Selasa, 31 Agustus 2010

IT’ S NOT YOUR FALSE!


Erna bingung. Vika mendadak membencinya hanya gara-gara ia sekarang menggantikan posisi Vika sebagai ketua OSIS. Padahal Erna terpilih karena berhasil memenangi pemungutan suara pemilihan ketua OSIS. Pernah Erna mencoba mengajak Vika bicara empat mata dari hati ke hati.  ”Vik, kenapa, sih, lo benci gue? Emang gue salah apa ya sama lo? Kalo emang gue punya salah... maafin gue, ya...” Tapi reaksi Vika cuma diam dan berlalu begitu saja meninggalkan Erna. Selanjutnya... permusuhan itu masih terus terjadi. Lama-lama Erna yang merasa bersalah sendiri dan tak enak hati, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri jabatan ketua OSIS, karena ia nggak mau terus-terusan bermusuhan dengan Vika. Padahal keberadaan Erna sebagai ketua OSIS sangat dibutuhkan oleh teman-temannya.
Yang namanya feeling guilty seperti apa yang dialami Erna ini kerap kali kita hadapi juga. Seringkali kita merasa bersalah sendiri karena sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan kita. Nah, perasaan seperti inilah yang membuat kita terbelenggu  dan seringkali menghambat langkah kita untuk maju. Terkadang karena terlalu memikirkan anggapan dan perasaan orang lain yang seharusnya tidak perlu, membuat kita tidak bisa lagi melihat mana yang seharusnya kita lakukan dan mana yang tidak. Akhirnya, diri kita sendiri yang dirugikan, sementara orang lain yang kita berusaha jaga perasaannya, ternyata sama sekali nggak perduli dengan apa yang kita lakukan.

Think about it!
Sobat muda, kadang-kadang memang demi menjaga perasaan orang lain, kita cenderung untuk mengalah untuk menghindari keributan. Nggak salah, sih, memang. Tapi dalam kondisi tertentu, seringkali kita justru merasa bersalah sendiri dan mengalah hanya karena satu orang, sementara di sisi lain, ada banyak orang lain yang lebih membutuhkan kita. Seperti apa yang dialami Erna, semestinya Erna nggak perlu merasa bersalah sekali pada Vika, sampai-sampai ia harus mengundurkan diri, padahal teman-temannya yang lain sangat membutuhkannya.
Ketika didera perasaan bersalah yang tak seharusnya kita rasakan, semestinya kita introspeksi dan berpikir ulang. Apakah benar kita harus merasa bersalah dan berkorban sedemikian rupa, sehingga kita bisa berbaikan lagi dengan orang tersebut sampai harus mengorbankan segalanya? Hmm... rasa-rasanya memang kita harus think about it! Bagaimanapun juga nggak semestinya kita merasa bersalah sampai seperti itu. Ketika kita sudah mencoba untuk bersikap baik terhadap orang yang memusuhi kita tetapi tetap nggak mendapat respon yang baik juga, kita nggak perlu merasa bersalah yang berlebihan karena memang itu bukan kesalahan kita. Kalaupun teman atau orang lain yang memusuhi kita tetap bersikap memusuhi, well... itu adalah masalah mereka, dan bukan masalah kita. Yang terpenting adalah kita tetap berusaha bersikap baik dengannya dan nggak menunjukkan sikap memusuhi.

Stay Calm
Nah, mungkin sobat muda bisa mencontek tips dari Om Paulus ini deh, ”Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya (Roma 12:20). It means, tanpa perlu merasa bersalah sedemikian rupa, dengan sikap kita yang tetap baik dengan mereka yang memusuhi, lama-lama mereka sendiri nantinya yang akan merasa nggak enak hati dan mau berbaikan lagi dengan kita. Memang mungkin butuh proses dan waktu yang nggak pendek. Tetapi Roma 12:17-20 cukup jelas mengajar kita, bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi kita.
So, tetap tenang dan belajar untuk menetralkan rasa bersalah yang mungkin sudah kelewat berelebihan. Apapun yang terjadi, kita sudah berusaha yang terbaik dan terus bersikap baik. Selebihnya, keep pray for them dan biarkan Allah yang berperkara, menolong kita agar suatu saat nanti hubungan kita dengan mereka dapat pulih kembali. q (ika)               (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2010)

FORGIVING MY PARENTS


“Huhh… rasanya aku nggak mungkin bisa maafin Mami. Aku sebel banget sama kelakuan Mami. Masa Mami selalu banding-bandingin aku sama Pingkan. Yang Pingkan lebih cantik lah, lebih pintar, lebih sopan, pokoknya lebih segalanya dari pada aku... Huaaa.... rasanya Mami nggak pernah bangga sama aku. Buat Mami, aku, tuh, seolah jelek melulu... nggak ada bagus-bagusnya. Heran, deh... memang aku ini anaknya atau bukan, sih...” keluh Anita.
Sobat muda, bukan cuma  Anita yang suka sebal sama tingkah laku ortunya, banyak di antara kita yang mungkin juga sering ilfil sama kelakuan ortu yang menurut kita bikin sakit hati dan nggak pantas dilakukan oleh ortu. Kalau sekali dua kali, mungkin saja kita masih bisa maklum dan kesalnya bisa cuma sebentar saja. Tapi kalau dilakukan berkali-kali dan seolah-olah ortu seperti nggak ngerasa kalau apa yang dilakukannya itu sudah menyakitkan... hmmm... rasa-rasanya, kok, sudah nggak bisa ditolerir lagi. Meski mungkin kita sudah pernah mengungkapkan kekecewaan kita pada ortu, ternyata nggak mendapat respon positif dari mereka. Sampai akhirnya kita menumpuk rasa kesal dan kecewa itu dalam hati hingga menggunung, hingga menjadi sebuah akar pahit yang menjadi duri dalam hati kita. Rasa-rasanya seolah tak mungkin lagi memberi maaf pada ortu yang sudah terlalu menyakiti hati kita.

Everyone can make mistakes
Rasanya memang sakit dan seperti tak termaafkan memang jika kita mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan ortu pada kita. Namun ketika kita terus menyimpan rasa sakit hati itu, justru semuanya itu akan semakin menjadi beban berat di dalam diri kita. Bukan hanya karena persoalan itu cenderung sulit dilupakan atau terlalu menyakitkan. Kenyataannya kita telah menjadi hakim paling keras untuk diri sendiri. Kita sulit menerima kenyataan, sehingga semuanya itu membuat kita menjadi seseorang yang terbelit dengan masa lalu dan sulit mengambil langkah selanjutnya. Padahal kalau kita terus menerus bersikap seperti ini, sepanjang hidup kita akan selalu terbeban dan setiap langkah hidup kita akan selalu dibayang-bayangi rasa sakit hati ini.
Sobat muda, tak bisa dipungkiri bahwa perasaan sakit hati itu tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja. Akan tetapi satu hal yang harus kita sadari bahwa setiap orang pasti bisa melakukan kesalahan. Setiap orang pasti bisa melakukan hal yang menyakitkan sesamanya. Demikian juga dengan orangtua kita. Tak selamanya mereka menjadi orangtua yang sempurna. Adakalanya mereka pun berbuat kesalahan. Sama halnya dengan kita. Kita pun sebagai anak juga pasti tak luput dari kesalahan. Memang mungkin kali ini kebetulan ortu yang bikin kesalahan besar dengan menyakiti kita. Tak bukan berarti pula kita tak bisa memaafkan kesalahan mereka.

Forgiving = Healing
Guys, satu hal yang harus kita ingat, bagaimanapun juga mereka adalah ortu yang sudah melahirkan serta membesarkan kita. Sebesar apapun kesalahannya, mereka tetaplah orangtua kita. Nggak ada yang namanya bekas orangtua ataupun bekas anak. Itulah sebabnya kita harus tetap mengampuni mereka. Malahan dengan mengampuni mereka, beban hati kita pun dapat terangkat dan langkah kita ke depan pun tidak akan lagi dihantui perasaan dendam dan sakit hati yang selama ini tersimpan.
Adanya pengampunan berarti juga akan ada sebuah pemulihan. Ketika kita mau mengampuni orangtua kita, pemulihan atas luka-luka batin yang pernah mereka torehkan pada hati kita pun akan disembuhkan dan dipulihkan. Memang semuanya itu perlu proses. Namun kalau kita mau dengan sungguh-sungguh dan rela hati memberikan pengampunan, pasti Tuhan akan menolong menyembuhkan hati kita yang tengah terluka. Jangan buat Mang Iib mengambil kesempatan dalam kesempitan, membuat kita jatuh dalam dosa hanya gara-gara kita nggak mau memberi pengampunan kepada ortu kita (II Korintus 2:10-11). Ketika kita mau mengampuni orangtua kita, Allah juga akan mengampuni kita (Matius 6:14). Pada saat itulah pemulihan itu terjadi. So, tunggu apalagi. Jangan sampai masalah dengan ortu terus berlarut dan Mang Iib memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri. Okay?q (ika)            (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agutus 2010)