KALAU SAJA…
“….Duh Tuhan….kenapa gue harus ngeliat mereka berdua?”
keluh Maria dalam hati, begitu ia melihat Petrus dan Martha datang ke gereja
berdua sambil bergandengan mesra. “Jadi ke gereja nggak ya?” Maria mulai ragu-ragu
untuk melangkahkan kakinya memasuki halaman gereja. Setelah terdiam cukup
lama di luar pagar gereja, akhirnya Maria membalikkan badannya dan melangkahkan
kakinya kembali menuju ke rumahnya.
Dua tahun yang lalu, Maria berkenalan dengan Petrus,
cowok cakep yang gape main gitar di persekutuan pemuda gereja. Karena Maria
sering bertugas sebagai singer dan Petrus yang mengiringi musik, lama-kelamaan
mereka berdua pun semakin dekat dan semakin akrab. Tak heran bila mereka
akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Hampir semua teman-teman sepelayanan
mereka di gereja, selalu memuji kekompakan dan keserasian pasangan Maria-Petrus
ini. Bagaimana tidak? Dua-duanya sama-sama cinta Tuhan, pandai, cantik dan
tampan, aktif di pelayanan gereja. Pokoknya mereka berdua adalah “The
Perfect Couple” di persekutuan pemuda.
Namun ternyata semuanya itu tak berlangsung lama.
Setahun kemudian, hadirlah Martha, anak baru di persekutuan pemuda mereka.
Martha adalah cewek yang punya daya tarik yang luar biasa. Selain cantik, menarik,
dan supel, ia juga gadis yang sangat kaya. Kehadiran Martha mampu membius perhatian
semua cowok yang ada di persekutuan pemuda itu, termasuk juga dengan Petrus.
Secara diam-diam, Petrus dan Martha pun mulai menjalin hubungan cinta, tanpa
sepengetahuan Maria. Sepandai-pandainya Petrus menyembunyikan hubungannya dengan
Martha, akhirnya tercium juga oleh Maria. Pertengkaran sengit di antara
mereka berdua pun tak terelakkan lagi. Dan semuanya berakhir dengan putusnya
hubungan Maria dan Petrus.
Sejak perpisahan mereka itulah, baik Maria, Petrus
maupun Martha, mulai undur dari pelayanan. Bahkan Maria juga mulai jarang
datang ke persekutuan dan kebaktian minggu di gereja. Apalagi jika di gereja
Maria melihat Petrus dan Martha datang ke gereja berdua, ia akan segera beringsut
pergi meninggalkan gereja dan berlari pulang.
“Ria…lu kenapa sich? Udah lama banget nggak pernah
nongol lagi di gereja. Kita semua kangen lho dengerin suara merdu lu itu.
Habisnya…singer-singer yang sekarang pada fals semua sich. Lagi sibuk apaan
sich lu, sampai-sampai gak sempet lagi ke gereja?” tanya Vanya, sobat kental
Maria di persekutuan, ketika berkunjung ke rumahnya. Maria menghela nafas
panjang. Sulit baginya untuk menjawab
pertanyaan itu secara jujur.
“Ah…nggak ada apa-apa kok, Nya. Gue cuma sibuk belajar
buat nyiapin EBTANAS en UMPTN aja,” jawab Maria.
“Masa cuma gara-gara itu aja, lu jadi jarang ke gereja
lagi? Come on…Ria…Pasti ada
sebab lain. Gue tahu bener siapa elu. Ehm…gue tahu…Ini pasti soal Petrus en
Martha, iya khan?” tebak Vanya.
Maria pun tercekat. Tenggorokannya seolah kering, tak
sanggup mengatakan apa-apa lagi. Tapi memang semua yang diucapkan Vanya itu
benar. Semuanya itu gara-gara Petrus dan Martha. Selama ini semua orang di
gereja, mengenal Petrus dan Maria sebagai pasangan yang serasi. Tiba-tiba
saja mereka harus putus, dan sekarang Petrus dengan Martha. Ini adalah suatu
hal yang memalukan dan menyakitkan bagi Maria. Sejujurnya ia tak pernah bisa
menerima kenyataan ini. Itulah keadaan yang sebenarnya. Semuanya terasa
begitu menyakitkan bagi Maria. Itulah sebabnya ia jarang muncul di gereja
lagi.
“Dengar Ria, lu harus balik lagi ke gereja. Masa cuma
gara-gara Petrus en Martha aja, lu nggak mau lagi ke gereja. Nggak lucu Ria...
lu kayak anak kecil banget deh…” tegur Vanya.
“Kayak anak kecil gimana? Gue nggak mau ke gereja, karena
sakit hati gue belum hilang. Gimana mungkin gue tetep pelayanan di gereja,
sementara gue tetep nyimpen rasa sakit hati sama mereka. Ntar pelayanan gue
jadi rusak gara-gara mereka. Gue nggak mau jadi munafik, Nya!” bantah Maria.
“Nah….justru itu! Lu mesti beresin rasa sakit hati lu
itu. Kalau lu nggak pernah beresin itu, selamanya lu bakal nyimpan dendam en
nggak balik-balik ke gereja lagi.”
Maria terdiam mendengar kalimat terakhir Vanya. Selama
ini memang ia cenderung terus menyimpan
rasa sakit itu tanpa mau membereskannya. Dan sesungguhnya, itulah yang
membuat dirinya menjadi dendam pada Petrus dan Martha. Maria memutuskan untuk
menghentikan pelayanannya dan nggak akan ke gereja lagi, sebelum pasangan
baru itu keluar dan pindah gereja.
“Ria, dengerin gue yach…lu nggak bisa kayak gini terus.
Lu mesti bertobat en minta Tuhan Yesus untuk pulihin hati lu. Kalau nggak, lu
nggak bakalan dapat damai sejahtera Kristus. Sudah gitu, pelayanan lu juga jadi
terhambat. Tahu nggak? Gara-gara lu seperti ini, ada banyak orang yang juga
ikut kehilangan berkat. Mereka-mereka yang biasa denger suara lu ngerasa
terberkati en terlayani, sekarang pada nyariin lu. Tahu gak sich? Tiap
kali lu jadi singer, lu itu udah nyentuh hati orang-orang yang ngedengerin,
hingga mereka jadi bertobat,” nasehat Vanya berapi-api.
“Tapi Nya, hati gue sakit banget. Gue nggak bisa!” bantah
Maria tak terima.
“Ria, lu pasti bisa kalau lu mau en nyerahin semuanya
pada Yesus. Lu percaya khan kalau Yesus sanggup melakukan segala perkara,” ujar
Vanya sambil memeluk Maria yang tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Hari Minggu pagi yang cerah, Maria memutuskan untuk ke
gereja bareng Vanya.
“Nya, kalau ntar ketemu anak-anak en ditanyain mereka,
gue jawab apa?” tanya Maria yang mulai ragu-ragu melangkah.
“Aduh… cuek aja lagi,” sahut Vanya sambil terus
berjalan.
“Tapi Nya… em… kalau... kalau ntar ketemu Petrus ama
Martha gimana? Udah ah… pulang aja yuk...” Vanya geleng-geleng kepala melihat
tingkah Maria.
“Eh Ria… lu gimana sich? Kalau lu kayak gini terus, lu
nggak akan pernah berani menghadapi masalah. Udah lah…ayo masuk…” ujar Vanya
seraya menarik tangan Maria. Mau tak mau ia pun menuruti Vanya.
Saat Maria memasuki gedung gereja, ia disambut dengan
sukacita oleh teman-temannya. Segera saja ia merasakan sukacita dan damai
sejahtera yang luar biasa melingkupi dirinya. Sepanjang kebaktian hari itu,
Maria memperoleh berkat yang luar biasa
“Eh, Ria, ada Petrus en Martha, tuh. Kita kesana yuk,”
ajak Vanya usai kebaktian.
“Ogah…ah. Pulang aja yuk,” tolaknya. Jujur, Maria malas
bertemu Petrus dan Martha.
“Hei, katanya lu udah ngampunin mereka. Kok masih gitu
sih? Ayo dong Ria.”
“Males ah”
“Ria… Ayo!” ujar Vanya sambil menggamit lengan Maria
dan menyeretnya menemui Petrus dan Martha.
“Hallo Petrus… Halo Martha,” sapa Vanya ramah. Sejenak
nampak kegugupan melanda Petrus, Martha juga Maria.
“Eh... em… e… halo juga,” balas Petrus. Martha yang
disampingnya hanya diam saja tanpa bisa menyembunyikan wajahnya yang nampak
khawatir. Vanya yang membaca suasana yang tidak enak itu, mulai menyegarkan
suasana dengan gurauannya. Meski sempat beberapa saat situasi jadi terkesan garing,
tapi itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian, mereka pun sudah bisa
bercanda dengan akrabnya.
“Eh, Ria… e… gue… gue… mau minta maaf…soal...
soal…gue…emmm…e…gue…sama…e…Petrus. Gue nggak bermaksud…e…gue sama sekali nggak
bermaksud nyakitin hati lu. Maafin gue Ria.” tutur Martha setelah sekian lama
mereka ngobrol.
“Udahlah Tha, lu nggak perlu minta maaf. Gue udah
ngelupain semuanya kok. Lagian, mungkin Tuhan memang punya rencana lain, dan
Petrus mungkin juga bukan untuk gue. Yang penting, kalian baik-baik aja, en
kita masih tetep berteman baik,” ucap Maria sambil tersenyum. Lega. Akhirnya
semua bisa diselesaikan dengan baik.
“Nah, coba sejak awal kalian mau saling maafin, khan
enak. Iya khan...” sela Vanya sambil mengedipkan matanya, diiringi senyum
manis Maria, Petrus, dan Martha. (esi)
Komentar
Posting Komentar