Alkisah di sebuah kerajaan katak, diadakan perlombaan
lompat katak ke puncak gunung. Seluruh peserta lompat katak telah berkumpul di
garis start. Suara riuh rendah teriakan terdengar dari katak-katak
yang menjadi penonton menyemangati para pelompat. Namun kata-kata yang paling
santer terdengar justru sangat mengagetkan. ”Katak seperti kita ini, mana bisa
melompat sampai ke puncak gunung? Manusia saja harus bersusah payah untuk
sampai ke puncak gunung itu, apalagi kita.” Begitulah teriakan sinis oleh para
penonton, hingga akhirnya teriakan yang menyemangati pun tertutupi oleh suara-suara
pesimis para katak.
“Satu... dua... tiga...”, pekik sang juri di garis start
yang menandakan semua peserta harus mulai melompat. Ada yang melompat sangat tinggi, ada juga
yang melompat sangat jauh. Seekor katak yang masih memiliki rasa optimis tinggi
berbisik kepada temannya, “Katak-katak pelompat ini kuat banget. Masa, sih, nggak
ada yang bisa sampai puncak?” Balas temannya “Nggak mungkin bisa, lah... Lihat,
tuh, puncaknya jauh banget dari sini. Dari pertama kali lomba ini diadakan
sampai sekarang, belum pernah ada, tuh, satu katak pun yang bisa sampai ke
puncak.”
Barisan penonton terlihat berjajar di sepanjang
lintasan lompat dari garis start hingga finish. Sayangnya, semua penonton meneriakkan pesimisne mereka.
“Udah, deh. Kalian semua pasti nggak ada yang bisa sampai puncak. Sebelum lomba
mulai juga sudah ketahuan. Pasti nggak bakalan ada yang bisa sampai finish.”
Suara penonton lainnya pun menimpali, “Iya, daripada kalian semua cedera dan
kenapa-kenapa gara-gara terlalu maksain lompat terus.”
Baru seperempat lintasan, sudah lebih dari setengah
peserta pelompat yang menyerah dan kehabisan tenaga. Ada yang kakinya kram, ada juga yang
kehabisan napas. Para penonton pun mulai
merasa prediksi mereka menjadi kenyataan. Ketika sudah sampai setengah lintasan,
akhirnya hanya tersisa tujuh peserta. Satu persatu katak pelompat berjatuhan hingga
akhirnya tersisa satu katak yang masih terus melompat. Lompat... lompat… dan
terus melompat. Katak itu terus fokus menuju garis finish. Para penonton pun mulai berdecak kagum. “Hebat
banget katak satu ini. Apa rahasianya, yah, dia bisa sampai sejauh ini?”
Hingga akhirnya satu-satunya
katak yang masih melompat itu pun menggapai dan memutuskan tali garis finish yang berada di puncak
gunung. Semua katak yang ada di sekitar garis finish semakin kagum. Katak-katak wartawan pun segera
mengerumuni katak pelompat yang merupakan pemenang satu-satunya itu. “Apa
rahasia anda hingga sampai ke garis finish?
Padahal
selama ini belum pernah ada seekor katak pun yang bisa menyelesaikan perlombaan
ini.” Sang katak pemenang hanya diam saja sambil terus menikmati kemenangan dan
kelelahannya. Para wartawan pun mengulangi pertanyaan yang sama ke pemenang untuk yang
kedua kalinya. Katak pemenang tersebut kelihatan kebingungan dan tidak mengerti
dengan apa yang diucapkan wartawan. Akhirnya diketahui bahwa katak pelompat
yang menjadi pemenang tersebut ternyata adalah seekor katak yang tuli.
Keesokan harinya, headline
sebuah berita harian lokal kerajaan katak memua tsebuah tulisan. “Dalam kebisuan, sang katak
menulis di atas kertas. Sebuah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan
wartawan kemarin. Saya tidak memiliki trik atau rahasia apapun. Saya hanyalah
katak biasa dengan porsi latihan sama seperti katak pelompat lainnya. Di sepanjang
pertandingan, saya hanya melompat dan melompat terus dengan tetap fokus, sambil
berkata dalam hati berulang-ulang, saya pasti bisa, saya harus bisa.”
Poison Words
Sobat muda, sering kali dalam
kehidupan ini, kita terlalu disibukkan dengan berbagai ketakutan dan kekuatiran
akan banyak hal, padahal belum tentu apa yang ditakutkan itu terjadi. Karena
ketakutan dan kekuatiran inilah yang akhirnya membuat kita mengucapkan kalimat,
”Wah, ini pasti gagal. Pasti tidak berhasil. Semuanya tidak benar. Ini pasti
salah.” Yang lebih fatal lagi adalah, ketika kalimat-kalimat negatif yang
terlontar itu akhirnya menjadi sebuah keyakinan, dan kemudian benar-benar
menjadikannya sebagai sebuah kenyataan. Contohnya, nih, kita merasa sudah
belajar tekun menghadapi ulangan umum. Tapi gara-gara kita takut dapat nilai
jelek, yang tergambar di benak kita adalah kita nggak bakalan bisa dapetin
nilai bagus. Terus terngiang-ngiang seperti itu, akhirnya bikin buyar
konsentrasi, kita nggak fokus sama apa yang sudah dipelajari, dan hasilnya
nilai kita pun beneran jelek.
Lihatlah, bagaimana
kalimat-kalimat negatif yang terlontar sungguh-sungguh menjadi racun bagi kita
sendiri. Nggak salah kalau Amsal 21:23 mengingatkan kita, ”Siapa memelihara
mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.” Raja Salomo rupanya
sangat menyadari betapa kata-kata yang keluar dari mulut kita ini sangat
berkuasa. Jika kalimat-kalimat buruk yang keluar dari mulut kita, sudah pasti
kesukaranlah yang bakal kita tempuh. Sebaliknya jika kata-kata yang baik,
positif, bijaksana, dan membangun serta memotivasi, tentunya akan mendatangkan
kebaikan dalam kehidupan kita.
Keep on
your focus
Guys, belajar dari si katak pelompat yang tuli di atas,
terkadang kita perlu sedikit cuek dan ‘menulikan’ diri dari kalimat-kalimat
yang melemahkan dan bikin kita jadi down.
Demi mencapai tujuan yang kita harapkan, tentu saja kita harus bisa memfokuskan
diri untuk meraih apa yang menjadi tujuan kita.
Kalau kita mendengarkan omongan orang yang
cenderung melemahkan, mau nggak mau kita pun pasti akan terpengaruh dan jadi
nggak fokus lagi pada tujuan kita. Kita bisa jadi pesimis, semangat pun
melemah, dan pada akhirnya sulit bagi kita untuk berhasil meraih tujuan.
So, kalau kita mau sukses mencapai apa yang menjadi tujuan
dan harapan kita, mulai sekarang belajar untuk senantiasa mendengarkan dan
mengucapkan kata-kata yang positif. Setiap perkataan positif, hasilnya juga
positif buat diri kita. Sebaliknya, kalimat-kalimat negatif justru membuat kita
patah semangat dan hasilnya pun tidak baik untuk kita.
That’s why guys, seperti yang diungkapkan dalam lagu sekolah
minggu, “Hati-hati gunakan mulutmu!” Kalau kita nggak jaga mulut, dan
membiarkannya senantiasa mengucapkan kata-kata yang negatif dan nggak
membangun, jangan menyalahkan orang lain kalau kemudian merasa hidup kita ini
selalu nggak beruntung. Itu karena kita senantiasa memelihara
perkataan-perkataan yang negatif. Padahal sebenarnya ada banyak hal baik yang
terjadi dalam hidup kita. Sebab itu, mulai sekarang ayo belajar untuk
senantiasa positive thingking dan
tidak lagi mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Sebab Allah juga mau hidup kita
menjadi baik, jika kita juga mau membangun diri kita lebih baik lagi.(ika)
(Telah dimuat di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta Selatan, Edisi Februari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar