PRAKTEK MONEY POLITICS DALAM GEREJA
Dalam bayangan Tasha, yang namanya “pelayanan” itu di mana-mana sama
saja. Semasa ia masih kuliah di Kota Gudeg dan aktif melayani di sebuah gereja,
boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam pelayanan, melayani dengan
sepenuh hati untuk Tuhan, dan tak pernah berpikir bahwa pelayanan yang mereka lakukan
tersebut akan mendapat imbalan, apalagi dalam bentuk uang. Bagi Tasha, itulah
pelayanan yang sesungguhnya.
Akan tetapi semuanya itu musnah, ketika
Tasha menginjakkan kakinya di kota metropolitan untuk memulai dunia kerja.
Maksud hati ingin tetap terus melayani, menyebabkan Tasha mulai mencari tempat
ibadah yang tetap, supaya ia juga dapat melayani di sana. Namun betapa
terkejutnya Tasha, ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di sebuah
gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu sebagai
majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara pun,
setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak terlintas sedikit
pun dalam benaknya bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan
untuk ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai
‘budget’ khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut
aktif dalam pelayanan di gerejanya sendiri.
Gereja
‘Swalayan’
Kekagetan Tasha, bisa kita maklumi.
Kehidupan bergereja di daerah, dengan kehidupan bergereja di kota-kota besar,
terlebih di kota metropolitan, memang sangat jauh berbeda. Situasi daerah
dimana karakter jemaatnya yang cenderung tidak ‘macam-macam’, berbeda dengan
situasi gereja metropolitan. Kecenderungan yang muncul di gereja-gereja
metropolitan, dimana gereja seperti ‘swalayan’ yang menyajikan beragam
‘entertainment’ alias hiburan. Memang, tidak semua gereja-gereja di kota
metropolitan, yang ‘model’nya seperti ‘swalayan’ ini. Namun, gejala-gejala
gereja ‘entertainment’ inilah yang saat ini sedang bermunculan dan berkembang
di gereja-gereja kota besar. Inilah yang membuat model juga motivasi pelayanan
jemaat di gereja-gereja daerah dan gereja-gereja metropolitan berbeda.
Jemaat di gereja-gereja daerah,
cenderung memiliki motivasi pelayanan yang murni, tanpa mengharapkan yang
disebut dengan ‘imbalan’. Justru bagi mereka, kalau gereja tidak punya dana,
sedapat mungkin mereka akan ‘membiayai’ gereja dengan sukarela, dengan
kesadaran penuh, bahwa Allah yang sudah menyelamatkan hidup mereka dan memberi
berkat yang berlimpah dalam hidup mereka. Jadi sudah selayaknya mereka
memberikan yang terbaik untuk Tuhan, dan melayani dengan tulus. Boleh
dikatakan, kehidupan pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah, hampir mirip
dengan kondisi jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul (Lihat Kisah Para Rasul
2:41-47 dan Kisah Para Rasul 4:32-37).
Karakter masyarakat metropolitan
yang cenderung menggemari hiburan, rupa-rupanya terbawa juga dalam kehidupan bergerejanya. Seperti
halnya di dunia sekuler, unntuk dapat menikmati hiburan-hiburan yang
diinginkan, orang harus mengeluarkan uang dari koceknya, baru ia dapat
menikmati apa yang dia mau. Pola-pola
yang seperti ini terbawa juga dalam gereja. Untuk mendapatkan orang-orang yang
mau ikut aktif di pelayanan dengan kualitas yang bagus, entah itu untuk posisi
singer, songleader, pemain musik, paduan suara, dan posisi yang lain-lain,
diperlukan suatu ‘budget’ khusus. Entah itu yang mengeluarkan koceknya adalah
pihak gerejanya, atau jemaat yang sengaja memberi persembahan kasih secara
langsung kepada pelayan-pelayan yang menjadi ‘favorit’nya. Seringkali, alasan
ingin memberikan penghargaan, yang kerap digunakan untuk memberikan ‘honor’
kepada para pelayan-pelayan gereja ini.
Motivasi
Yang Diselewengkan
Awalnya, sebuah gereja yang cukup terkenal di ibukota, memberikan
‘persembahan kasih’ kepada pelayan-pelayan di gereja tersebut, seperti singer,
pemain musik, songleader, dan lain-lain, untuk memberikan penghargaan kepada
mereka atas pelayanan yang sudah mereka lakukan. Namun belakangan, hal ini
kemudian disalahgunakan dan juga disalahartikan, sehingga setiap para
pelayan-pelayan tersebut mempunyai ‘tarif-tarif’ tertentu, yang mengakibatkan
orientasi pelayan bukan lagi pada pelayanan itu melainkan berubah orientasinya
yaitu pada uang.
Pada akhirnya, latar belakang
kondisi gereja metropolitan seperti inilah, yang kemudian mendorong jemaat
untuk memiliki motivasi pelayanan yang tidak murni lagi. Motivasinya untuk ikut
pelayanan pun tidak lagi disadari oleh keinginan untuk sungguh-sungguh melayani
Tuhan, tetapi orientasinya lebih kepada masalah ‘imbalan’ atau penghargaan atas
pelayanan yang telah dilakukan. Ini sudah tidak benar!
Tonny, di samping bekerja di sebuah perusahaan periklanan, ia adalah
seorang pemain musik di gerejanya. Karena pelayanannya sebagai pemain musik
yang cukup menyita waktunya, gereja tempat ia melayani juga memberikan
‘persembahan kasih’ untuknya, yang
jumlahnya lebih besar dari gajinya di perusahaan iklan. Belakangan ia
memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanannya di perusahaan iklan tersebut, dan
memilih menjadi fulltimer sebagai pemain musik di gerejanya.
Seringkali, ketika kita diperhadapkan pada
situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas. Tak jarang kitapun menjadi
kebingungan, dan pada khirnya justru kita kehilangan motivasi pelayanan yang
sesungguhnya. Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang
sesungguhnya. Ingatlah! Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Kalau
sebagai pelayan-pelayan di gereja, kita tidak berhati-hati dengan motivasi
pelayanan yang kita miliki, hal ini dapat membuka peluang bagi kita untuk
menjadi ‘hamba-hamba upahan’, karena hanya mau melayani, demi melihat besarnya
jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.
Hamba Tuhan yang sejati, mestinya
melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang dipercayakan
kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari panggilan yang
kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni untuk melayani
Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini tidak layak
mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena pelayanan yang
kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah Tuhan berikan
bagi kita.
Paulus, rasul Kristus Yesus, juga
menuliskan dalam II Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak
orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus
kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah
Allah dan dihadapanNya.” Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau
melayani Tuhan, milikilah hati yang murni disertai ketulusan dalam melayani
Dia, dan jangan pernah sekalipun mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.(yth)
(Telah dimuat di Majalah Warning!)
Komentar
Posting Komentar