Semasa Viona masih kuliah di kota pelajar dan aktif
melayani di sebuah gereja, boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam
pelayanan, melayani dengan sepenuh hati untuk Tuhan. Tak pernah terbersit di
benak mereka bahwa pelayanan yang dilakukan tersebut akan mendapat imbalan,
apalagi dalam bentuk uang. Bagi Viona, itulah pelayanan yang sesungguhnya.
Namun semuanya itu musnah saat Viona menginjakkan kakinya di ibukota untuk
masuk dunia kerja. Maksud hati ingin tetap terus melayani, membuat Viona mulai
mencari tempat ibadah yang tetap agar ia juga dapat melayani di sana. Namun
betapa terkejutnya Viona ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di
sebuah gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu
sebagai majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara
pun, setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak pernah ia
bayangkan bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan untuk
ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai ‘budget’
khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut aktif
dalam pelayanan di gerejanya sendiri.
Ironis sekali!
Di tengah-tengah situasi di mana kerinduan untuk melayani Tuhan didengungkan di
mana-mana, ternyata justru ada gereja-gereja yang telah ‘kehilangan iman’ untuk
mendapatkan jemaat-jemaat yang memiliki hati untuk melayani Tuhan dengan
sepenuh hati di gerejanya sendiri. Suatu hal yang tragis dan mungkin tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. “Ooo, ternyata ada juga gereja-gereja yang
seperti itu.” Tapi… jangan salah! Mungkin banyak juga di antara kita yang sudah
tak heran lagi dengan ‘perilaku’ gereja yang semacam ini. Ada pula yang
berpendapat, bahwa ‘membayar’ jemaat supaya aktif dan rajin terlibat di pelayanan
gereja, adalah sesuatu hal yang sangat perlu dan gereja harus menyediakan
anggaran untuk itu, untuk menarik minat jemaat terlibat lebih aktif dan semakin
giat di dalam melayani Tuhan. Di samping itu, gereja dapat ‘menolong’ jemaatnya
untuk mendapatkan ‘penghasilan tambahan’. Wow… suatu hal yang baik dan mulia
bukan?
HAMBA TUHAN ATAU HAMBA UPAHAN
Seringkali ketika kita diperhadapkan pada
situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas, tak jarang kita pun menjadi
bingung hingga akhirnya malah kehilangan motivasi pelayanan yang sesungguhnya.
Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang sesungguhnya
dalam melayani Tuhan. Keputusan untuk melayani sebagai fulltimer ini
diambil jika memang pelayanan yang kita lakukan tersebut menyita seluruh waktu
kita. Tetapi lebih dari pada itu, hal terutama yang harus disadari adalah bahwa
keputusan tersebut dibuat karena Allah sungguh-sungguh memanggil kita untuk
melayani Dia sepenuh waktu.
Sebagai contoh, Boy. Seorang song leader di
sebuah lembaga pelayanan yang setiap harinya mengadakan pelayanan dalam
ibadah-ibadah/ persekutuan-persekutuan di berbagai tempat. Hampir seluruh
waktunya dihabiskan untuk pelayanan ini, sehingga ia tidak mempunyai waktu yang
cukup untuk membagi waktu dan konsentrasi dengan pekerjaannya di sebuah
perusahaan. Melalui pergumulan yang cukup panjang serta panggilan untuk
melayani yang begitu kuat, ia memutuskan untuk fulltime sebagai
songleader di lembaga pelayanan tersebut, dan meninggalkan pekerjaannya di
dunia sekuler.
Dalam hal ini, Boy memang sungguh-sungguh telah
‘kehabisan’ waktu untuk pelayanannya. Namun apabila pelayanan yang kita lakukan
tidak menyita seluruh waktu kita, dalam arti pelayanan yang kita lakukan
tersebut hanya di hari-hari tertentu saja, tidak perlu memutuskan untuk menjadi
fulltimer, karena waktu-waktu luang di luar pelayanan kita cukup banyak,
dan pelayanan tersebut dapat dilakukan
sambil tetap menekuni pekerjaan utama kita. Kalau keputusan sebagai fulltimer
dilakukan hanya karena ‘penghasilan’ sebagai fulltimer jauh lebih
besar dari pekerjaan utama kita, berhati-hatilah! Semuanya itu dapat menjadi
bumerang bagi kita, karena orientasi kita bukan lagi kerinduan untuk melayani
Tuhan dengan sungguh-sungguh, melainkan untuk mendapat uang yang lebih besar.
Inilah yang perlu diwaspadai. Sebelum Anda memutuskan untuk menjadi fulltimer,
periksalah kembali motivasi Anda yang sesungguhnya. Jangan sampai kemudian kita
terjebak dan pada akhirnya mencurangi Allah dengan menjadi ‘hamba-hamba
upahan’, Seperti yang diingatkan oleh Firman Tuhan dalam Titus 2:10, “jangan
curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka
dalam segala hal memuliakan ajaran Allah Juruselamat kita.”
GEREJA MENJERUMUSKAN JEMAAT
Ada beberapa gereja yang memberikan persembahan kasih
kepada pelayan-pelayan di gereja deng-an alasan untuk memberikan penghargaan.
Namun justru inilah yang kurang diwaspadai oleh gereja-gereja tersebut,
sehingga masalah ini kemudian menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Mengapa? Sebab
orientasi pelayanan jemaat kemudian bukan lagi sungguh-sungguh untuk melayani,
melainkan karena ingin mendapatkan ‘persembahan kasih’.
Pemberian penghargaan terhadap para pelayan ini
sesungguhnya bukanlah sesuatu yang salah. Namun ada satu hal yang perlu
diingat. Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Baik pihak gereja
maupun jemaat-jemat sendiri yang ingin memberikan penghargaan kepada para
pelayan di gereja, harus lebih bijaksana dalam memutuskan masalah ini. Jika
gereja tidak hati-hati dan kurang bijaksana, akibatnya seperti pada kasus di
atas. Gereja justru membuka peluang menjadikan pelayan-pelayan ini sebagai
‘hamba-hamba upahan’, karena para pelayan tersebut mau melayani, demi melihat
besarnya jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.
Kasus yang ditemui oleh Viona di atas jelas sudah
tidak benar lagi. Hati-hati! Jika sebuah gereja su-dah mulai melakukan hal
tersebut, sama artinya gereja itu sendiri telah ‘membuka’ peluang bagi Iblis
untuk memanfaatkan ‘moment’ ini, dan mendorong ‘menjerumuskan’ jemaatnya untuk menjadi ‘hamba-hamba upahan’. Inilah
yang kemudian menjadikan pelayanan tersebut menjadi tidak murni lagi, karena
segala sesuatunya dinilai dan dihitung dengan materi. Orang mau aktif melayani
kalau ada imbalannya. Hal ini pulalah yang kemudian dikatakan oleh Paulus di
dalam II Korintus 11:12-15, dimana jemaat-jemaat yang melayani karena
‘iming-iming’ uang ini kemudian menjadi rasul-rasul palsu dan pekerja-pekerja
curang yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus, sama seperti Iblis yang
menyamar sebagai malaikat Terang, meski mungkin pelayanan mereka hanya sebatas
sebagai pemain musik, anggota paduan suara, singer, dan sebagainya.
Kalau kemudian gereja beralasan bahwa pemberian
‘persembahan kasih’ ini didasarkan pada keing-inan untuk menolong jemaat yang
kekurangan, gereja tetap perlu berhati-hati dan memperhitungkannya dengan lebih
bijaksana. Jika memang demikian alasannya, gereja harus jeli untuk melihat,
siapa pelayan yang ‘sungguh-sunguh sangat membutuhkan’, dan mana yang tidak,
untuk menghindari timbulnya kasus-kasus ‘hamba-hamba upahan’ ini.
Yang perlu diperhatikan disini adalah, bahwa
pemberian penghargaan tersebut tidaklah harus selalu dalam bentuk materi
(uang). Gereja seharusnya dapat lebih bijaksana dalam memberikan penghargaan
kepada para pelayan ini. Penghargaan tersebut semestinya dapat diberikan dalam
bentuk-bentuk yang lain. Misalnya dengan diberikan souvenir, atau sesuatu
barang yang sedang dibutuhkan/ bermanfaat bagi si pelayan tersebut. Tindakan
ini akan jauh lebih baik, karena dengan demikian gereja pun dalam hal ini juga
mengajar jemaat-jemaatnya, supaya jangan melayani karena melihat ‘imbalan’ yang
akan mereka dapatkan. Jadi, gereja harus lebih tegas di dalam memutuskan
persoalan pemberian ‘persembahan kasih’ ini.
THE REAL SERVANT
Pada hakekatnya, semua bentuk pelayanan di gereja
sebenarnya tidak perlu menerima ‘bayaran’, kecuali bagi mereka yang melayani
Tuhan dengan memberikan seluruh waktu, bahkan memberi hidupnya untuk melayani
Tuhan. Jadi sudah selayaknyalah jika kehidupan mereka ditopang oleh jemaat
tempat dimana ia melayani (I Korintus 9:13).
Sebagai seorang hamba, kita seharusnya menyadari
bahwa sebenarnya penghargaan itu tidaklah kita perlukan. Firman Allah dalam
Lukas 17:9 mengatakan, “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena
hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Ingatlah, bahwa
kita ini adalah hamba Allah. Sebagai
seorang hamba, tentu harus menurut apa yang diperintahkan oleh Tuhan
kita, yang adalah Tuan kita. Seharusnya kita bersyukur karena Allah
mempercayakan tugas yang mulia itu kepada kita.
Jadi, mengapa kita harus mengharapkan ‘imbalan’
atau penghargaan atas pelayanan yang telah kita lakukan? Hamba Tuhan yang
sejati, melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari
panggilan yang kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni
untuk melayani Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini
tidak layak mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena
pelayanan yang kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah
Tuhan berikan bagi kita.
Paulus, rasul Kristus Yesus, juga menuliskan dalam II
Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari
keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana
mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan dihadapanNya.”
Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, milikilah hati yang
murni disertai ketulusan dalam melayani Dia, dan jangan pernah sekalipun
mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.q(yth) (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Mei 2006)