Rabu, 31 Oktober 2007

MENGALAH UNTUK MENANG


Lea sebel banget. Gimana, nggak? Hampir tiap hari dia harus selalu ngalah sama adik atau kakaknya. Belum lagi di sekolah dia juga seringkali harus selalu ngalah dari teman-temannya. Kadang-kadang kondisi ini bikin Lea nggak cuma sebel, tapi juga selalu jadi the looser. Sobat muda, mungkin kadang-kadang kita juga ngerasa seperti si Lea. Apa-apa harus ngalah. Semuanya kita serba nomor yang ke sekian. Kadang-kadang kondisi ini bikin kita jadi sedih en ngerasa nggak diperduliin apalagi dihargai. Semuanya seolah mengesampingkan dan nggak memperhatikan kita.

Kesempatan emas
Mungkin selama ini kita ngerasa marah dan kesal karena harus selalu ngalah. Tapi tahu nggak, sih, kalau sebenarnya dengan mengalah kita jadi punya kesempatan emas untuk mendulang sukses? Kok, bisa, ya? Nah, sobat muda masih ingat, kan, sama kisahnya Yefta? Gimana Yefta yang gara-gara statusnya sebagai anak perempuan sundal, harus mengalah dengan meninggalkan rumah serta tanah kelahirannya, karena saudara-saudara dan keluarga besarnya tak menghendaki keberadaannya.
Mau nggak mau, suka nggak suka, Yefta memang harus mengalah dan menerima keadaan tersebut. Dia akhirnya meninggalkan kampung halamannya. Tapi saat ia pergi dari rumah, meski sempat tinggal bersama dengan para perampok dan orang-orang buangan, di situlah Yefta belajar berbagai macam hal, terutama tentang kehidupan. Ini adalah sebuah kesempatan langka yang dimiliki oleh Yefta. Ia berjuang untuk bertahan hidup dan belajar tentang banyak hal. Sampai akhirnya tiba waktunya bagi Yefta untuk menunjukkan kemampuannya, ketika saudara-saudara Yefta memintanya kembali pulang dan menjadi pemimpin atas mereka.
Sama seperti Yefta, ketika kita harus mengalah bukan berarti dunia jadi kiamat dan diri kita menjadi pecundang, apalagi menjadi orang yang selalu kalah. Sebaliknya, saat kita mengalah adalah sebuah kesempatan untuk mempelajari banyak hal, yang membuat kita nantinya menjadi lebih tangguh. Bukan nggak mungkin suatu saat kelak, pada saatnya nanti kita menjadi sosok seorang pemenang.

Keep your spirit!
That’s wahy guys, nggak perlu berkecil hati kalau memang kita harus mengalah. Mengalah itu menguji mental dan kesabaran kita. Dengan mengalah kita belajar untuk bisa memahami dan mengerti orang lain. Bersyukurlah karena kita masih diberi kesempatan untuk bisa mengalah. Bayangin aja kalau seandainya kita nggak pernah mengalah. Hmm... bisa-bisa kita menjadi orang yang sangat egois, nggak punya perasaan, dan nggak bisa berempati dengan orang lain. Pastinya sobat muda nggak mau, kan, menjadi orang yang seperti itu?
Remember, nggak ada seorangpun yang dilahirkan untuk menjadi orang yang selalu kalah apalagi sampai menjadi bulan-bulanan dan jadi pecundang. Setiap orang dilahirkan untuk menjadi pemenang, dan nggak ada seorang pun yang berhak untuk merendahkan orang lain. Tetapi ketika suatu saat kita harus mengalah, itu semata-mata bukan karena kita kalah. Tetapi ini adalah sebuah titik balik di mana suatu saat nanti kita bakal bisa menunjukkan kemampuan kita dan menjadi seorang pemenang.
Om Paulus dalam suratnya kepada Timotius pernah bilang, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12). So, jangan sebel dan kesal lagi, ya, karena harus ngalah. Ingatlah selalu kemenangan yang ada di depan kita. Tetaplah kuat dan bersemangat. Jangan sampai kita kehilangan spirit, karena hal inilah yang menguatkan kita untuk dapat terus bertahan dalam menghadapi segala situasi yang mungkin nggak mengenakkan buat kita.q(esi)                    (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2007)

I LOVE MY PARENTS


Duh... nyebelin banget, deh. Kenapa, sih, punya ortu, kok, nggak kayak orangtua-orangtua lainnya. Kalau orangtua lainnya begitu sayang dan perhatian sama anak-anaknya, tapi kenapa orangtua gue enggak, ya? Yah... kadang-kadang nggak semua orang beruntung punya orangtua yang baik dan sayang pada anak-anaknya. Kalau sobat muda sering nonton berita di TV, kita sering ngelihat ada banyak ortu yang tega ngebunuh or ngejual anak-anaknya. Ada juga ortu yang juga tega nelantarin, nyia-nyiain, bahkan ngebuang anaknya. Kondisi ini bukan nggak mungkin bisa juga terjadi dalam diri salah satu di antara kita. Makanya nggak mengherankan kalau banyak anak-anak yang jadi membenci dan dendam sama ortunya gara-gara hal ini.

Dendam? Nggak nyelesain masalah!
Kisah Om Yakub dan anak-anaknya mungkin sudah nggak asing lagi buat kita semua. Gimana Yakub ternyata lebih sayang pada Yusuf yang nggak lain adalah putera dari Rakhel, isteri kesayangannya. Nggak heran kalau Yakub jadi rada-rada ‘pilih kasih’. Tak pelak kondisi ini akhirnya menimbulkan kecemburuan saudara-saudara Yusuf (Kejadian 37:3-4).
Saat mendapat perlakuan yang berbeda inilah, saudara-saudara Yusuf nggak mencoba menyikapi hal ini dengan sikap yang positif. Sebaliknya, mereka justru malah menumpuk dendam yang akhirnya dilampiaskan pada Yusuf. Yusuf dibuang ke sumur, bahkan dijual pada orang Mesir. Semuanya ini dilakukan agar sang ayah tak lagi pilih kasih dan melupakan Yusuf.
Dendam sama ortu yang mungkin telah berlaku nggak sebagai mana mestinya pada sang anak, seringkali kita lakukan atas dasar sakit hati.Nggak heran kalau kita jadi melampiaskan ke hal-hal yang enggak-enggak. Lari ke narkoba, minum-minuman keras, dugem yang nggak jelas, free sex, jadi si biang onar, dsb, kerap jadi pelampiasan kita. Mungkin untuk sementara waktu kita bisa merasa ‘senang’, karena ortu jadi bakalan repot dan ‘ngerasain’ akibat dari ‘perbuatan’ mereka terhadap kita. Tapi coba, deh, pikir baik-baik. Apa benar semuanya yang sudah kita lakukan itu bakal bikin ortu kita ‘sadar’ dan ‘kapok’? Apa benar semuanya itu bakal bikin segalanya jadi lebih baik?

They’re still your parents
Guys, mungkin kita ngerasa jengkel, sebel, sedih, benci, dll, punya ortu yang memperlakukan kita nggak sebagaimana mestinya. Tapi bukan berarti hal ini membenarkan kita untuk menyimpan apalagi sampai menumpuk dendam kesumat. Nggak berarti juga kita dibenarkan untuk melampiaskannya pada hal-hal yang negatif. Dengan ngelakuin hal-hal seperti itu, semuanya cuman bikin kita ngerasa ‘puas’ untuk sesaat saja. Tapi kita nggak mikirin akibatnya kemudian. Kita mungkin cuma pengin ngasih ‘pelajaran’ ke ortu. But kita nggak mikirin akibatnya ke diri kita juga, ‘coz gimanapun juga semuanya itu nggak cuman berefek ke ortu saja tapi ke kita sendiri juga. Kita sendiri juga pastinya bisa jadi frustasi sendiri karenanya.
Yang pasti dendam nggak bakal nyelesain masalah. Dendam cuma bakal menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik dan pastinya bakalan lebih merepotkan. Makanya, nggak ada jalan lain selain kita harus tetap mengasihi dan mengampuni ortu kita. Apalagi firman Tuhan sudah jelas-jelas mengingatkan, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” (Kolose 3:13}
Seburuk apapun tindakan atau perilaku yang telah mereka berikan kepada kita, mereka tetaplah ortu yang sudah melahirkan kita. Kita nggak mungkin ada seperti sekarang ini kalau nggak ada mereka. Mungkin memang mereka nggak merawat dan membesarkan kita sebagaimana ynag diharapkan. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtua kita yang harus tetap dihormati.Ingat yang firTu bilang, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” (Efesus 6:1-3).
Sekalipun kita punya cukup banyak alasan untuk membenci mereka oleh karean tindakan yang mereka lakukan, di dalam Tuhan tetap saja tidak ada alasan untuk membenci dan bahkan tidak mengasishi mereka. Mungkin ini akan terasa sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi kalau kita mau berusaha dan meminta pertolongan dari Tuhan Yesus, pasti nggak susah, kok, buat kita untuk bisa mengasihi dan mengampuni mereka. Asalkan kita mau sungguh-sungguh dan terus berusaha, Tuhan pasti akan mengubahkan dan memulihkan hati kita juga ortu kita.q(ika)               (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Oktober 2007)