
Namanya berprasangka, seringkali menjadi sesuatu yang sulit kita hindari karena kerap otomatis langsung kita lakukan setiap kali kita bereaksi terhadap seseorang atau sesuatu. Akan tetapi di satu sisi, kita juga tahu bahwa yang namanya berprasangka, apalagi berprasangka buruk adalah sesuatu hal yang nggak baik. Itu sebabnya kita harus lebih berhati-hati dengan hati dan pikiran kita, supaya tetap murni dan nggak gampang berprasangka buruk.
Jangan mudah terbawa dalam pandangan buruk terhadap seseorang hanya karena kita mendengar perkataan orang lain yang kurang menyukai keberadaan seseorang. Lebih baik kita menghindarinya, dan mulai belajar untuk selalu positive thinking. Perhatikan diri sendiri, waspadai pandangan kita terhadap orang lain. Jangan hanya berdasarkan praduga atau prasangka sebelum tahu kebenaran yang sebenarnya. Jangan mau juga kita terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Ingat yang  firman Tuhan bilang, ”Janganlah engkau terburu-buru menumpangkan tangan atas seseorang dan janganlah terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Jagalah kemurnian dirimu.” (1 Timotius 5:22). Well guys, masih mau berprasangka buruk lagi? Nggak lagi-lagi, lah ya...q(ika)        (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2010)

FACEBOOK... OH... FACEBOOK


Berawal dari facebook baruku.. Kau datang dengan cara tiba tiba…” lantunan Armand Maulana, vokalis band Gigi, terdengar merdu mengawali lagu My Facebook. Yup! Belakangan ini facebook memang lagi ngetrend abis. Nggak cuma di kalangan anak muda, yang sudah nggak lagi muda pun juga nggak mau ketinggalan. Boleh dibilang, rasanya, kok, nggak afdol kalau belum punya akun di situs jejaring social yang paling digandrungi selain twitter ini. Gara-gara facebook, kita jadi punya banyak teman baru, dan bahkan juga berhubungan kembali dengan teman-teman lama yang mungkin sudah nggak ketahuan lagi rimbanya. Jelas ini membuat kita senang, karena tentu saja ruang lingkup bergaul kita pun jadi bertambah luas.
Namun beberapa minggu belakangan ini ada sejumlah peristiwa yang tentu saja membuat kita terhenyak. Gara-gara kenalan barunya di facebook, Nova (14 tahun), nekad meninggalkan rumahnya dan pergi bersama Ari (18 tahun), sang kenalan yang belakangan jadi pacarnya. Bukan hanya pergi tanpa pamit, Nova juga rela menyerahkan virginitasnya pada Ari. Bukan cuma Nova,  AS (14 tahun), rela kabur dari rumah dengan membawa uang Rp 5 juta milik ortunya, demi hidup bersama dan menyerahkan keperawanannya pada AGM (22 tahun), pacar yang baru dikenalnya via facebook. Selain Nova dan AS, masih ada lagi Abelina (14 tahun) yang nekad meninggalkan Surabaya menuju Jakarta tanpa sepengetahuan ortunya, demi bertemu Januar alias Jeje, kenalan barunya di facebook, hanya gara-gara tertarik dengan ketampanan Jeje.

Aduh…. Kok, bisa, ya?
Rasanya miris banget, ya, kalau kita melihat kasus-kasus ini. Bayangin aja… baru umur 14 tahun, masih duduk di kelas dua SMP, tapi ada yang sudah harus kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya untuk sesuatu yang sebenarnya nggak worth it. Mungkin sebagian di antara sobat muda juga berpikir, kok, bisa mereka bertindak seperti itu. Ada banyak hal yang membuat mereka akhirnya terjebak dan jatuh ke dalam hal semacam ini. Pertama, karena nggak punya hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sobat muda, kalau kita punya hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, hal-hal seperti yang dialami Nova, AS, Abelina, akan lebih mudah dihindari. Seperti yang dilakukan oleh Timotius. Iman yang kuat akan Kristus menunjukkan kedekatannya dengan Allah, sehingga ia tidak mudah jatuh ke dalam hal-hal yang nggak berguna (2 Timotius 1:5).
Kedua, karena nggak punya hubungan yang kuat dan komunikasi yang akrab dengan orangtua. Bagaimanapun juga, yang namanya orangtua dan keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita. Merekalah yang seharusnya menjadi tempat curhat pertama kita (selain sama Tuhan, ya, tentunya...). Kalau kita punya hubungan serta komunikasi yang baik dengan orangtua, tentunya kita juga jadi nggak gampang terjebak dalam pergaulan yang nggak sehat, karena mereka tentunya akan membantu kita untuk menjadi filter buat kita. Selain itu, pastinya mereka akan selalu siap sedia setiap saat kita butuh pertolongan mereka.
Ketiga, karena pergaulan yang nggak sehat. Namanya bergaul dan berteman, tentunya sah-sah saja kita bergaul dengan siapa saja. Bukan bermaksud pilah-pilih teman, sih, tapi bagaimana kita harus bisa melihat mana pergaulan yang baik buat kita dan mana yang nggak. Namanya juga anak muda, seringkali kita lebih muda terpengaruh untuk masuk ke dalam pergaulan yang buruk daripada pergaulan yang baik. Itu sebabnya kita tetap harus berhati-hati dalam bergaul, supaya jangan sampai kita terjerumus dalam pergaulan yang salah.

It’s okay to make some friend, but…
Well... menjalin pertemanan baru di facebook memang nggak ada salahnya, kok. Tapi sudah selayaknya kita juga belajar untuk mengenal lebih jauh lagi seperti apa teman-teman baru kita, supaya kita nggak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Yang jelas, jangan terlalu percaya begitu saja pada teman-teman yang baru kita kenal. Lebih baik kenali dan selami dulu lebih jauh, seperti apa mereka sebenarnya, supaya kita pun benar-benar yakin apakah teman-teman baru kita ini benar-benar membawa kita ke dalam pergaulan yang positif atau justru sebaliknya.
Remember guys, firman Tuhan dari jauh-jauh hari pun sudah selalu mengingatkan kita. Om Paulus dalam 1 Korintus 15:33 pernah bilang, ”Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Nah, itu sebabnya kalau sobat muda nggak mau terjebak dalam pergaulan yang salah, mulai sekarang harus lebih berhati-hati. Apalagi sekarang, kita yang memang lagi demen-demennya main dengan situs-situs jejaring sosial, amat sangat rentan dengan kejahatan dunia maya yang belakangan juga banyak menyusup lewat facebook, twitter, friendster, de el el. So, be carefull with your friendship...okay?q(ika)    (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2010)

Minggu, 31 Januari 2010

IT’S NOT FAIR!



Lisa jengkel. Bukan hanya jengkel, tapi juga gondok banget setengah mati. Bayangkan saja. Seminggu terakhir ini dia mati-matian belajar buat ulangan umum. Dia bela-belain ngurung di kamar seminggu hanya untuk belajar. Tapi giliran ulangan umum tiba dan hasilnya keluar, Lisa cuma mendapat nilai pas-pasan alias mendapat angaka enam. Sementara itu Emilia, yang kerjaannya tiap hari main di game center melulu dan nggak pernah belajar, malah mendapat nilai sempurna alias sepuluh.  Belakangan akhirnya nilai sepuluh itu dibatalkan, karena ternyata Emilia ketahuan menyontek saat ulangan umum berlangsung, dan ia harus mengulang lagi ulangan umumnya sendirian di ruangan guru.
Sobat muda, terkadang nggak sedikit dari kita yang merasa kalau hidup ini nggak adil. Kita merasa bahwa Allah itu nggak adil dengan hkehidupan yang diberikanNya pada kita. Seringkali ketika kita sudah berusaha mati-matian untuk mencapai sesuatu, ternyata hasil yang didapat nggak seberapa, bahkan malah sia-sia. Bukan hanya berjuang keras, tetapi kita juga nggak putus untuk berdoa dan bahkan ada yang sampai berpuasa. Sementara itu ketika kita melihat orang lain yang tanpa harus bersusah payah, dengan mudahnya ia mencapai hasil yang gemilang dan luar biasa. Walhasil akhirnya  kita pun mulai merasa bahwa ini betul-betul nggak adil. Kita pun merasa bahwa segala perjuangan dan doa kita jadi sia-sia, sehingga mulai malas berusaha dan berdoa. Dalam hati kita pun bertanya-tanya, apa, sih, maksudnya Tuhan dengan semuanya ini?

Yup! Terkadang memang nggak adil...
Tidak bisa dipungkiri, kehidupan di dunia ini memang tidak selamanya adil. Acap kali kita rasanya ingin memberontak melihat ketidakadilan yang terpampang di depan mata. Bahkan rasa-rasanya kita bukan cuma gemas, tapi juga ingin sekali ikut arus di sekeliling yang gemar berbuat curang. Toh, percuma saja kita hidup lurus karena hasilnya juga nggak seperti yang kita ingin kan. Padahal kalau kita mau mengingat kembali, di mana pun juga yang namanya kecurangan itu tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik.
Coba kita lihat kembali kisah Yakub berlaku curang terhadap Esau., saat ia mengingini hak kesulungan Esau. Betapa Yakub, dengan bantuan ibunya, berusaha mencurangi Esau sedemikian rupa agar ia mau menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub. Pada akhirnya Yakub pun harus menuai buah dari kecurangannya itu. Ia harus melarikan diri dari kaum keluarganya, dan tinggal di negeri asing selama bertahun-tahun lamanya (Kejadian 27:41-28:5). Tidak hanya itu, dikemudian hari ternyata Yakub pun juga kena batunya. Ia juga dicurangi Laban, paman sekaligus calon mertuanya ketika ia hendak mempersunting Rahel. Laban berjanji akan memberikan Rahel menjadi istri Yakub, setelah tujuh tahun Yakub bekerja pada Laban. Namun ternyata yang diberikan adalah Lea, dan Yakub harus bekerja pada tujuh tahun lagi untuk mendapatkan Rahel (Kejadian 29:15-29).

He’s still and always fair!
Tak berbeda jauh dengan Yakub, kita pun juga akan mengalami hal yang sama jika kita mulai melakukan praktek-praktek kecurangan. Bagaimanapun juga, di tengah segala hal yang tidak adil di dunia ini, Allah tetap akan menunjukkan keadilanNya kepada manusia. Ingat kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya manusia berbuat curang, lama-lama juga pasti akan kena batunya juga. Kalau kita mulai berbuat curang dalam segala hal di hidup kita, siap-siap, de, kalau kemudian kita harus menerima buah dari kecurangan yang dilakukan.
Sahabat, Allah selalu menginginkan agar kita hidup dalam kejujuran dan ketulusan. Karena di mata Allah, segala bentuk pengkhianatan dan kecurangan tidak berkenan bagiNya, dan hal itu tentu saja akan merusak kepercayaan yang Allah berikan pada kita. Bukan nggak mungkin, lho, Allah kemudian mencabut berkat serta talenta yang diberikanNya pada kita, hanya gara-gara kecurangan yang kita lakukan. So guys, ayo mulai saat ini kita belajar untuk nggak lagi berbuat curang dalam segala hal. Nggak perlu iri dengan kesuksesan orang lain yang diraih lewat kecurangan. Tetapi biarlah kita tetap menjaga dan mempertahankan diri untuk terus hidup dalam kejujuran dan kemurnian seturut dengan Firman Allah, karena Ia sudah menjanjikan berkat tersendiri bagi orang-orang yang setia dan menjaga hidupnya tetap jujur dan lurus di hadapan Tuhan.



(Telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Januari 2010)








WHEN HE CALLS



“Dit... ayo, dong, ikutan persekutuan pemuda... Dari pada dugem nggak jelas melulu begitu...” ajak Deva suatu saat, entah untuk ke berapa kalinya. Adit cuma tersenyum seraya menjawab, “Ntar, deh... kapan-kapan aja, ya, Dev... Kalau gue udah bosen dugem...” Ajakan untuk aktif di gereja tak sekali dua kali menghampiri Adit. Namun berkali-kali pula ia menampiknya. Sampai suatu saat Adit mendadak tewas dalam sebuah kecelakaan mobil sepulang dugem. Hilang sudah kesempatan Adit untuk melayani Tuhan, selagi ia diberi kesempatan untuk hidup.
Sobat muda, sadar ataupun tidak, kita juga seringkali bersikap seperti Adit. Kalau mau dihitung-hitung, mungkin sudah berkali-kali pula kita menolak panggilan Allah dalam hidup kita untuk melayani Dia. Seribu satu alasan langsung dipasang begitu ajakan itu muncul. Sibuk kuliah atau sekolah, sibuk les, sibuk belajar, banyak kegiatan ekskul, capek, dan lain-lain. Jangankan untuk aktif di gereja dengan ikut persekutuan. Untuk kebaktian minggu saja kadangkala kita pun lebih banyak malasnya, dan lebih memilih untuk menikmati liburan di hari minggu ketimbang meluangkan waktu untuk beribadah pada Tuhan.

It’s all because of our egoism
Kenapa, sih, menjawab panggilan Allah, kok, begitu penting buat kita? Bukankah kita ini masih muda? Jadi untuk apa kita memikirkan hal-hal yang rohani itu dari sekarang? Suatu saat nanti, kan, masih ada waktu untuk semuanya itu, kalau kita sudah ada waktu. Begitu sering kita mengungkapkan alasan-alasan semacam ini. Bahkan hanya untuk meluangkan waktu sekali atau dua kali seminggu, barang satu sampai dua jam, kita pun enggan meluangkannya. Padahal Allah sudah memberikan waktu 24 jam sehari, setiap harinya, seluruhnya untuk kita.
Ya, keegoisan itulah yang seringkali membuat kita menutup diri akan panggilan Allah dalam hidup kita. Kalau direnungkan, kita lebih sering mau menangnya sendiri. Menuntut Allah untuk memenuhi segala keinginan kita, namun ketika Ia meminta hanya sedikit dari waktu kita, kita pun enggan untuk memberikannya. Inilah egoisnya kita. Ketika kita mulai bersikap egois dan mementingkan diri sendiri, disinilah kekacauan itu dimulai (Yakobus 3:16). Kita mulai menghalalkan segala cara agar kepentingan diri kita dapat tercapai. Semakin lama kita menumpuk berbagai macam kekacauan itu, semakin lama pula kita akan terus terperangkap dalam lingkaran setan yang tak tahu akan berakhir di mana, dan makin terjerumus dalam dosa yang kian menyesatkan.

Learning to answer His call
Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Samuel. Di saat lingkungan di sekelilingnya justru memberikan teladan yang buruk, Samuel yang masih belia justru mampu meresponi panggilan Allah dalam hidupnya (1 Samuel 3:1-10). Kalau saja ia mau, bisa saja Samuel menghabiskan masa remajanya dengan bersenang-senang sebagaimana dilakukan oleh remaja lain seusianya. Tetapi tidak dengan Samuel. Ia mau mendengarkan panggilan Allah. Hasilnya? Tak salah lagi ia menjadi salah satu nabi besar pada jamannya.
Demikian juga halnya dengan Timotius. Ia sadar benar bahwa sebagai anak muda ada cukup banyak tantangan yang harus dihadapinya. Namun karena Timotius sadar akan panggilan Allah, ia tidak mau terjebak dan mengikuti arus dunia sekelilingnya. Timotius lebih memilih untuk meresponi dengan benar panggilan Allah yang sudah dinyatakan dalam kehidupannya (2 Timotius 1:4-14).
Sebab itu sobat muda, belajar dari Samuel dan Timotius ini, selagi kita masih muda dan punya kesempatan yang luas, ayo kita belajar untuk meresponi panggilan Allah dalam hidup kita. Mungkin dari hal-hal yang kecil dulu, dengan meluangkan sebagian waktu kita untuk Tuhan. Nah, dari hal-hal yang kecil inilah kita akan terus belajar dan mengenal Allah lebih dalam lagi, sehingga kita tahu apa yang sudah Allah rencanakan dalam hidup kita. Dari sini pula kita juga belajar untuk tunduk dan taat akan kehendak Allah akan hidup kita, agar hidup kita pun senantiasa berkenan di hadapan Tuhan.


(Telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Januari 2010)