Rabu, 17 Oktober 2001

SI CANTIK



Oleh. Y. Theopilus

        “Aku sangat mencintainya....” Laki-laki itu terus-menerus bergumam. Dipandanginya seraut wajah yang begitu sangat dicintainya. Wajah yang begitu cantik dan menawan. Seraut wajah yang telah mampu membekukan dan melunakkan hatinya yang terkenal dengan segala kekakuan, keangkuhan dan kekasarannya.  
            Selama bertahun-tahun hidupnya selalu diwarnai dengan kehadiran Si Cantik yang telah memikat hatinya itu. Senyumannya yang begitu menawan telah membuat hatinya terpikat sejak pertama kali mereka berjumpa.
            Pertama kali ia melihat Si Cantik di sebuah cafe di ujung jalan. Ia sedang menikmati hari liburnya dengan duduk-duduk menikmati cappucino khas cafe itu, ketika Si Cantik tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa dan secara tak sengaja menabrak mejanya hingga menumpahkan seluruh isi cappucino kesayangannya. Segera saja Si Cantik itu meminta maaf dan cepat-cepat membersihkan tumpahan cappucino yang sempat bertengger di bajunya. Tak lama kemudian Si Cantik bergegas meninggalkannya setelah sebelumnya ia meminta maaf sekali lagi.
            Itulah saat pertama kali laki-laki itu bertemu dengan Si Cantik, yang ternyata adalah salah satu pegawai di cafe ujung jalan itu, tempat dimana ia biasa menghabiskan waktu-waktu senggangnya. Si Cantik adalah pegawai baru. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja disana, dan celakanya dia datang terlambat.
            Ia melihat Si Cantik dengan mukanya yang penuh dengan rasa ketakutan dan keringat yang menetes dari sela-sela wajahnya yang cantik, sedang mendapat ceramah pagi dari si pemilik cafe. Sebegitu marahnya si empunya cafe, hingga ia tak memperdulikan situasi kota yang tengah dirundung gelombang demonstrasi dimana-mana yang menimbulkan kemacetan dan kesulitan di berbagai sudut kota, yang mengakibatkan Si Cantik terpaksa harus datang terlambat, sekalipun ia sudah berusaha bangun pagi-pagi sekali.
            Ia melihat Si Cantik dengan wajah yang begitu pasrah menerima gajinya terpaksa harus dipotong sebagai sanksi keterlambatannya. Si pemilik cafe seolah tak mau tahu dengan berbagai penjelasan yang diberikan Si Cantik. Dalam hatinya laki-laki itu berpikir, cuma soal keterlambatan yang jelas bukan kesalahannya, Si Cantik harus mengalami pemotongan gaji. Sungguh, betapa ironisnya negeri ini. Sementara di satu sisi, reformasi terus bergulir, ketidakadilanpun masih tetap berjalan terus.
            Sejak pertemuan pertama itulah hatinya selalu bergetar bila melihat Si Cantik, dan sejak saat itu pula ia semakin rajin mengunjungi cafe di ujung jalan itu, karena ia menjadi pelanggan tetap Si Cantik. Si Cantik pun akhirnya tak pernah absen untuk melayaninya.
            Suatu hari laki-laki itu pulang dari kantornya dan ia menyempatkan diri untuk mampir di cafe ujung jalan itu. Tak seperti biasanya, kali ini Si Cantik yang biasa datang melayani pesanannya saat itu tidak muncul. Seorang pria seumuran Si Cantik datang menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Tapi laki-laki itu malah menanyakan kemana perginya Si Cantik, si pelayan pria itu menjawab bahwa Si Cantik baru saja dipecat karena untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke tempat kerjanya. Laki-laki itu kemudian menanyakan alamat Si Cantik kepada si pemilik cafe, dan setelah mendapatkan alamat itu, ia segera pergi mencari Si Cantik.
            Laki-laki itu sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa  Si Cantik yang begitu menawan hatinya dengan dandanannya yang begitu rapi, sopan dan bersih itu, ternyata tinggal di kawasan pelacuran yang begitu kotor dan kumuh di sudut pinggiran kota. Setelah sekian lama ia bersusah payah mencari-cari Si Cantik kesayangannya itu, akhirnya ia menemukan Si Cantik tengah putus asa merenungi nasibnya di tepi kali yang airnya tak pernah absen dari baunya yang luar biasa di dekat perumahan kumuh itu. Hari itu juga laki-laki itu tahu bahwa Si Cantik terpaksa harus membanting tulang demi ibunya, seorang pelacur tua yang tengah sekarat karena kanker paru-paru. Si Cantik sendiri tengah berjuang keras agar ia mendapat pekerjaan yang layak dengan ijazah SMK-nya, agar dirinya tidak terjerumus ke dunia yang sama dengan ibunya. Laki-laki itu begitu trenyuh melihat keadaan Si Cantik dan ibunya. Tak lama kemudian, ia bertanya pada Si Cantik, “Maukah kamu menikah dengan aku ?”
            Laki-laki itu akhirnya berhasil menikahi Si Cantik. Ia mengangkat kehidupan keluarga Si Cantik. Kehidupan mereka begitu bahagia. Sekalipun hari-hari kehidupan perkawinan mereka selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar serta berbagai kekakuan laki-laki itu terhadap istrinya. Namun tak sekalipun Si Cantik mengeluh, membalas, ataupun memberontak terhadap laki-laki itu. Baginya kehidupan yang dimilikinya sekarang sudah cukup membuat dia sangat bahagia. Bagaimanapun juga laki-laki itu adalah pria yang sangat dicintainya sejak pertama kali mereka bertemu. Ia sangat bahagia ketika  laki-laki itu akhirnya mengajaknya menikah dan mengangkatnya dari kehidupannya yang kelam, sekalipun laki-laki itu tak pernah mengucapkan satu kali pun kata cinta untuknya.
            Tak terasa usia perkawinan laki-laki itu dengan Si Cantik telah berjalan selama hampir lima puluh tahun. Si Cantik telah mempersembahkan dua putri dan dua putra yang begitu membanggakan laki-laki itu. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang sukses. Mereka semua juga telah menikah dan  memberikan cucu-cucu yang manis yang begitu membahagiakan laki-laki itu. Meski selama tahun-tahun perkawinan mereka hingga saat ini selalu diwarnai dengan berbagai makian dan perlakuan kasar laki-laki itu pada istrinya, tetapi Si Cantik yang wajahnya telah diwarnai berbagai keriput itu tetap saja seperti dahulu. Ia tak pernah berubah. Si Cantik tetaplah seorang istri yang manis, penurut dan setia.
            Sekarang wajah cantik itu hanya tinggal kenangan. Dua bulan setelah Si Cantik merayakan pesta kawin emasnya, Yang Maha Kuasa memanggilnya pulang ke haribaan. Kanker usus yang menggerogotinya sejak dua tahun terakhir ini memaksanya meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tak ada kata-kata manis lagi  yang terucap dari bibir Si Cantik. Tak ada lagi senyum manis yang selalu terukir di wajahnya.
            “Aku sangat mencintainya...” Laki-laki itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama di hari pemakaman Si Cantik. Orang-orang yang datang melayat begitu iba melihat kesedihan yang begitu dalam yang menimpa laki-laki itu. Sementara anak-anak dan cucu-cucunya begitu heran dengan sikap laki-laki itu. Selama ini di mata mereka Si Cantik tak pernah mendapat perlakuan manis dari suaminya. Tapi mengapa sekarang laki-laki itu begitu sangat terpukul dan sangat sedih.
            “Sudahlah Pak....relakan kepergian Ibu...” begitu anak-anak dan cucu-cucunya menghibur laki-laki itu. Saat ini tak ada lagi gurat-gurat kekakuan, keangkuhan juga kekasaran yang selalu menghiasi wajah garangnya. Yang ada tinggallah wajah tua yang penuh dengan kerut-merut kesedihan dan penyesalan. Berjam-jam lamanya laki-laki itu terus menerus terkurung dalam untaian kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Matahari mulai tenggelam dan hujanpun mulai mereda. Kompleks pemakaman itu telah ditinggalkan oleh para sanak saudara, kerabat dan handai taulan yang melepas kepergian Si Cantik. Tetapi laki-laki itu masih tetap terpekur disamping gundukan tanah basah dimana belahan jiwanya berbaring untuk selama-lamanya. Tubuhnya seolah tak bergerak, dan bibirnya pun masih komat-kamit mengucapkan kalimat yang sama, “Aku sangat mencintainya...”
            Sang Pendeta yang memimpin upacara pemakaman tadi, akhirnya tak tahan dengan situasi itu. Dihampirinya laki-laki itu. Pelan-pelan ia mengusap-usap punggung laki-laki itu dan berkata, “Pak, saya tahu, Bapak sangat mencintai istri Bapak. Tetapi sadarilah Pak, istri Bapak sudah meninggal dunia  dan Bapak mesti merelakan kenyataan ini.”
            Laki-laki itu terdiam dan menghentikan kalimat-kalimat yang sama yang terus diucapkannya sejak tadi. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki itu terpekur dalam kebisuan, kemudian ia memalingkan wajahnya pada Sang Pendeta.
            “Pak Pendeta, selama bertahun-tahun lamanya saya selalu membuatnya menderita dan tidak pernah memperlakukannya dengan baik, padahal saya sangat mencintainya. Saya tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa saya sangat mencintainya. Bahkan saya sangat-sangat mencintainya sejak pertama kali kami bertemu. Saat pertama kami berjumpa hingga ajal menjemputnya, tidak pernah sekalipun saya katakan padanya, bahwa saya begitu sangat mencintainya. Saya sangat menyesal karena tak pernah mengatakannya sebelumnya. Terlebih lagi saya sangat menyesal karena tidak pernah membuatnya bahagia. Hari ini saya ingin dia tahu bahwa saya sangat menyesal, dan saya ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar