“Aduh…
coba kalau aku nggak gendut, pendek, hitam legam, dan penuh penuh jerawat… si Tedy yang ganteng itu pasti
sudah naksir aku,” keluh Santi pada dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali
dalam sehari ia mengeluhkan kondisi fisiknya yang menurutnya ‘unpretty’,
ketimbang mensyukuri betapa brilian otaknya yang sanggup membawanya menjadi
bintang pelajar selama dua tahun berturut-turut.
Nggak seperti yang terlihat
Sobat muda, nggak
sedikit di
antara kita yang bersikap sama seperti Santi. Nggak puas dengan
bentuk badan, mulai deh diet mati-matian sampai kurang gizi. Nggak puas sama
bentuk wajah mulai mempermaknya di sana sini. Syukur-syukur dikaruniai
kekayaan, bukannya dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat, malahan dipakai
untuk operasi plastik. Kalau nggak punya duit, ya terpaksa mulai pakai make up
tebal di sana-sini.
Padahal kalau
dipikir-pikir, di dalam diri kita sendiri masih banyak potensi diri yang
seharusnya bisa kita kembangkan dan patut untuk lebih kita perhatikan, daripada
memusingkan persoalan penampilan fisik yang mungkin saja lebih banyak ‘menipu’.
Jutaan orang di luar sana
bahkan hanya menampilkan wajah-wajah yang terlihat ganteng, cantik dan menawan,
tetapi sesungguhnya semuanya itu hanya palsu belaka. Banyak orang yang
penampilan luarnya begitu cantik dan sempurna, ternyata hatinya penuh dengan
keculasan dan kecurangan.
Bahkan nggak jarang
sampai ada yang rela menukar Tuhan dengan kuasa gelap, hanya demi untuk
mempertahankan kesempurnaan fisik. Pasang susuk, mantera, dan lain sebagainya,
supaya orang lain yang melihatnya akan tertarik dengan kecantikan atau
ketampanannya. Padahal, dibalik semuanya itu, mereka hanyalah orang yang
biasa-biasa saja.
Everyone so unique
Suatu hari di sebuah ruang
gereja, seorang gadis menangis tersedu-sedu di pangkuan ibu gembala-nya.
“Mengapa Tuhan begitu tidak adil? Mengapa aku dilahirkan bertubuh gendut,
pendek, hitam legam, penuh jerawat? Mengapa aku tidak dilahirkan seperti Irma
yang tinggi dan langsing, atau seperti Susan yang cantik dan berkulit putih?
Mengapa tidak ada seorang cowok pun yang mau mendekatiku? Mengapa?” Sang ibu
gembala membiarkan gadis itu melampiaskan seluruh tangisnya. Setelah ia mulai
tenang, ibu gembala itu pun membawanya ke belakang gereja.
“Perkenalkan. Ini Amanda. Dia puteri ibu satu-satunya. Yang itu suaminya,
Max. Mereka baru saja menikah. Mereka baru datang dari pelayanan pekabaran
Injil di Afrika,” cerita ibu gembala seraya memperkenalkan puteri dan
menantunya pada gadis itu. Lamat-lamat gadis itu memperhatikan Amanda. Amanda
bukanlah perempuan yang terlahir sempurna. Ia menderita kebutaan sejak lahir.
Saat berusia tujuh tahun ia menjadi
korban tabrak lari yang membuat kedua kakinya harus diamputasi. Menjelang
remaja, tiba-tiba saja Amanda terserang penyakit tulang yang membuat tulang
punggungnya bengkok. Namun jelas terlihat di mata gadis itu, Amanda bukanlah sosok yang rendah diri. Ia selalu
tersenyum dan tak pernah menyesali kondisi fisik yang dimilikinya. Dari
wajahnya memancarkan kecantikan hati tiada tara. Tak heran jika Max yang yang
secara fisik sempurna dan terhitung tampan, begitu mencintai, mengagumi, dan
menghargai isterinya. Gadis itu pun menjadi malu hati. Kini dia mengerti dan
sadar, betapa selama ini dirinya tak pernah mensyukuri kesempurnaan fisik yang
dimilikinya.
Guys, Allah menciptakan kita sedemikian uniknya. So, that’s why kita tuh
beda satu sama lain. Meskipun mungkin kondisi fisik kita nggak sebaik or
sesempurna orang lain, semuanya itu mustinya nggak jadi alasan buat kita jadi
minder, karena kita sangat berharga di mata Allah (Yesaya 43:4). Sebaliknya,
kita kudu mengucap syukur atas apa yang Tuhan beri (1 Tesalonika 5:18).
Maybe kita nggak punya fisik oke, but kita
punya inner beauty yang top banget or punya kelebihan lain yang
bisa dibanggakan. Mungkin kita memang
nggak dikaruniai wajah yang rupawan, tapi kita punya otak yang cemerlang, jago
di bidang seni, punya hati yang lemah lembut dan suka menolong orang lain. So, jangan lagi ngerasa minder
hanya karena ngerasa nggak cakep, tapi ingatlah segala kebaikan dan kemurahan
Allah di dalam hidup kita, dan itulah yang seharusnya kita syukuri.q (ika) (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Agustus 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar