RINI TOMPEL
Oleh. Y.
Theopilus
“Bruak.......” Rini melemparkan tasnya ke atas meja
belajar lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tak lama kemudian
butiran-butiran air mata mulai membasahi pipinya. Rini teringat kejadian siang
tadi. Seperti biasa Vina dan teman-temannya selalu mengejeknya dengan sebutan
“Rini Tompel” sejak pertama kali ia pindah ke SD Pelita. Awalnya hanya ejekan
biasa saja. Tapi hari ini gara-gara nilai ulangan matematika Rini lebih tinggi
dari pada Vina si Juara Kelas, maka Vina tidak hanya mengejeknya dengan sebutan
Rini Tompel saja. Vina mulai memusuhinya bahkan terang-terangan Vina menuduhnya
mencari muka di depan Bu Ina, wali kelas mereka. Bukan main sakitnya hati Rini.
“Ah....seandainya ayah
tidak dipindah tugaskan di kota ini.....” gumam Rini.
“Rin, ada apa denganmu
?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja sudah berada disebelahnya. Rini cepat-cepat
menghapus air matanya dengan tangannya.
“Tidak ada apa-apa
kok, Bu.” sahut Rini.
“Kalau tidak ada
apa-apa, kok kamu menangis ?”
Rini tidak menjawab. Susah sekali rasanya memberitahu Ibu bahwa
sebenarnya ia malu memiliki tompel sebesar ibu jari di pipinya. Gara-gara
tompel itu juga ia jadi bulan-bulanan ejekan Vina dan teman-temannya di
sekolah. Kalau saja tompel itu bisa dihilangkan, mungkin akan lain ceritanya.
Teman-temannya, terlebih Vina, tidak akan lagi mengejeknya terus.
Seandainya saja waktu
itu ia tidak ikut ayah dan ibunya pindah ke kota dan memilih tetap tinggal di
desa dengan nenek, tentu ia tidak perlu menerima ejekan-ejekan dari Vina. Di
sana semua teman-temannya menyayangi dia dan tidak ada yang pernah mengejeknya
sekalipun ia mempunyai tompel besar dipipinya. Rini jadi teringat kembali pada
teman-temannya di desa. Ia semakin merindukan suasana desa yang begitu akrab
dan nyaman, juga teman-temannya yang bersahabat.
“Ditanya ibu kok malah
melamun....memangnya ada apa sih, Rin ?” teguran Ibu membuyarkan lamunan Rini.
“Emm.....tidak apa-apa
kok, Bu....cuma....emm.....Rini mau tanya....tapi Ibu jangan tertawa ya ?” ucap
Rini malu-malu.
“Begini
Bu....emm....bisa tidak....e....ini...tompel di wajah Rini dihilangkan ?”
Sejenak Ibu tertegun, tapi tak berapa lama kemudian tersenyum sambil
mengacak-acak rambut Rini.
“Rini....Rini....mengapa
kamu ingin menghilangkannya ? Kamu malu ya ? Apa ada yang mengejekmu ?” Rini
menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah. Ia malu sekali pada Ibunya.
“Rin, dengarkan Ibu.
Tompel itu memang tanda lahir, jadi tidak bisa dihilangkan dan selamanya juga
tidak akan pernah hilang. Kamu tidak perlu malu memiliki tompel itu. Justru
seharusnya kamu merasa bangga, karena kamu memiliki sesuatu yang unik yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Itu jadi kelebihanmu. Kamu pernah melihat
penyanyi Ita Purnamasari, kan ? Dia juga punya tahi lalat yang besar di
wajahnya. Awalnya dia juga ingin membuangnya, tapi akhirnya dia menyadari bahwa
justru karena tahi lalat itulah dia jadi semakin menarik. Rin, setiap orang
punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi yang paling penting
khan bukan cuma penampilan saja. Apa gunanya seseorang memiliki wajah yang
begitu cantik, tetapi ia bodoh dan hatinya juga jahat. Nah, sekarang kamu
mengerti khan, Rin ?”
Vina hanya terdiam dan mengangguk pelan, sambil berusaha meresapi apa
yang baru saja dikatakan oleh ibunya.
Liburan Cawu I tiba.
Rini senang sekali karena liburan kali ini ia akan mengunjungi teman-temannya
di desa tempat ia tinggal dulu. Ia sudah membayangkan akan bertemu lagi dengan
Ira, Rani, Tono, Ujang, Bambang, Tiwi, Santi dan teman-teman yang lainnya.
Mereka akan bermain bersama di pematang sawah, main layang-layang di lapangan
bola, mencari ikan di sungai. Sudah terbayang di benak Rini bahwa ia akan
melakukan semua kegiatan yang tidak pernah bisa ia lakukan lagi di kota.
Namun sebenarnya ada hal lain yang lebih menggembirakan
hati Rini. Dari hasil penerimaan raport kemarin, Rini berhasil menduduki
ranking pertama di kelasnya. Berarti ia berhasil mengungguli prestasi Vina.
Tentu saja hal ini membuat Vina makin sebal dan semakin membencinya. Tidak
hanya itu saja, teman-teman sekelasnyapun kini mulai akrab dengannya dan
mengajaknya belajar dan bermain bersama. Rini jadi teringat apa yang pernah
dikatakan oleh ibunya, bahwa yang terpenting bukanlah penampilan fisik
seseorang tetapi kemampuan yang dimilikinya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah bersama ibunya usai
penerimaan raport, Rini melihat banyak orang berkerumun di tepi jalan. Bersama
ibunya, Rini mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika ia
mendekati kerumunan itu, dilihatnya Vina yang sedang mengerang kesakitan.
Rupanya mobil yang ditumpangi Vina mengalami kecelakaan. Segera saja Rini
mendekati Vina dan berusaha menenangkannya sementara ibunya memanggil taksi dan
meminta beberapa orang yang ada di tempat itu untuk memapah Vina dan supirnya
ke dalam taksi dan membawanya ke Rumah Sakit.
Hari itu rupanya Vina sedang kesal. Selain mamanya
tidak bisa datang ke sekolah untuk mengambil raportnya. Vina juga kesal karena
ia hanya menduduki ranking kedua di kelas dan dikalahkan oleh Rini. Itulah
sebabnya usai pengambilan raport, Vina memaksa supirnya untuk pulang
cepat-cepat. Ketika sedang melarikan mobilnya, seorang anak kecil menyeberang secara tiba-tiba, dan agar anak
itu tidak tertabrak, Pak Man, sopir Vina, berusaha menghindar dengan membanting
stirnya. Tetapi malangnya ia sendiri malah menabrak sebatang pohon besar di
tepi jalan, hingga akhirnya terjadilah kecelakaan itu.
“Bu, apa kita harus
menengok Vina ?” tanya Rini ketika ibunya mengajak Rini untuk menjenguk Vina.
“Ya iya dong, Rin. Memangnya kenapa ?” tanya ibunya
keheranan.
“Bu, kita khan sudah menolongnya dengan mengantar dia ke
Rumah Sakit. Itu khan sudah cukup. Lagi pula, selama ini Vina selalu berbuat
jahat pada Rini. Ya sudah biarkan saja. Toh kita khan sudah menolongnya. Untuk
apa dijenguk lagi.” terang Rini.
Ibu Rini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Rini. Ia
tahu hati putrinya masih terluka dengan perbuatan Vina selama ini.
“Dengar ya Rin. Kamu tidak
boleh berkata seperti itu. Itu tidak baik. Kalau kita sudah menolong orang,
kita juga tidak boleh menolongnya dengan setengah hati, sekalipun orang yang
kita tolong itu mungkin pernah menyakiti kita. Kalau kita terus berbuat baik,
tentu orang itu akan menyadari kesalahannya juga, dan nantinya sikapnya
terhadap kita pun akan berubah.” Rini hanya termangu mendengarkan nasehat
ibunya.
“Rin, kalau kamu membalas
kejahatan dengan kejahatan, berarti kamu sama jahatnya dengan orang yang
berbuat jahat padamu. Itu akan merugikan dirimu sendiri dan orang lain juga
tidak akan menyukai perbuatanmu itu. Kamu mengerti apa yang ibu maksud khan,
Rin ?” Rini mengangguk pelan. Sejenak kemudian ia menghampiri ibunya,
memeluknya dan berkata, “Kita pergi menjenguk Vina ya, Bu.”
Sore itu cuaca tampak
begitu cerah. Rini berjalan pelan-pelan disamping ibunya sambil membawa
bungkusan kue dan bunga yang akan diberikan pada Vina. Lorong-lorong Rumah
Sakit itu terasa sedikit menakutkan bagi Rini. Hatinya berdebar-debar. Ia takut
kalau-kalau Vina akan menolak kedatangannya kemudian mengusir dan mengejeknya seperti
biasanya. Ketika mereka semakin dekat dengan kamar Vina yang pintunya terbuka,
Rini beringsut ke belakang ibunya.
“Halo tante, apa kabar ?
Mana Rini tante ?” sapa Vina ketika ia melihat wajah ibu Rini. Pelan-pelan Rini
muncul dari balik tubuh ibunya.
“Halo Vin, bagaimana
keadaanmu ?” tanya Rini sedikit ragu
“Sudah mulai baikan kok
Rin. Malah kata dokter, besok aku sudah diperbolehkan pulang. Cuma aku masih
harus istirahat total di rumah. Yah.....terpaksa deh liburan kali ini
kuhabiskan di rumah saja.”
“Jangan khawatir Vin, aku
akan main ke rumahmu setiap hari selama liburan ini, supaya kamu tidak
kesepian.”
“Wah, nggak usah
repot-repot Rin. Bukankah kamu ingin pergi berlibur ke luar kota ?”
“Ah, nggak apa-apa kok
Vin. Lagi pula kita juga bisa belajar bersama untuk persiapan catur wulan yang
baru.” Vina terharu mendengar tawaran Rini. Ia menyadari bahwa selama ini
dirinya telah salah menilai Rini. Vina merasa malu sekali karena selama ini
selalu bersikap jahat terhadap Rini.
“Terima kasih Rin. Kamu
baik sekali. Maafkan aku ya Rin, selama ini aku selalu berbuat jahat padamu dan
selalu menyakitimu. Seharusnya aku tidak pantas menerima semua kebaikanmu ini.”
ujar Vina dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sudahlah Vin, jangan
dipikirkan lagi. Aku sudah memaafkanmu kok. Kita bisa berteman baik khan ?”
tanya Rini sambil tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Sejenak Vina terdiam,
kemudian ia pun tersenyum dan mengulurkan tangannya juga. Mereka berdua saling
berjabat tangan dan berpelukan erat.
“Eh...sebenarnya, kamu
manis juga lho Rin dengan tompel itu. Malahan kalo nggak ada tompel itu,
rasanya muka kamu jadi aneh.” kata Vina setengah berbisik.Rini tertawa kecil
mendengar perkataan Vina. Satu persahabatan baru telah dimulai. Mama Vina dan
Ibu Rini pun tersenyum bahagia menyaksikan mereka berdua.
Komentar
Posting Komentar