Ribuan…bahkan mungkin jutaan anak di seluruh
dunia, tak terkecuali anak-anak yang lahir dari keluarga Kristen, yang ternyata
lahir dalam keadaaan tertolak. Kehadirannya yang tak diinginkan, membuat
orangtuanya berlaku tidak adil, sehingga melahirkan penderitaan yang amat
sangat dalam hidup si anak
Ada begitu
banyak alasan yang membuat kita sebagai orangtua, terlebih sebagai seorang ibu,
sampai ‘tega’ menolak anak kita. Ketika si buah hati ternyata lahir dalam
kondisi tidak seperti yang kita harapkan, ketika anak yang dilahirkan bukan
hasil cinta kasih melainkan hasil kasus perkosaan, ketika kita merasa belum
siap untuk memiliki anak, ketika kita sendiri ternyata punya trauma ditolak
oleh orangtua kita, ketika kita memiliki ketakutan untuk memiliki anak, dan
berbagai alasan lainnya. Semuanya itu ternyata sanggup membuat kita menjadi
begitu tega menyakiti anak kita, dengan menolak kehadiran dan keberadaannya.
Namun, banyak diantara kita yang tidak sadar, bahwa penolakan yang kita lakukan
itu ternyata berakibat fatal.
Inilah Akibatnya!
Siapa sangka,
penolakan yang kita lakukan ternyata menimbulkan suatu luka-luka batin yang
cukup dalam di hati anak-anak, sehingga mengakibatkan reaksi yang mungkin tidak
pernah kita bayangkan sebelumnya. Kepahitan! Itulah yang akan dialami anak-anak
jika kita menolak mereka. Anak-anak yang ditolak ini akan merasa diabaikan,
terhina, dan juga merasa malu. Inilah yang menyebabkan mereka gampang sekali
mengembangkan pola penyesalan, kebencian dan agresif. Kata-kata yang
menyakitkan akan sering keluar dari mulutnya. Sekali ia disakiti orang lain,
mudah sekali baginya untuk langsung membenci dan membalas dendam kepada orang
yang telah disakitinya. Perasaan-perasaan
tertolak inilah yang membuat si anak menjadi trauma. Bukan tidak mungkin
trauma ini akan terus terbawa sampai ia dewasa dan berkeluarga, dan akan
berpengaruh pada cara ia mendidik anak-anaknya kelak. Inilah yang harus
dibereskan dan dituntaskan. Memang, tidak semua anak yang tertolak ini akan
mengalami trauma yang melahirkan perilaku negatif. Ada juga anak-anak tertolak
ini, yang kemudian mengalami trauma, tetapi justru karena trauma yang ia alami
itulah, melahirkan perilaku yang positif.
Demikian juga
dengan apa yang dialami Yefta (Hakim-Hakim 11:1-11). Hanya karena ia putra
seorang pelacur, keluarganya lantas mengusirnya. Juga Daud, yang kerap dianggap
anak bawang dan hanya pantas disuruh menjaga kawanan domba ayahnya dan melayani
kakak-kakaknya saja (I Samuel 16:11, 17:15, 17:17-22, 17:28). Tetapi baik Yefta
maupun Daud, mampu menunjukkan bahwa diri mereka sanggup mengatasi rasa sakit
akibat penolakan yang mereka alami, dan semuanya itu justru mampu memacu mereka
untuk menjadi pribadi yang lebih baik serta melakukan yang terbaik seturut
kehendak Tuhan. Tidak semua anak bisa seperti Mark, Daud, ataupun Yefta.
Kenyataan yang ada justru menunjukkan bahwa perilaku negatif justru lebih
banyak muncul pada anak-anak yang tertolak ini. Ini tidak bisa dipungkiri lagi
dan harus segera diatasi.
Harus Bagaimana?
Tak sedikit
orangtua yang tidak menginginkan kehadiran anak ini, kemudian mencoba
‘mele-nyapkannya’ dengan jalan menggugurkan
kandungannya, dengan dalih tidak mau ‘menyakiti’ si anak. Persoalannya
sekarang, apapun alasannya, iya kalau akhirnya dengan segala usaha yang
dilakukan, anak itu benar-benar ‘lenyap’. Tetapi bagaimana kalau yang terjadi
sebaliknya, anak tersebut tetap lahir, namun dalam kondisi cacat. Bukan tidak
mungkin hal itu akan membawa penyesalan yang mendalam bagi kita sendiri sebagai
orangtuanya, atau justru sebaliknya, hal itu makin menjadi alasan bagi kita
untuk menolak dan membencinya, serta berusaha untuk ‘membuang’nya.
Ketika di
dalam hati dan pikiran, kita sudah ‘menyatakan’ menolak kehadiran anak
tersebut, sebe-tulnya pada saat itulah anak sudah merasakan bahwa dirinya
ditolak oleh orangtuanya. Saat itu juga, anak sudah mampu merekam penolakan orangtuanya, dan itulah yang
membuatnya menyimpan rasa sakit hati, sejak masih berada dalam kandungan. Mungkin
kita menganggap, ‘bagaimana mungkin bayi dalam kandungan dapat merasakan
penolakan itu?’. Jawabannya sederhana, karena ia berada dalam kandungan ibunya,
secara otomatis ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya. Kalau sang
ibu tidak menginginkannya, otomatis pula ia dapat merasakannya.
Firman Tuhan
dalam Kolose 3:21 mengingatkan kita secara tegas, “Hai bapa-bapa, janganlah
sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Kalau kita sudah menolak
anak-anak kita dengan cara atau dengan alasan apapun, kita sudah membuat hati
anak-anak kita menjadi tawar dan hal itu sama sekali tidak dikehendaki oleh
Allah. Itu baru kesalahan pertama kita. Kesalahan kita berikutnya, kita sudah
mendorong anak kita untuk memiliki sifat-sifat negatif. Kemarahan, apatisme,
kebencian, permusuhan, dan semua sifat-sifat negatif yang muncul pada si anak,
semuanya itu disebabkan oleh penolakan kita.
Sebagai
orangtua, kita seharusnya memberikan cinta kasih kepada anak-anak kita. Apapun alasan-nya, kita
tidak berhak untuk menolak anak kita,
karena bagaimanapun juga ia adalah darah daging kita, anugerah dari Allah, dan
anakpun memiliki hak penuh untuk hidup dicintai, diterima dan dihargai oleh
orangtuanya. Kalau kita sudah menolak anak kita, sama artinya kita menolak
Allah dan merampas hak anak-anak kita untuk dicintai dan dihargai. Jadi, kalau
kita sudah melakukan penolakan itu, kita bukan hanya melanggar Firman Allah
untuk mendidik dan mengasihi anak-anak kita, tetapi juga kita telah melanggar
hak asasi anak-anak kita. Efesus 6:4 sendiri sudah memberikan peringatan keras,
supaya kita mendidik serta mengasihi anak-anak kita, dan bukannya membuat
mereka merasa marah akibat penolakan kita.
Mungkin kita
sendiri sebagai orangtua merasa terluka, ketika anak yang kita lahirkan
ternyata tidak seperti yang diharapkan, atau kita tidak siap memiliki anak,
atau apapun alasannya. Tetapi kita harus mau belajar dan mau menerima
kehadiran anak tersebut, serta harus mau mengasihinya dengan tulus.
Mengapa? Karena hanya dengan cara demikianlah kita akan dapat menghilangkan
luka yang kita rasakan karena ketidaksiapan dan kekecewaan kita, sehingga tidak
ada alasan lain bagi kita untuk menolaknya, dan mau tidak mau yang kita lakukan
adalah menerima dan mengasihi dia. Ingatlah, Tuhan Yesus sendiri memerintahkan
kita untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri
(Matius 22:39). Kalau kita tidak mau menerima dan mengasihi anak-anak kita serta menolaknya, sama halnya kita menolak
sesama kita, karena anak-anak ini adalah sesama kita manusia juga.
Saat ini, jika
kita sebagai orangtua sudah terlanjur melakukan kesalahan dengan menolak
anak-anak kita, mulailah untuk bertobat dan lakukanlah pemulihan. Tak cukup
hubungan kita dengan Allah saja yang harus dipulihkan, tetapi hubungan kita
dengan anak yang sudah kita tolak itu harus dipulihkan. Mungkin diperlukan
suatu proses yang cukup panjang. Tetapi jika kita mau bertobat, dan mau membuka
hati dan diri kita, serta mau belajar untuk menerima dan mengasihi anak-anak
kita, dan yang terpenting lagi menyerahkan semuanya kepada Allah, semuanya akan
dapat diatasi.
Satu hal yang
perlu kita lakukan. Jangan hanya bertobat dan mengakui kesalahan kita di hadapan
Al-lah saja, tetapi kita juga harus mengakui kesalahan kita dan meminta maaf
pada anak-anak yang sudah kita tolak. Jangan merasa gengsi karena kita adalah
orangtuanya. Kalau kita mau mengakui, meminta maaf dan mau memperbaiki
kesalahan kita di hadapan anak yang sudah kita tolak, ini merupakan suatu
‘pengakuan’ kita pada si anak. Dengan cara ini pula, proses pemulihan itu akan
berjalan lebih cepat. Sekali lagi, kuncinya, apapun kondisinya, terima
dan kasihi anak kita dengan tulus.q(yth) (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi November 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar