SI CANTIK
Oleh. Y. Theopilus
“Aku sangat mencintainya....” Laki-laki itu
terus-menerus bergumam. Dipandanginya seraut wajah yang begitu sangat
dicintainya. Wajah yang begitu cantik dan menawan. Seraut wajah yang telah
mampu membekukan dan melunakkan hatinya yang terkenal dengan segala kekakuan,
keangkuhan dan kekasarannya.
Selama bertahun-tahun
hidupnya selalu diwarnai dengan kehadiran Si Cantik yang telah memikat hatinya
itu. Senyumannya yang begitu menawan telah membuat hatinya terpikat sejak
pertama kali mereka berjumpa.
Pertama kali ia melihat Si
Cantik di sebuah cafe di ujung jalan. Ia sedang menikmati hari liburnya dengan
duduk-duduk menikmati cappucino khas cafe itu, ketika Si Cantik tiba-tiba masuk
dengan tergesa-gesa dan secara tak sengaja menabrak mejanya hingga menumpahkan
seluruh isi cappucino kesayangannya. Segera saja Si Cantik itu meminta maaf dan
cepat-cepat membersihkan tumpahan cappucino yang sempat bertengger di bajunya.
Tak lama kemudian Si Cantik bergegas meninggalkannya setelah sebelumnya ia
meminta maaf sekali lagi.
Itulah saat pertama kali
laki-laki itu bertemu dengan Si Cantik, yang ternyata adalah salah satu pegawai
di cafe ujung jalan itu, tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu-waktu
senggangnya. Si Cantik adalah pegawai baru. Hari itu adalah hari pertamanya
bekerja disana, dan celakanya dia datang terlambat.
Ia melihat Si Cantik
dengan mukanya yang penuh dengan rasa ketakutan dan keringat yang menetes dari
sela-sela wajahnya yang cantik, sedang mendapat ceramah pagi dari si pemilik
cafe. Sebegitu marahnya si empunya cafe, hingga ia tak memperdulikan situasi
kota yang tengah dirundung gelombang demonstrasi dimana-mana yang menimbulkan
kemacetan dan kesulitan di berbagai sudut kota, yang mengakibatkan Si Cantik
terpaksa harus datang terlambat, sekalipun ia sudah berusaha bangun pagi-pagi
sekali.
Ia melihat Si Cantik
dengan wajah yang begitu pasrah menerima gajinya terpaksa harus dipotong
sebagai sanksi keterlambatannya. Si pemilik cafe seolah tak mau tahu dengan
berbagai penjelasan yang diberikan Si Cantik. Dalam hatinya laki-laki itu
berpikir, cuma soal keterlambatan yang jelas bukan kesalahannya, Si Cantik
harus mengalami pemotongan gaji. Sungguh, betapa ironisnya negeri ini.
Sementara di satu sisi, reformasi terus bergulir, ketidakadilanpun masih tetap
berjalan terus.
Sejak pertemuan pertama
itulah hatinya selalu bergetar bila melihat Si Cantik, dan sejak saat itu pula
ia semakin rajin mengunjungi cafe di ujung jalan itu, karena ia menjadi
pelanggan tetap Si Cantik. Si Cantik pun akhirnya tak pernah absen untuk
melayaninya.
Suatu hari laki-laki itu
pulang dari kantornya dan ia menyempatkan diri untuk mampir di cafe ujung jalan
itu. Tak seperti biasanya, kali ini Si Cantik yang biasa datang melayani
pesanannya saat itu tidak muncul. Seorang pria seumuran Si Cantik datang
menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Tapi laki-laki itu malah menanyakan
kemana perginya Si Cantik, si pelayan pria itu menjawab bahwa Si Cantik baru
saja dipecat karena untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke tempat
kerjanya. Laki-laki itu kemudian menanyakan alamat Si Cantik kepada si pemilik
cafe, dan setelah mendapatkan alamat itu, ia segera pergi mencari Si Cantik.
Laki-laki itu sama sekali
tidak pernah membayangkan bahwa Si
Cantik yang begitu menawan hatinya dengan dandanannya yang begitu rapi, sopan
dan bersih itu, ternyata tinggal di kawasan pelacuran yang begitu kotor dan
kumuh di sudut pinggiran kota. Setelah sekian lama ia bersusah payah
mencari-cari Si Cantik kesayangannya itu, akhirnya ia menemukan Si Cantik
tengah putus asa merenungi nasibnya di tepi kali yang airnya tak pernah absen
dari baunya yang luar biasa di dekat perumahan kumuh itu. Hari itu juga
laki-laki itu tahu bahwa Si Cantik terpaksa harus membanting tulang demi ibunya,
seorang pelacur tua yang tengah sekarat karena kanker paru-paru. Si Cantik
sendiri tengah berjuang keras agar ia mendapat pekerjaan yang layak dengan
ijazah SMK-nya, agar dirinya tidak terjerumus ke dunia yang sama dengan ibunya.
Laki-laki itu begitu trenyuh melihat keadaan Si Cantik dan ibunya. Tak lama
kemudian, ia bertanya pada Si Cantik, “Maukah kamu menikah dengan aku ?”
Laki-laki itu akhirnya
berhasil menikahi Si Cantik. Ia mengangkat kehidupan keluarga Si Cantik.
Kehidupan mereka begitu bahagia. Sekalipun hari-hari kehidupan perkawinan
mereka selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar serta
berbagai kekakuan laki-laki itu terhadap istrinya. Namun tak sekalipun Si
Cantik mengeluh, membalas, ataupun memberontak terhadap laki-laki itu. Baginya
kehidupan yang dimilikinya sekarang sudah cukup membuat dia sangat bahagia.
Bagaimanapun juga laki-laki itu adalah pria yang sangat dicintainya sejak
pertama kali mereka bertemu. Ia sangat bahagia ketika laki-laki itu akhirnya mengajaknya menikah dan
mengangkatnya dari kehidupannya yang kelam, sekalipun laki-laki itu tak pernah
mengucapkan satu kali pun kata cinta untuknya.
Tak terasa usia perkawinan
laki-laki itu dengan Si Cantik telah berjalan selama hampir lima puluh tahun.
Si Cantik telah mempersembahkan dua putri dan dua putra yang begitu
membanggakan laki-laki itu. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang
sukses. Mereka semua juga telah menikah dan
memberikan cucu-cucu yang manis yang begitu membahagiakan laki-laki itu.
Meski selama tahun-tahun perkawinan mereka hingga saat ini selalu diwarnai
dengan berbagai makian dan perlakuan kasar laki-laki itu pada istrinya, tetapi
Si Cantik yang wajahnya telah diwarnai berbagai keriput itu tetap saja seperti
dahulu. Ia tak pernah berubah. Si Cantik tetaplah seorang istri yang manis,
penurut dan setia.
Sekarang wajah cantik itu
hanya tinggal kenangan. Dua bulan setelah Si Cantik merayakan pesta kawin
emasnya, Yang Maha Kuasa memanggilnya pulang ke haribaan. Kanker usus yang
menggerogotinya sejak dua tahun terakhir ini memaksanya meninggalkan
orang-orang yang dikasihinya. Tak ada kata-kata manis lagi yang terucap dari bibir Si Cantik. Tak ada
lagi senyum manis yang selalu terukir di wajahnya.
“Aku sangat
mencintainya...” Laki-laki itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama
di hari pemakaman Si Cantik. Orang-orang yang datang melayat begitu iba melihat
kesedihan yang begitu dalam yang menimpa laki-laki itu. Sementara anak-anak dan
cucu-cucunya begitu heran dengan sikap laki-laki itu. Selama ini di mata mereka
Si Cantik tak pernah mendapat perlakuan manis dari suaminya. Tapi mengapa
sekarang laki-laki itu begitu sangat terpukul dan sangat sedih.
“Sudahlah Pak....relakan
kepergian Ibu...” begitu anak-anak dan cucu-cucunya menghibur laki-laki itu.
Saat ini tak ada lagi gurat-gurat kekakuan, keangkuhan juga kekasaran yang
selalu menghiasi wajah garangnya. Yang ada tinggallah wajah tua yang penuh
dengan kerut-merut kesedihan dan penyesalan. Berjam-jam lamanya laki-laki itu
terus menerus terkurung dalam untaian kalimat yang sama, “Aku sangat
mencintainya...”
Matahari mulai tenggelam
dan hujanpun mulai mereda. Kompleks pemakaman itu telah ditinggalkan oleh para
sanak saudara, kerabat dan handai taulan yang melepas kepergian Si Cantik.
Tetapi laki-laki itu masih tetap terpekur disamping gundukan tanah basah dimana
belahan jiwanya berbaring untuk selama-lamanya. Tubuhnya seolah tak bergerak,
dan bibirnya pun masih komat-kamit mengucapkan kalimat yang sama, “Aku sangat
mencintainya...”
Sang Pendeta yang memimpin
upacara pemakaman tadi, akhirnya tak tahan dengan situasi itu. Dihampirinya
laki-laki itu. Pelan-pelan ia mengusap-usap punggung laki-laki itu dan berkata,
“Pak, saya tahu, Bapak sangat mencintai istri Bapak. Tetapi sadarilah Pak,
istri Bapak sudah meninggal dunia dan
Bapak mesti merelakan kenyataan ini.”
Laki-laki itu terdiam dan
menghentikan kalimat-kalimat yang sama yang terus diucapkannya sejak tadi.
Untuk beberapa saat lamanya laki-laki itu terpekur dalam kebisuan, kemudian ia
memalingkan wajahnya pada Sang Pendeta.
“Pak Pendeta, selama
bertahun-tahun lamanya saya selalu membuatnya menderita dan tidak pernah
memperlakukannya dengan baik, padahal saya sangat mencintainya. Saya tidak
pernah mengatakan kepadanya bahwa saya sangat mencintainya. Bahkan saya
sangat-sangat mencintainya sejak pertama kali kami bertemu. Saat pertama kami
berjumpa hingga ajal menjemputnya, tidak pernah sekalipun saya katakan padanya,
bahwa saya begitu sangat mencintainya. Saya sangat menyesal karena tak pernah
mengatakannya sebelumnya. Terlebih lagi saya sangat menyesal karena tidak
pernah membuatnya bahagia. Hari ini saya ingin dia tahu bahwa saya sangat
menyesal, dan saya ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya...”
Komentar
Posting Komentar