“Dit... ayo, dong, ikutan persekutuan pemuda... Dari pada dugem nggak jelas
melulu begitu...” ajak Deva suatu saat, entah untuk ke berapa kalinya. Adit
cuma tersenyum seraya menjawab, “Ntar, deh... kapan-kapan aja, ya, Dev... Kalau
gue udah bosen dugem...” Ajakan untuk aktif di gereja tak sekali dua kali
menghampiri Adit. Namun berkali-kali pula ia menampiknya. Sampai suatu saat
Adit mendadak tewas dalam sebuah kecelakaan mobil sepulang dugem. Hilang sudah
kesempatan Adit untuk melayani Tuhan, selagi ia diberi kesempatan untuk hidup.
Sobat muda, sadar ataupun tidak, kita juga seringkali bersikap seperti
Adit. Kalau mau dihitung-hitung, mungkin sudah berkali-kali pula kita menolak
panggilan Allah dalam hidup kita untuk melayani Dia. Seribu satu alasan
langsung dipasang begitu ajakan itu muncul. Sibuk kuliah atau sekolah, sibuk
les, sibuk belajar, banyak kegiatan ekskul, capek, dan lain-lain. Jangankan
untuk aktif di gereja dengan ikut persekutuan. Untuk kebaktian minggu saja
kadangkala kita pun lebih banyak malasnya, dan lebih memilih untuk menikmati
liburan di hari minggu ketimbang meluangkan waktu untuk beribadah pada Tuhan.
It’s all because of our egoism
Kenapa, sih, menjawab panggilan Allah, kok, begitu penting buat kita?
Bukankah kita ini masih muda? Jadi untuk apa kita memikirkan hal-hal yang
rohani itu dari sekarang? Suatu saat nanti, kan, masih ada waktu untuk semuanya
itu, kalau kita sudah ada waktu. Begitu sering kita mengungkapkan alasan-alasan
semacam ini. Bahkan hanya untuk meluangkan waktu sekali atau dua kali seminggu,
barang satu sampai dua jam, kita pun enggan meluangkannya. Padahal Allah sudah
memberikan waktu 24 jam sehari, setiap harinya, seluruhnya untuk kita.
Ya, keegoisan itulah yang seringkali membuat kita menutup diri akan
panggilan Allah dalam hidup kita. Kalau direnungkan, kita lebih sering mau
menangnya sendiri. Menuntut Allah untuk memenuhi segala keinginan kita, namun
ketika Ia meminta hanya sedikit dari waktu kita, kita pun enggan untuk
memberikannya. Inilah egoisnya kita. Ketika kita mulai bersikap egois dan
mementingkan diri sendiri, disinilah kekacauan itu dimulai (Yakobus 3:16). Kita
mulai menghalalkan segala cara agar kepentingan diri kita dapat tercapai.
Semakin lama kita menumpuk berbagai macam kekacauan itu, semakin lama pula kita
akan terus terperangkap dalam lingkaran setan yang tak tahu akan berakhir di
mana, dan makin terjerumus dalam dosa yang kian menyesatkan.
Learning to answer His call
Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Samuel. Di saat lingkungan di
sekelilingnya justru memberikan teladan yang buruk, Samuel yang masih belia justru
mampu meresponi panggilan Allah dalam hidupnya (1 Samuel 3:1-10). Kalau saja ia
mau, bisa saja Samuel menghabiskan masa remajanya dengan bersenang-senang
sebagaimana dilakukan oleh remaja lain seusianya. Tetapi tidak dengan Samuel.
Ia mau mendengarkan panggilan Allah. Hasilnya? Tak salah lagi ia menjadi salah
satu nabi besar pada jamannya.
Demikian juga halnya dengan Timotius. Ia sadar benar bahwa sebagai anak
muda ada cukup banyak tantangan yang harus dihadapinya. Namun karena Timotius
sadar akan panggilan Allah, ia tidak mau terjebak dan mengikuti arus dunia
sekelilingnya. Timotius lebih memilih untuk meresponi dengan benar panggilan
Allah yang sudah dinyatakan dalam kehidupannya (2 Timotius 1:4-14).
Sebab itu sobat muda, belajar dari Samuel dan
Timotius ini, selagi kita masih muda dan punya kesempatan yang luas, ayo kita
belajar untuk meresponi panggilan Allah dalam hidup kita. Mungkin dari hal-hal
yang kecil dulu, dengan meluangkan sebagian waktu kita untuk Tuhan. Nah, dari
hal-hal yang kecil inilah kita akan terus belajar dan mengenal Allah lebih
dalam lagi, sehingga kita tahu apa yang sudah Allah rencanakan dalam hidup
kita. Dari sini pula kita juga belajar untuk tunduk dan taat akan kehendak
Allah akan hidup kita, agar hidup kita pun senantiasa berkenan di hadapan
Tuhan.(Telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar