“Dasar…laki-laki dimana-mana egois. Maunya menang
sendiri,” sungut Sandra (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga
berusia 50 tahun yang tinggal di sebuah kota di Jawa Timur. Rasanya hampir
sebagian besar isteri-isteri pun mengeluhkan hal yang sama perihal suaminya.
Mulai dari mengurus rumah tangga yang semuanya dilimpahkan kepada isteri tanpa
mau tahu lagi, urusan anak-anak, hingga untuk mengambil keputusan dalam
keluargapun, isteri tak pernah dilibatkan. Pokoknya semua urusan rumah tangga
adalah urusan isteri, sementara urusan mengambil keputusan adalah hak
prerogratif suami yang tak dapat diganggu gugat. Baik isteri dan anak-anak,
sepenuhnya harus tunduk pada sang kepala rumah tangga, meski kadang sang kepala
tersebut tak selamanya benar.
Tak heran kalau kemudian banyak isteri-isteri yang
kesal gara-gara keegoisan sang suami. “Mentang-mentang kepala keluarga yang
menghidupi keluarganya, maunya dimengerti terus tanpa mau mengerti orang lain,”
begitu keluh Margareth, nama samaran, 27 tahun, tentang suaminya. Tak
pelak lagi, rumah tangga perempuan asal Yogyakarta ini seringkali diwarnai
pertengkaran karena hal ini. Dan akibat yang sering terjadi karena timbulnya
masalah keegoisan suami ini adalah pertengkaran yang tak terelakkan. Setiap
hari timbul keributan dalam rumah tangga, hingga tak jarang banyak pula yang
ujung-ujungnya harus diakhiri dengan pisah ranjang sampai ke perceraian.
Suami Tak Menyadari Perannya
Ada banyak rumah tangga-rumah tangga, tak
terkecuali rumah tangga kristen, dimana baik suami dan isteri, masing-masing
tidak memiliki pemahaman yang benar akan peranannya sebagai suami, juga sebagai
isteri. Banyak suami-suami yang merasa bahwa tugasnya sebagai suami hanyalah
menghidupi keluarganya, sementara isteri tugasnya mengurus semua keperluan
rumah tangga, termasuk urusan mendidik anak adalah tanggung jawab isteri. Tak
jarang kita mendengar jika anak mulai bandel, suami sering menyalahkan
isterinya, “Kamu sih…tak becus mendidik anak.” Suami tidak mau tahu urusan
rumah tangga, bahkan juga urusan anak. Pokoknya ia sudah bekerja keras, cari
uang, menghidupi dan mencukupi kebutuhan
keluarga. Sisanya, ia hanya mau tahu pokoknya semuanya beres. Titik. Urusan
lainnya, ia tidak mau tahu, karena semuanya itu adalah tanggung jawab isteri.
Suami menjadi egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak hanya itu saja,
ia pun bertindak semaunya, dan lebih mementingkan dirinya sendiri.
Inilah yang kerap kali membuat para isteri menjadi
jengkel. Kehadiran isteri yang seharusnya menjadi penolong bagi suami, ternyata
pada prakteknya banyak dari isteri-isteri ini yang kemudian bukannya menjadi
penolong, tetapi menjadi pelimpahan tugas. Pembagian tugas antara suami isteri
yang seharusnya hanya untuk memudahkan pekerjaan suami dalam kapasitasnya
sebagai penanggung jawab rumah tangga, ternyata yang terjadi kemudian adalah
pelemparan tanggung jawab. Rumah tangga seakan-akan diserahkan kepada isteri.
Padahal suami lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap rumah tangga.
Isteri pada akhirnya menjadi tidak punya pilihan lagi.
Para suami seharusnya menyadari, bahwa tugasnya
sebagai seorang kepala keluarga bukan hanya pada urusan menghidupi dan
mencukupi kebutuhan keluarga saja, tetapi bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap semua keperluan rumah tangga. Peranan isteri hanyalah sebagai penolong
bagi sang suami. Jika kita memperhatikan Kejadian 2:15-20, disitu jelas sekali
bahwa tugas Adam, sang suami, kepala rumah tangga, bertanggung jawab atas
segala sesuatunya di dalam taman Eden, rumah yang sudah disediakan Allah bagi
Adam dan Hawa (Kejadian 2:15-17). Allah memberikan perintah kepada Adam untuk
bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam rumah tangganya. Hawa disediakan
Allah untuk menjadi penolong bagi Adam (Kejadian 2:18). Inilah point
penting yang harus diingat oleh para suami, setiap kepala keluarga, bahwa tugas
suami adalah bertanggung jawab terhadap seluruh isi rumah tangganya. Tidak
hanya menghidupi dan mencukupi keluarganya, tetapi juga mengatur rumah tangga,
memimpin, mendidik dan membimbing keluarganya untuk hidup di dalam jalan Tuhan
seturut dengan kehendak-Nya.
Ketika Kepala Keluarga Menjadi Diktator
Seringkali pula isteri menjadi sangat jengkel
dengan sang suami, manakala suaminya mulai bertindak seperti seorang diktator.
Semua perkataan suami, semua keinginan suami, harus diikuti dan dituruti oleh
seluruh anggota keluarganya. Baik isteri maupun anak-anak, tidak boleh
membantah apa kata sang kepala keluarga. Segala hal yang menyangkut dengan
keputusan adalah hak penuh sang suami yang tidak dapat dibantah dan diganggu
gugat oleh siapapun. Tak heran kalau kemudian banyak keluarga yang kemudian
menjadi broken home, hanya karena kediktatoran sang ayah.
Tak cuma suami-suami pada umumnya, para suami yang
sudah di dalam Kristus pun seringkali memiliki pemahaman yang salah tentang
makna posisi sebagai kepala rumah tangga. Kadang-kadang karena merasa dirinya
adalah kepala rumah tangga, kita, para suami, lantas menjadi egois dan berbuat
semau kita, menuntut setiap orang dalam rumah tangga kita untuk tunduk dan
mengikuti setiap kata dan keinginan kita, tak perduli itu benar ataupun salah. Dan
kata ‘kepala’ ini, kerap kali kita gunakan untuk menekan orang lain,
orang-orang yang berada di dalam keluarga yang kita pimpin. Menjadi kepala
rumah tangga, bukan berarti kemudian kita bisa seenak perut saja memerintah setiap orang dalam
rumah tangga kita. Menjadi kepala keluarga, bukan berarti pula kita menjadi
seorang diktator, dimana segala apa yang kita inginkan dan kita katakan harus
dipatuhi dan diikuti oleh seisi rumah tangga kita.
Seperti halnya Kristus yang adalah Kepala kita,
demikian pula dengan kita, para suami, kepala keluarga, seharusnya kita
sungguh-sungguh menjalankan fungsi kita sebagai seorang kepala, yakni
memberikan tuntunan kepada seluruh anggota keluarga kita, dan bukan
menetapkan tuntunan. Seorang kepala rumah tangga adalah sumber informasi.
Ia seharusnya memberikan arahan dan memimpin setiap orang di dalam rumah
tangganya, baik itu isteri dan anak-anaknya, untuk berada di jalan Kristus, dan
bukan untuk memimpin mereka untuk masuk dalam kehendak kita sendiri.
Seharusnya, sebagai seorang kepala keluarga, kita
meneladani Kristus yang adalah Kepala kita. Kristus sebagai Kepala, tidak hanya
memberikan tuntunan dan arahan kepada kita untuk hidup seturut dengan kehendak
Allah, tetapi Yesus juga memberikan teladan kepada kita. Demikian pula dengan
kita, para suami kristen. Kitapun seharusnya hidup dengan memberikan teladan
kepada seluruh anggota keluarga kita. Jika kita ingat kembali di Perjanjian
Lama, Yosua, sebagai pemimpin bangsa Israel menggantikan Musa, ia tidak hanya
membimbing dan mengarahkan bangsa Israel (termasuk juga keluarganya sendiri)
untuk tetap berada di jalan Tuhan, tetapi Yosua dan keluarganya memberikan
teladan kepada bangsa Israel dengan senantiasa hidup di dalam jalan Tuhan
(Yosua 24:14-15).
Oleh sebab itu, marilah kita, para suami kristen,
kalau sampai hari ini masih ada di antara kita yang masih suka bersikap egois,
mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri, segeralah bertobat. Ingatlah
apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan, bahwa sebagai suami, kita tidak hanya harus
mengasihi isteri dan seluruh anggota keluarga kita, tetapi juga membimbing,
merawat dan mengarahkan serta memberikan teladan yang benar kepada mereka
(Efesus 5:24-30, sebagaimana yang dikehendaki oleh Kristus untuk kita lakukan. q(th) (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Juni 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar