Senin, 31 Desember 2001

PRAKTEK MONEY POLITICS DALAM GEREJA

Dalam bayangan Tasha, yang namanya “pelayanan” itu di mana-mana sama saja. Semasa ia masih kuliah di Kota Gudeg dan aktif melayani di sebuah gereja, boleh dikatakan semua orang yang terlibat dalam pelayanan, melayani dengan sepenuh hati untuk Tuhan, dan tak pernah berpikir bahwa pelayanan yang mereka lakukan tersebut akan mendapat imbalan, apalagi dalam bentuk uang. Bagi Tasha, itulah pelayanan yang sesungguhnya.

Akan tetapi semuanya itu musnah, ketika Tasha menginjakkan kakinya di kota metropolitan untuk memulai dunia kerja. Maksud hati ingin tetap terus melayani, menyebabkan Tasha mulai mencari tempat ibadah yang tetap, supaya ia juga dapat melayani di sana. Namun betapa terkejutnya Tasha, ketika ia mulai menetap beribadah dan melayani di sebuah gereja. Ternyata setiap orang yang melayani di tempat itu, entah itu sebagai majelis, guru sekolah minggu, bahkan untuk datang latihan paduan suara pun, setiap orang akan mendapatkan imbalan uang alias dibayar. Tak terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa untuk mendapatkan orang-orang yang mau melayani, bahkan untuk ikut latihan paduan suara saja, sebuah gereja sampai harus mempunyai ‘budget’ khusus untuk membayar jemaatnya supaya mau ikut paduan suara atau ikut aktif dalam pelayanan di gerejanya sendiri.


Gereja ‘Swalayan’
Kekagetan Tasha, bisa kita maklumi. Kehidupan bergereja di daerah, dengan kehidupan bergereja di kota-kota besar, terlebih di kota metropolitan, memang sangat jauh berbeda. Situasi daerah dimana karakter jemaatnya yang cenderung tidak ‘macam-macam’, berbeda dengan situasi gereja metropolitan. Kecenderungan yang muncul di gereja-gereja metropolitan, dimana gereja seperti ‘swalayan’ yang menyajikan beragam ‘entertainment’ alias hiburan. Memang, tidak semua gereja-gereja di kota metropolitan, yang ‘model’nya seperti ‘swalayan’ ini. Namun, gejala-gejala gereja ‘entertainment’ inilah yang saat ini sedang bermunculan dan berkembang di gereja-gereja kota besar. Inilah yang membuat model juga motivasi pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah dan gereja-gereja metropolitan berbeda.

Jemaat di gereja-gereja daerah, cenderung memiliki motivasi pelayanan yang murni, tanpa mengharapkan yang disebut dengan ‘imbalan’. Justru bagi mereka, kalau gereja tidak punya dana, sedapat mungkin mereka akan ‘membiayai’ gereja dengan sukarela, dengan kesadaran penuh, bahwa Allah yang sudah menyelamatkan hidup mereka dan memberi berkat yang berlimpah dalam hidup mereka. Jadi sudah selayaknya mereka memberikan yang terbaik untuk Tuhan, dan melayani dengan tulus. Boleh dikatakan, kehidupan pelayanan jemaat di gereja-gereja daerah, hampir mirip dengan kondisi jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul (Lihat Kisah Para Rasul 2:41-47 dan Kisah Para Rasul 4:32-37).

Karakter masyarakat metropolitan yang cenderung menggemari hiburan, rupa-rupanya terbawa  juga dalam kehidupan bergerejanya. Seperti halnya di dunia sekuler, unntuk dapat menikmati hiburan-hiburan yang diinginkan, orang harus mengeluarkan uang dari koceknya, baru ia dapat menikmati apa yang dia mau.  Pola-pola yang seperti ini terbawa juga dalam gereja. Untuk mendapatkan orang-orang yang mau ikut aktif di pelayanan dengan kualitas yang bagus, entah itu untuk posisi singer, songleader, pemain musik, paduan suara, dan posisi yang lain-lain, diperlukan suatu ‘budget’ khusus. Entah itu yang mengeluarkan koceknya adalah pihak gerejanya, atau jemaat yang sengaja memberi persembahan kasih secara langsung kepada pelayan-pelayan yang menjadi ‘favorit’nya. Seringkali, alasan ingin memberikan penghargaan, yang kerap digunakan untuk memberikan ‘honor’ kepada para pelayan-pelayan gereja ini.


Motivasi Yang Diselewengkan
Awalnya, sebuah gereja yang cukup terkenal di ibukota, memberikan ‘persembahan kasih’ kepada pelayan-pelayan di gereja tersebut, seperti singer, pemain musik, songleader, dan lain-lain, untuk memberikan penghargaan kepada mereka atas pelayanan yang sudah mereka lakukan. Namun belakangan, hal ini kemudian disalahgunakan dan juga disalahartikan, sehingga setiap para pelayan-pelayan tersebut mempunyai ‘tarif-tarif’ tertentu, yang mengakibatkan orientasi pelayan bukan lagi pada pelayanan itu melainkan berubah orientasinya yaitu pada uang.


Pada akhirnya, latar belakang kondisi gereja metropolitan seperti inilah, yang kemudian mendorong jemaat untuk memiliki motivasi pelayanan yang tidak murni lagi. Motivasinya untuk ikut pelayanan pun tidak lagi disadari oleh keinginan untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan, tetapi orientasinya lebih kepada masalah ‘imbalan’ atau penghargaan atas pelayanan yang telah dilakukan. Ini sudah tidak benar!


Tonny, di samping bekerja di sebuah perusahaan periklanan, ia adalah seorang pemain musik di gerejanya. Karena pelayanannya sebagai pemain musik yang cukup menyita waktunya, gereja tempat ia melayani juga memberikan ‘persembahan kasih’ untuknya, yang  jumlahnya lebih besar dari gajinya di perusahaan iklan. Belakangan ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanannya di perusahaan iklan tersebut, dan memilih menjadi fulltimer sebagai pemain musik di gerejanya.


Seringkali, ketika kita diperhadapkan pada situasi seperti yang dialami oleh Tonny di atas. Tak jarang kitapun menjadi kebingungan, dan pada khirnya justru kita kehilangan motivasi pelayanan yang sesungguhnya. Inilah yang perlu dipertanyakan kembali, apa motivasi kita yang sesungguhnya. Ingatlah! Manusia memiliki kecenderungan untuk cinta uang. Kalau sebagai pelayan-pelayan di gereja, kita tidak berhati-hati dengan motivasi pelayanan yang kita miliki, hal ini dapat membuka peluang bagi kita untuk menjadi ‘hamba-hamba upahan’, karena hanya mau melayani, demi melihat besarnya jumlah ‘persembahan kasih’ yang akan diterimanya.

Hamba Tuhan yang sejati, mestinya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, sesuai dengan tugas yang dipercayakan kepadanya (Lukas 17:10). Jika kita sungguh-sungguh menyadari panggilan yang kita terima sebagai hamba Tuhan, dan memiliki hati yang murni untuk melayani Dia, kita pasti akan menyadari, bahwa sesungguhnya kita ini tidak layak mendapatkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan itu. Mengapa? Karena pelayanan yang kita lakukan, masih belum dapat dibanding dengan apa yang sudah Tuhan berikan bagi kita.

Paulus, rasul Kristus Yesus, juga menuliskan dalam II Korintus 2:17, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan dihadapanNya.” Sekali lagi, jika kita sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, milikilah hati yang murni disertai ketulusan dalam melayani Dia, dan jangan pernah sekalipun mengharapkan ‘imbalan’ ataupun penghargaan.(yth)

(Telah dimuat di Majalah Warning!) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar