Jumat, 30 Juni 2006

Duh… Suamiku, Kok, Egois Sekali


“Dasar…laki-laki dimana-mana egois. Maunya menang sendiri,” sungut Sandra (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga berusia 50 tahun yang tinggal di sebuah kota di Jawa Timur. Rasanya hampir sebagian besar isteri-isteri pun mengeluhkan hal yang sama perihal suaminya. Mulai dari mengurus rumah tangga yang semuanya dilimpahkan kepada isteri tanpa mau tahu lagi, urusan anak-anak, hingga untuk mengambil keputusan dalam keluargapun, isteri tak pernah dilibatkan. Pokoknya semua urusan rumah tangga adalah urusan isteri, sementara urusan mengambil keputusan adalah hak prerogratif suami yang tak dapat diganggu gugat. Baik isteri dan anak-anak, sepenuhnya harus tunduk pada sang kepala rumah tangga, meski kadang sang kepala tersebut tak selamanya benar.
Tak heran kalau kemudian banyak isteri-isteri yang kesal gara-gara keegoisan sang suami. “Mentang-mentang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya, maunya dimengerti terus tanpa mau mengerti orang lain,” begitu keluh Margareth, nama samaran, 27 tahun, tentang suaminya. Tak pelak lagi, rumah tangga perempuan asal Yogyakarta ini seringkali diwarnai pertengkaran karena hal ini. Dan akibat yang sering terjadi karena timbulnya masalah keegoisan suami ini adalah pertengkaran yang tak terelakkan. Setiap hari timbul keributan dalam rumah tangga, hingga tak jarang banyak pula yang ujung-ujungnya harus diakhiri dengan pisah ranjang sampai ke perceraian.

Suami Tak Menyadari Perannya

Ada banyak rumah tangga-rumah tangga, tak terkecuali rumah tangga kristen, dimana baik suami dan isteri, masing-masing tidak memiliki pemahaman yang benar akan peranannya sebagai suami, juga sebagai isteri. Banyak suami-suami yang merasa bahwa tugasnya sebagai suami hanyalah menghidupi keluarganya, sementara isteri tugasnya mengurus semua keperluan rumah tangga, termasuk urusan mendidik anak adalah tanggung jawab isteri. Tak jarang kita mendengar jika anak mulai bandel, suami sering menyalahkan isterinya, “Kamu sih…tak becus mendidik anak.” Suami tidak mau tahu urusan rumah tangga, bahkan juga urusan anak. Pokoknya ia sudah bekerja keras, cari uang, menghidupi dan mencukupi  kebutuhan keluarga. Sisanya, ia hanya mau tahu pokoknya semuanya beres. Titik. Urusan lainnya, ia tidak mau tahu, karena semuanya itu adalah tanggung jawab isteri. Suami menjadi egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak hanya itu saja, ia pun bertindak semaunya, dan lebih mementingkan dirinya sendiri.
Inilah yang kerap kali membuat para isteri menjadi jengkel. Kehadiran isteri yang seharusnya menjadi penolong bagi suami, ternyata pada prakteknya banyak dari isteri-isteri ini yang kemudian bukannya menjadi penolong, tetapi menjadi pelimpahan tugas. Pembagian tugas antara suami isteri yang seharusnya hanya untuk memudahkan pekerjaan suami dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab rumah tangga, ternyata yang terjadi kemudian adalah pelemparan tanggung jawab. Rumah tangga seakan-akan diserahkan kepada isteri. Padahal suami lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Isteri pada akhirnya menjadi tidak punya pilihan lagi.
Para suami seharusnya menyadari, bahwa tugasnya sebagai seorang kepala keluarga bukan hanya pada urusan menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga saja, tetapi bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua keperluan rumah tangga. Peranan isteri hanyalah sebagai penolong bagi sang suami. Jika kita memperhatikan Kejadian 2:15-20, disitu jelas sekali bahwa tugas Adam, sang suami, kepala rumah tangga, bertanggung jawab atas segala sesuatunya di dalam taman Eden, rumah yang sudah disediakan Allah bagi Adam dan Hawa (Kejadian 2:15-17). Allah memberikan perintah kepada Adam untuk bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam rumah tangganya. Hawa disediakan Allah untuk menjadi penolong bagi Adam (Kejadian 2:18). Inilah point penting yang harus diingat oleh para suami, setiap kepala keluarga, bahwa tugas suami adalah bertanggung jawab terhadap seluruh isi rumah tangganya. Tidak hanya menghidupi dan mencukupi keluarganya, tetapi juga mengatur rumah tangga, memimpin, mendidik dan membimbing keluarganya untuk hidup di dalam jalan Tuhan seturut dengan kehendak-Nya.

Ketika Kepala Keluarga Menjadi Diktator

Seringkali pula isteri menjadi sangat jengkel dengan sang suami, manakala suaminya mulai bertindak seperti seorang diktator. Semua perkataan suami, semua keinginan suami, harus diikuti dan dituruti oleh seluruh anggota keluarganya. Baik isteri maupun anak-anak, tidak boleh membantah apa kata sang kepala keluarga. Segala hal yang menyangkut dengan keputusan adalah hak penuh sang suami yang tidak dapat dibantah dan diganggu gugat oleh siapapun. Tak heran kalau kemudian banyak keluarga yang kemudian menjadi broken home, hanya karena kediktatoran sang  ayah.
Tak cuma suami-suami pada umumnya, para suami yang sudah di dalam Kristus pun seringkali memiliki pemahaman yang salah tentang makna posisi sebagai kepala rumah tangga. Kadang-kadang karena merasa dirinya adalah kepala rumah tangga, kita, para suami, lantas menjadi egois dan berbuat semau kita, menuntut setiap orang dalam rumah tangga kita untuk tunduk dan mengikuti setiap kata dan keinginan kita, tak perduli itu benar ataupun salah. Dan kata ‘kepala’ ini, kerap kali kita gunakan untuk menekan orang lain, orang-orang yang berada di dalam keluarga yang kita pimpin. Menjadi kepala rumah tangga, bukan berarti kemudian kita bisa seenak  perut saja memerintah setiap orang dalam rumah tangga kita. Menjadi kepala keluarga, bukan berarti pula kita menjadi seorang diktator, dimana segala apa yang kita inginkan dan kita katakan harus dipatuhi dan diikuti oleh seisi rumah tangga kita.
Seperti halnya Kristus yang adalah Kepala kita, demikian pula dengan kita, para suami, kepala keluarga, seharusnya kita sungguh-sungguh menjalankan fungsi kita sebagai seorang kepala, yakni memberikan tuntunan kepada seluruh anggota keluarga kita, dan bukan menetapkan tuntunan. Seorang kepala rumah tangga adalah sumber informasi. Ia seharusnya memberikan arahan dan memimpin setiap orang di dalam rumah tangganya, baik itu isteri dan anak-anaknya, untuk berada di jalan Kristus, dan bukan untuk memimpin mereka untuk masuk dalam kehendak kita sendiri.
Seharusnya, sebagai seorang kepala keluarga, kita meneladani Kristus yang adalah Kepala kita. Kristus sebagai Kepala, tidak hanya memberikan tuntunan dan arahan kepada kita untuk hidup seturut dengan kehendak Allah, tetapi Yesus juga memberikan teladan kepada kita. Demikian pula dengan kita, para suami kristen. Kitapun seharusnya hidup dengan memberikan teladan kepada seluruh anggota keluarga kita. Jika kita ingat kembali di Perjanjian Lama, Yosua, sebagai pemimpin bangsa Israel menggantikan Musa, ia tidak hanya membimbing dan mengarahkan bangsa Israel (termasuk juga keluarganya sendiri) untuk tetap berada di jalan Tuhan, tetapi Yosua dan keluarganya memberikan teladan kepada bangsa Israel dengan senantiasa hidup di dalam jalan Tuhan (Yosua 24:14-15).
Oleh sebab itu, marilah kita, para suami kristen, kalau sampai hari ini masih ada di antara kita yang masih suka bersikap egois, mau menang sendiri dan mementingkan diri sendiri, segeralah bertobat. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan, bahwa sebagai suami, kita tidak hanya harus mengasihi isteri dan seluruh anggota keluarga kita, tetapi juga membimbing, merawat dan mengarahkan serta memberikan teladan yang benar kepada mereka (Efesus 5:24-30, sebagaimana yang dikehendaki oleh Kristus untuk kita lakukan. q(th)     (telah diterbitkan di Majalah & Renungan Harian Imamat Rajani, Edisi Juni 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar