Jumat, 30 Juni 2006

Duh… Suamiku, Kok, Egois Sekali


“Dasar…laki-laki dimana-mana egois. Maunya menang sendiri,” sungut Sandra (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga berusia 50 tahun yang tinggal di sebuah kota di Jawa Timur. Rasanya hampir sebagian besar isteri-isteri pun mengeluhkan hal yang sama perihal suaminya. Mulai dari mengurus rumah tangga yang semuanya dilimpahkan kepada isteri tanpa mau tahu lagi, urusan anak-anak, hingga untuk mengambil keputusan dalam keluargapun, isteri tak pernah dilibatkan. Pokoknya semua urusan rumah tangga adalah urusan isteri, sementara urusan mengambil keputusan adalah hak prerogratif suami yang tak dapat diganggu gugat. Baik isteri dan anak-anak, sepenuhnya harus tunduk pada sang kepala rumah tangga, meski kadang sang kepala tersebut tak selamanya benar.
Tak heran kalau kemudian banyak isteri-isteri yang kesal gara-gara keegoisan sang suami. “Mentang-mentang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya, maunya dimengerti terus tanpa mau mengerti orang lain,” begitu keluh Margareth, nama samaran, 27 tahun, tentang suaminya. Tak pelak lagi, rumah tangga perempuan asal Yogyakarta ini seringkali diwarnai pertengkaran karena hal ini. Dan akibat yang sering terjadi karena timbulnya masalah keegoisan suami ini adalah pertengkaran yang tak terelakkan. Setiap hari timbul keributan dalam rumah tangga, hingga tak jarang banyak pula yang ujung-ujungnya harus diakhiri dengan pisah ranjang sampai ke perceraian.

Suami Tak Menyadari Perannya

Ada banyak rumah tangga-rumah tangga, tak terkecuali rumah tangga kristen, dimana baik suami dan isteri, masing-masing tidak memiliki pemahaman yang benar akan peranannya sebagai suami, juga sebagai isteri. Banyak suami-suami yang merasa bahwa tugasnya sebagai suami hanyalah menghidupi keluarganya, sementara isteri tugasnya mengurus semua keperluan rumah tangga, termasuk urusan mendidik anak adalah tanggung jawab isteri. Tak jarang kita mendengar jika anak mulai bandel, suami sering menyalahkan isterinya, “Kamu sih…tak becus mendidik anak.” Suami tidak mau tahu urusan rumah tangga, bahkan juga urusan anak. Pokoknya ia sudah bekerja keras, cari uang, menghidupi dan mencukupi  kebutuhan keluarga. Sisanya, ia hanya mau tahu pokoknya semuanya beres. Titik. Urusan lainnya, ia tidak mau tahu, karena semuanya itu adalah tanggung jawab isteri. Suami menjadi egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak hanya itu saja, ia pun bertindak semaunya, dan lebih mementingkan dirinya sendiri.
Inilah yang kerap kali membuat para isteri menjadi jengkel. Kehadiran isteri yang seharusnya menjadi penolong bagi suami, ternyata pada prakteknya banyak dari isteri-isteri ini yang kemudian bukannya menjadi penolong, tetapi menjadi pelimpahan tugas. Pembagian tugas antara suami isteri yang seharusnya hanya untuk memudahkan pekerjaan suami dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab rumah tangga, ternyata yang terjadi kemudian adalah pelemparan tanggung jawab. Rumah tangga seakan-akan diserahkan kepada isteri. Padahal suami lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Isteri pada akhirnya menjadi tidak punya pilihan lagi.
Para suami seharusnya menyadari, bahwa tugasnya sebagai seorang kepala keluarga bukan hanya pada urusan menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga saja, tetapi bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua keperluan rumah tangga. Peranan isteri hanyalah sebagai penolong bagi sang suami. Jika kita memperhatikan Kejadian 2:15-20, disitu jelas sekali bahwa tugas Adam, sang suami, kepala rumah tangga, bertanggung jawab atas segala sesuatunya di dalam taman Eden, rumah yang sudah disediakan Allah bagi Adam dan Hawa (Kejadian 2:15-17). Allah memberikan perintah kepada Adam untuk bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam rumah tangganya. Hawa disediakan Allah untuk menjadi penolong bagi Adam (Kejadian 2:18). Inilah point penting yang harus diingat oleh para suami, setiap kepala keluarga, bahwa tugas suami adalah bertanggung jawab terhadap seluruh isi rumah tangganya. Tidak hanya menghidupi dan mencukupi keluarganya, tetapi juga mengatur rumah tangga, memimpin, mendidik dan membimbing keluarganya untuk hidup di dalam jalan Tuhan seturut dengan kehendak-Nya.

Ketika Kepala Keluarga Menjadi Diktator

Seringkali pula isteri menjadi sangat jengkel dengan sang suami, manakala suaminya mulai bertindak seperti seorang diktator. Semua perkataan suami, semua keinginan suami, harus diikuti dan dituruti oleh seluruh anggota keluarganya. Baik isteri maupun anak-anak, tidak boleh membantah apa kata sang kepala keluarga. Segala hal yang menyangkut dengan keputusan adalah hak penuh sang suami yang tidak dapat dibantah dan diganggu gugat oleh siapapun. Tak heran kalau kemudian banyak keluarga yang kemudian menjadi broken home, hanya karena kediktatoran sang  ayah.
Tak cuma suami-suami pada umumnya, para suami yang sudah di dalam Kristus pun seringkali memiliki pemahaman yang salah tentang makna posisi sebagai kepala rumah tangga. Kadang-kadang karena merasa dirinya adalah kepala rumah tangga, kita, para suami, lantas menjadi egois dan berbuat semau kita, menuntut setiap orang dalam rumah tangga kita untuk tunduk dan mengikuti setiap kata dan keinginan kita, tak perduli itu benar ataupun salah. Dan kata ‘kepala’ ini, kerap kali kita gunakan untuk menekan orang lain, orang-orang yang berada di dalam keluarga yang kita pimpin. Menjadi kepala rumah tangga, bukan berarti kemudian kita bisa seenak  perut saja memerintah setiap orang dalam rumah tangga kita. Menjadi kepala keluarga, bukan berarti pula kita menjadi seorang diktator, dimana segala apa yang kita inginkan dan kita katakan harus dipatuhi dan diikuti oleh seisi rumah tangga kita.
Seperti halnya Kristus yang adalah Kepala kita, demikian pula dengan kita, para suami, kepala keluarga, seharusnya kita sungguh-sungguh menjalankan fungsi kita sebagai seorang kepala, yakni memberikan tuntunan kepada seluruh anggota keluarga kita, dan bukan menetapkan tuntunan. Seorang kepala rumah tangga adalah sumber informasi. Ia seharusnya memberikan arahan dan memimpin setiap orang di dalam rumah tangganya, baik itu isteri dan anak-anaknya, untuk berada di jalan Kristus, dan bukan untuk memimpin mereka untuk masuk dalam kehendak kita sendiri.
Seharusnya, sebagai seorang kepala keluarga, kita meneladani Kristus yang adalah Kepala kita. Kristus sebagai Kepala, tidak hanya memberikan tuntunan dan arahan kepada kita untuk hidup seturut dengan kehendak Allah, tetapi Yesus juga memberikan teladan kepada kita. Demikian pula dengan kita, para suami kristen. Kitapun seharusnya hidup dengan memberikan teladan kepada seluruh anggota keluarga kita. Jika kita ingat kembali di Perjanjian Lama, Yosua, sebagai pemimpin bangsa Israel menggantikan Musa, ia tidak hanya membimbing dan mengarahkan bangsa Israel (termasuk juga keluarganya sendiri) untuk tetap berada di jalan Tuhan, tetapi Yosua dan keluarganya memberikan teladan kepada bangsa Israel dengan senantiasa hidup di dalam jalan Tuhan (Yosua 24:14-15).
Oleh sebab itu, marilah kita, para suami kristen, kalau sampai hari ini masih ada di antara kita yang masih suka bersikap egois, mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri, segeralah bertobat. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan, bahwa sebagai suami, kita tidak hanya harus mengasihi isteri dan seluruh anggota keluarga kita, tetapi juga membimbing, merawat dan mengarahkan serta memberikan teladan yang benar kepada mereka (Efesus 5:24-30, sebagaimana yang dikehendaki oleh Kristus untuk kita lakukan. q(th)     (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Juni 2006)

SEKOLAH BARU, SIAPA TAKUT?


Wuah… tahun ajaran baru, baju baru, sepatu baru, tas baru, sekolah baru, en… teman baru. But… gimana, ya, suasana sekolah baru kita nanti? Menakutkan, biasa-biasa saja, fun, or… apa ya? Guys, sometimes hari pertama masuk sekolah memang bikin deg-degan. Kadang kita suka takut ngadepin dunia baru yang bakal kita masukin. Gimana ya kalau teman-temannya rese, nggak asyik, en nyebelin? Gimana ya kalau suasana sekolahnya nggak enak? Gimana ya kalau guru-gurunya galak-galak semua? Pokoknya sejuta keraguan kerap kali muncul di benak kita. So, gimana dong ngadepin lingkungan baru yang bakal kita masuki?

Be Your Self

Menjadi diri sendiri. That’s the most important things yang musti dilakuin. Kadang-kadang ketika kita suka nggak pede en gampang terpengaruh, ketika masuk lingkungan baru dan melihat teman-teman kita yang heboh banget, dandan habis, and selalu jadi pusat perhatian. Nggak jarang kita terus kepingin kayak mereka, mengubah diri kita supaya menjadi seperti mereka, dan diterima dalam lingkungan mereka. Padahal apa yang kita lakuin itu nggak sesuai sama kepribadian kita, en belum tentu apa yang mereka lakuin itu benar. But, kita tetap saja memaksa diri menjadi seperti mereka, agar bisa diterima.
Masuk lingkungan baru nggak musti kita be like them supaya bisa diterima. Kalau kita berusaha keras jadi seperti mereka, salah-salah kita bisa terjerumus ke hal-hal yang nggak benar.­­ Remember apa yang dibilang Om Paulus di Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” It’s better for us untuk tetap menjadi diri sendiri. Toh orang akan lebih menyukai jika kita menjadi diri sendiri, ketimbang berusaha keras untuk jadi orang lain, just because supaya kita bisa di terima dalam lingkungan mereka.  

Pede Aja Lagi…                                                      
Sometimes yang bikin kita takut pas masuk di lingkungan baru, gara-gara kita nggak pede. Guys, sebenarnya nggak ada yang musti ditakutin. Maybe kita jadi nggak pede karena ngelihat lingkungan baru yang kayaknya wah banget buat kita. But remember, kalau kita yakin dengan kemampuan diri kita sendiri, menjadi diri sendiri, otomatis rasa pede itu akan muncul dengan sendirinya.
Masih ingat kan, Mas Timotius juga pernah ngalamin hal yang sama ketika ia diutus untuk menggembalakan jemaat di  Efesus. Awalnya dia juga nggak pede karena ngerasa masih muda banget. Tapi kemudian Om Paulus terus ngingetin dia. Let’s see nasehat Om Paulus, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12).
Well, actually nggak ada lagi yang perlu dikuatirin lagi untuk ngadepin first day di sekolah baru kita. Sepanjang kita  jadi diri sendiri en tetap pede, everything will be alright. Kalau masih ngerasa takut, just pray to Jesus. Seperti yang dibilang 1 Petrus 5:7, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” So, nggak usah kuatir lagi yah… We have Jesus yang always kasih kekuatan buat kita semua. OK?q(gs)             (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah  Jakarta, Edisi Juni 2006)

KALAU PACARAN SESAMA ANGGOTA PELAYANAN


“Jatuh cinta…berjuta rasanya…” Kita semua tentunya masih ingat dengan lagu yang dinyanyikan oleh Titik Puspa tersebut. Seperti yang diungkapkan dalam lagu tersebut, bahwa cinta memang bisa membuat orang lupa diri. Dan biasanya yang seringkali mengalami hal ini adalah anak-anak muda, tak terkecuali juga dengan muda-mudi yang aktif di persekutuan dan pelayanan gereja. Tak sedikit diantara kaum muda gereja yang mendapatkan pasangan alias berpacaran dengan sesama anggota persekutuan pemuda, atau bahkan dengan pengurusnya. Hal ini memang sudah biasa terjadi dimana-mana. Sebenarnya mendapatkan pasangan diantara sesama anggota persekutuan bukanlah sesuatu yang dilarang. Bahkan Rasul Paulus sendiri juga mengingatkan supaya dalam memilih pasangan, kita harus merupakan pasangan yang seimbang dan juga seiman (II Korintus 6: 14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”). Tetapi bagaimanakah sesungguhnya yang dimaksud dengan pasangan yang seimbang itu?

Jangan Jadi Penghalang!

Tidak ada yang salah memang ketika kita memutuskan untuk pacaran dengan sesama anggota pelayanan. Yang menjadi masalah adalah justru ketika hubungan tersebut ternyata tidak membangun kita. Membuat kita semakin undur dari pelayanan, melupakan tugas dan tanggung jawab kita, dan yang lebih buruk lagi kalau kita mulai menomorduakan Tuhan. Inilah yang berbahaya! Kita boleh saja jatuh cinta, tetapi jangan sampai kita terlena. Jangan biarkan hubungan tersebut pada akhirnya justru tidak menjadi berkat, tetapi malah menjadi batu sandungan. Matius 17:27 mengingatkan,”Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka…”Apa yang dialami oleh Faye dan Miko  menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menjadi batu sandungan bagi pasangan mereka masing-masing, tetapi juga bagi saudara-saudara seiman mereka yang lainnya di dalam persekutuan itu.  Faye dan Miko tidak lagi menjadi contoh yang baik bagi teman-teman sepersekutuan mereka, tetapi mereka juga akhirnya tidak menjadi teladan bagi teman-teman mereka yang belum mengenal Kristus. Padahal sebagai pengurus, yang notabene adalah pemimpin, mereka seharusnya menjadi teladan bagi sekelilingnya (I Petrus 5:3b, “..,tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.”)
Sobat muda, sekalipun saat ini kita sedang menjalin hubungan cinta dengan rekan sepelayanan kita, tetapi kita harus ingat, bahwa yang paling penting dan yang tetap harus dinomorsatukan adalah Tuhan. Kita ada di gereja, di persekutuan, ataupun di kelompok-kelompok pelayanan itu, tujuan utama kita adalah untuk bertemu dengan Allah dan melayani Dia. Jadi, kita harus tetap berpegang pada komitmen kita untuk melayani Dia. Boleh kita pacaran, tetapi jangan sampai hal itu membuat pelayanan kita dan pasangan kita menjadi kendor. Namun justru sebaliknya, dengan hadirnya pasangan yang sama-sama satu pelayanan, seharusnya menjadi pemicu semangat kita dan juga pasangan kita, untuk lebih giat lagi di dalam melayani Tuhan. Keduanya harus saling membangun satu dengan yang lainnya dan juga saling mengingatkan jika ada salah satu pihak yang mulai kendor dan undur dari Tuhan. Itu baru namanya pasangan yang seimbang dan saling membangun.

Jangan Campuradukkan Masalah Pribadi Dengan Pelayanan!
Pertengkaran yang muncul disela-sela hubungan kasih memang adalah sesuatu hal yang biasa terjadi. Akan tetapi jika pertengkaran-pertengkaran yang muncul itu sudah ‘tidak wajar', dalam artian sudah tidak pada porsi dan tempatnya, ini yang perlu diwaspadai. Apalagi kalau kita dan pasangan tidak dapat memisahkan antara masalah pribadi dengan pelayanan. Akibatnya persoalan yang dihadapi akan mempengaruhi pelayanan kita. Tak hanya pelayanan kita saja yang terpengaruh, tetapi juga hubungan kita dengan rekan-rekan sepelayanan. Suasana di lingkungan pelayanan pun turut terpengaruh dengan situasi pertengkaran yang kita bawa.
Semestinya, pertengkaran yang terjadi di antara kita dengan pasangan tidak boleh terbawa sampai ke pelayanan. Sebagai pelayanNya, kita harus bijaksana dan pandai-pandai memisahkan antara masalah pribadi dengan pekerjaan pelayanan kita. Ingat, jangan pernah mencampur-adukkan masalah pribadi dengan pelayanan, karena hal itu tidak akan membuat pelayanan kita menjadi tidak murni lagi. Di sisi lain, jika sampai perselisihan yang kita hadapi tersebut sampai terbawa ke pelayanan, hal ini akan dapat mempengaruhi kita dalam setiap pekerjaan pelayanan kita. Kita tidak dapat melayani Dia dengan hati yang damai dan sukacita, karena perselisihan tersebut menjadi beban tersendiri bagi kita. Ingatlah pula bahwa kita ini adalah ‘hamba Tuhan’ dan harus menjadi teladan bagi orang-orang disekeliling kita. Timotius juga mengingatkan dalam II Timotius 2:24, “sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang.” Bagaimana kita dapat menjadi teladan kalau kita sendiri justru malah hidup tidak seturut dengan Firman Allah?
Jika kita ‘terpaksa’ harus menghadapi perselisihan ataupun pertengkaran tersebut, jangan sampai kita membawanya ke pelayanan. Selesaikanlah terlebih dahulu perselisihan tersebut di luar ‘arena’ pelayanan kita. Atau jika memang belum dapat diselesaikan, saat berada dalam lingkup pelayanan, kita bisa ‘menunda’  persoalan itu terlebih dahulu, baru setelah kita tidak berada di lingkup pelayanan lagi, kita selesaikan perselisihan tersebut. Namun sedapat mungkin, selesaikan terlebih dahulu segala macam persoalan pribadi sebelum memasuki dunia pelayanan kita, karena dengan demikian kita akan dapat melayani Tuhan dengan hati yang damai dan penuh sukacita.

Persekutuan/ Pelayanan, Bukan Biro Jodoh!

Banyak kasus di berbagai pelayanan kaum muda, dimana banyak anak-anak muda yang rajin ikut persekutuan atau pelayanan, ternyata bukan karena memang untuk mencari Tuhan, tetapi justru persekutuan/ pelayanan tersebut dijadikan sebagai arena untuk mencari jodoh. ni sungguh-sungguh keliru. Seringkali kita berpikir bahwa untuk mendapat pasangan hidup yang tepat dan yang seiman, tempat yang paling tepat untuk mencarinya adalah di persekutuan. Ini adalah pola pikir yang salah. Persekutuan dan pelayanan bukanlah suatu arena untuk mencari jodoh. Allah punya berbagai macam cara untuk mempertemukan kita dengan pasangan hidup kita. Bisa saja memang kita dipertemukan dengan pasangan hidup kita di persekutuan/ pelayanan. Tetapi itu tidaklah ‘paten’ demikian. Itu hanya sedikit dari sekian banyak cara Allah untuk mempertemukan kita dengan pasangan hidup kita.
Jika saat ini ada diantara kita ada yang memiliki motivasi pelayanan seperti halnya Robby di atas, bertobatlah segera dan ubah motivasi Anda. Matius 6:33 mengatakan,”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Jika motivasi kita terjun di persekutuan/ pelayanan sungguh-sungguh untuk Allah, kita tidak perlu khawatir mengenai masalah pasangan hidup ini. Ingatlah bahwa Allah sudah mempersiapkan seseorang yang terbaik untuk kita. Tinggal bagaimana kita mau bersabar dan menggumuli bagaimana Allah tengah berkarya dalam diri dan hidup kita.
Namun banyak juga di antara kita yang berdalih, “Nggak masalah sih ikut persekutuan/ pelayanan dengan motivasi mencari jodoh. Itu lebih baik daripada nggak ikut persekutuan/ pelayanan sama sekali dan jadi orang yang nggak bener.” Aha….pendapat-pendapat  seperti ini perlu diwaspadai. Ini sudah tidak benar lagi. Jangan menyangka orang yang meski orang ikut persekutuan/ pelayanan bukan dengan motivasi yang benar akan jauh lebih baik dari pada orang yang sama sekali tidak terlibat di persekutuan/ pelayanan. Justru jika kita terlibat di persekutuan/ pelayanan dengan motivasi yang benar, sama halnya kita ini dengan orang-orang Farisi, yang selalu tampak rajin ke Bait Allah tetapi bukan untuk mencari Tuhan melainkan supaya nampak sebagai orang yang saleh. Sama halnya juga bahwa kita tidak mengutamakan Tuhan, tetapi kita lebih mengutamakan keinginan diri kita sendiri. Tak hanya itu saja, motivasi yang salah ini pun tidak akan menjamin keselamatan kita kelak, karena kita tidak memiliki hidup dengan hubungan yang sungguh-sungguh dengan Kristus. Ingatlah Firman Allah yang mengatakan,”Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk  ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga. Jadi sekali lagi, sekalipun orang itu punya motivasi yang tidak benar dalam mengikuti persekutuan/ pelayanan, semuanya itu tidak akan ada artinya.

Bagaimana Jika Terpaksa Harus Putus?

Ini masalah klasik yang seringkali kita hadapi. Pacaran dengan sesama anggota pelayanan, namun tiba-tiba hubungan itu terpaksa harus putus ditengah jalan. Apa yang harus dilakukan? Seringkali banyak diantara kita yang kemudian menjadi jengah ketika bertemu dengan mantan pacar. Bahkan ada juga yang sampai kemudian hubungan diantara keduanya kemudian menjadi tidak harmonis lagi.
Masa-masa pacaran merupakan masa dimana kita berupaya untuk saling menjajaki dan berusaha untuk lebih mengenali pribadi. Kita tidak bisa memungkiri jika tiba-tiba di tengah-tengah hubungan tersebut, kita menemukan ketidakcocokkan dengan pasangan kita, yang pada akhirnya membawa pada sebuah keputusan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Persoalannya kemudian, bagaimanakah hubungan kita selanjutnya dengan mantan pacar kita tersebut?
Meskipun kita terpaksa harus putus hubungan kasih dengan pacar kita yang notabene adalah rekan sepelayanan kita, namun bukan berarti hal ini membuat kita undur dari pelayanan bahkan undur dari Tuhan. Putus cinta memang membuat hati kita sedih dan kecewa. Namun kesedihan dan kekecewaan kita jangan lantas dijadikan alasan untuk meninggalkan pelayanan kita. Bukan berarti kita tidak boleh bersedih dan kecewa. Wajar kalau kita kemudian menjadi sedih dan kecewa. Namanya juga patah hati. Tetapi justru di saat-saat seperti inilah kita harus lebih dekat kepada Allah dan mampu menunjukkan bahwa kita tetap konsisten dengan tugas panggilan kita dalam melayani Tuhan. Peristiwa putus hubungan ini merupakan bagian dari proses Allah untuk mendewasakan diri kita. Bagaimana kita mampu memisahkan mana yang persoalan pribadi dan mana yang pelayanan, bagaimana kita mampu bersikap dewasa menghadapi masalah.
Putus hubungan cinta bukan berarti kita lantas bermusuhan dan tidak berteman lagi, bahkan sampai tidak mau bertemu lagi. Ini namanya kekanak-kanakan. Allah ingin kita menghadapi semuanya ini dengan  kedewasaan. Sekalipun mungkin saat ini hubungan kita dengan mantan pacar itu sudah bukan sebagai sepasang kekasih lagi, tetapi ingatlah bahwa kita semua adalah pelayan Allah dan sang mantan pacar itu juga rekan sekerja kita di dalam pelayanan. Jadi, apapun yang terjadi kita harus tetap memelihara hubungan sebagai sahabat dan teman baik. Ingat, bahwa kita harus lebih mengutamakan Allah. Kehilangan orang yang kita sayangi bukan berarti kita kehilangan segalanya. Perjalanan kita sebagai kaum muda masih sangat panjang. Ingatlah pula bahwa kita masih memiliki Allah yang memiliki rencana terindah untuk hidup kita.

Pacaran Dengan Rekan Sepelayanan…Bagaimana Sikap Kita Seharusnya?

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita, jika kebetulan saat ini ada diantara kita yang sedang menjalin hubungan cinta dengan rekan sepelayanan? Point terpenting yang harus tetap kita jaga dan pegang teguh adalah jangan pernah menomorduakan Tuhan. Jika kita menomorduakan Tuhan dalam masalah ini, hubungan tersebut tidak akan terberkati dan juga diri kita dan pasangan kita pun tidak akan menjadi berkat baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Mengapa sampai banyak konflik-konflik yang muncul seperti halnya kasus-kasus di atas tadi? Itu karena sejak awal hubungan kasih itu terjalin, kita menomorsekiankan Allah dan tidak melibatkan Dia dalam hubungan pacaran yang tengah dijalin. Jika sejak awal pacaran, bahkan sejak masa ‘naksir-naksiran’ kita sudah melibatkan Allah, semestinya kasus-kasus seperti di atas tadi tidak perlu terjadi.
Yang berikutnya yang harus kita ingat adalah bahwa kita dipanggil untuk melayani Tuhan. Jadi di antara kedua pasangan tersebut harus mengutamakan pelayanan dan bukan kepentingan pribadi mereka. Di antara keduanya harus sama-sama memiliki komitmen untuk lebih mengutamakan Allah dan melayani Dia. Keduanya harus sama-sama menyadari panggilan Allah. Jika disadari secara benar panggilan untuk melayani Tuhan tersebut, apa yang  dialami Faye dan Miko, Toby dan Christa, Robby dan Jenny, serta  Vina dan Rico  tidak perlu terjadi. Diantara kedua pasangan tersebut juga harus saling mengingatkan dengan kasih atas komitmen yang sudah dibuat,  jika salah satu ada yang  mulai ‘lemah’.
Yang terakhir dan yang harus senantiasa kita ingat adalah bahwa, apapun yang terjadi kita harus menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan Yesus Kristus. Jika kita bersandar dan berserah diri penuh kepada Allah, kita akan mendapat berkat dan pertolongan yang luar biasa dari Allah. Jika sejak awal kita menyerahkan hubungan kita tersebut kepada Allah, akan lebih mudah mengatasi setiap persoalan yang muncul disela-sela hubungan tersebut. Dan apabila kita harus mengalami kenyataan bahwa hubungan cinta yang sudah dijalin tersebut tidak dapat dilanjutkan lagi, akan lebih mudah bagi kita untuk mengatasinya jika kita menyandarkan semuanya itu kepada Allah. Setidaknya, kita tidak akan coba-coba untuk meninggalkan Allah dan pelayanan yang sudah dimandatkan kepada kita, hanya gara-gara putus cinta.
Jika ketiga hal tersebut kita sadari benar dan sungguh-sungguh dilakukan, bukan hanya hubungan kita saja yang akan diberkati, tetapi orang lain pun akan juga mendapat berkat dari hubungan tersebut, karena kita sudah menjadi teladan yang baik untuk mereka. Inilah yang disebut dengan pasangan yang seimbang, seperti yang disebutkan dalam II Korintus 6: 14. Masalahnya sekarang, sanggupkah kita mempraktekkannya dengan sungguh-sungguh?q(yth)              (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Juni 2006)