Sudah hampir seminggu Nia dan Verra
bertengkar dan nggak saling bertegur sapa. Padahal biasanya dua sahabat ini
selalu lengket. Kemana-mana selalu berdua. Tapi tidak seminggu ini. Keduanya
seperti musuh bebuyutan yang siap saling terkam. Hanya gara-gara hasutan Sonia,
teman sekelas mereka yang memang nggak pernah suka dengan persahabatan Nia dan
Verra, akhirnya mereka pun bermusuhan. Sebenarnya Nia dan Verra sadar kalau
perseteruan di antara mereka seharusnya tidak perlu terjadi. Namun gara-gara
merasa gengsi, nggak ada yang mau saling mengalah untuk menegur dan meminta
maaf terlebih dahulu, akhirnya pertengkaran itu terus berlanjut.
Sobat muda, terkadang hanya karena masalah gengsi, kita jadi menggagalkan
niat untuk berbaikan dengan orang lain yang sedang bermusuhan dengan kita.
Hanya karena gengsi, seseorang juga rela menukar apa saja. Yang penting gengsi
kita nggak jatuh di mata orang lain. But…
haruskah demi gengsi kita rela mengorbankan apa saja?
Gara-gara takut
Berawal
karena takut dianggap remeh, takut diketawain, takut kalah bersaing, takut
kehilangan muka, dan lain sebagainya, akhirnya membuat kita jadi merasa gengsi.
Yup! Gengsi untuk minta maaf duluan, gengsi untuk beli handphone yang murah,
gengsi kalau cuma naik angkot, dan gengsi-gengsi-gengsi lainnya yang terus kita
pertahankan. Padahal kalau dipikir-pikir, apalah arti semuanya itu?
Gengsi
muncul karena kita sendiri yang menciptakannya. Kita ingin terlihat ‘lebih’
dibandingkan orang lain. Lebih kaya, lebih baik, lebih keren, lebih pintar,
lebih benar, lebih suci, dan lebih-lebih lainnya. Padahal dibalik segala
kelebihan yang berusaha selalu kita tonjolkan itu, terkadang sebenarnya
semuanya itu hanyalah sebuah topeng belaka untuk menutupi kekurangan ataupun
kesalahan yang kita miliki. Kita merasa malu kalau ternyata kita salah. Kita
merasa malu kalau ternyata kita miskin dan bodoh. Kita berusaha terlihat ‘wah’
di depan semua orang, tapi kenyataannya tak seindah yang terlihat.
Nggak perlu gengsi
Masih
ingat dengan orang-orang Farisi? Bagaimana mereka seringkali dengan sengaja
terlihat rajin bersembahyang supaya mereka kelihatan saleh di depan semua orang
(Matius 23:1-8). Bagaimana mereka seringkali merasa dirinya lebih benar
dibandingkan dengan perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yohanes 8:1-10).
Nah, kalau sudah demikian, apa bedanya kita dengan orang-orang Farisi?
Gengsi
memang seringkali membuat kita lupa bahwa di mata Allah, semua manusia itu
sama. Allah tidak pernah membeda-bedakan manusia satu dengan yang lainnya. Gengsi akan terus ada
selama kita tidak menyadari bahwa Allah menciptakan kita semua itu sepadan. Tidak ada yang lebih timggi ataupun yang lebih rendah.
selama kita tidak menyadari bahwa Allah menciptakan kita semua itu sepadan. Tidak ada yang lebih timggi ataupun yang lebih rendah.
So, nggak ada alasan buat kita
untuk merasa gengsi melakukan hal yang baik, sekalipun mungkin ada banyak orang
ataupun teman-teman kita yang mungkin akan menertawakannya. Kalaupun kita terlibat perselisihan, nggak usah gengsi untuk
minta maaf lebih dahulu, sekalipun mungkin bukan kita yang salah. Nggak perlu
pula merasa gengsi apalagi sampai merasa
malu menggunakan barang-barang yang nggak mewah. Yang penting sepanjang yang
kita pergunakan itu usefull, ngapain
juga harus gengsi-gengsian dengan menggunakan yang mahal?
Mulai
sekarang, belajar untuk menjadi diri sendiri. Nikmati apa yang kita punyai, dan
bukan menikmati apa yang nggak kita punya. Bersyukur untuk segala sesuatu yang
kita miliki. Dengan demikian, kita dapat memahami kalau gengsi itu sama sekali
nggak penting, selagi kita bisa mensyukuri segala pemberian Tuhan kepada kita
dan mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.q(ika) (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar