Sabtu, 15 April 2006

KENAPA, SIH, KOK, HARUS JAIM?


“Tapi buka dulu topengmu…buka dulu topengmu…” Lirik lagu yang dibawakan oleh group musik Peter Pan ini nyeritain tentang seorang cewek  yang jaim abis, sampai-sampai cowok yang pengen kenal deket sama dia musti memintanya buat membuka ‘topeng’ jaim-nya dan menjadi diri sendiri.
Mungkin sebagian dari kita juga ada yang suka jaim alias jaga image untuk berbagai macam tujuan. Ada yang jaim demi menjaga reputasi, demi menjaga harga diri, supaya diterima di sebuah lingkungan, biar nggak kelihatan bodoh, supaya rahasia pribadinya nggak terbongkar en many more alasan lainnya. Just like yang dibilang di Amsal 13:7, “Ada orang yang berlagak kaya, tetapi tidak mempunyai apa-apa, ada pula yang berpura-pura miskin, tetapi hartanya banyak.”
Sometimes kita sendiri juga bingung antara mo jaim or tetap menjadi pribadi yang apa adanya. Mungkin kita berusaha jaga wibawa untuk maksud dan tujuannya yang baik. But, kenyataannya banyak di antara kita yang berusaha untuk jaim, eh…malah kita jadi sosok ‘bertopeng’ (bukan pahlawan bertopeng-nya Sinchan lho ya…), yang hidupnya penuh dengan kebohongan en nggak jadi diri sendiri. 

Jaim=nipu diri?
For example kisahnya Dodi. Sebagai ketua youth, Dodi punya niatan baik ngadain bakti sosial ke pemukiman kumuh bareng anak-anak youth lainnya.  Pas kunjungan usai, berhubung cacing-cacing di perut sudah nggak bisa diajak kompromi, semua anak yang ikutan baksos pada ngajakin makan. Karena satu-satunya tempat makan terdekat di situ cuma warteg sederhana, mereka semua sepakat untuk mengisi perut di sana. Dodi yang gengsi dengan posisi yang dia punya, berusaha jaim en bilang ke teman-temannya kalau dia nggak lapar dan nggak ikut makan, meski sebenarnya Dodi sudah lapar sekali.
Guys…mungkin selama ini kita berusaha jaim untuk maksud yang baik, namun pada akhirnya kita malah terjebak jadi muna alias jadi orang yang munafik. Tapi bukan berarti jaim itu lantas dibilang negatif en nggak boleh dilakuin lho. Jaga image sih boleh-boleh saja…tapi… kita harus lihat-lihat suasananya. Memang nggak gampang untuk membaca suasana en nggak mudah juga buat kita untuk melihat, apakah kita sudah kelewatan menjaga image atau belum. Salah-salah kita mau kelihatan baik, malah jadi berkesan sombong.
Jaga wibawa nggak musti kita lantas jadi sosok yang munafik, hobi berpura-pura, en nggak mau tampil apa adanya, tapi bagaimana kita berusaha untuk membawa diri dengan baik tanpa harus kehilangan jati diri. Jangan sampai deh kita mau jaim, tapi jadi muna kayak orang-orang Farisi. Ingat khan gimana orang-orang Farisi yang jaim banget?  Mereka hobi banget berdoa di tempat-tempat umum biar dibilang suci. Bukannya pujian or pahala yang mereka dapat, tapi malah menerima celaan bahkan kutukan dari Tuhan Yesus (lihat Matius 23:1-36). Nah…nggak mau khan jadi kayak orang Farisi?

Jaim? Nggak Sepenuihnya Salah
So, gimana dong sekarang? Mau jaim, tapi nggak pake acara berpura-pura en munafik. Kita  perlu bersihin pikiran dari doktrin yang bilang kalau jaim tuh musti muna. Berbicara terbuka pada diri sendiri ternyata  bisa membantu lho. Tanyakan pada diri kita sendiri, apa sih yang kita takuti sampai kita harus sedemikian rupa menjaga image? Kalau alasan kita tentang hal yang prinsip dan masih masuk akal or masih dalam kadar normal, maybe it doesn’t matter. Tapi kalau sudah mulai berlebih, kita perlu merenung lagi perlu nggak ya kita begitu?
Roma 12:9 bilang, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” FirTu ini sebenarnya nggak cuma mau bilang supaya kita jangan pura-pura dalam mengasihi orang lain. Tapi lebih jauh lagi ayat ini mengingatkan kepada kita untuk nggak hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan, termasuk jaim yang kebangetan.
Well, nggak masalah kalau kita mau jaim. Tapi sekali lagi yang kudu diingat, kita musti jaga wibawa dengan baik en nggak neko-neko. Yang wajar-wajar saja, dan nggak usah pakai acara pura-pura en jadi munafik. Be yourself! Itu yang paling utama.Ok?(ika)                     (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi April 2006)

What’s Easter 4 U?


Paskah sudah dekat. Seperti biasa kita bakalan disibukkan dengan berbagai persiapan perayaan Paskah. Beragam acara dirancang buat menyambut peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Hias telur paskah, drama paskah, bakti sosial, de el el. Sampai-sampai terkadang saking semangatnya nyiapin acara paskah, kita jadi lupa esensi dari paskah yang sesungguhnya. Bahkan mungkin juga karena sudah terbiasa kita merayakannya setiap tahun, akhirnya paskah menjadi sebuah perayaan yang tak lebih dari satu ritual tahunan umat kristiani.

He died 4 us
Kira-kira 20 abad yang lalu seorang pria bernama Yesus Kristus telah dibantai secara sadis. Dipukul, dicambuk, disiksa, hingga akhirnya tewas mengenaskan di atas kayu salib. Berliter-liter darah mengalir dari tubuh kurusNya. Mungkin kalau kita sendiri yang mengalami semua derita yang dialami Yesus, nggak sampai lima menit aja disiksa seperti itu bisa-bisa sudah langsung tewas. Tetapi ternyata Yesus bisa bertahan menerima derita siksaan yang teramat dahsyat itu hampir seharian lamanya. Kebayang, kan, bagaimana Dia harus menahan rasa sakit yang amat sangat selama itu?
Semuanya itu dilakukanNya, nggak lain demi kita jua lah. Ia melakukan semuanya itu untuk menebus dosa-dosa kita. Ia tidak menginginkan kita jatuh dalam kebinasaan. Ia ingin kita semua beroleh keselamatan kekal yang datangnya hanya dari Bapa di sorga. Itulah sebabnya, Ia rela menanggung siksa dan derita yang seharusnya kita tanggung sendiri.
Sayangnya, pengorbananNya di bukit Golgota seringkali seolah tanpa arti. Nyata jelas, nggak sekali dua kali, malah berulang kali kita masih terus saja berusaha menyalibkanNya untuk yang kedua kali. Lewat segala pikiran, perasaan, tutur kata, juga tingkah laku kita yang buruk dan jahat, kita mencoba mengulang lagi peristiwa penderaan yang dialami Yesus (Yesaya 53:5). Hanya dalam sekejap mata, kita mampu melupakan segala pengorbananNya di atas kayu salib.

Let’s make a brand new day
Sobat muda, Allah punya alasan yang cukup untuk menyerahkan PuteraNya yang tunggal. Hanya satu, yaitu untuk merangkul dan menyelamatkan kita semua. Karena Ia begitu mengasihi kita, sehingga Ia rela melakukan apapun juga, bahkan sampai menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus segala dosa kita (Yohanes 3:16).
Lewat peristiwa paskah kali ini, marilah kita belajar menyadari betapa pengorbanan Kristus sangatlah berarti buat kita. Tanpa tetesan darahNya, kita nggak akan mungkin diselamatkan dari segala dosa. Tanpa dera dan siksa yang ditanggungnya, kita nggak akan mungkin menikmati hidup sebagai manusia yang merdeka dan diampuni.
Bukan cuman sekedar ritual perayaannya saja kita bersibuk diri, tapi mari kita introspeksi diri. Akui segala kesalahan kita di hadapan Tuhan, dan bertobat. Biarlah lewat peristiwa paskah ini kita diingatkan kembali akan karya keselamatan Kristus. Sobat muda, lewat moment paskah saat ini marilah kita mulai hidup baru. Let’s make a promise bahwa kita nggak akan lagi menyalibkanNya untuk yang kedua kali. Bikin komitmen baru dalam hidup kita, bahwa kita akan senantiasa hidup seturut dengan kehendakNya. Nggak lagi suka negative  thinking, berkata kotor, berniat jahat, berdusta, menipu, mencelakakan dan menyakiti sesama, dan nggak lagi melakukan segala macam dosa lainnya. Biarlah paskah kali ini membawa kita untuk memiliki hati yang baru dan komitmen baru untuk hidup seperti Kristus. Happy Easter, guys...(esi)               
(telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi April 2006)