Senin, 31 Desember 2001

Dikancani Asuku



Buang, asuku paling setia di dunia.
Biar dia makhluk buangan
(karena tubuhnya yang bopeng-bopeng, berkudis, membuatnya ditendang dan dibuang),
tapi dia makhluk paling setia.
Di antara segara donya yang kini tak kenal lagi apa arti setia,
asuku tetaplah setia padaku.
Bahkan dibanding Srinthil,
lonthe ayu bekas istriku yang minta cerai gara-gara ndak kuat hidup kere,
Buang jauh lebih setia.
Asuku sangat sayang padaku,
seperti halnya aku sayang dia.
Kami, dua makhluk terbuang yang tak terpisahkan.
Kemanapun aku melangkah, mengais rejeki di antara pegunungan benda-benda buangan,
asuku tak pernah beranjak sedikitpun dari sisiku.
Ia selalu setia mendampingiku, memagut rejeki dikeliling wewangian sengak.
Hari ini hari terakhir kami mendiami segara mambu ini.
Kata teman-teman, mulai besok tempat kami menjumput rejeki ini akan ditamatkan riwayatnya.
“Pemda sudah ndak mau lagi kotanya dinodai limbah orang-orang Jakarta,” begitu kata Panjul,
salah satu rekan mulungku, mengulang pengumuman petugas Kamtib.
Semua pemulung mbambung di tempat ini resah, gelisah, gundah, gulana.
Pun denganku.
Semalam-malaman tak kupicingkan mataku, demi memacu otak,
kemana lagi kami harus memburu rejeki.
Pagi itu aku dibangunkan suara gemuruh.
Milyaran air mata tumpah ruah, caci maki, sumpah serapah dan lontaran teriakan,
bergaung di seluruh kupingku.
Aku beranjak bangun dari gubuk kardus.
Ku lihat asuku masih angler, tak jauh dari tilamku.
Ku lihat teman-temanku sibuk bersitegang dengan para petugas agar mereka tak diusir.
Ku saksikan Menul, istri Panjul yang hamil tua, di dorong-dorong  petugas,
sementara Panjul diseret petugas lainnya entah kemana.
Segera ku hampiri Menul, membawanya ke tempat aman,
meski ia meronta mencari belahan jiwanya.
Dan berbareng itu, raksasa-raksasa penggilas itu mulai merayapi gubuk kardusku.
“Buang … bangun Buang … cepat lari …” teriakku memanggil asuku.
Sia-sia …
Tak ku dengar gonggongannya.
Aku berlari, hampiri gubuk kardusku.
Terlambat …
Gubuk kardusku sudah rata dengan tanah,
bersimbah darah.
Buang sudah ke alam baka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar