By. Greesika Y. Th
Jatuh cinta, memang berjuta rasanya. Kalau sudah
ketiban cinta, rasa hati untuk memiliki orang yang ditibanin cinta buat
dijadiin pacar, tentunya sangat besar. Segala hal yang indah-indah pastinya
sudah terbayang di depan mata. Menghabiskan waktu berdua dengan sang pacar
tercinta, melakukan segala sesuatu berdua, de el el. Pokoknya dunia serasa
milik berdua, deh, yang lainnya… mohon maaf terpaksa ngontrak, ya….
But actually,
ketika sudah punya pacar, seringkali kenyataan yang dihadapi suka jauh banget
dari apa yang kita harapkan. Nggak heran kalau lantas kejadian selanjutnya
adalah cerita putus cinta. Yap, the realnya memang yang namanya pacaran
itu nggak gampang juga. Dibutuhkan kesiapan dari diri kita sendiri buat membina
suatu hubungan supaya nggak terjebak sama yang namanya gonta ganti pacar. Nggak
mau, dong, ntar-ntarannya dibilang playboy or playgirl?
Nah, kalau sudah begitu, apa saja, sih, indikatornya
buat nentuin siap enggaknya kita untuk membangun hubungan cinta alias pacaran?
- Siap berbagi
Begitu pacaran, kita kudu merelakan waktu kita buat si
dia. Nemenin dia ke mal or pesta ultah sohibnya, nganterin les, etc.
Nggak cuman membagi waktu, tenaga, pikiran dan uang pun juga kudu rela dibagi. Misalnya
kalau doski butuh bantuan buat ngangkutin barang-barangnya buat pindahan kos,
mau nggak mau kita juga kudu musti bantuin. Atau kalau doski lagi ada masalah,
kita juga kudu rela buat ikutan mikirin solusi penyelesaian masalahnya. T’rus
kita juga musti menyisihkan sebagian doku kita buat bisa ngajakin si dia ngedate,
nonton en nraktir makan tiap malam minggu. Biasanya kalau masih hal-hal
yang sepele, apalagi masih dalam kondisi lagi ‘cinta-cintanya’, nih, biar
disuruh jungkir balik sampai ke ujung dunia pun pasti bakal dilakuin. Tapi,
gimana ceritanya kalau masalah besar sudah mulai menghadang? Hmm… kadang-kadang
hal inilah yang membuat kita akhirnya jadi nyerah en memutuskan untuk
mengakhiri hubungan.
- Mau menerima apa
adanya
Doski hobi banget sepakbola, tapi sobat muda nggak. Tentunya
kita nggak bisa memaksa doski buat ninggalin sepakbola kesayangannya, hanya
karena kita nggak suka. Nah, disinilah kemauan kita untuk bertenggang rasa
diperlukan. Kita musti bisa terima kalo doski cinta mati sama bola, atau si dia
punya penyakit pelupa yang parah banget. Atau misalnya si dia bukan anak yang
berprestasi or berasal dari keluarga berada. Bayangin aja kalau kita
nggak bisa terima semuanya itu. Gampang ditebak, hubungan kita juga nggak
bakalan bertahan lama.
- Nggak egois
Selama masih suka mempertahankan ego kita, sulit buat
kita untuk bisa mempertahankan sebuah hubungan. Ketika sobat muda mengaku siap
untuk berbagi, it means kita juga ready buat nggak mementingkan
diri sendiri. Kalau kita terus bertahan dengan egoisme, pasti yang ada hanyalah
banyaknya tekanan dan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi. Kalau sudah
begini, kata putus rasanya jadi lebih gampang terucap.
- Nggak cemburuan
Kalau ada orang bilang
cemburu itu tanda cinta, hmm… this statement is absolutely not right.
Firtu bilang, “Kasih itu … tidak cemburu…” (1 Korintus 13:4). Kalau kita
sungguh-sungguh mengasihi si dia, nggak ada kamus cemburu di dalamnya. Justru
kecemburuan itu menunjukkan bahwa kita nggak mempercayai si dia. Padahal salah
satu dasarnya cinta adalah adanya kepercayaan.
- Harus mau saling
mengampuni
Kalau salah satu pihak ada yang bikin kesalahan, harus
bikin pemberesan dan mau saling mengampuni (II Korintus 2:10). Kalau pemberesan
nggak dilakukan, rasa gondok dan dendam pasti bakalan menghantui. Bukan nggak
mungkin kalau ada yang bikin salah lagi, kesalahan yang lalu jadi
diungkit-ungkit.
- Harus bertanggung
jawab
Biarpun sudah punya pacar, bukan berarti kita bisa ngeles
dari tanggungjawab utama kita. Di rumah kita juga kudu tetap melakukan
tugas-tugas yang sudah menjadi tanggungjawab kita. Begitu juga untuk urusan
sekolah. Punya pacar nggak jadi alasan untuk bikin belajarmu en prestasimu jadi
kendor. Sebaliknya, justru kudu dijadiin pemacu semangat untuk belajar lebih
giat en berprestasi lagi. Di samping itu, tugas-tugas di rumah, di sekolah, di
kegiatan-kegiatan ekskul yang kita ikutin juga nggak boleh dilalaikan just
because kita punya pacar. Nggak cuman itu, bertanggung jawab atas hubungan
cinta yang tengah dirajut, itu juga hukumnya wajib. Gimana kita saling menjaga
satu dengan yang lain biar nggak terjebak sama yang namanya seks bebas, itu
adalah salah satunya. Selain itu, menjaga untuk tetap setia dengan si dia en
nggak berselingkuh ria merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kita terhadap
hubungan yang sudah terjalin.
Well guys,
di luar semuanya itu, satu hal yang harus wajib diingat. Sebelum sobat muda
memutuskan untuk pacaran, doain dulu. Pastikan bahwa si dia yang tercinta itu
adalah sungguh-sungguh dari Tuhan. Meski kita jatuh cinta padanya but Tuhan
say no, jangan nekad untuk melanjutkannya! ‘Coz kalau nanti nekad
jalan terus dan akhirnya kita menderita karenanya, jangan nyalahin Tuhan, ya.
Setelah itu, pastikan pada diri sendiri bahwa kita
memang sudah ready buat pacaran. Periksa diri baik-baik apakah kita
memang sudah siap atau belum. Kalau memang belum siap, nggak usah maksain diri
untuk pacaran. Kadang-kadang kita suka memaksakan diri buat pacaran, sementara
kita sendiri belum siap untuk itu, cuma gara-gara iri ngelihat teman-teman yang
lain sudah pada punya pacar. It’s totally wrong! Daripada nantinya harus
terluka karena nekad ‘maksa’ pacaran, mendingan jomblo sambil mempersiapkan
diri menanti waktu yang tepat dan orang yang tepat serta yang terbaik dariNya, then
berakhir happy end. Setuju?q (telah diterbitkan di Majalah KASUT GKI Pondok Indah Jakarta, Edisi Februari 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar