Senin, 31 Desember 2001

Aku Nemu Celana



Hore … aku nemu celana.
Pas banget buat Brindil, anakku.
Sejak kemarin dia nangis, minta dibeliin celana.
Celana satu-satunya sudah bolong dan kekecilan.
Masih mending kalau bolongnya kecil dan cuma satu.
Lha ini bolongnya gedhe banget.

Di bokong lagi!
Makanya dia nangis, minta celana baru,
karena celananya sudah nggak bisa dipakai lagi.


Tapi aku nggak bisa beliin Brindil celana baru.
Nggak punya dhuwit.
Boro-boro punya dhuwit buat beli celana,
buat makan saja untung-untungan.
Dan pagi ini, ketika aku mengais rejeki di antara gunungan sampah,
aku nemu celana.
Celana ini masih lumayan bagus.
Biar kumel, dekil, dan tipis banget,
yang penting nggak bolong.
Masih bisa dipakai.
Ah … Brindil, anakku pasti seneng.
Ndil … Bapak pulang …

Dikancani Asuku



Buang, asuku paling setia di dunia.
Biar dia makhluk buangan
(karena tubuhnya yang bopeng-bopeng, berkudis, membuatnya ditendang dan dibuang),
tapi dia makhluk paling setia.
Di antara segara donya yang kini tak kenal lagi apa arti setia,
asuku tetaplah setia padaku.
Bahkan dibanding Srinthil,
lonthe ayu bekas istriku yang minta cerai gara-gara ndak kuat hidup kere,
Buang jauh lebih setia.
Asuku sangat sayang padaku,
seperti halnya aku sayang dia.
Kami, dua makhluk terbuang yang tak terpisahkan.
Kemanapun aku melangkah, mengais rejeki di antara pegunungan benda-benda buangan,
asuku tak pernah beranjak sedikitpun dari sisiku.
Ia selalu setia mendampingiku, memagut rejeki dikeliling wewangian sengak.
Hari ini hari terakhir kami mendiami segara mambu ini.
Kata teman-teman, mulai besok tempat kami menjumput rejeki ini akan ditamatkan riwayatnya.
“Pemda sudah ndak mau lagi kotanya dinodai limbah orang-orang Jakarta,” begitu kata Panjul,
salah satu rekan mulungku, mengulang pengumuman petugas Kamtib.
Semua pemulung mbambung di tempat ini resah, gelisah, gundah, gulana.
Pun denganku.
Semalam-malaman tak kupicingkan mataku, demi memacu otak,
kemana lagi kami harus memburu rejeki.
Pagi itu aku dibangunkan suara gemuruh.
Milyaran air mata tumpah ruah, caci maki, sumpah serapah dan lontaran teriakan,
bergaung di seluruh kupingku.
Aku beranjak bangun dari gubuk kardus.
Ku lihat asuku masih angler, tak jauh dari tilamku.
Ku lihat teman-temanku sibuk bersitegang dengan para petugas agar mereka tak diusir.
Ku saksikan Menul, istri Panjul yang hamil tua, di dorong-dorong  petugas,
sementara Panjul diseret petugas lainnya entah kemana.
Segera ku hampiri Menul, membawanya ke tempat aman,
meski ia meronta mencari belahan jiwanya.
Dan berbareng itu, raksasa-raksasa penggilas itu mulai merayapi gubuk kardusku.
“Buang … bangun Buang … cepat lari …” teriakku memanggil asuku.
Sia-sia …
Tak ku dengar gonggongannya.
Aku berlari, hampiri gubuk kardusku.
Terlambat …
Gubuk kardusku sudah rata dengan tanah,
bersimbah darah.
Buang sudah ke alam baka.

KERJASAMA, APA SUSAHNYA ?



“Kerjasama? Ah, itu sih gampang. Tinggal bagi tugas, lalu semua menjalankan tugasnya masing-masing, selesai sudah.” Seringkali kita juga berpikir demikian, bukan? Banyak diantara kita yang sering menganggap bahwa kerjasama atau team work ini adalah sesuatu yang gampang dilakukan. Tetapi benarkah demikian? Apakah memang kerjasama itu semudah yang dikatakan? Lalu bagaimana dengan kerjasama dalam kehidupan bergereja?

Frisca, koordinator Seksi Persekutuan di Komisi Pemuda sebuah gereja, belakangan ini mengeluhkan sikap Toni, salah seorang anggotanya, yang dianggapnya tidak bisa diajak bekerja sama. Tiap kali seksi persekutuan sudah memutuskan suatu hal yang telah disepakati bersama, tiba-tiba saja Toni ‘komplain’ dan mengajukan usul lain, sehingga keputusan yang ada mentah lagi. Padahal keputusan yang dibuat, juga disetujui oleh Toni.Tak jarang Toni juga memaksakan pendapatnya, dan jika tidak dituruti, ia mengancam akan mundur dari pelayanan. Kejadian ini tak hanya sekali dua kali, bahkan berulangkali terjadi. Ini membuat Frisca dan anggota-anggota lainnya kesal. Tak heran jika kemudian rekan-rekannya mulai menjauh dan enggan berbagi tugas dengannya. Di sisi lain, Toni merasa bahwa dirinya dianggap tak pernah ada oleh rekan-rekannya. Ia selalu merasa ide-idenya tak pernah diterima dan dianggap angin lalu oleh teman-temannya. Toni juga merasa diletakkan di seksi persekutuan hanya karena ia punya motor, sehingga dapat dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk mengantar mereka ke mana-mana.
    Kasus ini menunjukkan, sesungguhnya kerjasama bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Memang jika dibayangkan, nampaknya mudah untuk dilakukan. Apa yang dibayangkan ternyata tak semudah kenyataannya. Dalam suatu kelompok, kita bertemu dengan berbagai macam manusia dengan karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dan tidak semua orang yang ada di dalam kelompok tersebut bisa cocok satu dengan yang lainnya. Kalau ada yang tidak cocok, bukan tidak mungkin jika kemudian terjadi perselisihan, permusuhan, bahkan bisa jadi sampai mengarah ke perpecahan
Kehidupan bergereja tak hanya terdiri dari satu orang saja. Gereja terdiri dari banyak orang dengan bermacam karakter. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta talenta yang berbeda-beda. Jika semuanya itu diintegrasikan, apa yang akan terjadi? Kerjasama! Itulah yang akan muncul. Jika bermacam-macam orang dengan beragam talenta dapat bekerjasama satu dengan yang lainnya, gereja akan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, karena masing-masing saling bahu-membahu untuk mewujudkan visi dan misi gereja.
  Mengapa kerjasama dalam hidup bergereja ini dibutuhkan? Agar setiap individu yang ada dalam persekutuan bersama di gereja, boleh sehati sepikir, satu jiwa dan satu tujuan dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 1:10 menasihatkan kepada kita, “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.”

Munculnya Konflik             
Tidak ada satu organisasi pun yang tidak pernah mengalami konflik. Demikian juga dengan organisasi di gereja juga tidak lepas dari konflik.Dalam kerjasama dengan rekan-rekan sekerja di pelayanan pun seringkali timbul konflik didalamnya. Ada banyak hal yang memicu timbulnya konflik dalam kerjasama. Yang pertama, adalah pemimpin yang otoriter! Rupanya ada hal-hal yang sering dilupakan dalam kehidupan bergereja. Kita lupa kalau organisasi gereja berbeda dengan organisasi sekuler. Merasa jabatan kita diatas, disadari atau tidak, kita kemudian menganggap rekan-rekan yang lain dibawah kita. Kita lupa bahwa sebenarnya kedudukan kita dan rekan-rekan sepelayanan, semuanya sama di hadapan Allah. Tak ada yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Semua punya tujuan sama yaitu melayani Allah. Semuanya harus saling topang satu sama lain.
Menyimak kisah bangsa Israel melawan orang Amalek, saat itu, jika Musa mengangkat tangannya maka bangsa Israel akan mengalami kemenangan, dan jika Musa menurunkan tangannya maka Israel akan kalah. Ketika Musa lelah, Harun dan Hur menolong Musa dengan menopang kedua tangan Musa (Keluaran 17:8-15). Inilah yang dinamakan kerjasama! Antara Musa, Harun, Hur, juga Yosua dan seluruh bangsa Israel, semuanya saling menopang sesuai dengan porsi mereka masing-masing, untuk mengalahkan orang Amalek. Musa mengangkat tongkat Allah, Harun dan Hur  menopang kedua tangan Musa, sedangkan Yosua beserta bangsa Israel lainnya berperang melawan orang Amalek.
Yang kedua, karena sumber daya manusia yang pasif. Ada banyak hal yang menyebabkan rekan-rekan kita ini pasif. Motivasi pelayanan yang salah adalah salah satu sebabnya. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa diantara kita dalam pelayanan mungkin saja ada yang memiliki motivasi yang berbeda, bukan untuk sungguh-sungguh melayani. Ini dapat mengakibatkan ketidaksolidan kerjasama dalam pelayanan. Seharusnya ini dihindari sejak awal, ketika memilih orang-orang yang akan dipercaya memegang suatu jabatan di dalam organisasi gerejawi, supaya tidak terdapat pelayan yang bermotivasi tidak benar. Jika kita sungguh-sungguh meminta hikmat dari Allah dan mempergumulkan masalah ini, pasti Allah akan mengirimkan orang-orang terbaiknya. Roma 12:16 mengingatkan, ”Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama,…” Jika semua orang bertekun dan bersehati bersama-sama mendoakannya, maka tak sulit untuk mendapat pengurus yang berkualitas. Ini juga yang dinamakan kerjasama!
   Koordinasi yang tidak baik antara pimpinan dengan anggota juga dapat mengakibatkan kepasifan para anggota pengurus komisi. Miscommunication, pimpinan yang kurang mempercayai kemampuan rekan-rekannya, ide-ide yang terlewatkan oleh pimpinan, semuanya itu dapat juga mengakibatkan rekan-rekan sepelayanan kita menjadi pasif. Sebenarnya jika semuanya dikomunikasikan bersama dan tiap orang berusaha untuk percaya pada kemampuan masing-masing individu yang terlibat didalamnya, mau saling menegur, saling belajar satu dengan lainnya, saling menghargai, dan mau saling memberi kesempatan kepada setiap orang, dengan sendirinya kerjasama itu akan muncul. Inti yang terpenting dalam hal ini adalah kerendahan hati. Rasul Paulus pun sudah menegaskan tentang hal ini, ketika berbicara mengenai kesatuan jemaat dan karunia yang berbeda-beda, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut , dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Efesus 4:2)
Yang ketiga, masalah perbedaan karakter. Bukan sekali dua kali saja bentrokan dalam team work gara-gara perbedaan karakter masing-masing individu didalamnya, yang mengakibatkan urusan pelayanan yang seharusnya diselesaikan bersama jadi terbengkalai. Kita harus menyadari, bahwa kita semua terdiri dari berbagai karakter yang berbeda. Kita harus belajar menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing karakter yang dimiliki oleh rekan-rekan sekerja kita. Ingatlah bahwa kita semua adalah saudara seiman yang dipersatukan oleh Allah dalam kasihNya. Memahami karakter orang lain tidaklah mudah, semuanya perlu proses. Tetapi kalau ada kemauan dari diri kita, kerendahan hati dan kesabaran, serta tidak lupa menyertakan Allah, masalah perbedaan karakter  ini justru akan menjadi sesuatu yang unik bagi kita.
Satu hal yang terpenting bagaimanapun juga adalah tetap sehati dan sepikir di dalam Tuhan. Kalau pun  ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan, itu adalah hal yang wajar. Biarlah kekurangan kita ditutupi oleh kelebihan rekan kita, dan kelebihan kita menutupi kekurangan rekan kita. Itulah yang disebut dengan kerjasama yang indah berdasarkan kasih. Firman Allah dalam 1 Korintus 13:7 mengingatkan kita bahwa kasih itu menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Inilah resep terpenting dalam memahami perbedaan karakter rekan-rekan kita.

Kerjasama Bersama Allah
Kunci utama yang tidak boleh kita lupakan dalam suatu kerjasama adalah keterlibatan Allah di dalamnya. Suatu kerjasama, terlebih dalam organisasi gereja, tidak akan dapat berjalan dengan baik jika kita tidak melibatkan Allah untuk turut bekerjasama di dalamnya. Setiap kali kita mulai menemukan konflik dalam kerjasama kita, perlu dikoreksi apakah kita sudah melibatkan campur tangan Allah di dalamnya. Paulus, rasul Kristus Yesus dalam I Korintus 3:10-11, mengingatkan kita bahwa masing-masing dari kita dianugerahi talenta yang berbeda supaya saling bekerja sama di atas dasar yang diletakkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dari ayat ini, sudah terlihat dengan jelas bahwa setiap kerjasama terjadi karena kehendak Allah. Oleh karena itu, dalam setiap proses kerjasama yang kita lakukan, jangan lupakan Allah.
Akhirnya yang harus selalu kita ingat dan kita lakukan dalam setiap proses bekerja sama, kita harus sehati sepikir di dalam Tuhan, rendah hati, lemah lembut, sabar, saling membantu, dan mau saling terbuka satu dengan yang lainnya, serta tidak lupa untuk selalu melibatkan Allah. Itulah kunci sukses terjalinnya kerjasama yang baik.(gyt)

(Telah dimuat di Majalah Warning!)

PRAKTEK MONEY POLITICS DALAM GEREJA

Dalam bayangan Tasha, yang namanya “pelayanan” itu di mana-mana sama saja. Semasa ia masih kuliah di Kota Gudeg dan aktif melayani di sebuah gereja, boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam pelayanan, melayani dengan sepenuh hati untuk Tuhan, dan tak pernah berpikir bahwa pelayanan yang mereka lakukan tersebut akan mendapat imbalan, apalagi dalam bentuk uang. Bagi Tasha, itulah pelayanan yang sesungguhnya.

Akan tetapi semuanya itu musnah, ketika Tasha menginjakkan kakinya di kota metropolitan untuk memulai dunia kerja. Maksud hati ingin tetap terus melayani, menyebabkan Tasha mulai mencari tempat ibadah yang tetap, supaya ia juga dapat melayani di sana. Namun betapa terkejutnya Tasha, ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di sebuah gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu sebagai majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara pun, setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan untuk ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai ‘budget’ khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut aktif dalam pelayanan di gerejanya sendiri.


Gereja ‘Swalayan’
Kekagetan Tasha, bisa kita maklumi. Kehidupan bergereja di daerah, dengan kehidupan bergereja di kota-kota besar, terlebih di kota metropolitan, memang sangat jauh berbeda. Situasi daerah dimana karakter jemaatnya yang cenderung tidak ‘macam-macam’, berbeda dengan situasi gereja metropolitan. Kecenderungan yang muncul di gereja-gereja metropolitan, dimana gereja seperti ‘swalayan’ yang menyajikan beragam ‘entertainment’ alias hiburan. Memang, tidak semua gereja-gereja di kota metropolitan, yang ‘model’nya seperti ‘swalayan’ ini. Namun, gejala-gejala gereja ‘entertainment’ inilah yang saat ini sedang bermunculan dan berkembang di gereja-gereja kota besar. Inilah yang membuat model juga motivasi pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah dan gereja-gereja metropolitan berbeda.

Jemaat di gereja-gereja daerah, cenderung memiliki motivasi pelayanan yang murni, tanpa mengharapkan yang disebut dengan ‘imbalan’. Justru bagi mereka, kalau gereja tidak punya dana, sedapat mungkin mereka akan ‘membiayai’ gereja dengan sukarela, dengan kesadaran penuh, bahwa Allah yang sudah menyelamatkan hidup mereka dan memberi berkat yang berlimpah dalam hidup mereka. Jadi sudah selayaknya mereka memberikan yang terbaik untuk Tuhan, dan melayani dengan tulus. Boleh dikatakan, kehidupan pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah, hampir mirip dengan kondisi jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul (Lihat Kisah Para Rasul 2:41-47 dan Kisah Para Rasul 4:32-37).

Karakter masyarakat metropolitan yang cenderung menggemari hiburan, rupa-rupanya terbawa  juga dalam kehidupan bergerejanya. Seperti halnya di dunia sekuler, unntuk dapat menikmati hiburan-hiburan yang diinginkan, orang harus mengeluarkan uang dari koceknya, baru ia dapat menikmati apa yang dia mau.  Pola-pola yang seperti ini terbawa juga dalam gereja. Untuk mendapatkan orang-orang yang mau ikut aktif di pelayanan dengan kualitas yang bagus, entah itu untuk posisi singer, songleader, pemain musik, paduan suara, dan posisi yang lain-lain, diperlukan suatu ‘budget’ khusus. Entah itu yang mengeluarkan koceknya adalah pihak gerejanya, atau jemaat yang sengaja memberi persembahan kasih secara langsung kepada pelayan-pelayan yang menjadi ‘favorit’nya. Seringkali, alasan ingin memberikan penghargaan, yang kerap digunakan untuk memberikan ‘honor’ kepada para pelayan-pelayan gereja ini.


Motivasi Yang Diselewengkan
Awalnya, sebuah gereja yang cukup terkenal di ibukota, memberikan ‘persembahan kasih’ kepada pelayan-pelayan di gereja tersebut, seperti singer, pemain musik, songleader, dan lain-lain, untuk memberikan penghargaan kepada mereka atas pelayanan yang sudah mereka lakukan. Namun belakangan, hal ini kemudian disalahgunakan dan juga disalahartikan, sehingga setiap para pelayan-pelayan tersebut mempunyai ‘tarif-tarif’ tertentu, yang mengakibatkan orientasi pelayan bukan lagi pada pelayanan itu melainkan berubah orientasinya yaitu pada uang.


Pada akhirnya, latar belakang kondisi gereja metropolitan seperti inilah, yang kemudian mendorong jemaat untuk memiliki motivasi pelayanan yang tidak murni lagi. Motivasinya untuk ikut pelayanan pun tidak lagi disadari oleh keinginan untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan, tetapi orientasinya lebih kepada masalah ‘imbalan’ atau penghargaan atas pelayanan yang telah dilakukan. Ini sudah tidak benar!


Tonny, di samping bekerja di sebuah perusahaan periklanan, ia adalah seorang pemain musik di gerejanya. Karena pelayanannya sebagai pemain musik yang cukup menyita waktunya, gereja tempat ia melayani juga memberikan ‘persembahan kasih’ untuknya, yang  jumlahnya lebih besar dari gajinya di perusahaan iklan. Belakangan ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanannya di perusahaan iklan tersebut, dan memilih menjadi fulltimer sebagai pemain musik di gerejanya.


Seringkali, ketika kita diperhadapkan pada situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas. Tak jarang kitapun menjadi kebingungan, dan pada khirnya justru kita kehilangan motivasi pelayanan yang sesungguhnya. Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang sesungguhnya. Ingatlah! Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Kalau sebagai pelayan-pelayan di gereja, kita tidak berhati-hati dengan motivasi pelayanan yang kita miliki, hal ini dapat membuka peluang bagi kita untuk menjadi ‘hamba-hamba upahan’, karena hanya mau melayani, demi melihat besarnya jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.

Hamba Tuhan yang sejati, mestinya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang dipercayakan kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari panggilan yang kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni untuk melayani Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini tidak layak mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena pelayanan yang kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah Tuhan berikan bagi kita.

Paulus, rasul Kristus Yesus, juga menuliskan dalam II Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan dihadapanNya.” Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, milikilah hati yang murni disertai ketulusan dalam melayani Dia, dan jangan pernah sekalipun mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.(yth)

(Telah dimuat di Majalah Warning!) 

PEREMPUAN ITU BERNAMA RAHAB

Apa yang terlintas di benak kita, ketika kita mendengar kata “pelacur”? Yang jelas tergambar tentunya adalah sosok wanita penggoda yang hobby gonta-ganti pasangan, dan tak lepas dari dunia prostitusi alias mencari duit dengan memberikan jasa layanan seksual kepada laki-laki hidung belang. Pastinya, segala hal yang tidak benar, buruk dan nista akan tertempel erat padanya. Berbagai cibiran, hinaan dan cercaan, mungkin itulah yang terlontar dari mulut kita. Pokoknya, tak akan ada ampun bagi dosa-dosa perempuan-perempuan pezinah ini. Tetapi apa reaksi kita jika si pelacur ini justru menjadi pahlawan? Mungkin kita akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang merasa malu hati karena selama ini selalu mencibir dan mengomentarinya dengan nada miring.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa dalam sejarah Alkitab, Allah justru pernah memakai orang-orang seperti ini untuk menjadi bagian dari rencana besar-Nya. Ingat Maria. Perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu, dipakai Allah untuk mengingatkan akan peristiwa sengsara Yesus yang kian dekat. Menengok ke jaman perjanjian lama, Allah pun pernah memakai seorang perempuan sundal dalam rangka membawa bangsa Israel ke tanah perjanjian. Perempuan itu bernama Rahab. 

Rahab, seorang perempuan Yerikho yang berprofesi rangkap. Sebagai penjaga rumah penginapan, juga seorang pelacur (Yosua 2:1). Tatkala bangsa Israel bersiap untuk menggenapi janji Allah, memperoleh tanah perjanjian, Kanaan, Allah berkenan memakai Rahab sebagai pembuka jalan bagi bangsa Israel untuk dapat memasuki negeri Kanaan. Meski ia seorang perempuan asing yang sama sekali tidak mengenal Allah, tatkala ia mendengar semua keajaiban yang dibuat oleh Allah atas bangsa Israel, semuanya itu sudah cukup baginya untuk mempercayai bahwa Allah Israel adalah sungguh-sungguh Tuhan yang sangat berkuasa atas langit dan bumi (Yosua 2:9-11). 

Pengakuannya ini yang kemudian disertai dengan pertobatannya, membuat Rahab dan seluruh keluarganya diselamatkan oleh Allah dari penaklukan dan pemusnahan Kanaan oleh bangsa Israel. Boleh dibilang, hanya Rahab dan keluarganya saja yang merupakan penduduk Kanaan tersisa. Karena imannya itulah Rahab diselamatkan oleh Allah (Ibrani 11:31). Dan hanya dia dan sanak keluarganya, satu-satunya kaum asing yang boleh tinggal dan berdiam diantara umat Israel.

Berhenti sampai disitusajakah peranan Rahab? Ternyata tidak. Selanjutnya Rahab memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah kelahiran Yesus. Dikemudian hari, Rahab menikah dengan Salmon dari kaum Elimelekh,  dan dari pernikahan ini lahirlah Boas yang kemudian menikah dengan Rut yang melahirkan Obed, ayah Isai, ayah Daud (Matius 1:5-6). Dari silsilah keturunan inilah lahir Yesus Kristus, Sang Juru Selamat (Matius 1:1-17).

Jika Allah saja berkenan memakai orang seperti Rahab yang notabene bukan perempuan baik-baik,  untuk terlibat dalam rencana besar Allah, bukan tidak mungkin Ia dapat memakai saudara dan saya untuk terlibat dalam rencana besar Allah bagi keselamatan negeri ini. Mungkin kita merasa bahwa kita tidak layak karena dosa-dosa dan kekelaman hidup kita. Tetapi jika kita sungguh-sungguh mau bertobat, berbalik kepada Allah, dan membiarkan Ia berkuasa atas diri dan hidup kita, maka Ia akan memberi pengampunan dan memberi kesempatan bagi kita untuk melayani Dia.(gyt)


(Telah dimuat di Renungan Harian Daily Warning!)