Sabtu, 14 April 2012

SUDAH ADILKAH KITA?


Sinta, Eva, dan Amelia. Tiga sekawan ini awalnya bersahabat karib. Kemana-mana selalu bertiga. Di mana ada Sinta, selalu ada Eva dan Amelia. Begitu pula sebaliknya. Namun entah mengapa, sebulan belakangan ini Sinta tampak menyendiri. Tidak ada Eva dan Amelia yang menyertainya. Selidik punya selidik, semuanya berawal dari cowok bernama Edo. Sinta pacaran dengan Edo. Tapi Sinta tidak tahu kalau Eva juga menaruh hati pada Edo. Gara-gara Sinta jadian dengan Edo, Eva pun marah dan memusuhi Sinta. Amelia pun ikut-ikutan marah dan memusuhinya, karena Sinta dianggap tidak solider dengan sahabatnya.
Sinta sendiri pun akhirnya jadi sedih dan serba salah. Satu sisi dia sangat menyayangi Edo. Sisi lain, dia juga tak mau kehilangan sohib-sohibnya. Sinta merasa semuanya jadi tak adil. Sementara itu Eva sendiri mulai menimbang-nimbang. Sebenarnya ia sendiri sadar, sudah berlaku tak adil pada Sinta. Bagaimanapun juga, ini bukan salah Sinta kalau akhirnya dia pacaran dengan Edo. Toh, Sinta juga tidak tahu kalau sebenarnya Eva juga jatuh cinta pada Edo.

Bersikap Adil : Sulit nggak, sih?
Kalau boleh jujur, sebenarnya memang sulit untuk dapat benar-benar bersikap adil. Terkadang emosi serta perasaaan kita lebih jalan duluan ketimbang logika dan akal sehat. Seperti misalnya ketika sahabat kita menjadi juara kelas, dan kita hanya duduk di posisi kedua. Seharusnya kita tidak perlu kesal dan mencemburui kalau kita benar-benar tahu bahwa dia memang berjuang keras dalam meraih prestasi dan memang lebih unggul dari kita. Tetapi kita seringkali nggak fair dan lebih menuruti perasaan cemburu dan kecewa.
Terkadang memang kita sulit menerima bahwa orang lain memiliki hal-hal yang tidak kita miliki atau bahkan mempunyai lebih dari yang kita punya. Mungkin karena itulah kita menjadi cemburu karena kita tidak seperti mereka. Rasanya sulit memang untuk mengendalikan rasa cemburu itu. Tapi, sadar nggak, sih, kalau kecemburuan itu kalau kita pelihara justru akan membuat kita menjadi tidak bahagia dan menyusahkan orang lain juga?
Sobat muda, ingat, lho, Allah menciptakan kita semua segambar dan serupa denganNya (Kejadian 1:26-27). It means, kita juga nggak punya hak buat negative thinking juga memperlakukan orang lain dengan buruk, hanya karena mereka nggak sama atau bahkan lebih daripada kita dalam hal apapun juga. Mau mereka lebih kaya, lebih pintar, lebih kreatif, lebih beruntung, atau lebih apapun juga, nggak semestinya juga kita ngiri. Toh, Allah pun juga sudah mengaruniakan kelebihan-kelebihan lain pada diri kita, yang nggak mereka miliki. Nggak adil, kan, kalau kita nggak suka si A, hanya gara-gara suaranya lebih merdu dari kita, terus kita mengajak teman-teman untuk ikutan memusuhi si A? So, apa gunanya kita cemburu dan membuat diri jadi tidak bahagia, sehingga mengantar kita untuk berlaku tidak adil pada orang lain?

Treat Others Like Yourself
Lalu bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Kadangkala, ketika diminta berlaku adil, selalu susah untuk melakukannya. Tapi giliran kita diperlakukan nggak adil, rasa jengkel, sebal dan emosinya setengah mati. Padahal kalau dipikir-pikir, seringkali kita baru bisa berlaku adil pada orang lain, ketika kita juga pernah diperlakukan tidak adil oleh orang lain.
Guys, sebetulnya nggak terlalu susah, kok, untuk belajar bersikap adil. Asal kita mau, tentu saja pasti bisa. Apalagi Allah sudah mengingatkan, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8).
Nah, mulai sekarang, ayo belajar bersikap adil. Bagaimana memulainya? Dengan belajar mendengarkan hati nurani kita, dan bukan memperturutkan keinginan hati kita. Belajar adil juga bisa kita lakukan mulai dari hal yang sederhana. Belajar memperlakukan orang lain, seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Belajar bersikap adil pada orang lain, kalau kita juga ingin diperlakukan dengan adil oleh orang lain. Ingat  yang dikatakan Firman Tuhan, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” (Lukas 6:31). Selamat bersikap adil… (ika)              (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi April 2012)

IT DOESN’T MAKE THEIR DIFFERENT



“Punya BB, nggak?”
“Nggak…”
“Kenapa nggak punya?”
“Sengaja nggak mau punya. Gue nggak mau jadi autis…”

Hmm… Autis… seringkali autisme jadi bahan bercandaan buat mereka-mereka yang suka asyik menyendiri dan sibuk dengan dirinya sendiri. Padahal yang disebut dengan autis adalah sebuah keadaan dimana seseorang anak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dan bergaul dengan lingkungannya disekelilingnya secara normal. Arti lingkungan di sini  adalah bukan hanya tempat dia bermain saja, tetapi juga dengan orang-orang yang berada disekitarnya.
Mendengar kata autis pun seringkali tanpa sadar kita langsung menempelkan stigma “orang aneh” di benak kita, pada orang-orang autis. Padahal, sebenarnya  mereka yang autis sebenarnya sama saja dengan kita. Hanya saja mereka membutuhkan perhatian ekstra agar dapat berkomunikasi dan bergaul dengan sekitarnya.

Still Same With Us
Sobat muda, bukan cuma autisme saja, tanpa disadari seringkali kita juga menjadikan mereka yang memiliki ketidaksempurnaan yang lain sebagai bahan bercandaan. Padahal sebenarnya mereka sama seperti kita. Mereka juga punya hati, pikiran dan perasaan yang sama dengan kita. Kalau disakiti dan dijadiin bahan bercandaan, tentunya akan merasa sedih serta sakit hati. Nah, seandainya saja yang mengalami semuanya itu adalah diri kita sendiri, tentunya akan merasakan hal yang sama juga, kan?
Seperti halnya kita, mereka yang berkebutuhan khusus juga membutuhkan perhatian. Mungkin selama ini kita cenderung cuek dan acuh tak acuh dengan keberadaan mereka. Namun ketika kita mau belajar untuk sedikit lebih memperhatikan mereka, kita baru akan menyadari betapa luar biasanya Allah dalam memelihara kita semua, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.
Untuk dapat memperhatikan mereka yang berkebutuhan khusus, kita perlu belajar berempati. Belajar berempati jelas nggak sama dengan merasa kasihan, lho. Kalau merasa kasihan, kita akan cenderung memandang rendah mereka. Dalam hati mungkin kita akan berkata, “Kasihan sekali mereka seperti itu. Syukurlah aku nggak seperti itu.” Berempati adalah ketika kita belajar untuk turut merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika berteman dengan mereka yang berkebutuhan khusus ini, kita pun belajar untuk merasakan dan memahami perasaan mereka.

How Can We Learn To Care?
Sebenarnya tidaklah terlalu sulit bagi kita untuk belajar memperhatikan teman-teman yang berkebutuhan khusus. Apalagi Firman Tuhan sudah memberikan dasar yang jelas buat kita, sebagaimana yang tertulis dalam Filipi 2:1-4. Bagaimana kita sebagai satu anggota tubuh Kristus harus belajar saling memperhatikan, dan tanpa memandang rendah satu dengan lainnya. Belajar peduli terhadap sesama, bersikap baik, mau membantu serta berbagi dengan mereka adalah langkah awal yang bisa sobat muda lakukan.
Langkah berikutnya adalah ketika kita mau belajar menjadi pendengar yang baik untuk mereka, menghormati keberadaan mereka, serta memperhatikan dan melibatkan mereka agar tidak merasa sendiri, kesepian, ataupun ditinggalkan. Kemudian belajar untuk memberi, dan membantu mereka untuk merasa senang, belajar serta bertumbuh. Yang terakhir, sama halnya dengan kita, meskipun mereka berkebutuhan khusus, bukan nggak mungkin mereka juga bisa melakukan kesalahan pada kita. That’s why kita pun harus selalu punya hati yang penuh memaafkan. Jangan pernah menyimpan luka atau dendam terhadap mereka, sebab dengan demikian pula mereka akan memperlakukan kita.
Nah, nggak susah, kan, untuk belajar memperhatikan dan lebih perduli dengan mereka? Nggak usah merasa malu ataupun jengah. Selama kita mau melakukannya dengan ketulusan hati, Allah pasti akan menolong kita untuk dapat lebih memahami dan mengerti keberadaan teman-teman yang berkebutuhan khusus ini.q(ika)        (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, edisi April 2012)

Selasa, 10 April 2012

TERNYATA...

          Di tengah-tengah beragam ide yang tengah berloncatan di kepala, baru disadari ternyata sudah banyak juga artikel yang saya tulis. Meski memang nggak semuanya saya masukkan di blog ini. Hmm... jadi terusik kembali... kapan, ya, saya bisa benar-benar membuat sebuah buku?
        Terus terang saja membuat buku adalah impian sekaligus kemalasan saya. Di satu sisi saya mupeng banget, di sisi lain saya juga males banget bikinnya. Butuh waktu yang lama untuk membuat satu buku (itu menurut saya, lho...). Sedangkan hal yang paling menyenangkan buat saya adalah menulis artikel. Selain lebih simple, juga nggak butuh waktu lama.
            Tapi, sepertinya harus dipecut juga, nih. Kalo nggak, mimpi bikin buku itu nggak bakalan pernah jadi-jadi. Well, sejak akhir tahun lalu saya masih mikir-mikir, apa, ya, kira-kira resolusi untuk tahun 2012 nanti? Nah, sekarang sudah menjelang pertengahan tahun 2012, baru, deh, saya menemukannya. Pokoknya tahun ini, saya harus wujudkan mimpi untuk membuat buku. Setidaknya draft buku-nya saja harus sudah jadi tahun ini. Kalau nggak sekarang, mau kapan lagi, sih? Ayo... Semangat!!!

UNDANG NGGAK, YA?


“Gimana, sih? Gue sudah bolehin dia ngundang mantannya. Eh… giliran gue mo ngundang mantan, dianya ngamuk-ngamuk. Secara gue sama mantan udah jadi temen baik. Bete, deh…” keluh Riska. Semuanya sudah siap. Venue, Catering, Bridal, Dekorasi, Undangan, Souvenir, etc. Tapi sepertinya masalah-masalah kecil menjelang due date bisa bikin naik darah. Bahkan, bukan nggak mungkin juga malah bikin wedding party yang tengah dirancang jadi buyar alias batal.
Salah satunya adalah masalah mengundang mantan kekasih di pernikahan kita. Seringkali hanya gara-gara mengundang sang mantan, pernikahan indah yang sudah di depan mata pun jadi hancur berantakan. Sebenarnya, perlu nggak, sih, mengundang mantan kekasih masing-masing untuk hadir di pesta pernikahan kita?

Ketika Rasa Itu Masih Ada
Mengundang sang mantan memang bisa jadi masalah besar, bisa juga nggak jadi masalah buat rencana pesta pernikahan kita. Bisa jadi masalah besar kalau di masa lalu, hubungan kita dengan mantan ternyata masih menggantung, alias masih ada rasa cinta di hati. Jangan pernah mencoba mengundang mantan kekasih ketika story antara kita dan mantan ternyata sebenarnya masih menggantung, dan  masih menyisakan rasa cinta dihati. Bisa-bisa hanya gara-gara melihat mantan di pernikahan, membuat hati kita menjadi goyah dan membatalkan pernikahan.
Atau, sang mantan adalah seseorang yang pernah menjadi someone special dalam jangka waktu yang cukup lama, dan bahkan pernah hampir menjadi calon pasangan kita. Akan lebih baik untuk tidak mengundangnya, terlebih bila mantan begitu dekat dengan keluarga kita. Bisa jadi kehadirannya hanya akan membuat hati kita dan keluarga jadi remuk redam, karena masih memiliki perasaan yang kuat dengannya. Bukan tak mungkin pula kehadirannya malah membuat keluarga membanding-bandingkan sang mantan  dengan calon pasangan kita. Alhasil, justru kita akan membuat posisi calon pasangan kita menjadi tersudut dan menimbulkan situasi yang tidak enak dengan keluarga besar si dia.
Satu lagi. Ketika kita masih merasa ‘sakit hati’ dengan perlakuan mantan di masa lalu, dan dengan sengaja mengundangnya ke pernikahan kita hanya untuk sekedar ‘pamer’ , atau hanya ‘untuk terakhir kali melihatnya’. Lebih baik lupakan saja niat untuk mengundangnya. Alasan ini hanyalah kamuflase, bahwa sebenarnya kita belum terlampau siap untuk menikah dengan orang lain.

Boleh Undang, Asal…
Sebenarnya nggak jadi masalah kalau mau mengundang sang mantan. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika ingin mengundang mantan. Yang pertama, diskusikan dengan pasangan, apakah dia keberatan ketika kita ingin mengundang mantan. Demikian pula sebaliknya, ketika si dia ingin mengundang mantannya. Buat kesepakatan bersama, apakah kita dan pasangan akan mengundang mantan masing-masing atau tidak. Kesepakatan bersama ini sangat penting untuk dibuat. Bagaimanapun juga, kita dan pasangan harus saling menghargai satu sama lain, demikian pula dengan masa lalu yang pernah dimiliki oleh kedua belah pihak.
Kedua, jika memang kita dan pasangan sudah no hurt feeling dengan mantan masing-masing, dan bahkan sudah berteman baik dengan mereka. Tidak ada salahnya untuk mengundang mantan. Toh, kita dan pasangan sudah menjadi sahabat baiknya. Ketiga, pastikan bahwa mantan masing-masing memang ‘tidak bermasalah’ dan  tidak akan membuat masalah. Sebab ketika kita mungkin merasa sudah tak punya hubungan apapun dengan mantan, bukan berarti mantan merasakan hal yang sama. Bisa jadi mantan ternyata masih memendam rasa, dan berniat membuat ‘masalah’ di pernikahan kita. Jika kita merasa mereka akan membuat masalah, lebih baik jika sejak awal tidak mengundangnya.
Bagaimanapun juga, ketika kita memasuki pernikahan, bukan lagi diri kita sendiri yang dipikirkan, akan tetapi pasangan kita pun juga harus dipikirkan. Kita tidak bisa lagi menjadi egois dan mengedepankan keinginan dan perasaan kita semata, karena sekarang ada pasangan yang akan selalu menjadi teman berbagi dalam segala hal. Well, selamat mempersiapkan pernikahan Anda…q (ika)